Bagaimana pendapat ulama mengenai KEWAJIBAN zakat bagi orang yang berhutang

ZAKAT PROFESI

Istilah zakat profesi sangat populer hari ini baik itu dalam pengamalannya bagi golongan yang menerimanya, begitu juga dibincangkan kajian atas dasar hukumnya bagi pihak yang menolaknya.

Apa yang menjadi landasan hukum kewajiban zakat profesi? Dan berapa besarnya kadar, lalu kapan dikeluarkannya zakat profesi?

LANDASAN HUKUM KEWAJIBAN ZAKAT PROFESI :

  1. Ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya.
  2. Berbagai pendapat ulama terdahulu, maupun sekarang. Sebagian menggunakan istilah yang bersifat umum, yaitu al-amwaal. Sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah al-Maal al-Mustafaad.
  3. Dari sudut keadilan, penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas. Para petani harus berzakat, apabila hasil panen pertaniannya mencukupi nishab. Dan sangat adil, jika zakat ini pun bersifat wajib pada penghasilan yang diperoleh para pekerja profesional semacam dokter, dosen, konsultan hukum dan lain sebagainya.
  4. Sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial manusia, kususnya bidang ekonomi. Kegiatan ekonomi masyarakat dalam bentuk keahlian dan profesi semakin berkembang dan bahkan menjadi ladang penghasilan utama sebagian besar masyarakat. Karenanya, zakat profesi menjadi penting dan harus diterapkan.

WAKTU PENGELUARAN ZAKAT DAN BESAR KADARNYA :

Besar dan waktunya dianalogikan (disesuaikan) dengan dua jenis zakat. Yaitu, waktunya disesuaikan dengan zakat pertanian: setiap musim panen atau dalam hal ini ketika seseorang mendapat honor (gaji). Dan kadarnya disesuaikan dengan zakat perdagangan atau sama dengan zakat emas dan perak, yaitu kadar zakatnya 2,5 persen. Jadi, setiap bulan seseorang harus mengeluarkan zakat profesi sebesar 2,5 persen dari besarnya gaji.

HUKUM ZAKAT PROFESI :

Akad adalah ibadah ,dan dalam beribadah hendaknya selalu berpatokan kepada dalil (tauqifiyyah).

Dan tentang zakat profesi,tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an, maupun Sunnah Rasulullah SAW, dan Ijma’ atau Qiyas yang Shohih. Dan tidak satu pun dari kalangan para Ulama salaf yang menyatakan disyari’atkannya.

Kesimpulannya, mewajibkan sesuatu kepada harta manusia apa-apa yang tidak diwajibkan oleh Allah ,adalah perkara yang diharamkan,dan termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا
إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui” (QS. Al Baqarah: 188).

Hukum Zakat Profesi/ Penghasilan

Zakat Penghasilan dan Profesi tidak bisa disamakan dengan zakat hasil pertanian dan peternakan karena tidak ada nash maupun qiyas yang menjelaskannya. Zakat Profesi harus sesuai dengan nisab dan haul.
Para ulama menyatakan suatu kaidah yang agung hasil kesimpulan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa pada asalnya tidak dibenarkan menetapkan disyariatkannya suatu perkara dalam agama yang mulia ini kecuali berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman:

“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka suatu perkara dalam agama ini tanpa izin dari Allah?” (Asy-Syura: 21)

Pada asalnya tidak ada kewajiban atas seseorang untuk membayar zakat dari suatu harta yang dimilikinya kecuali ada dalil yang menetapkannya. Berdasarkan hal ini jika yang dimaksud dengan zakat profesi bahwa setiap profesi yang ditekuni oleh seseorang terkena kewajiban zakat, dalam arti uang yang dihasilkan darinya berapapun jumlahnya, mencapai nishab atau tidak, dan apakah uang tersebut mencapai haul atau tidak wajib dikeluarkan zakatnya, maka ini adalah pendapat yang batil. Tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menetapkannya. Tidak pula ijma’ umat menyepakatinya. Bahkan tidak ada qiyas yang menunjukkannya.

Adapun jika yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat yang harus dikeluarkan dari uang yang dihasilkan dan dikumpulkan dari profesi tertentu, dengan syarat mencapai nishab dan telah sempurna haul yang harus dilewatinya, ini adalah pendapat yang benar, yang memiliki dalil dan difatwakan oleh para ulama besar yang diakui keilmuannya dan dijadikan rujukan oleh umat Islam sedunia pada abad ini dalam urusan agama mereka. Hakikatnya ini adalah zakat uang yang telah kami bahas pada Rubrik Problema Anda edisi yang lalu.

Al-Lajnah Ad-Da’imah menyebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah (9/281):

“Tidak samar lagi bahwa di antara jenis harta yang terkena kewajiban zakat adalah emas (dinar) dan perak (dirham), dan bahwasanya di antara syarat wajibnya zakat pada harta tersebut adalah sempurnanya haul. Berdasarkan hal ini uang yang dikumpulkan dari gaji hasil profesi wajib dikeluarkan zakatnya di akhir tahun apabila jumlahnya mencapai nishab, atau mencapai nishab bersama uang yang lain yang dimilikinya dan telah sempurna haul yang harus dilewatinya. Zakat uang gaji hasil profesi tidak boleh diqiyaskan (disamakan) dengan zakat hasil tanaman (biji-bijian dan buah-buahan yang terkena zakat) yang wajib dikeluarkan zakatnya saat dihasilkan (dipanen). Karena persyaratan sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab yang ada pada zakat emas (dinar) dan perak (dirham) adalah persyaratan yang tetap berdasarkan nash, dan tidak ada qiyas yang dibenarkan jika bertentangan dengan nash. Dengan demikian, uang yang terkumpul dari gaji hasil profesi tidaklah terkena kewajiban zakat kecuali di akhir tahun saat sempurnanya haul.”

Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Majmu’ Rasa’il (18/178) berkata:

“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya. Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan , maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.”

Penjelasan imam ahli fiqih abad ini serta ulama lainnya yang tergabung dalam Komite Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang kami nukilkan di atas sudah cukup bagi siapapun yang mencari kebenaran dalam agama ini. Wallahul muwaffiq. Selanjutnya untuk pedoman umum dalam perhitungan zakat uang yang dikumpulkan oleh seseorang dari gaji profesinya setiap bulan, berikut ini kami nukilkan fatwa Al-Lajnah dan Al-’Utsaimin.

Al-Lajnah menyebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah (9/280): “Barangsiapa memiliki sejumlah uang yang merupakan nishab, kemudian dia memiliki tambahan uang berikutnya pada waktu yang berbeda-beda dan bukan hasil keuntungan uang yang pertama kali dimilikinya, melainkan tambahan uang tersendiri yang tidak ada kaitannya dengan uang sebelumnya. Seperti tambahan uang dari gaji profesinya setiap bulan, atau dari uang warisan yang didapatkannya, atau dari pemberian yang diterimanya, atau dari sewa tanah yang disewakannya.

Jika dia bertekad untuk mengambil haknya secara utuh dan tidak ingin memberikan kepada fakir miskin lebih dari kadar yang wajib didapatkan oleh mereka dari zakat hartanya, hendaklah dia membuat daftar/catatan khusus untuk menghitung secara khusus haul setiap jumlah uang yang ditambahkannya kepada simpanan sebelumnya mulai dari hari dia memiliki tambahan tersebut, agar dia mengeluarkan zakat setiap tambahan itu setiap kali haul masing-masingnya sempurna. Jika dia tidak ingin terbebani lalu memilih untuk berlapang dada dan sukarela mengutamakan kepentingan fakir miskin serta golongan lainnya yang berhak mendapatkan zakat dari kepentingan pribadinya, maka hendaklah dia mengeluarkan zakat uang yang dimilikinya secara total di akhir haul nishab uang yang pertama kali dimilikinya. Hal ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat derajatnya, lebih melegakan dirinya dan lebih memerhatikan hak fakir miskin serta golongan lainnya yang berhak mendapatkan zakat. Adapun kadar zakat yang lebih dari yang semestinya untuk dikeluarkan pada tahun itu dianggap sebagai zakat yang disegerakan pengeluarannya setahun sebelum waktunya tiba .”

Al-’Utsaimin berkata dalam Majmu’ Rasa’il (18/178) setelah menerangkan syarat wajibnya zakat uang yang dikumpulkan dari hasil profesi – yang telah kami nukilkan di atas–: “Namun memberatkan bagi seseorang untuk mencatat setiap tambahan uang yang disisihkan dari gajinya dan ditambahkan pada simpanan sebelumnya dalam rangka menghitung haulnya sendiri-sendiri, sehingga dia bisa mengeluarkan zakatnya pada akhir haulnya masing-masing. Untuk mengatasi kesulitan ini hendaklah dia mengeluarkan zakat total uang yang dimilikinya satu kali dalam setahun di akhir haul nishab yang pertama kali dimilikinya. Misalnya jika simpanan pertamanya yang merupakan nishab sempurna haulnya di bulan Muharram, hendaklah dia menghitung total uang yang dimilikinya di bulan Muharram dan mengeluarkan seluruh zakatnya. Dengan demikian zakat uang yang telah sempurna haulnya dikeluarkan pada waktunya, dan zakat uang yang belum sempurna haulnya disegerakan pengeluarannya setahun sebelumnya dan hal itu boleh.”

Wallahu a’lam.

Keterangan :
1. Nishab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat apabila harta yang dimiliki oleh seseorang mencapai nilai tersebut maka harta itu terkena kewajiban zakat. (pen)

2. Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang sedikitpun dari nishab sampai akhir tahun. Rasulullah bersabda:

مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

“Barangsiapa menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu
hingga berlalu atasnya waktu satu tahun”

Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi, dan pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, namun gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga merupakan hujjah. Bahkan Al-Albani menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang shahih sehingga beliau menshahihkan hadits ini.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (2/392): “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.” Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/14).

Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriah dan bulan Qamariah yang jumlahnya 12 (duabelas) bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah. Bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah. Lihat Al-Muhalla (no. 670), Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (9/200). (pen)

3. Nishabnya adalah uang yang jumlahnya senilai dengan 85 (delapan puluh lima) gram emas murni atau 595 (lima ratus sembilan puluh lima) gram perak murni. Namun realita yang ada sekarang, harga nishab perak jauh lebih murah dari harga nishab emas, sehingga bisa dikatakan bahwa nishabnya adalah senilai harga 595 gram perak sebagaimana kata guru kami Asy-Syaikh Abdurrahman Mar’i hafizhahullah. Jika nishab yang dimiliki telah sempurna haul yang harus dilewatinya, maka di akhir tahun wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5 % dari uang tersebut.

4. Sementara uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) sehingga zakat uang memiliki hukum yang sama dengan zakat emas dan perak. (pen)

5. Maksudnya yang tersimpan adalah nishab, karena apabila uang yang disisihkan dari gajinya untuk disimpan pada bulan pertama tidak mencapai nishab maka belum ada perhitungan haul. Namun pada bulan berikutnya dia menyisihkan lagi sebagian dari gajinya untuk disimpan dan jumlahnya bersama simpanan sebelumnya mencapai nishab –misalnya– saat itulah perhitungan haulnya dimulai. (pen).

6. Menyegerakan pengeluaran zakat setahun sebelum waktunya (sebelum sempurna haulnya) boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib:

أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ

“Bahwasanya Al-’Abbas bin Abdil Muththalib bertanya kepada Nabi tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba, maka Nabi memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu.” (HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan yang lainnya.)

Abu Dawud, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Albani merajihkan bahwa hadits ini mursal namun Al-Albani menghasankannya dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 857) dengan syawahid (penguat-penguat) yang ada.
Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang belum mencapai nishab, hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan ulama. Karena nishab merupakan sebab (faktor) sehingga suatu harta terkena kewajiban zakat. Jika sebab (faktor) tersebut belum ada, maka pada asalnya harta itu tidak terkena kewajiban zakat. (Al-Mughni 2/395-396, Al-Majmu’ 6/113-114, Asy-Syarhul Mumti’ 6/213-217)

oleh : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini Al-Makassari

Sumber: Majalah Islam AsySyariah dan berbagai sumber.