Bagaimana proses penyelesaian kasus tentang HAM baik dari Nasional dan Internasional

MERCATORIA, Vol. 11 (1) Juni (2018) p-ISSN: 1979-8652 e-ISSN: 2541-5913

MERCATORIA

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan

Nasional dan Internasional serta Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi

Aulia Rosa Nasution *

Universitas Medan Area

*Corresponding author: E-mail:

Abstrak

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak hak yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa memandang

perbedaan ras, warna kulit, gender,suku,agama bahasa, jenis kelamin, agama, dan politik. HAM secara hukum

dijamin dalam hukum HAM yang melindungi individu-individu atau kelompok dari tindakan-tindakan yang

melanggar kebebasan serta harkat dan martabat manusia. Salah satu instrument dari hukum HAM yang digunakan

sebagaipedoman bersama dalam melaksanakan norma-norma HAM adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

tahun 1948 yang dirumuskan oleh PBB dan ditaati sebagai norma internasional oleh negara-negara di seluruh

dunia. Dalam rangka menegakkan HAM pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 39 tentang HAM dan UU

No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Salah satu persoalan yang masih mengganjal selama bertahun-tahun

adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Seiring dengan perkembangan demokrasi, maka

salah satu tuntutan yang mendesak di era pemerintahan Jokowi adalah bagaimana upaya perlindungan dan

penegakan hukum di dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang selama ini terbengkalai karena

belum adanya keseriusan dan kesungguhan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Upaya

perlindungan dan penegakan hukum terhadap HAM merupakan salah satu kewajiban Negara terhadap rakyat

Indonesia dalam menjamin pelaksanaan hak-hak yang fundamental.

Kata kunci : Pelanggaran HAM Berat, Pengadilan Nasional, Pengadilan Internasional, Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Perlindungan HAM , Penegakan Hukum

Abstract

Human rights are the rights which is possessed by every humanbeing regardless of race, color, gender,

ethnicity, religion, language, gender, religion and politics. Human rights are legally guaranteed by human rights law

which is protecting the individual or groyps from acts that violate the freedom and the dignity of humanity. One of the

human rights law instrument which has been used as a reference in implementing the human rights norms is the

Universal Declaration of Human Rights in 1948 which has been formulated by the United Nations and adhered to as

an international norm by countries around the world. In order to uphold the human rights, the Indonesian

government has passed the law number 39 of 1999 on Human Rights and law number 26 of 2000 on Human Rights

Court. One of the problems that still hamper for years are the legal settlements of human rights cases in Indonesia.

Along with the development of democracy in Indonesia, one of the urgents issue in Jokowi Presidential Government is

the legal settlement and the law enforcement efforts to solve various cases of gross violation of human rights which

have been neglected for years due to the government’s insufficiency in resolving the cases. The efforts in human rights

protection and human rights law enforcement becamea State’s obligation to all of the Indonesian people in ensuring

the implementation of their fundamental rights

Keyword: Gross Violation of Human Rights, National Courts, International Courts, The Truth and

Reconciliation Comission, Human Rights Protection, Law Enforcement

How to Cite: Nasution, A.R., (2018), Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Mercatoria, 11 (1): 90-126.

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

91

PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (HAM) pada

hakekatnya merupakan hak kodrati yang

secara inheren melekatdalam setiap diri

manusia sejak lahir, Pengertian ini

mengandung arti bahwa HAM merupakan

karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada

hambanya. Mengingat karena HAM itu

adalah karunia Tuhan, maka tidak ada

badan apapun yang dapat seorangpun

diperkenankan untuk merampasnya serta

tidak ada kekuasaan apapun yang boleh

membelenggunya. (Bambang Sutiyoso,

2010)

Pengertian HAM pertamakalinya

dikemukakan oleh John Locke, yang

menjelaskan bahwa hak asasi manusia

adalah hak- hak yang diberikan langsung

oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai

sesuatu yang bersifat kodrati. Karena

sifatnya yang demikian, maka tidak ada

kekuasaan apapun di dunia yang dapat

mencabut hak asasi setiap manusia. HAM

adalah hak dasar setiap manusia yang

dibawa sejak lahir sebagai anugerah

Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian

manusia atau lembaga kekuasaan.

Pada akhir abad XIV hingga awal

abad XIIV, muncul ide baru John Locke

bahwa manusia memiliki hak yang tidak

dapat dihilangkan yaitu: life, liberty and

prosperity. Sebagai homo sapiens, manusia

mempunyai tiga macam hak asasi, yaitu

hak untuk hidup, hakatas kebebasan/

kemerdekaan, hak untuk memiliki sesuatu.

Bahkan ditekankan lagi bahwa hak untuk

memiliki sesuatu (property rights) tidak

hanya meliputi barang miliki (estates)

tetapi juga kehidupan (lives) dan

kebebasan (liberties) bahkan tidak hanya

itu melainkan lima macam hak di dalam

property rights yaitu nyawa, badan,

kemerdekaan, kehormatan dan harta

benda (leven, liif, vrijheids, eervermogen)

(Max Boli Sabon, 2014). Negara harus

melindungi hak-hak tersebut dari

tindakan perampasan dan perkosaan.

Dalam perkembangannya muncul

J.J. Rosseau dengan teori kontrak

sosialnya bahwa munculnya kekuasaan

negara itu karena berdasarkan

persetujuan atau kontrak antara seluruh

anggota masyarakat untuk membentuk

suatu pemerintahan. Negara tidak bisa

mencabut hak-hak dasar yang dimiliki

individu dan masyarakat, bahkan negara

harus melindungi hak hak tersebut dari

tindakan perampasan dan perkosaan

(Reinhart, 1999). Pemikiran John Locke

dan Rosseau tentang Hak Asasi Manusia

menjadi dasar berkembangnya

pemikiran-pemikiran selanjutnya tentang

hak asasi manusia, dan berpengaruh

besar pada terjadinya revolusi di

Perancis dan Amerika Serikat.

Lahirnya hak asasi manusia dalam

bentuk peraturan tertulis pertama kali

ditemukan dalam Magna Charta 1215 di

kerajaan Inggris yang menyebutkan

bahwa raja dapat dibatasi kekuasaannya

dan dapat dimintai pertanggungjawaban

hukum. Dari sini muncul doktrin bahwa

tidak ada pihak yang kebal hukum,

termasuk raja yang memiliki kekuasaan

(Ahmad Kosasih, 2003). Semangat Magna

Charta ini menjadi inspirasi munculnya

undang undang dalam kerajaan Inggris

tahun 1689 yang dikenal dengan undang-

undang hak (Bill of rights). Munculnya bill

of rights” menjadi awal munculnya dari

prinsip equality before law” atau

persamaan di depan hukum yang artinya

manusia memiliki kedudukan yang sama

dan sederajat di hadapan hukum. Prinsip

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

92

inilah yang menjadi dasar berkembangnya

negara hukum dan demokrasi yang

menjamin asas persamaan dan kebebasan

sebagai warga negara.

Pada tahun 1776 di Amerika

Serikat terjadi deklarasi kemerdekaan

(declaration of independence) yang di

dalam deklarasi tersebut dinyatakan

dengan tegas bahwa manusia adalah

merdeka sejak dalam perut ibunya,

sehingga dengan tidak masuk akal jika

setelah lahir dia harus terbelenggu.

Semangat kemerdekaan ini terinsipirasi

dari paham Rosseau dan Montesquieu

tentang teori pemisahan kekuasaan (trias

politica). Teori pemisahan kekuasaan ini

menciptakan satu susunan negara yang

adil dan seimbang. Demikian juga, Pada

tahun 1789 di Perancis lahir sebuah

deklarasi yang dikenal dengan the French

Declaration” yang di dalamnya

dikemuakan hakhak yang lebih rinci

yang menjadi dasar dari the rule of law’.

Di samping itu, di dalam the French

Declaration”juga diatur mengenai tidak

bolehnya penangkapan dan penahanan

secara semena mena, prinsip

presumption of innocence”, hak kebebasan

berpendapat , kebebasan beragama dan

perlindungan terhadap hak milik.

Dengan adanya hak-hak asasi

manusia yang terinci tersebut dapat

dikatakan bahwa Deklarasi Perancis

sudah mencakup hak-hak yang menjamin

timbulnya negara demokrasi maupun

negara hokum (Baharudin Lopa, 1996).

Meskipun the French Declaration” ada

setelah “Declaration of independence” di

Amerika serikat, Deklarasi Prancis

merupakan satu kristalisasi dari revolusi

yang panjang dengan tujuan

mendapatkan jaminan hak asasi manusia

dalam undang-undang negara. Dua tahun

kemudian, lahir Trisloganda yang berisi;

(1) kemerdekaan (Liberte); (2) kesamaan

(equalite); (3) kerukunan dan

persaudaraan (fraternite). Tiga prinsip

inilah yang kemudian melahirkan

konstitusi Prancis tahun 1791 (Ahmad

Kosasih, 2003).

Perkembangan berikutnya, hak-

hak asasi manusia terus menjadi

persoalan yang aktual. Hak hak asasi

yang diakui pada masa lampau sudah

dianggap tidak mampu lagi memenuhi

tuntutan keadaan sosial masyarakat yang

terus berkembang. Hak-hak yang pada

masa itu berkembang terkesan hanya hak

yang bersifat yuridis politik saja, maka

pada awal abad ke-XX Presiden Amerika

Serikat, Franklin D. Roosevelt

merumuskan dan mengeluarkan the Four

Freedoms’, yaitu; a) Freedom of speech, b)

freedom of religion; c) freedom of fear; d)

freedom from want

Rumusan hak asasi manusia baru

ini merupakan hasil pemikiran bahwa

untuk dapat hdup dengan nyaman,

manusia tidak hanya bisa dibekali

dengan hak politik saja tetapi hak atas

kebutuhan hidup sehari hari juga harus

terpenuhi. The Four Freedoms ini menjadi

inspirasi bagi adanya Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) atau

dikenal dengan Deklarasi Universal Umat

Manusia (Deklarasi ini memuat 30 Pasal

yang sarat dengan hak-hak asasi manusia

dalam segala bidang, meliputi bidang

politik, yuridis, sosial, ekonomi dan

budaya. UDHR sering disebut sebagai

Generasi I Hak Asasi Manusia. Dalam

perkembangannya, pada tahun 1993

diadakan Konferensi Dunia tentang Hak

Asasi Manusia yang dikenal dengan

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

93

Konferensi Wina. Konferensi ini

menghasilkan komitmen bersama dalam

pelaksanaan perlindngan HAM di seluruh

dunia sesuai dengan DUHAM dan

instrument lain yang ada kaitannya

dengan HAM dan hukum Internasional)

yang dikeluarkan oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948.

Terdapat bermacam-macam istilah

dalam bahasa asing atau bahasa Indonesia

yang digunakan untuk mengungkapkan

HAM. Istilah-istilah tersebut antara lain ;

droits de’l homme” (Perancis), human

rights” (Inggris), meselijek rechten”

(Belanda), civil rights” (AS) yang dapat

dijelaskan sebagai hak manusia. Istilah

lainnya basic rights” (Inggris),

grondrechten” (Belanda) yang

menunjukkan pengertian Hak Asasi

Manusia (Ahmad Kosasih, 2003). HAM

juga sering disebut sebagai hak

fundamental yang disebut dengan

fundamental rights” (Inggris),

fundamentele rechten” (Belanda). HAM

juga dikenal sebagai constitutional rights”

(Inggris) yang berarti hak asasi

berdasarkan konstitusi. Namun tidak

semua “constitutional rights” adalah hak

asasi manusia karena ada juga yang

disebut the Citizen’s constitutional rights

yaitu hak rakyat atau hak warga negara

yang hanya berlaku bagi warga negara

yang bersangkutan; jadi bukan hak asasi

yang universal.

Secara etimologis, hak asasi

manusia terbentu dari tiga (3) kata yaitu;

a) hak, b) asasi; c) manusia. Dua kata

pertama, hak dan asasi berasal daribahasa

Arab, sementara kata manusia adalah kata

dalam bahasa Indonesia. Kata haqq

diambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqaan

yang berarti benar nyata, pasti , tetap dan

wajib. Kata asasi berasal dari kata assa,

yaussu , asasaan yang berarti asas,

pangkal , asal. Dengan demikian asasi

artinya segala sesuatu yang bersifat

mendasar dan fundamental yang selalu

melekat pada objeknya (Mahrus Ali &

Syarif Nurhidayat).

Pengertian hak menurut hukum

adalah segala sesatu yang boleh dilakukan

dan boleh tidak dilakukan. Artinya

terhadap suatu hak, pemilikan hak bebas

untuk melaksanakannya atau tidak

melaksanakannya. Mochtar

Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta

menjelaskan bahwa pengertian hak pada

dasarnya berintikan kebebasan untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu

berkenaan dengan sesuatu atau terhadap

subyek hukum tertentu atau semua

subyek hukum tanpa halangan atau

gangguan dari pihak manapun dan

kebebasan tersebut memiliki landasan

hukum (diakui atau diberikan oleh

hukum) dan karena itu dlindungi oleh

hokum (Ahmad Kosasih, 2003).

Menurut Scott Davidson, dalam

menegakkan hak asasi terdapat 3(tiga)

hal yang perlu mendapat perhatian yaitu;

1) hak hak itu secara kodrati inheren,

universal dan tidak dapat dicabut; 2)

perlindungan terbaik atas hak hak asasi

tersebut hanya pada negara demokrasi; 3)

batas batas pelaksanaan hak hanya dapat

ditetapkan dan dicabut oleh undang-

undang (Scott Davidson, 2008).

Di Indonesia, pengaturan tentang

HAM telah dimuat di dalam Undang-

Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusiayang menjelaskan

bahwasanya Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada

hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

94

yang Maha Esa dan merupaan anugerah-

Nya yang wajib dihormati, dijunjung

tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum,

pemerintahan dan setiap orang, demi

kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia (Pasal 1 butir 1 UU

No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia).

Dari rumusan definisi tersebut

dapat diketahui bahwa adanya hak asasi

manusia semata - mata karena manusia

adalah mahluk ciptaan Tuhan yang

berbeda dengan mahluk ciptaan lainnya.

Hak asasi itu juga ada semata mata

karena hadiah tanpa pamrih dari Tuhan

agar manusia itu dapat hidup sungguh-

sungguh sebagai manusia. Oleh karena itu,

dalam satu definisi yang sama ditetapkan

juga kewajiban asasi, yaitu kewajiban

negara hukum, pemerintah, dan setiap

orang untuk menghormati, menjunjung

tinggi dan melindungi hak asasi orang

lain” (Max Boli Sabon).

Berdasarkan pengertian HAM

tersebut, jelas bahwa HAM di Indonesia

memiliki karakteristik tersendiri, yaitu

memiliki sisi teologis yang cukup kuat.

Pernyataan bahwa HAM adalah anugerah

dari Tuhan yang Maha Esa menunjukkan

bahwa HAM adalah suatu pemberian

Tuhan yang kemudian melekat pada tiap

diri manusia. HAM menjadi

tanggungjawab bagi setiap pihak untuk

menjaga dan melindunginya, baik negara,

hukum , masyarakat maupun tiap individu

dimanapun dan kapanpun. Hak Asasi

Manusia meliputi hak di bidang sipil,

politik, sosial dan ekonomi sampai apda

hak untuk hidup dalam lingkungan yang

sehat. Pelanggaran terhadap HAM sama

saja merendahkan martabat manusia dari

kemanusiaannya (Romli Atmasasmita,

2007).

Menurut Krisdyatmiko, hak asasi

manusia pada dasarnya dapat dibagi

menjadi tiga yaitu; 1) hak klasik berupa

hak sipil - politik 2) hak ekonomi dan 3)

hak sosial budaya. Sementara itu Sacipto

Raharjo membagi generasi HAM menjadi

tiga yaitu generasi pertama, yang meliputi

hak sipil dan politik, generasi kedua yang

meliputi hak sosial, ekonomi dan budaya,

dan generasi ketiga yang memuat

sejumlah hak-hak kolektif (Sacipto

Rahardjo, 2005).

Generasi pertama yaituHak-hak

Sipil dan Politik (Sipol) merupakan hak

yang dimiliki warga negara ketika

berhadapan dengan entitas negara yang

memiliki kedaulatan. Hak-hak yang

dimiliki warga negara sebagai warga sipil

dalam sebuah negara dan juga hak politik

warga , yang memiliki kedudukan yang

sama dalam pandangan negara, tidak ada

diskriminasi dan sebagainya dalam

kedudukannya sebagai warga negara

maupun sebagai subyek hukum. Hak Sipil

dan Politik dikemukakan dalam kovenan

internasional tahun 1966 oleh PBB yaitu

International Covenant on Civil and

Political Rights- ICCPR (Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan

Politik). Kovenan tersebut telah

diratifikasi oleh Indonesia dan

dituangkan ke dalam Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-hak

Sipil dan Politik. Kovenan ini merupakan

hasil tarik menarik antara kepentingan

Blok Barat dan Blok Timur pasca perang

dingin.

Generasi kedua yaitu Hak hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) .

Hak hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

95

merupakan hak asasi manusia yang

merepresentasikan manusia sebagai

mahluk yang mampu berkarya dan

membutuhkan perangkat tertentu untuk

dapat bertahan dalam kelanjutan

kehidupannya. Hak ekosob pada dasarnya

adalah sebuah kebutuhan tetapi dengan

adanya fenomena diskriminasi negara

kepada kaum yang lemah dengan alasan

untuk kepentingan lebih besar pasca

menguatnya rezim ekonomi global, maka

hak ekosob yang merupakan kebutuhan

pokok dapat menjadi hak untuk diklaim

kepada negara.

Hak ekonomi, sosial dan budaya

memiliki arti yang sangat penting bagi

kehidupan manusia karena beberapa

alasan berikut yaitu; a) hak ekosob

mencakup berbagai masalah paling utama

yang dialami oleh manusia sehari-hari

seperti makanan yang cukup, pelayanan

kesehatan dan perumahan yang layak

sebagai bagian dari kebutuhan pokok

(basic necessities) bagi seluruh umat

manusia; b) hak ekosob tidak dapat

dipisahkan dengan hak asasi manusia

yang lainnya; interdependensi hak asasi

manusia adalah realitas yang tidak bisa

dihindari saat ini; c) hak ekosob

mengubah kebutuhan menjadi hak atas

dasar keadilan dan martabat manusia.

Hak ekosob memungkinkan masyarakat

menjadikan kebutuhan pokok mereka

sebagai sebuah hak yang harus diklaim

(Agung Yudhawiranata, 2016). Hak

ekosob ini diatur pertama kali dalam

kovenan internasional yaitu International

Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights ICESCR (Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya) pada tahun 1966. Indonesia telah

meratifikasi kovenan tersebut dan

dituangkan dalam Undang-undang Nomor

11 Tahun 2005.

Generasi ketigamuncul seiring

dengan pembangunan dan kemajuan

dalam suatu negara yang terkadang

mengesampingkan dampak-dampak

buruk yang diakibatkan dan masyarakat

menjadi korban dari semua itu. Hak

kolektif meliputi hak atas

perkembangan/ kemajuan (development),

hak atas perdamaian, hak atas lingkungan

yang bersih, dan hak atas kekayaan alam,

hak atas warian budaya (Sacipto

Rahardjo). Keberadaan hak kolektif ini

sebagai reaksi terhadap proses

pembangunan dalam suatu negara.

Adanya kecenderungan diskriminasi dan

tidak adanya pemerataan dalam hal

pembangunan ekonomi, dan juga

infrastruktur, serta munculnya

ketidakadilan dengan mengorbankan

sekelompok masyarakat demi

pembangunan dan kemajuan kelopok

yang lain membuat hak kolektif ini

semakin dirasa penting.

Hak kolektif cenderung dilanggar

oleh negara yang sedang berkembang dan

gencar dalam membangun seperti di

Indonesia. Menurut Scott Davidson,

munculnya hak generasi ketiga atau hak

solidaritas dikaitkan dengan bangkitnya

nasionalisme Dunia Ketiga dan persepsi

negara-negara berkembang bahwa

tatanan internasional yang ada cenderung

memusuhi mereka. Hal ini juga dapat

dipandang sebagai tuntutan negara-negar

berkembang atas perlakuan yang lebih

adil (Scott Davidson). Burns Weston telah

mengidentifikasi bahwa setidaknya

terdapat 6 (enam) kategori hak generasi

ketiga antara lain yaitu; (1) hak atas

penentuan nasib sendiri di bidang

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

96

ekonomi,politik, sosial dan kultural; (2)

hak atas pembangunan ekonomi dan

sosial; (3) hak untuk berpartisipasi dalam

dan memperoleh manfaat dari Warisan

Bersama Umat Manusia (Common Heritage

of Mankind) serta informasi dan kemajuan

lain; (4) Hak atas perdamaian; (5) Hak

atas lingkungan yang sehat; (6) Hakatas

bantuan kemanusiaan (Scott Davidson).

Berbagai kasus pelanggaran HAM

dalam proses pembuatan waduk

Kedungombo, kerusakan lingkungan di

sekitar tambang emas Freeport, relokasi

kaum pinggiran dengan tidak diikuti

dengan ganti rugi yang memadai,

merupakan contoh kecil dari pelanggaran

hak kolektif oleh negara. Contoh-contoh

kejadian tersebut merupakan bentuk

kejahatan terhadap hak kolektif

masyarakat berupa kesejahteraan dan

kedamaian hidup dalam suasana yang

sehat. Salah satu penerapan dari hak

kolektif ini dapat ditemukan dalam

perundang-undangan yang mengatur

tentang hak-hak yang dimiliki oleh

masyarakat (Misalnya kita dapat

menemukan hak kolektif dalam UU Nomor

23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup , Pasal 37 ayat (1) yang

menyatakan; Masyarakat berhak

mengajukan gugatan perwakilan ke

pengadilan dan/atau melaporkan ke

penegak hukum mengenai berbagai

masalah lingkungan hidup yang

merugikan perikehidupan masyarakat”).

Menurut Hamid Awaluddin, HAM

berkembang sampai pada generasi

keempat. HAM dalam perspektif ini

acapkali diistilahkan dengan “Action plan

of human rights”. Generasi keempat HAM

mulai menggelinding dalam konferensi

HAM sedunia di Wina pada tahun 1993

yang dikenal dengan The Vienna

Declaration and Programme of Action”-

(VDPA). Dalam tahap ini, umat manusia

tidak lagi berbicara dalam kerangka

tuntutan kejelasan mengenai hak-hak

fundamental mereka. HAM dalam generasi

kempat ini sudah menuntut level aplikasi

di lapangan.

Dalam generasi keempat HAM ini

ada empat agenda utama yang selalu

mengemuka antara lain yaitu (Hamid

Awaluddin, 2012): 1) masalah impuniti;

2) tuntutan agar diperjelas lembaga-

lembaga negara yang secara khusus

menangani masalah-masalah HAM

sehingga rakyat bisa mengetahui nasib

mereka di bidang HAM; 3) terjadinya

tuntutan mengenai parameter yang jelas

tentang perilaku yang dinilai melanggar

HAM; 4) tuntutan mengenai pendidikan

HAM sangat menonjol; 5) tuntutan adanya

ikhtiar konkret untuk melindungi

kelompok-kelompok rentan tertentu

dalam masyarakat khususnya kelompok-

kelompok rentan seperti kaum

perempuan, anak-anak, orang tua,

penduduk asli, dan sebagianya.

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan upaya

untuk mencari dan menemukan

pengetahuan yang benar mengenai hukum.

Mencari dan menemukan itu tentu saja ada

caranya, yaitu melalui metode (M.

Syamsudin, 2007). Dalam penelitian ini

menggunakan penelitian normatif, yaitu

melakukan kajian terhadap berbagai

peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan Penyelesaian Kasus

Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan

Nasional dan Internasional serta Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi. Penelitian

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

97

hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan adalah penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau bahan sekunder belaka

(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

2001). Di dalam penelitian hukum normatif,

maka penelitian terhadap asas-asas hukum

dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum,

yang merupakan patokan-patokan

berprilaku atau bersikap tidak pantas

(Nomensen Sinamo, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prinsip-prinsip dalam Hak Asasi

Manusia

Di dalam HAM terdapat empat

prinsip dasar HAM yaitu; 1)kebebasan, 2)

kemerdekaan, 3) persamaan dan 4)

keadilan. Kebebasan merupakan

penghormatan yang diciptakan oleh Sang

Pencipta kepada martabat manusia selaku

ciptaan-Nya dimana manusia diberi

kebebasan oleh Tuhan untuk berkuasa.

Kemerdekaan memiliki arti bahwa

manusia telah diberikan kebebasan oleh

Sang Pencipta oleh karena itu manusia

harus dibiarkan meredeka dalam arti

tidak boleh dijajah, dibelenggu atau

dipasung dalam bentuk apapun.

Persamaan memiliki arti bahwa

setiap manusia berasal dari produk yang

sama sebagai ciptaan Tuhan maka

manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan

tidak boleh membedakan manusia yang

satu dengan lainnya. Atas dasar ini maka

dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan bahwa setiap manusia

berkedudukan sama di hadapan hukum

dan pemerintahan. Prinsip dasar keadilan

menunjukkan adanya persamaan di

hadapan hukum dan pemerintahan

sebagai ciri utama negara hukum dan

negara demokrasi. Tujuan utama dari

negara hukum dan negara demokrasi

adalah menjamin adanya keadilan dan

untuk menegakkan keadilan.

Prinsip keadilan ini juga didasarkan

pada teori keadilan. Menurut Van

Apeldoorn, terdapat dua macam keadilan

yaitu keadilan komutatif (kesamaan) dan

keadilan distributif (kesebandingan).

Keadilan komutatifadalah keadilan yang

memberikan jatah kepada setiap orang

sama banyak tanpa mengingat jasa-jasa

perseorangan. Keadilan distributif,

sebaliknya memberikan jatah kepada tiap-

tiap orang menurut jasanya.

Teori keadilan lainnya yang lebih

relevan dengan HAM adalah teori keadilan

dari John Rawls. Menurutnya, sekurang-

kurangnya terdapat tiga prinsip yang

mengatur tentang keadilan. Teori

keadilan Rawls (John Rawls

mengonsepsikan keadilan sebagai fairness

yang mengandung asas bahwa orang yang

merdeka dan rasional yang berkehendak

untuk mengembangkan kepentingan-

kepentingannya hendaknya memperoleh

suatu kedudukan yang sama pada saat

akan memulainya dan itu merupakan

syarat-syarat yang fundamental bagi

mereka untuk memasuki perhimpunan

yang mereka kehendaki. Dengan

pengertian tersebut, menurut Rawls

keadilan menjadi fairness (wajar, alamiah)

jika tatanan yang ada dapat diterima oleh

semua orang secara adil. Lewat

penerimaan dengan ikhlas semua tatanan

yang ada oleh semua golongan, kelompok ,

ras, etnik, agama tanpa tekanan, otomatis

tatatanan dalam masyarakat menjadi adil)

bertujuan untuk memberikan dasar dasar

bagi kerja sama sosial dalam masyarakat

bangsa yang pluralistik modern.

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

98

Menurutnya, pengaturan masyarakat

pluralistik modern tidak boleh didasarkan

atas suatu anutan nilai hidup tertetu

melainkan haruslah dikendalikan oleh

prinsip yang menjamin dan

mengekspresikan kepentingan bersama.

Prinsip inilah yang disebut dengan

keadilan sosial atau justice as fairness

(Bur Rasuanto, 2005).

Prinsip pertama menyatakan

bahwa setiap orang mempunyai hak yang

sama atas seluruh sistem kebebasan

pokok yang sama seluas-luasnya yang

dapat diselaraskan dengan sistem yang

sama bagi oranglain. Prinsip kedua

menyatakan bahwa ketimpangan

(ketidaksamaan sosial) dan ekonomi

harus diatur sedemikian rupa agar

menghasilkan manfaat seoptimal mungin

bagi mereka yang paling kurang (tidak

beruntung). Prinsip ketiga, menyediakan

suatu sistem akses yang sama untuk

semua jabatan dalam kesamaan peluang.

Melalui cara berpikir Rawls ini dapat

dipahami konsepsi umum tentang

keadilan yang fairness”, krn

menempatkan aspek kesamaan, baik

secara umum (the principle of greatest

equal liberty) maupun persamaan

kesempatan (the principle affair of

opportunity) dan ketimpangan atau

ketidaksamaan (the difference principle)

secara fair.

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi

Manusia (DUHAM)

Perumusan HAM ke dalam piagam

HAM Internasional (Bill of Rights) pada

awalnya dilakukan tahun 1946 atas

inisiatif Presiden Truman (Presiden

Amerika Serikat saat itu), bersama

dengan Komisi Hak Asasi Manusia PBB

(Comission of Human Rights-CRR) yang

mulai bersidang pada bulan Januari 1947

dengan Komisi Hak Asasi Manusia PBB

(Comission of Human Rights-CRR). Setelah

hampir dua tahun bekerja hasil kerja

Komisi HAM PBB disampaikan kepada

PBB. Pada 10 Desember 1948 , Sidang

Umum PBB di Istana Chaillot, Paris,

menerima hasil kerja komisi. Dari

perwakilan 58 negara dalam sidang

tersebut, 48 negara menyatakan setuju, 8

negara abstain dan 2 negara absen. Atas

persetujuan sebagian besar perwakilan

negara yang hadir maka dihasilkan

International Bill of Rights” dalam sebuah

deklarasi yang disebut dengan Universal

Declaraton of Human Rights UDHR

(Deklarasi Universal Hak-hak Asasi

Manusia- DUHAM) atau Pernyataan Umum

tentang Hak-hak Asasi Manusia.

Sebagai sebuah pernyataan ,

Piagam PBB baru mengikat secara moral

dan belum sepenuhnya yuridis. Meskipun

demikian, dokumen tersebut memiliki

pengaruh dan kekuatan moril, politik dan

pendidikan yang sangat besar yang

melambangkan komitmen moril dunia

pada norma-norma hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia (HAM) secara

universal mengalami perkembangan

yaitu; (1) Generasi Pertama, HAM Sipil dan

Politik; (2) Generasi Kedua, HAM Ekonomi

dan Sosial Budaya, (3) Generasi Ketiga,

HAM untuk Pembangunan Kolektif yaitu

hak hak negara secara kolektif untuk

berpartisipasi dalam pembangunan untuk

menikmati hasil-hasil pembangunan dan

untuk menentukan nasib sendiri (the

rights of self determination) (Endang

Sutrisno, 2007).

Adapun tujuan DUHAM antara lain

sebagai berikut; a) sebagai tolak ukur

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

99

(standar umum) prestasi bersama semua

rakyat dan semua bangsa ; b) sebagai

pengumuman resmi kepada semua negara

anggota PBB dan semua bangsa agar

memajukan dan menjamin pengakuan

dan pematuhan hak-hak dan kebebasan-

kebebasan yang termaktub di dalam

DUHAM; c) meskipun DUHAM bukanlah

sebagai convention atau “covenant

(perjanjian internasional) namun semua

anggota PBB secara moral berkewajiban

untuk menerapkannya (Max Boli Sabon).

Menurut DUHAM, terdapat (5) lima jenis

hak asasi yang dimiliki oleh setiap

individu yaitu; 1) hak personal (hak

jaminan kebutuhan pribadi); 2) hak legal

(hak jaminan perlindungan hukum); 3)

hak sipil dan politik; 4) hak substensi (hak

jaminan adanya sumber daya untuk

menunjang kehidupan); dan 5) hak

ekonomi , sosial dan budaya (A. Ubaedillah

& A.Rozak, 2015).

Pelaksanaan HAM telah diterapkan

ke dalam dua instrumen yaitu pertama,

kovenan hak-hak sipil dan politik atau

International Covenant on Civil and

Political Rights (ICCPR) dan kedua,

kovenan hak- hak ekonomi, sosial dan

budaya atau International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights

(ICESCR). Kovenan hak-hak sipil dan

politik (ICCPR) sebagaimana ditegaskan

ke dalam Pasal 3 s.d. Pasal 21 Universal

Declaration of Human Rights dapat

digolongkan ke dalam 5 kelompok HAM

yaitu: a) hak untuk hidup, memperoleh

kebebasan dan keselamatan individu; b)

hak pribadi (personal rights) yang meliputi

kebebasan menyatakan pendapat,

kebebasan memeluk agama, kebebasan

bergerak dan sebagainya; c) hak untuk

mendapatkan perlakuan yang sama di

hadapan hukum dan pemerintahan (rights

of egal equality); d) hakatas kebebasan

berkumpul secara damai (rights of

peacefull assembly); e) hak politik (political

rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam

pemerintahan, hak pilih (memilih dan

dipilih dalam pemilihan umum) (Max Boli

Sabon).

Sementara itu kovenan

internasional tentang Hak-hak Ekonomi,

Sosial dan Kebudayaan (ICESCR)

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22

s.d. 28 Universal Declaration of Human

Rights dapat digolongkan ke dalam 11

(sebelas) kelompok HAM yaitu: a) hak

atas pekerjaan (rights to work); b) hak

sosial dan kebudayaan (social and cultural

rights) yaitu ; a) hak atas pekerjaan

(rights to work); b) hak sosial dan

kebudayaan (social and cultural rights)

yaitu hak untuk memilih pendidikan,

mengembangkan kebudayaan dan

sebagainyal; c) hak atas upah yang sama

untuk pekerjaan yang sama (equal pay and

equal work); d) hak mendirikan dan

bergabung dalam serikat bekerja (form

and join trade unions); e) hak beristirahat

dan berlibur (rest and pleasure); f) hak

atas taraf hidup yang memadai untuk

kesehatan dan kesejahteraan dirinya

termasuk hak atas sandang, pangan,

papan serta perawatan kesehatan; g) hak

atas pendidikan bagi kaum ibu dan anak-

anak ; h) hak atas pendidikan, hak

prioritas orangtua untuk memilih jenis

pendidikan bagi anak-anaknya; i) hak

turut serta dalam kehidupan budaya

masyarakatnya; j) hak perlindungan atas

keuntungan-keuntungan moral dan

material yang diperoleh sebagai hasil

karya ilmiah, kesusasteraan atau

kesenian yang diciptakan; k) hak atas

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

100

tatanan sosial dan internasional, tempat

hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang

termaktub dalam Universal Declaration of

Human Rights tanggal 10 Desember agar

dapat dilaksanakan sepenuhnya (A.

Ubaedillah & A.Rozak, 2015).

Perkembangan Pemikiran HAM di

Indonesia

Wacana HAM di Indonesia telah

berlangsung seiring dengan berdirinya

Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Secara garis besar perkembangan

pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi

ke dalam dua periode yaitu periode

sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Pemikiran HAM dalam periode sebelum

kemerdekaan dapat dilihat dalam sejarah

kemunculan organisasi pergerakan

nasional, seperti Boedi Oetomo (1908)

Sarekat Islam (1911), Indische Partij

(1912), Partai Komunis Indonesia (1920),

Perhimpunan Indonesia (1925) dan Partai

Nasional Indonesia (1927). Lahirnya

organisasi-organisasi pergerakan nasional

tersebut tidak bisa dilepaskan dari

sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan

oleh penguasa kolonial, penjajahan dan

pemerasan terhadap hak-hak masyarakat

Indonesia. Puncak perdebatan HAM yang

dilontarkan oleh para tokoh pergerakan

nasional seperti Soekarno, Agus Salim,

Mohamad Natsir, Mohammad Yamin, K.H.

Mas Mansur, K.H. Wachid Hasyim, Mr.

Maramis terjadi dalam siding-sidang

BPUPKI .

Dalam sidang BPUPKI tersebut

para tokoh nasional berdebat dan

berunding merumuskan dasar-dasar

ketatanegaraan dan kelengkapan negara

yang menjamin hak dan kewajiban negara

dan warga negara dalam negara RI yang

hendak diproklamirkan.Satu hal yang

menarik bahwa meskipun UUD 1945

adlah hukum dasr tertulis yang di

dalamnya memuat hak-hak dasar

manusia Indonesia serta kewajiban-

kewajiban yang bersifat dasar pula, tetapi

istilah perkataan HAM itu sendiri tidak

dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam

Pembukaan, Batang Tubuh maupun

Penjelasannya karena yang ada hanyalah

hak dan kewajiban warga Negara (Majda

El Muhtaj, 2005). Pemikiran HAM pada

periode awal pasca kemerdekaan masih

menekankan pada wacana hak untuk

merdeka, hak kebebasan untuk berserikat

melalui organisasi politik yang didirikan

serta hak kebebasan untuk menyampaikan

pendapat terutama di parlemen.

Pemikiran HAM pada periode

1950-1959 (masa demokrasi parlementer)

memasuki masa yang sangat kondusif bagi

sejarah perjalanan HAM di Indonesia.

Menurut catatan Bagir Manan, masa

gemilang sejarah HAM di Indonesia pada

masa ini tercermin pada 5 (lima) indikator

HAM yaitu; a) munculnya partai-partai

politik dengan beragam ideologi; b)

adanya kebebasan pers; c) pelaksanaan

pemilihan umum secara aman, bebas dan

demokratis; d) Kontrol parlemen atas

eksekutif; e) Perdebatan HAM secara

bebas dan demokratis. Berbagai partai

politik yang berbeda haluan dan ideologi

sepakat tentang substansi HAM Universal

dan pentingnya HAM masuk ke dalam

UUD 1945.

Selanjutnya pemikiran HAM

memasuki periode 1959-1966 melalui

sistem demokrasi terpimpin yang terpusat

pada kekuasaan Presiden Soekarno.

Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy)

tidak lain sebagai bentuk penolakan

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

101

Presiden Soekarno terhadap sistem

Demokrasi Parlementer yang dinilainya

sebagai produk Barat. Menurut Soekarno,

Demokrasi Parlementer tidak sesuai

dengan karakter bangsa Indonesia yang

telah memiliki tradisinya sendiri dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Melalui sistem demokrasi

terpimpin, kekuasaan terpusat di tangan

Presiden. Presiden tidak dapat dikontrol

oleh parlemen, sebaliknya parlemen

dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan

Presiden Soekarno bersifat absolut,

bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI

seumur hidup. Akibat langsung dari model

pemerintahan yang sangat individual ini

adalah pemasungan terhadap hak-hak

asasi warga negara. Semua pandangan

politik masyarakat diarahkan harus

sejalan dengan kebijakan pemerintah yang

otoriter.

Pada masa 1966-1998, periode

pemikiran HAM memasuki masa

kepeimpinan Orde Baru. Orde Baru pada

awalnya menjanjikan harapan baru bagi

penegakan HAM di Indonesia. Berbagai

seminar tentang HAM dilakukan oleh

Orde Baru. Namun kenyataannya, Orde

Baru telah menorehkan sejarah hitam

pelanggaran HAM di Indonesia.

Pelanggaran HAM Orde Baru dapat

dilihat dari kebijakan politik Orde Baru

yang bersifat sentralistik dan anti segala

gerakan politik yang berbeda dengan

pemerintah. Di antara butir penolakan

pemerintah Orde Baru terhadap konsep

universal HAM adalah: a) HAM adalah

produk pemikiran Barat yang tidak sesuai

dengan nilai nilai luhur budaya bangsa

yang tercermin dalam Pancasila; b)

Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu

mengenal HAM sebagaimana tertuang

dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih

dahulu dibandingkan Deklarasi Universal

HAM; c) Isu HAM seringkali digunakan

oleh negara-negara Barat untuk

memojokkan negara yang berkembang

seperti Indonesia.

Pada masa pemerintahan Presiden

Soeharto, di era Orde Baru tidak dikenal

istilah partai oposisi bahkan sejumlah

gerakan yang berlawanan dengan

kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti

pembangunan bahkan anti- Pancasila.

Melalui pendekatan keamanan (security

approach) dengan cara cara kekerasan

yang berlawanan dengan prinsip-prinsip

HAM, pemerintah Orde Baru tidak segan-

segan menumpas segala bentuk aspirasi

masyarakat yang dinilai berlawanan

dengan pemerintahan Orde Baru. Inilah

yang menyebabkan pada masa ini, banyak

bermunculan berbagai kasus pelanggaran

HAM seperti kasus Tanjung Priok, Kedung

Ombo, Lampung, dan Aceh yang

merupakan segelintir dari dafter

pelanggaran HAM yang pernah dilakukan

oleh penguasa Orde Baru.

Upaya penegakan HAM oleh

kelompok-kelompok non-pemerintah

melalui Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) membuahkan hasil yang

menggembirakan. Akibat kuatnya

tuntutan penegakan HAM dari kalangan

masyarakat akhirnya mengubah pendirian

pemerintah Orde Baru untuk bersikap

lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM.

Satu di antara sikap akomodatif

pemerintah tercermin dalam persetujuan

pemerintah terhadap pembentukan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) melalui Keputusan

Presiden (Keppres). Kehadiran Komnas

HAM adalah untuk memantau dan

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

102

menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi

pendapat, pertimbangan dan saran kepada

pemerintah perihal pelaksanaan HAM.

Lembaga ini juga membantu

pengembangan dan pelaksanaan HAM

yang sesuai dengan Pancasila dan UUD

1945.

Meskipun telah dibentuk Komnas

HAM namun komitmen Orde Baru untuk

melaksanakan HAM secara murni dan

konsekuen masih jauh dari harapan

masyarakat, bahkan masa pemerintahan

Orde Baru sarat dengan pelanggaran HAM

yang dilakukan oleh aparat negara atas

warga negara. Hal inilah yang

menyebabkan kuatnya tuntutan terhadap

Presiden Soeharto untuk mundur dari

tampuk kepresidenan yang disuarakan

oleh kelompok reformis dan mahasiswa

pada tahun 1998 melalu isu isu

pelanggaran HAM dan penyalahgunaan

kekuasaan dalam berbagai tuntutan

reformasi yang disuarakan oleh pelopor

reformasi Dr. Amin Rais, tokoh intelektual

muslim Indonesia yang sangat kritis

terhadap kebijakan pemerintah Orde

Baru.

Tahun 1998 merupakan salah satu

era terpenting dalam sejarah HAM di

Indonesia yang ditandai dengan

lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru

sekaligus menandai berakhirnya rezim

militer di Indonesai dan datangnya era

demokrasi dan HAM, setelah selama

kurang lebih 30 (tigapuluh) tahun

lamanya terpasung di bawah rezim

otoriter. Pada masa ini, kepemimpinan

Presiden Soeharto digantikan oleh B. J.

Habibie yang saat itu menjabat sebagai

Wakil Presiden RI. Menyusul berakhirnya

pemerintahan Orde Baru, pengkajian

terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru

yang bertentangan dengan prinsip-prinsip

HAM dalam kehidupan ketatanegaraan

dan kemasyarakatan. Tak kalah penting

dari perubahan perundangan, pemerintah

di era reformasi ini juga melakukan

ratifikasi terhadap sejumlah instrument

HAM Internasional untuk mendukung

pelaksanaan HAM di Indonesia.

Pasca jatuhnya rezim Soeharto

pada Mei 1998 , hal ini telah membuka

babak baru perjuangan penegakan HAM

di Indonesia setelah terpasung selama

hampir tiga puluh tahun. Momentum

kejatuhan rezim otoritarian ini

memunculkan desakan terbuka dari

kekuatan pro-demokrasi terhadap rezim

sesudahnya (era kepemimpinan B. J.

Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan

Jokowi) untuk melakukan langkah-

langkah hukum dan politik yang tegas,

jelas dan terarah bagi perlindungan HAM

di Indonesia khususnya penyeleasian

pelanggaran berat HAM di masa lalu

(Suparman Marzuki, 2012).

Adapun mandat yang dibebankan

kepada pemerintahan era reformasi

adalah menyelesaikan Pelanggaran HAM

yang berat pada masa lalu yang terjadi di

era Orde Baru. Mandat tersebut tertuang

dalam TAP MPR No. V/MPR/2000 dan UU

No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM. Di dalam UU No. 26 Tahun 2000

disediakan dua jalan (avenue) yaitu:

pertama, melalui pengadilan HAM ad hoc ,

kedua, melalui Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana yang

dijelaskan dalam Pasal 43 UU No. 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

yaitu; (1) Pelanggaran HAM yang berat

yang terjadi sebelum diundangkannya

undang-undang ini diperiksa dan diputus

oleh Pengadilan HAM ad hoc; (2)

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

103

Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas

usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu

dengan Keputusan Presiden; (3)

Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) berada di

lingkungan Peradilan Umum.

Selanjutnya Pasal 47 UU No. 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

menjelaskan yaitu; (1) Pelanggaran HAM

yang berat yang terjadi sebelum

berlakunya undang-undang ini tidak

menutup kemungkinan penyelesaiannya

dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi; (2) Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-

undang (Penjelasan Pasal 43 dan 47

menerangkan: “ Ketentuan dalam Pasal ini

dimaksudkan untuk memberikan

alternatif penyelesaian pelanggaran HAM

yang berat yang dilakukan di luar

Pengadilan HAM”).

Kesungguhan pemerintahan

B.J.Habibie dalam perbaikan pelaksanaan

HAM ditunjukkan dengan pencanangan

program HAM yang dikenal dengan istilah

Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)

pada pada 25 Juni 1998 yang ditetapkan

oleh Keppres No. 129 Tahun 1998 pada

15 Agustus 1998. Agenda ini

bersandarkan pada empat pilar yaitu; (1)

Persiapan pengesahan perangkat

Internasional di bidang HAM; (2)

Diseminasi informasi dan pendidikan

bidang HAM; (3) Penentuan skala prioritas

pelaksanaan HAM; (4) Pelaksanaan isu

perangkat Internasional di bidang HAM

yang telah diratifikasi melalui perundang-

undangan nasional (A. Ubaedillah & Abdul

Rozak, 2015).

Substansi Pasal 43 dan 47

tersebut di atas adalah Pelanggaran HAM

yang berat yang terjadi sebelum adanya

UU Pengadilan HAM dapat diselesaikan

melalui Pengadilan HAM ad hoc atau

melalui KKR. Inilah politik hukum HAM

transisional atau dalam konsep Moh.

Mahfud MD disebut dengan politik

hukum HAM jangka pendek yang dibuat

oleh pemerintahan Pasca OrdeBaru guna

menyelesaikan pelanggaran HAM yang

berat yang terjadi pada masa rezim

terdahulu.

Namun sayangnya, meskipun

pengadilan HAM ad hoc telah dilakukan

terhadap Pelanggaran HAM yang berat di

Timor Timur dan Tanjung Priok, kedua

pengadilan HAM ad hoc tersebut berakhir

mengecewakan dan hanya menjadi

pengadilan pura pura (sham prosecution)

hanya sekedar mekanisme yang diadakan

untuk memenuhi tuntutan nasional dan

internasional serta memanfaatkan klausul

pengutamaan pengadilan domestik atas

pengadilan Internasional, dimana dalam

pengadilan ini semua pelaku dibebaskan,

baik di tingkat Pengadilan Negeri,

Pengadilan Banding, Pengadilan Kasasi

maupun Pengadilan Peninjauan Kembali

(KP), yang pelakunya juga dibebaskan

seperti Eurico Gueteres.

Salah satu penyebab mengapa sulit

dilakukan peradilan terhadap pelanggaran

HAM berat seperti yang telah dialami oleh

negara negara di Afrika, Amerika Latin,

Eropa Timur dan Asia, karena

pelanggaran HAM melibatkan rezim

pemerintahan yang berkuasa dalam waktu

yang sangat panjang, sehingga hal ini

menjadi kendala di dalam proses

peradilan. Kesulitan tersebut antara lain:

a) kesulitan pembuktian jika penyekesaian

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

104

akan dilakukan melalui jalur hukum

(pengadilan) atau disebut kesulitan teknis

prosedural ; b) adanya hadangan

kekuatan politik pendukung rezim

terdahulu, terutama militer atau disebut

kendala politis; c) tantangan dari

kelompok masyarakat tertentu termasuk

sebagian korban atau keluarga korban

yang tidak menginginkan mengungkit

kembali kasus masa lalu, dengan alasan

hanya membuka luka lama. Contoh

sebagian para korban dan keluarga

korban Tanjung Priok, termasuk kasus

kasus lain yang belum memasuki proses

hukum seperti kasus Talangsari Lampung,

tidak menghendaki kasus itu diungkit

kembali. Mereka cenderung memilih

untuk melupakan, melihat ke depan dan

tidak lagi menoleh ke belakang (Suparman

Marzuki).

Kesulitan pembuktian atau teknis

prosedural pada kejahatan HAM

merupakan sesuatu yang sudah lazim

terjadi pada kasus-kasus pelanggaran

HAM karena kejahatan itu bukan

kejahatan biasa (konvensional) tetapi

kejahatan politik atau kejahatan dengan

motif politik dari sebuah rezim yang

dilakukan secara terencana, rahasia dan

sistematis, termasuk dalam

menghilangkan jejak kejahatannya. Selain

itu lamanya jarak waktu antara terjadiya

peristiwa denagn pengusutan berakibat

pada sulitnya mencari alat bukti yang

rusak, hilang, daya ingat saksi yang

berkurang atau bahkan hilang,

dihilangkan atau meninggal dunia.

Sementara itu kendala politik berupa

tekanan, intimidasi , pengaruh dan

ancaman kekuatan politik rezim lama

menjadi masalah yang umumnya akan

mempengaruhi rezim baru.

Rezim pengganti akan dihantui

oleh ketakutan pada militer yang akan

melakukan kudeta, dan mengembalikan ke

rezm otoritarian baru atau melakukan

tindakan tindakan liar yang dimaksudkan

untuk mengacaukan tatanan sosial,

ekonomi , hukum dan politik yang sedang

dibangun. Potensi kekuatan rezim lama

untuk mencegah rezim baru untuk dapat

melakukan langkah-langkah hukum

mengusut kejahatan HAM yang pernah

mereka lakukan tidak dapat diabaikan

karena kekuatan mereka terletak pada

pengaruh politik mereka yang kuat .

Di Parlemen sebagaimana yang

pernah terjadi, pada periode 1999-2004,

Golkar dan TNI-Polri masih merupakan

kekuatan politik riil di Parlemen karena

dengan 120 kursi, ditambah 62 kursi dari

utusan daerah, ditambah 38 kursi TNI

Polri jelas memiliki pengaruh politik yang

signifikan dalam parlemen. Sementara itu,

unsur PNS dan keluarga besarnya sejak

Pemilu 1971 menjadi kekuatan besar

bagi Golkar dan ini diakui oleh Akbar

Tanjung sebagai salah satu penentu

kemenangan Golkar pada pemilu-pemilu

Orde Baru.

Kekuatan rezim Orde Lama tidak

hanya terletak pada pengaruh politik dan

eksekutif (birokrasi sipil) atau lembaga

yudikatif tetapi juga pada kekuatan

ekonomi dan ideologis. Melalui dua unsur

utama pendukung Status Quo Orde Baru

tersebut upaya blokade atau

penghambatan terhadap penyelesaian

hukum atas kasus-kasus masa lalu bisa

mereka lakukan dengan pelbagai cara,

mulai pemandulan aturan hukum

material dan formal, mengacaukan opini

publik dengan memanipulasi informasi

melalui media massa, sampai pada

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

105

tindkaan tindakan fisik berupa

penculikan, pembunuhan atau kekacauan.

Kegagalan pengadilan HAM ad hoc

meminta pertanggungjawaban hukum

pidana pelanggaran HAM , lambannya

pembentukan UU KKR, yang kemudian

berujung pembatalan UU tersebut oleh

MK merupakan keberhasilan rezim lama

dalam mengamankan kejahatannya.

Rangkaian kegagalan itu sekaligus

kegagalan politik hukum HAM transisional

yang dimasudkan mengantarkan rezim

baru menuju negara hukum demokratis

di atas terbangunnya politik hukum HAM

bagi penghormatan, perlindungan dan

penegakan HAM.

Komitmen pemerintah RI terhadap

penegakan HAM tidak hanya ditunjukkan

dengan pengesahan UU tentang HAM,

yaitu UU No. 39 tahun 1999 dan UU No. 26

tahun 2006 tentang Pengadilan HAM,

pembentukan Kantor Menteri Negara

Urusan HAM yang kemudian digabung

dengan Departemen Hukum dan

Perundang-undangan menjadi

Departemen Kehakiman dan HAM,

penambahan pasal-pasal khusus tentang

HAM dalam Amandemen UUD 195,

penerbitan inpres tentang

pengarusutamaan gender dalam

pembangunan nasional, pengesahan UU

tentang Pengadilan HAM.

Pada tahun 2001 Indonesia juga

menandatangani dua Protokol Hak Anak

yaituprotokol yang terkait dengan

larangan perdagangan, prostitusi dan

pornografi anak serta protokol yang

terkait dengan keterlibatan anak dalam

konflik bersenjata. Menyusul kemudian

pada tahun yang sama pemerintah

membuat beberapa pengesahan UU

diantaranya tentang perlindungan anak,

pengesahan tentang penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga dan

penerbitan keppress tentang Rencana Aksi

Nasional (RAN) HAM Indonesia tahun

2004-2009 (A. Ubaedillah & A.Rozak,

2015).

Politik hukum HAM terus

berlanjut dengan diberlakukannya UU No.

39 tahun 1999 tentang HAM sebagai

implementasi TAP XVII/MPR/1998.

Selanjutnya di era pemerintahan Gus Dur ,

pemerintah mengeluarkan UU No. 26

tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang

memuat ketentuan prinsip retroaktif

sehingga memungkikan dilakukannya

proses hukum terhadap berbagai kasus

pelanggaran berat HAM yang terjadi pada

masa lalu. Atas dasar itulah maka

pemerintahan Gus Dur membentuk

Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta,

Surabaya, Medan dan Makassar melalui

Keppres No. 31 Tahun 2001 untuk

mengadili pelanggaran HAM yang terjadi

di Timor-Timur dan Tanjung Priok

(Suparman Marzuki).

Kebijakan hukum HAM

pemerintahan era reformasi untuk

menyelesaikan pelanggaran HAM pada

masa lalu merupakan salah satu kemajuan

dalam perkembangan HAM di Indonesia

sekaligus menjadi langkah politik hukum

HAM yang strategis . Bagi kelompok pro

demokrasi, penyelesaian melalui

mekanisme hukum dalam bentuk

mengadili pelaku merupakan pilihan yang

tepat untuk menghilangkan kekebalan

hukum (impunity) atau “perlakuan

istimewa” terhadap para pemimpin

negara dan aparat negara tingkat tinggi

yang melanggar HAM di masa lalu.

Keberadaan pengadilan HAM juga penting

untuk menunjukan supremasi nilai-nilai,

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

106

asas-asas dan norma-norma negara

hukum dan demokrasi. Kegagalan

mengadili dapat menyebabkan

ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem

politik yang dibangun oleh pemerintah

sehingga tidak mencerminkan

pelaksanaan demokrasi yang

sesungguhnya di Indonesia.

Salah satu masalah utama yang

menjadi batu ganjalan di dalam upaya

penyelesaian kasus pelanggaran HAM

masa lalu adalah persoalan apakah kasus

kasus tersebut dapat diselesaikan dengan

mekanisme formal, prosedural, dan

normatif. Kekhawatiran ini beralasan

karena telah terbukti terjadi di banyak

negara negara di Eropa maupun Asia yang

mengalami masa transisional, penggunaan

mekanisme hukum di dalam menyelidiki

dan mengadili kejahatan HAM masa lalu

yang pelakunya kebanyakan dari kalangan

militer memang tidak mudah. Itulah

sebabnya TAP MPR No. V/MPR/2000 Bab

V angka 3 dan UU No. 26 TAhun 2000

tentang Pengadilan HAM Pasal 47 beserta

penjelasannya sudah menyediakan

alternatif berupa mekanisme Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) yang

kemudian diatur dalam UU No. 27 Tahun

2004, tetapi belum sempat digunakan

karena terlanjur dibatalkan oleh

Mahkamah Konstitusi (MK) (Suparman

Marzuki). Padahal seyogyanya, mekanisme

KKR ini diharapkan dapat

mengungkapkan kebenaran (telling truths)

dan sebagai upaya penyembuhan (healing)

atas berbagai pelanggaran HAM yang

pernah terjadi pada masa lampau sehingga

berbagai kasus pelanggaran HAM dapat

dibongkar dan para korban kasus

pelanggaran HAM berat dapat terobati.

Selanjutnya komitmen pemerintah

Indonesia terhadap penegakan HAM juga

ditunjukkan dengan memasukkan pasal-

pasal yang mengatur tentang HAM seperti

yang tertuang dalam Pasal 28 A sampai

28 J dalam Amandemen I sampai V UUD

1945 sehingga hal ini menunjukkan bahwa

HAM sudah menjadi bagian dan komitmen

dari bangsa Indonesia. Hal ini juga

dipertegas dengan dibentuknya UU

tentang HAM yaitu UU No. 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26

tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia untuk mengadili berbagai kasus

pelanggaran HAM (Endang Sutrisno).

Pada Ketetapan MPR No.

IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar

Haluan Negara (GBHN) khususnya Bab IV

tentang kebijakan, sub bab A tentang

hukum, terdapat sekurang-kurangnya

empat butir yang mengatur tentang HAM

yaitu; (1) menegakkan hukum secara

konsisten untuk lebih menjamin

kepastian hukum, keadilan dan kebenaran,

supremasi hukum serta menghargai HAM;

(2) melanjutkan ratifikasi konvensi HAM

Internasional sesuai kebutuhan dan

kepentingan bangsa dalam bentuk UU; (3)

meningkatkan pemahaman, penyadaran,

perlindungan, penghormatan dan

penegakan HAM dalam seluruh aspek

kehidupan; (4) menyelesaikan berbagai

proses peradilan terhadap pelanggaran

HAM yang belum ditangani secara tuntas.

Penegakan hukum HAM untuk

menyelesaikan pelanggaran HAM yang

berat pada masa lalu melalui pengadilan

dalam pengalaman banyak negara pada

umumnya terkendala oleh sulitnya

mencari alat bukti dan saksi karena

kasusnya telah melampaui waktu yang

relatif lama, tidak bisa menjangkau kasus

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

107

dalam jumlah besar, memakan waktu lama

dan berlarut-larut , berpotensi gagal

akibat kegagalan memenuhi syarat-syarat

hukum formal dari proses hukum itu

sendiri serta tidak objektif akibat cara

berpikir dan menilai dari aparatur

penegak hukum terhadap kasus

terkontaminasi oleh rezim sebelumnya

(Suparman Marzuki). Penegakan hukum

terhadap kasus pelanggaran HAM berat di

masa lampau juga cenderung bersifat

normatif (legalistis) hanya mengacu pada

terpenuhinya unsur materil tindakan serta

prosedur dan mekanisme hukum tanpa

menghiraukan adanya aspek-aspek

sosial, moral , politik , kultural dan

manusia sebagai pelaksana hukum

sehingga menjadi kendala di dalam

penyelesaian pelanggaran HAM berat di

masa lalu.

Mekanisme Penyelesaian Kasus

Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Hingga saat ini tidak terdapat

pengertian tunggal mengenai konsep

pelanggaran HAM sekalipun di kalangan

para ahli terdapat semacam kesepakatan

umum bahwa pelanggaran HAM dimaknai

sebagai”pelanggaran terhadap kewajiban

negara yang lahir dari instrument-

instrumen internasional HAM”.

Pelanggaran terhadap kewajiban negara

itu dapat dilakukan dengan perbuatannya

sendiri (acts of commission) ataupun

karena kelalaiannya sendiri (acts of

omission). Dalam rumusan lain,

pelanggaran HAM adalah “tindakan atau

kelalaian oleh negara terhadap norma

yang belum dipidana dalam hukum pidana

Internasional tetapi merupakan norma

HAM yang diakui secara Internasional” (C.

de Rover, 2000).

Dari rumusan di atas terlihat

bahwa pihak yang bertanggung jawab

adalah negara, bukan individu atau badan

hukum lainnya. Hal yang menjadi titik

tekan dalam pelanggaran HAM adalah

tanggung jawab negara (state

responsibility). Konsep tanggungjawab

negara dalam hukum Internasional

biasanya dipahami sebagai “tanggung

jawab yang timbul akibat pelanggaran

hukum internasional oleh negara”. Akan

tetapi dalam kaitannya dengan hukum

HAM Internasional, pengertian tanggung

jawab negara bergeser maknanya menjadi

tanggung jawab yang timbul akibat dari

pelanggaran terhadap kewajiban untuk

melindungi dan menghormati HAM oleh

negara”. Kewajiban yang dimaksud itu

adalah kewajiban yang lahir dari

perjanjian-perjanjian internasional HAM

ataupun dari hukum kebiasaan

internasional (International Customary

Law) khususnya norma-norma hukum

kebiasaan internasional yang memiliki

sifat “jus cogens”.

Rumusan pelanggaran HAM

tersebut tidak identik dengan “kejahatan

internasional paling serius atau “the most

serious international crimes”. Meskipun

kejahatan internasional seperti genosida,

kejahatan terhadap kemanusiaan, agresi,

terorisme dan kejahatan perang bisa

disebut sebagai “pelanggaran HAM” ia

tidak dapat begitu saja disamakan dengan

pelanggaran HAM sebab

pertanggungjawabannya sangat berbeda

(Suparman Marzuki).

Definisi dari pelanggaran HAM

telah tertuang di dalam Pasal 1 butir 6 UU

No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang

menjelaskan bahwa Pelanggaran HAM

adalah setiap perbuatan seseorang atau

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

108

kelompok orang termasuk aparat Negara

baik disengaja maupun tidak disengaja

atau kelalaian yang secara melawan hak

hukum, mengurangi, menghalangi,

membatasi, dan atau mencabut hak asasi

manusia seseorang atau kelompok orang

yang dijamin oleh Undang-Undang ini,

dan tidak mendapat , atau dikhawatirkan

tidak akan memperoleh penyelesaian

hukum yang adil dan benar, berdasarkan

mekanisme hukum yang berlaku”.

Rumusan tentang pelanggaran

HAM tersebut di atas menurut Titon

Slamet kurang tepat karena secara

teoretis tidak mengacu pada konsep

normatif HAM yang melihat faktor

kekuasaan negara sebagai masalah.

Konsep HAM secara normatif bertujuan

untuk mencegah kemungkinan terjadinya

penyalahgunaan wewenang dan

kekuasaan koersif negara. Dengan

mengaitkan pelanggaran HAM dan

kekuasaan negara maka terdapat dua jenis

pelanggaran HAM yaitu dengan tindakan

action/commission) dan pendiaman

(omission) yang ketika pelanggaran

dilakukan oleh individu atau kelompok

orang yang bukan aparat negara namun

negara melalui aparat negara tidak

bertindak, baik preventif maupun represif

(Suparman Marzuki).

Dalam satu pertemuan dari para

30 ahli yang diselenggarakan di Maastricht

pada 22-26 Januari 1997 dan

menghasilkan Maastricht Guidelines”

sebagai pedoman untuk mengelaborasi

prinsip prinsip Limburg tentang

implementasi Kovenan Internasional

tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

sebagai sifat dan lingkup pelanggaran hak

hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,

menjelaskan bahwa pelanggaran hak asasi

bagi pelaku negara (state actors) atau non

negara (non state actors) dapat terjadi

melalui tindakan untuk melakukan (acts of

comission) oleh negara atau pihak lain

yang tidak diatur secara memadai oleh

negara atau tidak melakukan tindakan apa

pun (acts of commission) oleh Negara

(Suparman Marzuki).

Pelanggaran HAM oleh negara, baik

yang bersifat “acts of omission” maupun

acts of commission”, dapat dilihat melalui

kegagalan memenuhi 3 (tiga) kewajiban

yang berbeda yaitu sebagai berikut:

1. Kewajiban untuk menghormati.

Kewajiban ini menuntut negara ,

organ dan aparat negara untuk

tidak bertindak apapun yang

melanggar integritas individu atau

kelompok atau pelanggaran pada

kebebasan mereka seperti ; (a)

pembunuhan di luar hukum; b)

penahanan serampangan; c)

pelarangan serikat buruh; d)

pembatasan terhadap praktik

agama tertentu.;

2. Kewajian untuk melindungi.

Kewajiban ini menuntut negara dan

aparatnya untuk melakukan

tindakan yang memadai guna

melindungi pelanggaran hak hal

individu atau kelompok termasuk

pencegahan atau pelanggaran atas

penikmat kebebasan mereka.

Contoh jenis pelanggaran ini adalah

acts of commission” dalam bentuk ;

(a) kegagalan untuk bertindak,

ketika satu kelompok etnis tertentu

menyerang kelompok etinis

tertentu lainnya; (b) kegagalan

untuk memaksa perusahaan untuk

membayar upah yang tepat

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

109

3. Kewajian untuk memenuhi.

Kewajiban ini menuntut negara

untuk melakukan tindakan yang

memadai, guna menjamin setiap

orang di dalam peluang

yurisdiksinya untuk memberi

kepuasan kepada mereka yang

memerlukan , yang telah dikenal di

dalam instrument hak asasi dan

tidak dapat dipenuhi oleh upaya

pribadi. Contoh jenis ini adalah

acts of omission seperti ; (a)

kegagalan untuk memenuh sistem

perawatan kesehatan dasar; (b)

kegagalan untuk

mengimplementasikan satu sistem

pendidikan gratis pada tingkat

primer

Satuan-satuan (entitas) bukan

pemerintah juga bisa menjadi pelaku

pelanggaran Hak Asasi Manusia

sebagaimana yang dilakukan oleh Negara

atau agen-agen Negara yang bertentangan

dengan kewajiban untuk menghormati

kebebasan individual atau kelompok.

Contoh tindakan oleh satuan bukan negara

yaitu; a) pembunuhan penduduk sipil oleh

tentara pemberontakan;b) pengusiran

komunitas yang dilakukan oleh

perusahaan transnasional; c) serangan

bersenjata oleh salah satu pihak melawan

pihak lain; d) serangan fisik mendadak

oleh pengawal pribadi melawan para

pemrotes.

Sementara itu, tindakan

pelanggaran oleh agen bukan negara(non-

negara) dalam wilayah hak hak ekonomi,

sosial dan budaya antara lain;a)

merancang tingkat upah yang lebih rendah

daripada yang dinyatakan di dalam

perundang-undangan; b) kebijakan yang

bersifat diskriminatif di dalam

pengangkatan buruh atau pekerja atau

karyawan; c) pembuangan zat pencemar.

Meskipun terdapat perbedaan dari sisi

pelaku antara pemerintah dan non-

pemerintah, sebagian besar para ahli

berpendapat bahwa pelanggaran hak asasi

harus dilekatkan hanya pada pemerintah

karena tindakan tindakan pelaku bukan

pemerintah dilihat sebagai tanggung

jawab negara yang dianggap gagal

mencegah atau melawan tindakan

tindakan itu.

Sebagaimana konsep pelanggaran

HAM, pada konsepsi pelanggaran HAM

yang berat juga tidak terdapat satu

pemahaman yang disepakati secara

umum dan menjadi standar untuk

dipergunakan setiap kali menyebut

istilah “pelanggaran HAM yang berat”.

Menurut pendapat Suparman Marzuki,

istilah “pelanggaran HAM berat”

biasanya ditujukan terhadap kejahatan

genosida, kejahatan perang, dan kejahatan

terhadap kemanusiaan (Eddy, O.S., Hiariej,

2010). Ketiga jenis kejahatan inilah yang

merupakan Pelanggaran HAM yang berat,

dan dapat dikualifikasikan sebagai delicta

jure gentium (Istilah Delicta Jure Gentium

digunakan untuk menggantikan istilah

Hostis Humanis Generis’ yang berasal dari

istilah lain yang lebih tua yaitu

Commune hostis hone atau musuh umat

manusia’. Istilah tersebut pertama kali

disampaikan oleh Cicero yang tercermin

dalam hukum Romawi abad ke-16. Istilah-

istilah tersebut diberikan kepada pelaku

kejahatan Internasional). Kejahatan-

kejahatan yang demikian juga merupakan

pengingkaran terhadap jus cogens (Jus

Cogens adalah hukum pemaksa yang

harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab

di dunia sebagai prinsip dasar yang umum

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

110

dalam hukum Internasional yang

berkaitan dengan moral).

Dalam istilah asing terdapat

beberapa istilah yang menggambarkan

pelanggaran HAM berat yaitu gross and

systematic violations”, “the most serious

crimes”, gross violations”, grave

violations”, “grave violations”, atau lebih

sering dikenal dengan sebutan gross

violation of human rights”.H.Victor conde

merumuskan pelanggaran HAM berat

sebagai (H. Victor Conde, 1999):

A term uses but not well defined in

human rights resolutions , declarations,

and treaties but generaly meaning

systematic violations of certain human

rights norms of a more serious nature ,

such as apartheid, racial discrimination,

murder, slavery, genocide, religious

persecution an a massive scale committed

as a matter of official practice. Gross

Violation result in irreparable harm to

victims.

Sementara itu terdapat pandangan

bahwa apa yang dianggap sebagai

pelanggaran HAM yang berat adalah

sesuatu yang langsung mengancam

kehidupan atau integritas fisik seseorang.

Penggunaan kata “berat” disini mengacu

pada tiga hal yang bersifat kumulatif yaitu

; (a) menunjuk pada seriusnya perbuatan

atau tindakan, baik dalam arti jenis

perbuatan , cara maupun metode

tindakan; (b) akibat yang ditimbulkan ;(c)

pada jumlah korban. Kualifikasi lainnya

untuk menyatakan suatu pelanggaran

HAM masuk kategori berat atau bukan

didasarkan juga pada sifat kejahatan,

yaitu sistematis (systematic) dan meluas

(widespread). Sistematis dikonstruksikan

sebagai suatu kebijakan atau rangkaian

tindakan yang telah direncanakan.

Sementara itu meluas menunjuk pada

akibat tindakan yang menimbulkan

banyak korba dan kerusakan yang parah

secara luas.

Di dalam hukum nasional

Indonesia, Pelanggaran HAM Berat diatur

dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM tetapi tidak memuat

definisi pelanggaran HAM berat hanya

menjelaskan bahwa pelanggaran HAM

berat adalah pelanggaran HAM

sebagaimana dimaksud dalam undang-

undang (Pasal 1 angka 2 UU No. 26 tahun

2006 tentang Pengadilan HAM).

Sementara itu di dalam Pasal 7 hanya

memuat kejahatan yang termasuk

“pelanggaran HAM yang berat” yaitu

kejahatan genosida (Adapun yang

dimaksud dengan genosida didefinisikan

oleh Konvensi tentang Pencegahan dan

Penghukuman Kejahatan Genosida tahun

1948 Pasal II yaitu : “Setiap tindakan

yang dilakukan dengan maksud untuk

menghancurlam, seluruh atau sebagian,

kelompok kebangsaan , etnis, rasial atau

keagamaan”. Tindakan tersebut adalah ;

(a) membunuh anggota kelompok: (b)

menyebabkan bahaya badan atau mental

yang serius pada anggota kelompok; (c)

secara sengaja menciptakan kehidupan

kelompok yang diperhitungkan akan

mengakibatkan kehancuran fisik seluruh

atau sebagian kelompok tersebut; (d)

memaksakan tindakan dengan maksud

mencegah kelahiran dalam kelompok

tersebut di atas: dan (e) me Konvensi

tentang Pencegahan dan Penghukuman

Kejahatan Genosida,

http://referensi.elsam.or.id/wp-

content/uploads/2014/10/konvensi-

kejahatan-genosida.pdf , diakses pada

tanggal 13 Desember 2016 memindahkan

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

111

secara paksa anak- anak dari kelompok

tersebut di atas ke suatu kelompok lain)

dan kejahatan terhadap kemanusiaan

(Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM).

Menurut Pasal 8 UU No. 26 Tahun

2000 tentang pengadilan HAM yang

dimaksud dengan , kejahatan genosida

adalah setiap perbuatan yang dilakukan

dengan maksud untuk menghancurkan

atau memusnahkan seluruh atau sebagian

kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,

kelompok agama dengan cara: (a)

membunuh anggota kelompok, (b)

mengakibatkan penderitaan fisik atau

mental yang berat terhadap anggota-

anggota kelompok; (c) menciptakan

kondisi kehidupan kelompok yang akan

mengakibatkan kemusnahan secara fisik

seluruh atau sebagiannya; (d)

memaksakan tindakan-tindakan yang

bertujuan mencegah kelahiran di dalam

kelompok ; atau (e) memindahkan secara

paksa anak- anak dan kelompok tertentu

ke kelompok lain.

Selanjutnya, di dalam UU No. 26

tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

menyebutkan bahwa kejahatan terhadap

kemansiaan adalah salah satu perbuatan

yang dilakukan sebagai bagian dari

serangan yang meluas atau sistematik

yang diketahuinya bahwa serangan

tersebut ditujukan secara langsung

terhadap penduduk sipil berupa: (a)

pembunuhan; (b) pemusnahan; (c)

perbudakan; (d) pengusiran atau

pemindahan penduduk ; (e) perampasan

kemerdekaan atau perampasan

kebebasan fisik lain secara sewenang-

wenang yang melanggar (asas-asas)

ketentuan pokok hukum internasional; (f)

penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan

seksual, pelacuran secara paksa,

pemaksaan kehamilan, pemandulan atau

sterilisasi secara paksa, atau bentuk

bentuk kekerasan seksual lainnya yang

setara; (h) penganiayaan terhadap suatu

kelompok tertentu atau perkumpulan

yang didasari persamaan paham politik,

ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama

jenis kelamin, atau alasan lain yang telah

diakui secara universal sebagai hal yang

dilarang menurut hukum internasional;

(i) penghilangan orang secara paksa; (j)

kejahatan Apartheid.

Dari dua jenis pelanggaran HAM

yang berat yaitu genosida dan kejahatan

terhadap kemanusiaan yang diatur dalam

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM , sejauh ini belum ada contoh

peristiwa praktik pelanggaran genosida

seperti yang diatur dalam Statuta Roma

1998. Pengadilan HAM yang telah digelar

di Indonesia melalui Pengadilan HAM ad

hocseluruhnya adalah kejahatan terhadap

kemanusiaan; dua diantaranya

pelanggaran HAM masa lalu yaitu kasus

Timor Timur dan Tanjung Priok, serta

kasus peradilan HAM permanen yaitu

Abepura.

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

melalui Pengadilan HAM

Pembentukan Mahkamah Pidana

Internasional tidak dapat dilepaskan

dengan masih banyaknya pelanggaran

berat hak asasi manusia yang terjadi di

berbagai kawasan dunia. Selama itu,

penanganan pelanggaran berat HAM baik

terkait lembaganya maupun pada

penghukumannya belum ada kesepakatan

secara internasional. Pelanggaran berat

HAM (Gross Violation of Human Rights)

sering terjadi di negara-negara otoritarian.

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

112

Ketika proses demokrasi bergulir pada

suatu negara, maka timbul masalah

pertanggungjawaban hukum atas

terjadinya pelanggaran tersebut (Mahsyur

Effendi, 2004).

Pelbagai upaya nasional maupun

internasional yang dilakukan banyak

negara untuk meminta

pertanggungjawaban atas pelanggaran

HAM yang dilakukan rezim otoritiran di

sejumlah negara di dunia ini dimaksudkan

untuk mengakhiri atau memutus rantai

impunitas (impunity) (Suparman Marzuki

diambil dalam Mahrus Ali & Syarif

Nurhidayat, 2011). Politik hukum

penyelesaian pelanggaran HAM berat di

masa lalu melalui pengadilan ditujukan

untuk mengakhiri atau memutus rantai

impunity” yaitu suatu tindakan

kekuasaan yang tidak mengambil tindakan

hukum apapun atas suatu kejahatan yang

dilakukan atau dengan kata lain meminta

pertanggungjawaban pelaku atas

perbuatan yang belum

dipertanggungjawabkan (Suparman

Marzuki). Tidak dipenuhinya kewajiban

negara untuk menuntut, mengadili dan

menghukum pelaku telah menimbulkan

impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM

berat.

Praktik impunitas telah terjadi

sejak berabad lamanya di pelbagai negara

dan terus berlangsung hingga sekarang ini.

Eropa pernah gagal membentuk

pengadilan Internasional terhadap Raja

Wilhelm II atas kejahatannya yang

melawan moralitas internasional

sebagaimana yang telah

direkomendasikan oleh Perjanjian

Versailles. Impunitas juga dinikmati pula

oleh Kaisar Hirohito oleh Mahkamah

Tokyo atas keputusan AS, dan

membiarkan penjahat Perang Dunia II

menjadi Kepala Megara Kerajaan Jepang,

dan bahkan dia dianggap sebagai

pahlawan patriotik dimana abunya

ditempatkan pada Kuil Suci Sito di

Yasukuni. Di Argentina, para pejabat

militer tingkat menengah dari

pemerintahan junta yang mengibarkan

perang kotor untuk menentang orang

orang yang melawan mereka, melakukan

penyiksaan dan melenyapkannya dengan

cara membuang mereka dari pesawat

terbang di atas Lautan Atlantik ,

sementara itu para Jenderal tersebut

mendapat pengampunan.

Fenomena impunitas di Indonesia

juga terjadi di era Orde Baru yang banyak

sekali melakukan pelanggaran HAM berat

namun tidak satu pun pelaku pelanggaran

HAM berat di era terebut dapat dimintai

pertanggungjawaban dalam bentuk

apapun. Dari beberapa kasus impunitas

tersebut menunjukkan bahwa setiap

negara termasuk negara luar bahkan PBB

sekalipun berpeluang untuk melindungi

pelaku kejahatan HAM berat sebagai

akibat adanya kepentingan politik,

ideologis, dan ekonomi dibandingkan

penegakan HAM dan keadilan.

Gerakan untuk melawan

impunitas secara efektif dengan cepat

mendapat dukungan yang sangat luas

sebagaimana tercermin dalam Konferensi

HAM Dunia di Wina 1993. Dalam

paragraph 60 Deklarasi Wina disebutkan

bahwa pengadilan atas pelanggaran HAM

akan memberi basis hukum yang kuat

bagi tegaknya supremasi hukum yang

berkeadilan (the rule of law).

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

113

Mekanisme Penyelesaian Kasus kasus

Pelanggaran HAM Berat melalui

Pengadilan Nasional

Hukum Internasional mengenal

prinsip “exhaustion of domestic remedies

yang mengharuskan penggunaan

semaksimal mungkin semua upaya hukum

yang terseda di tingkat nasional terlebh

dahulu sebelum menggnakan mekanisme

remedi di tingkat internasional dan

regional. Dengan kata lain,mekanisme

remedi internasional hanya diperlukan

bila mekanisme remedi nasional tidak

bekerja secara efektif sehingga korban

merasa belum mendapatkan keadilan.

Beberapa contoh penggunaan mekanisme

nasional, seperti terbentuknya

pengadilan HAM nasional di Sierra Lene

sebagai “Internationalize domestic

tribunal”dengan nama Special Court”; di

Kamboja dibentuk dengan nama

Extraordinary chambers dan di Timor

Leste disebut Special Panels untuk

mengadili para pelaku kejahatan

internasional tertentu seperti genosida,

kejahatan perang, dan penyiksaan.

Selain itu penyelesaian

pelanggaran HAM yang berat di tingkat

nasional juga dapat dilakukan melalui

pengadilan nasional atas dasar prinsip

yurisdiksi universal. Berdasarkan prinsip

tersebut, setiap negara memiliki

kompetensi untuk melaksanakan

yurisdiksinya dalam mengadili para

pelaku kejahatan internasional tertentu

seperti genosida, kejahatan perang dan

penyiksaan. Adapun dasar penggunaan

yurisdiksi universal adalah bahwa

kejahatan-kejahatan tersbut dianggap

menyangkut umat manusia secara

keseluruhan (Suparman Marzuki).

Penggunaan yurisdiksi universal

ditujukan untuk mencegah adanya tempat

berlindung bagi para pelaku pelanggaran

HAM berat .

Dengan sistem ini maka terhadap

pelaku yang berada di wilayah yurisdiksi

suatu negara , negara tersebut harus

mengadili dan menghukum pelaku

berdasarkan hukum pidananya atau

mengekstradisikan ke negara lain yang

memiliki dan henda melaksanakan

yurisdiksinya. Salah satu contoh

penggunaan prinsip jurisdiksi universal

adalah kasus Pinochet mantan diktator

Cile yang melakukan pelanggaran HAM

berat ketika berkuasa di Cile untuk

ditangkap dan diekstradisi ke Spanyol atas

dakwaaan melakukan tindakan

penyiksaan, pembunuhan dan penculikan

(Suparman Marzuki). Penerapan

yurisdiksi universal juga dapat dilihat di

Israel dalam kasus Adolf Eichmann,

seorang warga negara Jerman yang

melaksanakan eksekusi bagi sekitar 5 juta

jiwa orang Yahudi di Eropa, yang akhirnya

dijatuhi hukuman mati karena terbukti

melakukan kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan perang, dan

kejahatan genosida terhadap bangsa

Yahudi.

Upaya peradilan terhadap para

pelaku pelanggaran HAM berat menjadi

tanggung jawab negara dan bangsa

Indonesia serta masyarakat Internasional

secara keseluruhan. Ini artinya bahwa

yurisdiksi pengadilan internasional tetap

masih terbuka bagi suatu negara

meskipun negara tersebut termasuk

Indonesia secara khusus sudah memiliki

pengadilan HAM.

Menurut Pasal 1 angka 3

menentukan bahwa yang dimasud dengan

Pengadilan Hak Asasi Manusia atau

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

114

Pengadilan HAM adalah pengadilan

khusus terhadap pelangaran HAM yang

berat. Dengan demikian Pengadilan HAM

adalah pengadilan yang berada di

lingkungan peradilan umum yang hanya

bertugas dan berwenang untuk

memeriksa dan memutus perkara

pelanggaran berat HAM. Pelanggaran

berat HAM merupakan extra ordinary

crimes”dan berdampak secara luas baik

pada tingkat nasional maupun

internasional dan bukan merupakan

tindak pidana yang diatur dalam KUHP

serta menimbulkan kerugian baik materiil

maupun immaterial yang mengakibatkan

perasaan tidak aman, baik terhadap

perseorangan maupun masyarakat,

sehingga perlu dipulihkan dalam

mewujudkan supremasi hukum dan

perlindungan hak-hak asasi manusia di

Indonesia (Syawal Abdulajid & Anshar,

2010).

Pengadilan HAM mempunyai tugas

dan wewenang untuk memeriksa dan

memutus perkara pelanggaran berat

HAM. Pelanggaran HAM berat yang

dimaksud adalah perkara pelanggaran

berat HAM yang terjadi sesudah

berlakunya UU No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan HAM.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang

ini dinyatakan bahwa Pengadilan HAM

merupakan pengadilan khusus yang

berada di lingkungan Peradilan Umum.

Yang dimaksud dengan Pasal 2 mengenai

kalimat “ di lingkungan Peradilan Umum”

adalah bahwasanya Pengadilan HAM

berada di dalam lingkungan Peradilan

Umum seperti yang dimaksud oleh Pasal

10 Ayat 1 huruf a UU No. 14 Tahun 1970

tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menentukan bahwa kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh pengadilan dalam

lingkungan ; a) Peradilan Umum; b)

Peradilan Agama; c) Peradilan Militer; c)

Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 10

Ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang

Kekuasaan Kehakiman). Dengan demikian

apa yang dimaksud dengan Pengadilan

HAM adalah pengadilan yang merupakan

pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi)

dari pengadilan di lingkungan Peradilan

Umum yang tugas dan wewenangnya

hanya memeriksa dan memutus perkara

pelanggran HAM yang berat saja (R.

Wiyono, 2006).

Pasal 4 menentukan bahwa

Pengadilan bertugas dan berwenang

memeriksa dan memutus perkara

pelanggaran HAM yang berat. Dengan

demikian yang dimaksud dengan

Pengadilan HAM disini adalah pengadilan

yang berada di lingkungan Peradilan

Umum yang hanya bertugas dan

berwenang untuk memeriksa dan

memutus perkara pelanggaran HAM yang

berat saja (R. Wiyono, 2006). Karena

kekuasaan kehakiman di lingkungan

Peradilan Umum dilaksanakan oleh

Pengadilan Negeri sebagai Pengadilan

Tingkat Pertama yang berkedudukan di

Ibu Kota daerah kota atau daerah

kabupaten dan Pengadilan Tinggi sebagai

Pengadilan Tingkat Banding yang

berkedudukan di ibu kota provinsi,

padahal Pasal 3 Ayat (1) menentukan

bahwa Pengadilan HAM berkedudukan di

daerah kota atau daerah kabupaten maka

hanya dapat diketahui bahwa

pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi)

hanya ada di Pengadilan Negeri saja

artinya pembentukan Pengadilan HAM

hanya ada pada Pengadilan Negeri saja.

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

115

Sayangnya di dalam UU No. 26

Tahun 2000 tidak terdapat ketentuan

tentang cara pembentukan Pengadilan

HAM, yang ada hanya cara pembentukan

Pengadilan HAM ad hoc yaitu dengan

Keputusan Presiden seperti yang

ditentukan dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No.

26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM.

Di dalam praktik menunjukkan bahwa

cara pembentukan Pengadilan HAM juga

dilakukan dengan Keputusan Presiden,

misalnya Keputusan Presiden Nomor 31

Tahun 2001 tentang Pembentukan

Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya

, Pengadilan Negeri Medan, dan

Pengadilan Makassar sebagai pelaksanaan

dari Pasal 45.

Adapun alasan mengapa

pemerintah perlu utuk memeriksa dan

memutus perkara pelanggaran HAM

berat di pengadilan HAM , telah

dituangkan di dalam Penjelasan Umum UU

Pengadilan HAM atas dasar

pertimbangan sebagai berikut; 1)

pelanggaran HAM yang berat yang

merupakan extra ordinary crimes” dan

berdampak secara luas, baik pada tingkat

nasional maupun internasional dan bukan

merupakan tindak pidana yang diatur

dalam KUHP serta menimbulkan kerugan,

baik materiil maupun immaterial yang

mengakibatkan perasaaan tidak aman,

baik terhadap perseorangan maupun

masyarakat, sehingga perlu segera

dipulihkan dalam mewujudkan supremasi

hukum untuk mencapai kedamaian,

ketertiban, ketentraman, keadilan, dan

kesejahteraan bagi seluruh masyarakat

Indonesia; 2) terhadap perkara

pelanggaran HAM yang berat diperlukan

langkah-langkah penyelidikan ,

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

yang bersifat khusus yaitu: a) diperlukan

penyelidikan dengan membentuk tim ad

hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad

hoc dan hakim ad hoc; b) diperlukan

penegasan bahwa penyelidikan, hanya

dilakukan oleh Komnas HAM, sedangkan

penyidik tidak berwenang menerima

laporan atau pengaduan sebagaimana

diatur dalam KUHAP; c) diperlukan

ketentuan mengenai tenggang waktu

tertentu untuk melakukan penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaaan di

pengadilan; d) diperlukan ketentuan

menenai perlindungan korban dan saksi;

e) diperlukan ketentuan yang

menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi

pelanggaran HAM yang berat.

Mengenai lingkup kewenangan

absolut atau kompetensi absolut dari

Pengadilan HAM oleh Pasal 4 ditentukan

bahwa Pengadilan HAM mempunyai tugas

dan wewenang untuk memeriksa dan

memutus perkara pelanggaran HAM yang

berat dan sudah tentu yang dimaksud

dengan perkara pelanggaran HAM ini

adalah perkara pelanggaran HAM yang

berat yang terjadi sesudah berlakunya UU

No. 26 Tahun 2000 tanggal 23 November

2000.

Di dalam Pasal 1 angka 2

ditentukan bahwa yang dimaksud dengan

pelanggaran HAM yang berat adalah HAM

sebagaimana yang dimaksud dalam UU

No. 26 Tahun 2000 artinya seperti yang

ditentukan oleh Pasal 7 yaitu pelanggaran

HAM yang berat meliputi; a) kejahatan

genosida; b) kejahatan terhadap

kemanusiaan. Sehingga yurisdiksi hukum

yang dapat diterima dan diterapkan oleh

Pengadilan HAM adalah hanya

memeriksa, mengadili , dan memutuskan

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

116

kasus-kasus kejahatan genosida dan

kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pertimbangan mengapa pembuat

undang-undang hanya memasukkan

genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan yang menjadi yurisdiksi

Pengadilan HAM adalah disebabkan

menurut pertimbangan dari sisi hukum

dan politis bahwa dua jenis kejahatan ini

sangat berarti dan menentukan bagi

peradaban bangsa Indonesia sejak kini

dan di masa yang akan dating (Romli

Atmasasmita, 2004).

Di dalam Pasal 3 Ayat (1)

menentukan tempat kedudukan dari

Pengadilan HAM yaitu daerah hukum

Pengadilan HAM meliputi darerah

huukum Pengadilan Negeri yang

bersangkutan. Mengenai kedudukan

Pengadilan HAM dijelaskan dalam Pasal

45 Ayat (1) jo . Ayat (2) ditentukan pada

saat mulai berlakunya UU No. 26 Tahun

2000 pada tanggal 25 November 2000

dibentuk Pengadilan HAM sebagia berikut;

a) Pengadilan HAM pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat dengan daerah

huku yang meliputi wilayah; a.1.

Daerah Khusus Ibukota Jakarta; a. 2.

Provinsi: Jawa Barat, Banten,

Sumatera Selatan, Lampung,

Bengkulu, Kalimantan Barat, dan

Kalimantan Tengah.

b) Pengadilan HAM pada Pengadilan

Negeri Surabaya dengan daerah

hukum yang meliputi provinsi: Jawa

Timur, Jawa Tengah, Bali,

Kalimantan Selatan, Kalimantan

Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur dan Daerah

Istimewa Yogjakarta

c) Pengadilan HAM pada Pengadilan

Negeri Makassar dengan daerah

huku yang meliputi wilayah

provinsi; Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara , Sulawesi Tengah, Maluku,

Maluku Utara dan Irian Jaya

d) Pengadilan HAM pada Pengadilan

Negeri Medan dengan daerah

hukum yang meliputi wilayah

provinsi; Sumatera Utara, Riau,

Jami, Sumatera Barat, dan Daerah

Istimewa Aceh.

Karena kejahatan genosida dan

kejahatan terhadap kemanusiaan adalah

termasuk yurisdiksi Mahkamah Pidana

Internasional (ICC) dan juga termasuk

yurisdiksi Pengadilan HAM, maka

hubungan antara keduanya dapat

dijelaskan bahwa yurisdiksi dari

Mahkamah Kejahatan Internasional adalah

merupakan pelengkap terhadap yurisdiksi

dari Pengadilan Kejahatan Internasional.

Maksudnya, yurisdiksi dari Mahkamah

Kejahatan Internasional baru dapat

dilaksanakan jika proses peradilan yang

efektif melalui tindakan hukum di tingkat

nasional tidak dapat dilaksanakan (R.

Wiyono, 2006). Dengan demikian

Mahkamah Pidana Internasional tidak

mempunyai yurisdiksi secara langsung

atau serta merta terhadap pelangggaran

Hak Asasi Manusia yang berat yang

terjadi.

Sebagai penjabaran lebih lanjut

dari ketentuan bahwa Mahkamah Pidana

Internasional adalah merupakan

pelengkap terhadap yurisdiksi hukum

pidana nasional, Pasal 17 ayat (1) Statuta

Roma menentukan bahwa suatu kasus

tidak dapat diterima oleh Mahkamah

Pidana Internasional jika:

a. Kasusnya sedang diadakan

penyidikan atau penuntutan oleh

suatu negara yang mempunyai

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

117

yurisdiksi atas kasus tersebut kecuali

kalau negara tersebut tidak bersedia

atau benar-benar tidak mampu

melakukan penyidikan atau

penuntutan;

b. Kasusnya telah diadakan penyidikan

oleh suatu negara yang mempunyai

yurisdiksi atas kasus tersebut dan

negara itu telah memutuskan untuk

tidak mengadakan penuntutan orang

yag bersangkutan, kecuali kalau

keputusan itu timbul dari

ketidaksediaan atau ketidakmampuan

negara tersebut untuk benar-benar

melalukan penuntutan

c. Orang yang bersangkutan telah diadili

untuk perbuatan yang menjadi dasar

dakwaan dan dalam suatu sidang oleh

Mahkamah PIdana Internasional telah

diputuskan tidak dapat diadili

berdasarkan Pasal 20 Ayat (3)

d. Kasusnya tidak cukup berat untuk

membenarkan tindakan lebih lanjut

Disamping Pasal 17 Ayat (1) Statuta Roma,

yang termasuk penjabaran lebih lanjut

dari ketentuan bahwa Mahkamah Pidana

Internasional adalah merupakan

pelengkap terhadap yurisdiksi hukum

nasional .

Mekanisme Penyelesaian Kasus-kasus

Pelanggaran HAM Berat Melalui

Pengadilan Internasional

Kepedulian internasional terhadap

hak asasi manusia merupakan gejala

yang relatif baru. Menurut pendapat Scott

Davidson, terdapat kaitan yang sangat

erat antara perlindungan terhadap hak

asasi manusia di tingkat nasional dan di

tingkat internasional. Semua instrumen

internasional mewajibkan sistem

konstitusional domestik setiap negara

memberikan kompensasi yang memadai

kepada orang-orang yang haknya

dilanggar. Mekanisme internasional untuk

menjamin Hak Asasi Manusia baru akan

melakukan perannya apabila sistem

perlindungan di dalam negara itu sendiri

goyah atau bahkan tidak ada. Dengan

demikian, mekanisme internasional

sedikit banyak berfungsimemperkuat

perlindungan domestik terhadap hak

asasi manusia dan menyediakan

pengganti jika sistem domestik gagal atau

tidak memadai (Scott Davidson, 2008).

Upaya peradilan terhadap pelaku

pelanggaran berat melalui mekanisme

pengadilan Internasional pernah

dilakukan saat dibentuknya dua

pengadilan internasional yang bersifat ad

hoc yaitu a) International Military

Tribunal-IMT Nuremberg di Jerman dan b)

International Military Tribunal for the Far

Eastdi Tokyo , yang lebih dikenal dengan

Tokyo Tribunal, dimana keduanya

dibentuk saat itu untuk mengadili para

penjahat perang yang melakukan

pelanggaran HAM berat pasca Perang

Dunia II. Sejak berakhirnya peradilan

Nuremberg, Jerman dan Tokyo, Jepang

pada tahun 1948, pengadilan

Internasional yang dibentuk untuk

menyelesaikan pelanggaran HAM yang

berat tidak pernah dibentuk lagi. Hal itu

bukan karena tidak pernah terjadi lagi

kejahatan serius, tetapi karena pada masa

perang dingin sampai akhir tahun 1980-

an , kekuatan blok Barat dan blok Timur

saling mencegah terbentuknya pengadilan

internasional untuk mengadili kejahatan

yang dilakukan oleh salah satu anggota

blok tersebut (Suparman Marzuki, 2010).

Baru setelah Perang Dingin usai,

dibentuklah dua pengadilan Internasional

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

118

ad hoc yaitu a) International Criminal

Tribunal for Yugoslavia-ICTY dan b)

International Criminal Tribunal for

Rwanda-ICTY untuk mengadili para pelaku

pelanggaran HAM berat selama kurang

lebih 50 tahun setelah dibentuknya

International Military of Nuremberg dan

Tokyo Tribunal. Dua pengadilan

internasional tersebut (Yugoslavia dan

Rwanda) merupakan katalisator penting

terbentuknya suatu pengadilan yang

permanen yaitu Mahkamah Pidana

Internasional (ICC).

ICC dibentuk berdasarkan Statuta

Roma (Rome Statute of International

Criminal Court 1998) (Statuta Roma 1998

adalah suatu perjanjian internasional

yang hanya mengikat negara-negara yang

mengekspresikan secara formal

keinginan masing-masing negara untuk

terikat pada isi perjanjian tersebut.

Negara-negara tersebut kemudian

menjadi “State Parties” (negara pihak) dari

statute tersebut jika telah

meratifikasinyam namun ada juga

sejumlah negara yang baru

menandatangani konvensi tersebut tetapi

belum meratifikasinya sebagai bagian dari

undang-undang nasionalnya termasuk

Indonesia. Sejak Statuta Roma dibentuk

dan diberlakukan pada 1 Juli 2002,

tercatat 122 negara telah menjadi negara

pihak dari perjanjian dan 31 negara telah

menandatangani statuta tersebut) dan

merupakan suatu lembaga permanen yang

dibentuk untuk mengadili pelanggaran

HAM berat. ICC merupakan lembaga

hukum independen dan permanen yang

dibentuk oleh masyarakat negara-negara

internasional untuk menjatuhkan

hukuman kepada setiap bentuk kejahatan

menurut hukum internasional yang

dicakup dalam Statuta ini yaitu; a)

genosida, b) kejahatan terhadap

kemanusiaan, c) kejahatan perang; d)

agresi. Meskipun lebih dari setengah abad

yang lalu komunitas internasional telah

menetapkan sistem regional dan

internasional untuk memberikan

perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia, jutaan manusia masih menjadi

korban genosida,kejahatan terhadap

kemanusiaan dan kejahatan perang.

Namun hanya sedikit pelaku kejahatan

hak asasi manusia yang diadili oleh

Pengadilan Nasional.

Adapun tujuan dibentuknya ICC

antara lain; a) mengakhiri impunitas; b)

membantu mengakhiri konflik; c)

memperbaiki kelemahan proses

pengadilan ad-hoc; d) mengambil alih

pada saat institusi pengadilan pidana

nasional tidak mau atau tidak mampu

untuk mengadili kejahatan serius di

negaranya; e) mengusahakan agar para

korban dan keluarganya dapat memiliki

kesempatan untuk mendapatkan keadilan

dan kebenaran, dan memulai proses

rekonsiliasi; f) mencegah orang atau

pihak-pihak yang berencana melakukan

kejahatan serius menurut hukum

internasional (Iman Santosa, 2013).

Yurisdiksi mahkamah ini meliputi

kejahatan yang terjadi setelah tanggal 11

Juli 2002 antara lain; (1) kejahatan

Genosida (the crime of genocide); (2)

Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes

against humanity); (3) Kejahatan Perang

(War Crimes); (4) kejahatan Agresi (The

Crime of Aggression). Selain itu mahkamah

juga memiliki yurisdiksi yang bersifat

komplementer atas pengadilan nasional

yang menegaskan bahwa ICC adalah

pelengkap (komplementer) bagi

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

119

pengadilan nasional. ICC baru hanya dapat

digunakan apabila pengadilan nasional

tidak mampu (unable) atau tidak mau

(unwilling) mengadili kejahatan HAM yang

serius.

ICC juga dilarang melaksanakan

peradilan terhadap kejahatan yang sama

yang sedang diselidiki atau dituntut dalam

pengadilan nasional suatu negara

termasuk juga apabila kasusnya telah

diselidiki oleh suatu negara yang

mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut,

dan negara itu telah memutuskan untuk

tidak menuntut orang yang bersangkutan

kecuali jika keputusan tersebut timbul

dari ketidaksediaan atau ketidakmampuan

negara tersebut untuk benar-benar

melakukan penuntutan; atau kasusnya

tidak cukup gawat untuk membenarkan

tindakan lebih lanjut oleh ICC (Pasal 17

Statuta Roma 1998). Dengan demikian,

ICC merupakan the last resort (ultimum

remedium) sebagai pelengkap dan

jaminan penghormatan penggunaan

mekanisme hukum (pengadilan) nasional.

Berbeda dengan pengadilan

Internasional ad hoc sebelumnya, ICC

merupakan pengadilan permanen,

independen , bukan organ PBB karena

dibentuk berdasarkan perjanjian

multilateral antara negara-negara di

dunia. Akan tetapi antara pengadilan dan

PBB memiliki hubungan formal dimana

Dewan Keamanan PBB memiliki peranan

yang signifikan di dalam pelaksanaan

yurisdiksi pengadilan yaitu DK PBB

memiliki wewenang untuk memulai atau

menunda dilakukannya investigasi

terhadap pelaku kejahatan berdasarkan

bab VII Piagam PBB.

Adapun yang menjadi yurisdiksi

ICC meliputi; (1) Territorial Jurisdiction

(rationae loci); yurisdiksi ICC hanya

berlaku dalam wilayah negara pihak,

yurisdiksi juga diperluas bagi kapal atau

pesawat terbang yang terdaftar di negara

pihak dan dalam wilayah bukan negara

pihak yang mengakui yurisdiksi IC

berdasarkan deklarasi ad hoc (Pasal 12

Statuta Roma 1998); (2) Material

Jurisdiction (rationae materiae); kejahatan

yang menjadi yurisdiksi ICC terdiri dari

kejahatan terhadap kemanusiaan ,

kejahatan perang , genosida dan

kejahatan agresi (Pasal 5-8 Statuta Roma

1998); (3) Temporal Jurisdiction (rationae

temporis). ICC baru bisa memiliki

yurisdiksi terhadap kejahatan yang diatur

dalam Statuta setelah Statuta Roma

berlaku yaitu 1 Juli 2002 (Pasal 11 Statuta

Roma 1998); (4) Personal Jurisdiction

(rationae personae); ICC memiliki

yurisdiksi atas orang (natural person) di

mana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi

ICC harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya secara individu (individual

criminal responsibility) , termasuk pejabat

pemerintahan, komandan baik militer

maupun sipil (Pasal 17 ayat 2 butir a

Statuta Roma 1998).

ICC juga menggunakan prinsip

trigger mechanism” di dalam penyelidikan

kasus pelanggaran HAM berat. Prinsip

tersebut menjelaskan beberapa hal

yaitu;1) negara pihak boleh melaporkan

suatu keadaan kepada penuntut umum

tentang telah terjadinya atau lebih

kejahatan yang merupakan yurisdiksi

(Pasal 13 (a) dan Pasal 14 Statuta Roma);

2) atas inisiatif penuntut umum untuk

melakukan penyelidikan proprio motu

(tindakan berdasarkan inisiatif sendiri)

karena adanya informasi dari sumber

yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

120

telah terjadi kejahatan yang menjadi

yurisdiksi ICC; 3) Atas dasar laporan dari

Dewan Keamanan PBB mengenai situasi

telah terjadinya satu atau lebih kejahatan

yang berada dalam yurisdiksi ICC sesuai

dengan Bab VII Piagam PBB Pasal 13 (b)

dan 52 (c) Statuta Roma (A Join Project of

Rights and Democract and The

International Center for Criminal Law

Reform and Criminal Justice Policy, 2002).

Mekanisme Penyelesaikan Kasus-kasus

Pelanggaran HAM Berat melalui

Pengadilan Campuran (Hybridcourt)

Selain mekanisme nasional dan

internasional, mekanisme lain yang

merupakan mekanisme baru untuk

menegakkan keadilan dalam kasus

pelanggaran HAM berat adalah melalui

pengadilan campuran atau Hybrid

Tribunal”. Model pengadilan ini muncul

sebagai kritik terhadap kelemahan

pengadilan nasional dan pengadilan

internasional seperti pengadilan kejahatan

internasional untuk Rwanda dan

Yugoslavia.

Model pengadilan campuran

pertama kali dilaksanakan di Timor-

Timur, kemudian dilaksanakan di

Kamboja serta Sierra Leone dimana

model pengadilan seperti ini

menggabungkan kekuatan pengadilan ad

hoc internasional dengan pengadilan

nasional atau domestik. Pada pengadilan

ICTY dan ICTR, PBB bertanggungjawab

menyediakan biaya, sumber daya, hakim

dan jaksa penuntut umum. Hukum

materiil yang diterapkan dalam

persidangan juga tidak hanya hukum

nasional negara yang bersangkutan tetapi

juga menggunakan norma-norma dari

berbagai instrumen hukum HAM

Internasional.

Apresiasi terhadap pengadilan

HAM campuran ini cukup baik karena

dinilai lebih memiliki nilai legitimasi

sebagai suatu mekanisme yang adil untuk

mengadili para pelaku yang bertanggung

jawab atas perbuatan mereka. Seperti

halnya pengadilan nasional, model

campuran ini lebih murah biayanya untuk

dijalankan dibandingkan dengan

persidangan ad hoc. Selain itu mekanisme

ini dianggap lebih sedikit menimbulkan

pertentangan secara politis, lebih berarti

bagi komunitas korban dan lebih efektif

dalam membangun kembali sistem

peradilan lokal. Meskipun demikian,

pengadilan campuran ini tetap

mengundang kekhawatiran berupa

kemungkinan mekanisme ini bukannya

mengambil sisi terbaik dari sistem yuridis

nasional ataupun internasional tetapi

malah mengadopsi sisi buruknya, seperti

yang tercermin pada pengadilan

campuran Timor Timur yang faktanya

menunjukkan ketidakefisienan karena

meminimalkan keterlibatan lokal serta

kegagalannya menjalankan standar

proses yuridis yang benar (Suparman

Marzuki, 2010).

Sekalipun mekanisme pengadilan

campuran yang diterapkan untuk pertama

kalinya di Timor Timur atau yang

sekarang disebut Timor Leste memiliki

kelemahan-kelemahan, tetapi mulai

diyakini oleh banyak kalangan terutama

PBB yang melihat mekanisme campuran

ini lebih baik dibandingkan dengan

mekanisme ad hoc karena dengan

mekanisme ini, maka masyarakat

internasional melalui PBB bisa secara

langsung terlibat dan menjadi bagian

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

121

dari proses yudisial sehingga kelemahan-

kelemahan mekanisme nasional

(domestic) berupa kerentanan politik

atau kelemahan hukum dapat dieliminasi.

Mekanisme Penyelesaian Kasus-kasus

Pelanggaran HAM Berat melalui Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

adalah sebuah komisi yang ditugaskan

untuk menemukan dan mengungkapkan

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan

pada masa lampau oleh suatu

pemerintahan, dengan harapan

menyelesaikan konflik yang tertinggal dari

masa lalu. Dengan berbagai nama, komisi

ini kadang-kadang dibentuk oleh negara-

negara yang muncul dari masa-masa

pergolakan internal, perang saudara, atau

pemerintahan yang dictator (Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi,

https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Keb

enaran_dan_Rekonsiliasi diakses pada 15

Desember 2016).

Sebagai contoh Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, yang

dibentuk oleh PresidenNelson Mandela

setelah apartheid, pada umumnya

dianggap sebagai sebuah model untuk

Komisi Kebenaran, yang jarang, kalaupun

pernah, dicapai di tempat-tempat lain.

Sebagai laporan pemerintah, mereka

dapat memberikan bukti-bukti menentang

revisionisme sejarah atas terorisme

negara dan kejahatan-kejahatan lain serta

pelanggaran-pelanggaran hak asasi

manusia. Komisi-komisi kebenaran

kadang-kadang dikritik karena

membiarkan kejahatan tidak dihukum,

dan menciptakan impunitas bagi

pelanggar-pelanggar hak asasi manusia

yang serius.

Komisi ini berorientasi pada

penyelidikan kasus masa lampau dalam

jumlah besar, dibentuk dalam waktu

sementara, selama satu periode tertentu

yang telah ditentukan sebelumnya, dan

memperoleh beberapa jenis kewenangan

sebagai upaya melukiskan seluruh

pelanggaran HAM selama satu periode

tertentu (Suparman Marzuki, 2010). Misi

daripada komisi ini adalam melakukan

rekonsiliasi (Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, rekonsiliasi adalah

perbuatan memulihkan hubungan

persahabatan kembali pada keadaan

semula atau perbuatan menyelesaikan

perbedaan,

http://kbbi.web.id/rekonsiliasi diakses

pada 15 Desember 2016). Misi ini

didasarkan pada kepercayaan bahwa

rekonsiliasi antara pelaku dan korban

pelanggaran HAM membutuhkan

pengungkapan kebenaran di belakang

semua kejadian secara menyeluruh. Oleh

karena itu, memberikan kesempatan

kepada korban untuk bicara dan

menerima penjelasan tentang kejadian-

kejadian penting yang berhubungan

dnegan pelanggaran HAM di masa lalu

merupakan hal yang penting. Inilah

fondasi untuk mengungkap kebenaran

demi menegakkan keadilan.

Rekonsiliasi dalam masyarakat

pascarezim otoritarian sangat penting

karena keadilan transisional lebih dari

sekedar menangani pelanggaran HAM

kasus per kasus tetapi juga menjadi dasar

moral pemerintahan transisional dalam

menghormati martabat manusia melalui

cara-cara yang demokratis, non kekerasan

dan sesuai dengan prinsip supremasi

hukum. Semua itu bertujuan agar

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

122

kesalahan yang sama tidak terjadi lagi di

masa depan.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(KKR) adalah fenomena yang timbul di era

transisi politik dari suatu rezim otoriter ke

rezim demokratis, terkait dengan

persoalan penyelesaian kejahatan

terhadap kemanusiaan yang dilakukan

oleh rezim sebelumya. Pemerintahan

transisi berusaha menjawab masalah

tersebut dengan mencoba mendamaikan

kecenderungan menghukum di satu sisi

dengan memberi maaf atau amnesti di sisi

yang lain. Sebagai “jalan tengah” tentu saja

upaya demikian tidak memuaskan banyak

pihak terutama korban, keluarga korban,

dan organisasi masyarakat sipil tetapi cara

inilah yang dapat dilakukan mengingat

kejahatan terhadap kemanusiaan yang

dilakukan oleh rezim sebelumnya

mengandung dimensi politik, psikologis

dan hukum yang sangat kompleks (Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi,

http://pusham.uii.ac.id/ham/16_Chapter1

0.pdf hal. 413, diakses pada 15 Desember

2016).

Sejak kemunculannya pertama kali

di Argentina dan Uganda pada medium

1980-an , KKR telah menjadi fenomena

internasional. Lebih dari 20 negara telah

memilih jalan mendirikan KKR sebagai

cara mempertanggungjawabkan kejahatan

hak asasi manusia yang berat yang terjadi

pada masa lampau. Beberapa diantaranya

berhasil meskipun sebagian juga

mengalami kegagalan. Kesadaran

pentingnya mengusut, mengungkap

kebenaran dan meminta

pertanggungjawaban rezim atas

pelanggaran HAM berat di masa lalu

secara teoretis diyakini banyak aktivis pro

demokrasi merupakan jalan menuju

demokrasi. Tidak mungkin sebuah bangsa

dapat hidup bersatu padu dalam damai di

atas sejarah penuh luka dan kekerasan.

Proses transisi menuju demokrasi harus

berjalan di atas proses sejarah yang jujur,

adil dan bertanggung jawab.

Pemerintahan yang baru harus

menemukan jalan keluar untuk

meneruskan detak nadi kehidupan,

menciptakan ulang ruang nasional yang

damai dan layak dihuni, membangun

semangat dan upaya rekonsiliasi dengan

para musuh masa lampau, dan mengurung

kekejaman masa lampau dalam sangkar

masa lampaunya sendiri.

KKR bukanlah lembaga yang

menggantikan fungsi pengadilan karena

memang bukan badan peradilan, bukan

persidangan hukum dan tidak memiliki

kekuasaan untuk mengirim seseorang ke

penjara atau memvonis seseorang karena

suatu kejahatan tertentu. Hanya saja

Komisi Kebenaran dapat melakukan

beberapa hal penting yang secara umum

tidak dapat dicapai melalui proses

penuntutan persidangan di pengadilan

pidana. KKR dapat menangani kasus

dalam jumlah relatiflebih besar

dibandingkan dengan pengadilan pidana.

Dalam suatu situasi di mana terjadi

pelanggaran HAM yang berat dan meluas

dan sistematis di bawah rezim

sebelumnya, Komisi Kebenaran dapat

menyelidiki semua kasus atau sejumlah

besar kasus yang ada secara komprehensif

dan tidak dibatasi kepada penanganan

sejumlah kecil kasus saja. Komisi

Kebenaran berada dalam posisi untuk

menyediakan bantuan praktis bagi para

korban, yang secara spesifik

mengidentifikasi dan membuktikan

individu-individu atau keluarga-keluarga

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

123

mana saja yang menjadi korban kejahatan

masa lampau sehingga mereka secara

hukum berhak untuk mendapatkan

bentuk reparasi di masa yang akan dating

(Suparman Marzuki, 2010). Contohnya,

Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran di Cile

yang dapat mengidentifikasi masing-

masing orang dan anggota keluarga yang

kemudian menjadi layak untuk berbagai

fasilitas dari pemerintah di masa yang

akan datang, seperti beasiswa sekolah,

subsidi perumahan, asuransi kesehatan,

dan pensiun.

KKR juga dapat dipakai untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan besar

seperti: bagaimana suatu pelanggaran

HAM terjadi, mengapa terjadi, faktor

apakah yang terdapat dalam suatu

masyarakat atau dalam suatu negara yang

memungkinkan kejadian tersebut terjadi,

perubahan-perubahan apa saja yang harus

dilakukan untuk mencegah pelanggaran

HAM tidak terulang lagi di masa yang

akan datang. Komisi Kebenaran juga dapat

membantu terlaksananya resolusi

dengan mengakui penderitaan yang

dialami korban,membuat pemetaan atas

pngaruh dari kejahatan di masa lalu, dan

merekomendasikan reparasi. Komisi

Kebenaran juga dapat merekomendasikan

pembaharuan-pembaharuan tertentu

didalam institusi-institusi publik, seperti

di dalam kepolisian dan pengadilan

dengan tujuan mencegah terulangnya

kembali pelanggaran HAM.

KKRjuga dapat memilah antara

pertanggungjawaban dan pengungkapan

para pelaku. Komisi Kebenaran juga dapat

mengurangi jumlah kebohongan yang

beredar tanpa dibuktikan kebenarannya di

depan public. Contoh di Argentina,

pekerjaan Komisi membuat militer

mustahil mengklaim bahwa mereka tidak

membuang korban yang setengah mati

dari helikopter ke laut, demikian halnya di

Cile, di depan publikorang tidak boleh

mengatakan rezim Pinochet tidak

membunuh ribuan orang tidak bersalah

karena Komisi Kebenaran telah

mengungkapkannya (Suparman Marzuki,

2010).

Dari beberapa contoh kasus di atas

dapat diketahui bahwa tugas KKR adalah

mencari, menemukan dan mengemukakan

fakta atau kenyataan tentang suatu

peristiwa dengan segala akibatnya;

menimbang dan menempatkan keadilan

korban dan pelaku sebagai prinsip kerja;

tidak boleh berlaku tidak fair dan tidak

adil terhadap pelaku sekalipun; dan yang

terakhir semua temuan harus dinyatakan

secara benar, fair, jujur dan transparan,

tidak manipulatif untuk mencapai tujuan

rekonsiliasi yang sesungguhnya yaitu

mendamaikan para pihak yang pernah

bersengketa atau bermusuhan.

Rekonsiliasi sebagai kata kunci

pembentukan KKR jelas terkait dengan

usaha memperbaiki hubungan sosial,

politik dan psikologis antara warga

negara sebagai pribadi atau kelompok

dengan negara akibat perlakuan atau

tindakan negara yang tidak adil dan tidak

manusiawi. Rekonsiliasi itu diperlukan

untuk membangun masa depan bangsa

dan negara yang demokratis di atas

pilihan sikap memaafkan atau melupakan,

dan bukan penuntutan pidana.

Rekonsiliasi mensyaratkan dilakukannya

pengungkapan kebenaran. Jadi yang

dimaksud disini adalah rekonsiliasi

nasional dimana keberhasilan Komisi

Kebenaran sebagian diperhitungkan dari

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

124

seberapa besar kemampuan dan

keberhasilannya menciptakan rekonsiliasi.

Pada pemerintahan pasca Soeharto

telah dikelaurkan Tap V/ MPR/ 2000 dan

UU No. 26 Tahun 2000 sebagai dasar

hukum dari KKR di Indonesia. Dalam Bab

I, huruf B, Paragraf kedua TAP MPR

V/MPR/2000 ditegaskan bahwa

kesadaran dan komiten yang sungguh-

sungguh untuk memantapkan persatuan

dan kesatuan nasional harus diwujudkan

dalam langkah-langkah nyata, berupa

pembentukan Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi Nasional serta merumuskan

etika berbangsa dan visi Indonesia masa

depan. Dalam bab V angka 3 juga

ditegaskan bahwa”

…Komisi ini (KKR) bertugas untuk

menegakkan kebenaran dengan

mengungkapkan penyalahgunaan

kekuasaan dan pelanggaran HAM pada

masa lampau sesuai dengan huk dan

peraturan perundang-undangan yagn

berlaku serta melaksanakan

rekonsiliasi dalam perspektif

kepentingan bersama sebagai bangsa.

Lebih jauh dalam bab itu juga ditegaska

bahwa “langkah-langkah setelah

pengungkapan kebenaran, dapat

dilakukan melalui pengakuan

kesalahan, permintaan maaf, pemberian

maaf, perdamaian, penegakan hukum,

amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain

yang bermanfaat untuk menegakkan

persatuan dan kesatuan bangsa dengan

sepenuhnya memperhatikan rasa

keadilan masyarakat”.

Dalam kurun waktu empat tahun

setelah disahkan UU No. 26 tahun 2000

tentang Pengadilan HAM, maka

dikeluarkanlah UU No. 27 Tahun 2004

tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi setelah keluar mandat TAP

MPR No. V/MPR/2000 dan UU N0. 26

Tahun 2000. Namun sayangnya pada 7

Desember 2006 atau dua tahun setelah

diundangkan , UU KKR dibatalkan oleh MK

melalui putusannya Nomor 006/puu-

IV/2006. MK memutuskan UU No.27

tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan

UUD 1945 . Karena itu KKR dinyatakan

tidak mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat.

Sementara itu menurut hakim I

Dewa Gede Palaguna yang mengemukakan

pendapat yang berbeda (dissenting

opinion), hanya pasal 27 (Kompensasi dan

rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan

dalam pasal 19 dapat diberikan apabila

permohonan amnesti dikabulkan) UU KKR

yang bertentangan dengan UUD 1945

sedangkan Pasal 1 angka 9 (Amnesti

adalah pengampunan yang diberikan oleh

presiden kepada pelaku pelanggaran HAM

yang berat dengan memerhatikan

pertimbangan DPR) dan Pasal 44

(pelanggaran HAM yang berat yang telah

diungkapkan dan diselesaikan oleh

Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan

lagi kepada pengadilan HAM), sama sekali

tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Pembatalan UU No. 27 Tahun 2004

tentang KKR ini juga akhirnya secara tidak

langsung membatalkan terbentuknya

anggota KKR yang mana proses seleksinya

telah sampai ke tingkat Presiden, sekaligus

memupus alternatif penyelesaian kasus

pelanggaran HAM berat sebagaimana yang

dimandatkan oleh UU No. 26 Tahun 2006.

Meskipun UU tentang KKR ini telah

dibatalkan menurut Jimly Asshidiqie, hal

ini tidak berarti MK menutup upaya

penyelesaian pelanggaran HAM berat di

MERCATORIA, 11 (1) (2018): 90-126

125

masa lalu melalui upaya rekonsiliasi.

Dengan kata lain, upaya penyelasaian

kasus pelanggaran.

SIMPULAN

Pelanggaran HAM Berat

merupakan salah satu persoalan serius di

dalam pemerintahan Indonesia dimana

pemerintah telah berupaya menyelesaikan

berbagai kasus pelanggaran HAM berat

melalui instrument hukum yaitu Undang-

undang Nomor 39 tahun 1999 tentang

HAM dan Undang-undang Nomor 26 tahun

2000 tentang Pengadilan HAM meskipun

belum dapat berfungsi dan berjalan secara

maksimal di dalam menyelesaikan kasus

pelanggaran HAM berat yang terjadi di

Indonesia.

Keberadaaan Pengadilan Pidana

Internasional (International Criminal

Court-ICC) dan juga beberapa Pengadilan

Internasional ad hoc lainnya mulai dari

Pengadilan Internasional Nurenberg di

Jerman, Mahkamah Militer Tokyo,

Pengadilan Kejahatan Internasional untuk

Rwanda, Pengadilan Kejahatan

Internasional untuk negara-negara bekas

Yugoslavia, dan Pengadilan Internasional

Campuran telah menunjukkan

bahwasanya tidak seorangpun dapat lari

dari tanggungjawabnya terhadap tindakan

pelanggaran HAM yang dilakukan dimana

setiap orang memiliki kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan setiap bentuk

pelanggaran berat HAM yang

dilakukannya melalui mekanisme

pengadilan.

Mekanisme penyelesaian

pelanggaran HAM berat melalui melalui

mekanisme KKR dapat menjadi alternatif

terbaik bagi suatu negara didalam upaya

penyelesaian terhadap berbagai kasus

kasus pelanggaran HAM berat

karenamampu mengungkap fakta atau

kebenaran dan jalan pengadilan atas

peristiwa pelanggaran HAM yang berat

yang dilakukan oleh rezim pemerintahan

yang lama serta dapat memutus politik

impunitas dan mengantarkan rezim baru

menuju sistem demokratis dan negara

hukum sebagai sistem besar bagi tegaknya

hak- hak asasi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latif, Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya

Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi,

Total Media, Yogjakarta, 2007

A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan

Kewarganegaraan, Demokrasi , Hak Asasi

Manusia dan Masyarakat Madani,

Indonesian Center for Civic Education

(ICCE), Kencana Prenada Media, Jakarta,

2008

Ahmad Kosasih , “ HAM dalam Perspektif Islam ;

Menyingkap Persamaan dan Perbedaan

antara Islam dan Barat”, Jakarta: Salemba

Diniyyah, Edisi Pertama, 2003

Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan

Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press,

Yogjakarta, 2010

Bur Rasuanto, Keadilan Sosial Pandangan

Deontologis, Rawls dan Habermas Dua

Teori Filsafat Politik Modern, Gramedia

Pustaka Utama, 2005

Eddy, O.S., Hiariej, Pengadilan atas Beberapa

Kejahatan Serius terhadap HAM, Jakarta:

Erlangga 2010

Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum &

Globalisasi, Genta Press, Yogjakarta, 2007

Hamid Awaluddin, HAM Politik, Hukum, dan

Kemunafikan Internasional”, Jakarta: Buku

Kompas, 2012

H.A.R, Tilaar ,Perubahan Sosial dan Pendidikan:

Pengantar Pedagogi Transformatif untuk

Indonesia, PT Grasindo , Jakarta, 2002

Iman Santosa,” Hukum Pidana

Internasional”,Bandung: Pustaka Reka

Cipta, 2013

Max Boli Sabon, Hak Asasi Manusia Bahan

Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi,

Universitas Atma Jaya , 2014

Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam

Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 sampai

dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002,

Aulia Rosa Nasution, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan

Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

126

(Jakarta: Kencana Prenada Media, Cetakan

ke-3, 2005

Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi

Manusia (HAM), dan Proses Dinamika

Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia

(HAKHAM), Ghalia Indonesia,2006

Romli Atmasasmita, “Reformasi Hukum, Hak Asasi

Manusia dan Penegakan Hukum”, Bandung:

Mandar Maju, 2001

R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di

Indonesia”, Jakarta: Kencana Prenada

Media, 2006

Sacipto Rahardjo, “Hak Asasi Manusia Dalam

Masyarakat, dalam Muladi, Hak Asasi

Manusia , Hakikat, Konsep dan Implikasinya

dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat”,

Bandung: Refika Aditama, 2005

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama

Grafiti, 2008

Syawal Abdulajid & Anshar, “Pertanggungjawaban

Pidana Komando Militer Pada Pelanggaran

Berat HAM (Suatu Kajian Dalam Teori

Pembaharuan Pidana), Yogjakarta:

LaksBang PRESSindo

Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan! Politik

Hukum HAM Era Reformasi “, Yogjakarta:

PUSHAM-UII, 2010

Zamroni, Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan

Menuju Civil Society, Yogjakarta, BIGRAF

Publishing, 2001

Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia