Bagaimana sikap anak yang baik dalam menggunakan waktunya

Orangtua mana yang tidak ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang taat, rajin, mandiri, dan percaya diri dan bertanggung jawab? Siapa pula yang tidak jengkel jika anaknya cenderung cengeng, malas, suka melawan, kasar dan tidak bertanggung jawab?

Pertama kali kami bergumul tentang tema ini saat anak sulung masih batita. Dia mulai suka memukul, merajuk, dan sulit makan. Saya teringat anak-anak tetangga yang lebih besar dari anak kami. Ada yang gemar memukul pembantu, membangkang, berbicara kasar, dan lain sebagainya. Sempat terbersit, apakah anak kami akan bertumbuh demikian? Kami memutuskan akan berbuat sesuatu dalam mendidik dan mengasuh anak kami. Bagaimana menyiasatinya?

Sebenarnya, dalam pendidikan anak berlaku yang dinamakan hukum ”tabur-tuai”. Artinya, siapa menabur dengan susah payah dan air mata, ia akan menabur dengan bersorak-sorai. Orangtua yang memberikan sepenuh hatinya untuk anaknya, dalam anugerah Tuhan akan ”menuai” anak-anak yang bersikap baik juga. Bersikaplah dengan sepatutnya pada anak sejak mereka masih sangat kecil. Itu akan membuat hubungan orangtua-anak berkembang baik.

Sikap kita kepada anak akan terarah jika kita mengerti perkembangan mereka. Waktu saya (Witha) masih bersama orangtua, sambil ngobrol mama saya menirukan perilaku saya saat berusia 2-3 tahun. Kata mama, saya anak yang rajin membantu. Apa saja yang dilakukan mama saya, saya bantu. Misalnya mencuci piring, membersihkan sayur, dsb. Saya bersyukur, saat itu mama saya mengerti aspek ”belajar mandiri” yang dibutuhkan anak usia 2-3 tahun.

Mama tidak marah melihat sikap saya, walaupun kerajinan saya seringkali membuat semua tambah kacau. Mama mengarahkan saya dengan benar sehingga di usia 4-5 tahun saya sudah bisa membersihkan sayur, usia 8 tahun saya mengepel rumah, dan usia 10 saya memasak dan mengurus pakaian saya sendiri.

Pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan belajar yang baik. Semuanya dimulai di usia sangat belia. Orangtua sebaiknya memberikan waktu dan tenaga untuk mengajari anak mandiri di usia yang tepat. Karena, tidak mudah mengajari anak hal-hal paktis di rumah, setelah mereka lebih besar. Kalau kita sudah berlelah-lelah mengajari mereka sejak kecil hal-hal yang menyangkut disiplin praktis di rumah, kita tidak perlu mengomel atau memukul mereka lagi. Anak-anak kita dengan sendirinya mengerti. Sedapat mungkin hindari omelan dan pukulan karena dapat membuat sakit hati berkepanjangan, baik dari orangtua maupun anak.

Usia Meniru

Anak-anak di usia 7-13 tahun suka meniru. Jika anak-anak di usia SD melihat tayangan film semacam Power Ranger, mereka ingin menjadi seperti tokoh di film itu. Menjadi pahlawan dengan berkelahi bisa jadi cita-cita mereka. Apalagi, setelah berkelahi dan mengalahkan musuh, tokohnya diberi medali dan dielu-elukan. Anak-anak belum bisa berpikir secara abstrak. Mereka belum mampu mengambil nilai baik suatu peristiwa. Tidak heran, kalau anak-anak ini sering melihat atau merasakan kekerasan, dia akan jadi suka melakukannya pada orang lain.

Kita tidak bisa menghindarkan anak dari hal-hal kekerasan. Selain TV (termasuk video dan game), koran juga dipenuhi berita kekerasan. Tapi kita bisa meminimalkan pengaruh buruknya. Orangtua perlu mendampingi mereka dan memberikan penjelasan mengapa si penembak diberi ”hadiah”. Pendampingan ini tidak bisa sepotong-sepotong. Artinya, waktu sebanyak mungkin sangat dibutuhkan anak usia ini. Tiap kali menonton atau membaca berita yang sulit mereka pahami, orangtua wajib memberi penjelasan. Paling baik, minimalkan jam anak menonton TV.

Contoh lain. Jika kita ingin anak kita rajin membaca, kitalah yang harus memberi memulainya. Anak-anak (kecil) yang melihat orangtuanya rajin membaca atau olahraga, akan senang meniru aktifitas itu. Usia meniru ini seharusnya diakhiri dengan kecermatan menilai yang baik dari yang salah; serta kemampuan memutuskan untuk memilih yang benar. Kedua anak kami yang berusia 14 dan 10 tahun, sejak kecil sangat suka membaca sebab kami memberikan contoh dan melatih mereka.

Remaja, Tahap Bersosialisasi

Dalam hal-hal tertentu, usia remaja bukan lagi untuk belajar. Ini masanya mempraktekkan hal-hal baik yang sudah kita ajarkan sewaktu mereka lebih muda. Berhasil-tidaknya mengajaran kita akan ditentukan di sini.

Kadang-kadang anak remaja ingin mencoba. Suatu kali anak remaja saya meminta izin saya untuk main di warnet melebihi ketentuan waktu (hanya sekali seminggu). Saya ingatkan kesepakatan kami. Tetapi dia berkeras. ”Memangnya kenapa?” tanyanya, ”toh aku selama ini sudah menurut sama mama dan papa. Lagian teman-temanku anak baik-baik, kok. Mama kenal mereka semua.”

”Kamu tahu, mama hanya mengizinkan kamu main tiga jam seminggu. Tetapi kalau kamu memaksa, mama tidak bisa buat apa-apa. Mama hanya ingin kamu tahu isi hati mama; bahwa mama kecewa dan tidak setuju kamu main melebihi kesepakatan kita.” Saya menahan diri, jangan sampai memberi nasehat (yang sebelumnya sudah berulangkali disampaikan).

Saya mengantar anak saya ke warnet. Ketika saya menjemputnya sesuai jam yang disepakati, dia langsung pulang dengan wajah cerah. Sama sekali tidak terlihat kecewa atau marah. Teman-temannya pun ikut pulang bersama kami. ”Numpang ya, Tante ....,” kata mereka dengan ringan. Di mobil mereka asyik sekali membicarakan game yang baru saja dimainkan. Tetapi yang lebih penting anak kami kembali mengikuti kesepakatan yang dibuat bersama. Untuk mencegah anak bermain banyak di luar kami menyediakan waktu lebih bersama anak-anak di rumah. Kami mengupayakan waktu ngobrol, bermain dan doa bersama serta membaca Firman Tuhan bersama. Dengan waktu lebih itu anak-anak lebih suka main di rumah dan belajar dari contoh-contoh kehidupan kita.

Mulai Dari Anak Kecil

Sikap baik apakah yang kita inginkan dari anak-anak kita? Ada baiknya kita mencatatnya, kemudian mencoba merefleksikannya. Beri waktu untuk membicarakannya dengan anak-anak. Kita sendiri berusaha menjadi contoh buat anak. Sebab bagi mereka perbuatan berbicara lebih keras dari perkataan. Jika kita ingin anak bersikap baik, kita harus membuat diri kita punya sikap baik lebih dulu. Sejak kecil, anak belajar sikap baik dari orangtuanya. Jadi, tinggalkan omelan dan pukulan. Mulailah bersikap baik agar anak-anak kita mewarisi sikap baik kita juga. Akhirnya anak-anak jugalah yang memberikan kesenangan dan sukacita dalam hidup kita karena melihat mereka hidup dalam kebenaran.

Sikap Pemuridan Dalam Keluarga

Menjadi orang tua yang sukses memang membutuhkan kerja keras. Menghasilkan anak-anak yang bertingkah baik membutuhkan keberanian dan kesabaran. Pusatkan perhatian pada masalah-masalah yang nyata seperti: kesehatan mental, kebahagiaan, harga diri, dan kasih kepada orang lain. Sal Severe PhD membantu kita memahami cara bersikap yang baik saat mendidik Anak.

1. Berilah imbalan bagi perilaku yang baik, bukan bagi kenakalan. Tonjolkan permintaan-permintaan yang sopan, bukan rengekan, rayuan, dan amukan. Usahakan diskusi yang tenang, bukan perbantahan dan perebutan kekuasaan.

2. Berpikirlah sebelum bicara. Katakanlah yang Anda maksudkan. Jelaskan sungguh-sungguh apa yang Anda katakan. Tindaklanjuti-lah. Buat tanda-tanda yang mudah dilihat untuk mengingatkan Anda. Pujilah diri Anda sendiri bila berhasil bersikap konsisten.

3. Harapkanlah perilaku yang baik dari anak-anak Anda. Anak-anak harus tahu apa yang Anda harapkan dari mereka dan apa yang mereka bisa harapkan dari Anda. Bila anak-anak dapat membayangkan cara Anda berperilaku menghadapi situasi-situasi tertentu, mereka akan membuat keputusan-keputusan yang lebih baik.

4. Anak-anak percaya pada apa yang Anda katakan kepada mereka. Latihlah mereka cara-cara untuk membuat dirinya sukses. Ajarilah anak-anak Anda bahwa berusaha keras sangat penting untuk membuatnya sukses. Berilah mereka dorongan. Bila Anda mendorong anak-anak Anda, mereka akan melihat bahwa Anda punya kepercayaan dan keyakinan pada mereka. Dorongan akan membantu anak-anak Anda untuk menghadapi setiap situasi dengan lebih yakin.

5. Antisipasi masalah yang akan timbul. Katakan kepada mereka aturan-aturannya sebelumnya. Rincilah. Bersikaplah wajar. Sekali Anda mengenali sebuah pola kenakalan, tentukan sebuah rencana. Sorotilah setiap kemajuan. Berilah dukungan dan dorongan. Gunakan kontrak untuk memperkuat rencana Anda.

6. Gunakan hukuman-hukuman yang mengajarkan pengambilan keputusan dan tanggung jawab. Anak-anak mampu menanggung hukuman-hukuman yang masuk akal, seperti pembatasan dan penyetrapan. Jangan menghukum kalau Anda sedang marah. Jangan menghukum untuk balas dendam. Hubungkanlah hukuman dengan keputusan-keputusan anak Anda.

7. Mulailah mengajarkan tanggung jawab dan pengambilan keputusan saat anak-anak Anda masih kecil. Persiapkanlah anak-anak Anda untuk hidup di dunia nyata. Bersikaplah tegas tapi positif. Anak-anak butuh batas dan struktur. Anak-anak butuh aturan-aturan dasar. Mereka butuh konsistensi. Anak-anak melihat sifat ini sebagai ungkapan kasih sayang dan perhatian Anda.

8. Sayangilah anak-anak Anda tak peduli bagaimana perilaku mereka. Pusatkan perhatian pada sifat-sifat positif mereka. Ajarilah anak-anak Anda untuk untuk memberi imbalan pada dirinya sendiri—untuk merasa nyaman melakukan hal yang baik. Carilah keputusan-keputusan mereka yang pantas dipuji. Ajarilah anak-anak Anda untuk menyukai diri mereka sendiri. Ajarilah mereka untuk memahami kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan mereka. Gunakan diri Anda sendiri sebagai contoh. Mereka akan menerima kekurangan-kekurangan mereka dari orang lain. Ini akan membuat kelemahan-kelemahan mereka berkurang kekuatannya dalam kehidupan mereka.

9. Dukunglah diri Anda sendiri bahkan bila ada orang lain yang duduk mengadili Anda. Jangan biarkan anak-anak membuat Anda marah. Teguhkan hati Anda. Kendalikan perilaku Anda sendiri supaya menjadi contoh yang bagus. Anak-anak belajar dari Anda.

10. Buat suasana keluarga yang sehat dan menyenangkan. Tekankan kelebihan masing-masing anggota keluarga. Terimalah kelemahan-kelemahannya. Bicarakan tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan hidup. Anak-anak Anda akan belajar untuk datang kepada Anda menceritakan masalah-masalahnya. Ini akan sangat berguna saat mereka menjadi remaja.

Julianto Simanjuntak

image: freepik.com