Loading Preview Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Sejarah singkat
perbankan di Indonesia dibagi menjadi dua kategori, yaitu keadaan sebelum
Perang Dunia II dan keadaan setelah Perang Dunia II antara 1945 – 1949.
Di samping ketiga bank tersebut, terdapat juga bank-bank lainnya yang tidak mendapat campur tangan pemerintah. Bank tersebut bermodal nasional, Belanda, Inggris, Jepang, dan Cina.
Bersamaan dengan kekalahan Jepang, pemerintah Belanda berusaha kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara INggris(sekutu) dan terjadilah perang kemerdekaan melawan penjajah. Pada akhirnya terbentuk dua wilayah yakni daerah Republik yang dikuasai oleh RI dan daerah federal yang merupakan daerah wilayah RI yang diduduki Belanda. Masing-masing daerah mengalami perkembangan sebagai berikut : Perkembangan Perbankan di Daerah Republik
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda.[butuh rujukan] Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri[1] serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain[butuh rujukan]:
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain:[butuh rujukan] Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada pada zaman awal kemerdekaan antara lain:[butuh rujukan] Di Indonesia, praktik perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan.[butuh rujukan] Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syariah, dan juga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).[butuh rujukan] Masing-masing bentuk lembaga bank tersebut berbeda karakteristik dan fungsinya.[butuh rujukan] Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961 yang melarang pengumuman dan penerbitan angka-angka statistik moneter/perbankan, maka antara tahun 1960-1965, Bank Indonesia tidak menerbitkan laporan tahunan, termasuk data statistik mengenai kliring dan perhitungan sentral.[butuh rujukan] Pada 5 Juli 1964, atas dasar pertimbangan politik untuk mempermudah komando di bidang perbankan untuk menunjang Pembangunan Semesta Berencana , selanjutnya pada tahun 1965 pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengintegrasikan seluruh bank-bank pemerintah ke dalam satu bank dengan nama Bank Negara Indonesia, prakarsa pengintegrasian bank pemerintah ini berasal dari ide Jusuf Muda Dalam,[2][3] yang saat itu menjabat sebagai Menteri Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia - yang baru diangkat dari jabatan semula Presiden Direktur BNI - dan disetujui oleh Presiden Soekarno. Ide dasarnya adalah menjadikan perbankan sebagai alat revolusi dengan motto Bank Berdjoang di bawah pimpinan Pemimpin Besar Revolusi. Nama Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank tunggal, diusulkan oleh Jusuf Muda Dalam sendiri.[3] Hasilnya adalah lahirnya struktur baru Bank Berdjoang ini menjadikan;[4] Akan tetapi tidak semua bank pemerintah berhasil diintegrasikan ke dalam Bank Berdjoang yakni Bank Dagang Negara (BDN) dan Bapindo.[butuh rujukan] Luputnya BDN dari proses pengintegrasian ini terutama karena Presiden Direktur BDN J.D. Massie saat itu menjabat sebagai Menteri Penertiban Bank-bank Swasta Nasional yang tentu mempunyai cukup punya pengaruh untuk berkeberatan atas penyatuan BDN dengan bank-bank lainnya.[5][6] Massie beralasan bahwa kebijakan ini akan membingungkan koresponden bank di luar negeri untuk penyelesaian L/C ekspor maupun impor karena nama bank yang sama.[butuh rujukan] Sementara, Bapindo tidak terintegrasi ke dalam Bank Berjuang karena bank ini dibawah Dewan Pembangunan yang diketuai Menteri Pertama Urusan Pembangunan dengan anggota-anggota Menteri Keuangan, yang juga Ketua Dewan Pengawas Bapindo, dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota.[7] Dengan demikian, melalui kedudukannya itu, pengaruh Bapindo cukup kuat untuk menghalangi terintegrasi ke dalam BNI.[8] Pada tahun 1965 pemerintah hendak mengabungkan seluruh bank swasta atau bank asing dalam Bank Pembangunan Swasta sebagai satu-satunya bank penghimpun dan penyalur dari semua dana-dana progresif di sektor swasta dan alat-alat yang dapat dipergunakan Pembangunan Semesta Berencana dan rencana-rencana lain yang ditentukan oleh Presiden Republik Indonesia.[9] Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda.[butuh rujukan] Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun bank swasta nasional.[butuh rujukan] Pada 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik Belanda mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya pada 1960 secara berturut-turut Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII) atau BankExim.[10] Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu:[butuh rujukan]
Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara.[butuh rujukan] Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan.[butuh rujukan] Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah.[butuh rujukan] Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit.[butuh rujukan] Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi.[butuh rujukan] Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu.[butuh rujukan] Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif.[butuh rujukan]Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan menngkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman.[butuh rujukan] Berikut adalah sepuluh bank besar di Indonesia pada akhir tahun 2010 berdasarkan aset dan market share yang dirilis oleh Bank Indonesia.[11]
|