Salah satu strateginya adalah dengan cara wayang kulit yang dilakukan oleh

Walisongo menerapkan strategi dakwah agar penyebaran Islam dapat berjalan lancar. Srategi dakwah yang dilakukan melalui pembagian wilayah dan pendekatan persuasif. Strategi pembagian wilayah bertujuan untuk memperhitungkan letak strategis dari suatu wilayah. Walisongo mempertimbangkan terlebih dahulu dalam menentukan daerah dakwahnya serta mempertimbangkan faktor geostrategi. Hal ini ditunjukkan dengan pemilihan daerah Jawa Tengah sebagai tempat dakwah Walisongo, seperti Demak, Kudus, dan Muria. Selanjutnya, Walisongo  menggunakan strategi pendekatan persuasif yang berorientasi pada penanaman ajaran Islam dengan menyesuaikan kondisi saat itu. Misalnya Sunan Ampel yang berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang bersedia masuk Islam berkat keramahan dan kebijaksanaan Sunan Ampel. Walisongo juga melakukan pendekatan terhadap tokoh yang memiliki pengaruh di suatu wilayah dan menghindari konflik. Walisongo menyediakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti materil dan spiritual.

Walisongo menggunakan pendekatan melalui kebudayaan dan kesenian untuk menunjang keberhasilan Islamisasi. Misalnya, Sunan Kalijaga dalam melakukan dakwah secara luwes karena masyarakat Jawa saat itu masih menganut kepercayaan lama. Sunan Kalijaga mendekatkan diri ke dalam masyarakat yang masih awam. Selain itu, Sunan Kalijaga mengenakan pakaian adat Jawa setiap hari dengan menggabungkan unsur Islam. Terdapat alasan Sunan Kalijaga menggunakan pakaian tersebut dikarena apabila mengenakan jubah dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa takut masyarakat dan merasa enggan untuk menerima kedatangannya. Salah satu hal yang dapat dikatakan unik ketika Sunan Kalijaga merebut simpati masyarakat terlebih dahulu agar mau menerima agama Islam. Selanjutnya, beliau menjelaskan kepada masyarakat mengenai agama Islam dan menasehati untuk meninggalkan adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi, kebudayaan dan kesenian yang sekiranya dapat ditanamkan unsur ajaran Islam akan dipertahankan serta digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga. Berbagai media dakwah yang digunakan, yaitu gamelan, gendhing, tembang, wayang, grebeg, suluk, tata kota, selamatan, kenduri, dan upacara tradisional. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga kerap memakai nama samaran, seperti “Ki Dalang” karena kemampuan beliau dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui pertunjukan kebudayaan dan kesenian.

Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu media dakwahnya. Beliau mengenalkan Islam melalui pertunjukan wayang yang sangat digemari masyarakat. Pada saat beliau berdakwah agama Islam sebagai dalang yang berkeliling di wilayah Pajajaran hingga Majapahit. Tidak hanya sebagai dalang wayang saja, beliau juga menjadi dalang pantun. Apabila ada masyarakat yang ingin mengadakan pertunjukan wayang, maka Sunan Kalijaga tidak memungut uang melainkan cukup membaca dua kalimat syahadat, dan menyebabkan Islam dapat berkembang dengan cepat. Di dalam pertunjukan wayang, lakon yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga tidak hanya mengangkat kisah Mahabarata dan Ramayana, terdapat pula lakon yang digemari oleh masyarakat yaitu Dewa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini menjadi bentuk pengembangan dari lakon Nawa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini mengisahkan Bima yang merupakan salah satu Pandawa saat mencari kebenaran melalui bimbingan Begawan Drona hingga Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Selain lakon Dewa Ruci, Sunan Kalijaga juga memunculkan tokoh-tokoh wayang seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang telah diselusupi ajaran-ajaran Islam. Dalam menjadi dalang, Sunan Kalijaga memaparkan ajaran tasawuf saat memainkan wayang terutama saat lakon Dewa Ruci. Hal ini menyebabkan masyarakat dari seluruh lapisan menjadi senang. Saat pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga memodifikasi bentuk wayang, sebelumnya berbentuk gambar manusia menjadi gambar dekoratif dengan bentuk tubuh yang tidak mirip dengan manusia. Penggunaan pertunjukan wayang sebagai media dakwah penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Hal tersebut menunjukkan keahlian beliau dalam memadukan unsur ajaran Islam dengan unsur budaya masyarakat Jawa. Oleh karea itu, kebudayaan dan kesenian merupakan sesuatu yang tidak dapat lepas dari masyarakat.

Selain lakon Dewa Ruci dan Punakawan, Sunan Kalijaga juga memasukan ajaran Islam pada tokoh Yudistira dan Bima. Seperti yang dikisahkan dalam lakon Yudistira mendapatkan azimat Kalimasada  karena tidak mau berperang. Azimat ini berguna untuk melindungi diri sendiri, menjauhkan musuh, dan memelihara stabilitas pemerintahan kerajaan. Azimat Kalimasada merupakan sebuah teks yang dapat bertahan lama dan merupakan kalimat syahadat. Oleh karena itu, Yudistira meninggal dalam keadaan Islam. Kalimat “Kalimasada” berasal dari kalimat Syahada yang artinya “yang bersaksi”. Dalam lakon Bima digambarkan seperti shalat. Hal ini disebabkan karena dalam cerita Hindu Bima digambarkan sebagai sosok yang kuat, sedangkan shalat merupakan tiang agama yang artinya tanpa shalat agama dari seseorang runtuh. Sementara itu, Arjuna dilambangkan sebagai puasa, Nakula, dan Sadewa dilambangkan sebagai zakat dan haji. Berdasarkan pelambangan tersebut, Sunan Kalijaga telah menggambarkan masyarakat Jawa mengenai badan manusia dengan wayang. Hal ini dapat diartikan tradisi wayang kulit yang dipertunjukkan dianggap sama seperti kehidupan. Dalam ajaran Islam Nabi Muhammad Saw mengajarkan kepada kita untuk tidak melihat seseorang dari luarnya saja.

Gamelan digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga ketika pertunjukan dan acara lainnya. Dalam pertunjukan wayang, ketukan gamelan sudah digubah Sunan Kalijaga agar iramanya sesuai dengan lakon yang akan dimainkan. Selain digunakan dalam pertunjukan wayang, gamelan digunakan untuk mengundang masyarakat agar datang ke masjid. Gamelan juga digunakan saat acara Grebeg dan Sekaten yang bertujuan untuk mengundang banyak perhatian dari masyarakat.

Selain menggunakan wayang dan gamelan, Sunan Kalijaga dalam berdakwah juga menggunakan tembang-tembang yang merupakan kebudayaan dan kesenian dari masyarakat Jawa. Tembang-tembang yang digubah oleh Sunan Kalijaga seperti tembang Rumekso Ing Wengi dan tembang Ilir-ilir. Dalam tembang Rumekso Ing Wengi ini melambangkan doa saat malam hari setelah melaksanakan shalat tahajud. Doa yang dipanjatkan bertujuan meminta agar senantiasa dihindarkan dari gangguan negatif, serta dalam gaya bahasa sesuai dengan pikiran masyarakat Jawa. Hal yang disampaikan dalam tembang Rumekso Ing Wengi dapat menusuk hati pembacanya. Tembang ini disusun Sunan Kalijaga dikarenakan masyarakat Jawa masih kesulitan dalam menghafal dan melafalkan doa berbahasa Arab. Selain tembang Rumekso Ing Wengi, terdapat juga tembang Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul yang menggambarkan keagungan ajaran Islam dan mengandung nasihat-nasihat kehidupan.

Grebeg berasal dari kata gumrebeg yang artinya “riuh” atau “rame”, jika dipahami menjadi “keramaian” dan berujung perayaan. Hal ini sering dijumpai saat acara grebeg terdapat konvoi barisan prajurit yang membawa gunungan disertai dengan iringan gamelan. Sekaten berasal dari kata sekati yang artinya “nama dua alat gamelan”. Sekaten merupakan bagian dari serangkaian acara grebeg yang merupakan gagasan Walisongo dalam menggabungkan kebudayaan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam. Hal ini dikarenakan grebeg dan sekaten merupakan kebudayaan yang sudah ada sejak kerajaan Hindu Budha.

Ide untuk menggabungkan kebudayaan grebeg dan sekaten dengan ajaran Islam muncul saat Sunan Kalijaga mencoba menarik masyarakat datang ke masjid dan bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Sunan Kalijaga memiliki inisiatif untuk menggabungkan unsur kebudayaan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Jawa. Lalu menggunakan gamelan dan tari-tarian di lingkungan kraton untuk meramaikan pelaksanaan Grebeg Maulid. Seperangkat gamelan diletakkan dihalaman masjid untuk ditabuh agar menarik perhatian masyarakat. Komplek masjid dihiasi dengan pernak-pernik menarik yang mengundang masyarakat datang ke komplek masjid Demak. Awalnya masyarakat maerasa malu untuk datang, perlahan-lahan mulai berdatangan dengan melewati gapura dan dituntun untuk mengucapkan kalimat syahadat. Selanjutnya masyarakat akan diajarkan dan dituntun cara berwudhu dengan baik. Selain Grebeg Maulid, terdapat juga Grebeg Syawal yang diselenggarakan saat hari raya Idul Fitri dan Grebeg Besar saat hari raya Idul Adha. Saat perayaan Grebeg dan Sekaten juga terdapat Gunungan. Gunungan ini dimaknai sebagai lambang kemakmuran dan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan. Gunungan ini akan dibagikan kepada masyarakat. Penggunaan Grebeg dan Sekaten sebagai media dakwah Islam ini menuai sukses besar dan masyarakat ikut menyukainya.

Penulis: Beka Rafiq Ardiansyah

Editor: Rahmat Alwi

Referensi:

Hatmansyah. 2015. Strategi dan Metode Dakwah Walisongo. Jurnal “Al-Himar”. Vol. 03, No. 05.Januari-Juni. Hlm 10-  13

Solikin, Syaiful M., dan Wakidi. Tanpa Tahun. Metode Dakwah Sunan Kalijaga Dalam Proses Islamisasi    Di Jawa.FKIP Unila. Hlm 5-6

Agus Sunyoto. 2017. Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN, Tangerang Selatan. Cetakan V, Maret. Hlm 267-268

Supriyanto. 2009. Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga. Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol. 3, No. 1. Januari-Juni. Hlm3-4

Iswara. N. Raditya. 2018. Grebeg Maulid dan Cara Syiar Islam Para Wali. 20 November. Diakses dari https://tirto.id/grebeg-maulud-dan-cara-syiar-islam-para-wali-daix pada Selasa 22 Desember 2020

pcsoftpaatch

wincracky

bagas3-1

IMF Pastikan Ekonomi Indonesia Tak Masuk Jurang Krisis, Syarat Utamanya?

Oleh Liputan6 pada 07 Jul 2014, 08:31 WIB

Diperbarui 07 Jul 2014, 08:31 WIB

Salah satu strateginya adalah dengan cara wayang kulit yang dilakukan oleh

Perbesar

(Liputan6 TV)

Liputan6.com, Yogyakarta - Lampah ratri, prosesi jalan kaki malam hari tanpa alas kaki dilakukan sejumlah warga Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosesi ini dilakukan untuk mengenang perjuangan Sunan Kalijaga dalam upayannya menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Seperti ditayangkan Potret Menembus Batas SCTV, Senin (7/7/2014), dalam ritual tersebut warga juga mengarak air dalam kendi. Serta membawa wayang kulit.

Air di kendi berasal dari Sendang Banyu Urip, sebuah danau yang diyakini sebagai gagasan Sunan Kalijaga untuk mengatasi musim kering berkepanjangan. Sedangkan wayang di setiap tangan menjadi simbol yang tak pernah lepas dari sosok Sunan Kalijaga.Jejak penyebaran Islam di tanah Jawa oleh Wali sanga, khususnya Sunan Kalijaga, memang identik dengan pendekatan budaya. Selain kesenian wayang, tari emprak pun tak lepas dari sentuhan para Wali.Sunan Kalijaga boleh dibilang tokoh sentral penyebaran Islam di Pulau Jawa. Tokoh paling populer dan dianggap penyempurna ajaran 8 Wali sebelumnya.Lahir dengan nama Said dan bergelar Raden, Sunan Kalijaga adalah pendobrak tradisi manusia Jawa di era abad ke 15 hingga awal abad ke 16.Lewat sentuhan adaptatifnya, Sunan Kalijaga dianggap jenius. Sehingga dalam penyebaran agama Islam tak sampai menimbulkan kejutan budaya di kalangan masyarakat yang fanatik dengan tradisi leluhurnya.Sunan Kalijaga menggunakan kesenian wayang sebagai salah satu media berdakwah. Asal mula kata wayang adalah "ma hyang", merujuk kepada ruh spiritual tuhan atau dewa. Tapi dalam bahasa Jawa, wayang bermakna bayangan.Keberadaan prasasti man-tyasi pada abad 10 Masehi atau zaman Raja Dyah Balitung Kerajaan Mataram Kuno, menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sejak berabad-abad telah mencintai kesenian wayang.Kegemaran menonton pertunjukkan wayang itulah yang membuat Sunan Kalijaga tergerak menjadikannya sebagai alat penyebar kebaikan. Dalam setiap pertunjukannya selalu disisipkan ajaran-ajaran Islam.

Seperti apakah kisah penyebaran Islam Sunan Kalijaga melalu pendekatan budaya Jawa? Saksikan selengkapnya video di bawah ini: