“Sepatutnya kita harus bersyukur, Indonesia memiliki Pancasila yang mampu mempersatukan keberagaman dan kemajemukan dari Sabang sampai Merauke,” jelas Cendekiawan Muda Yudi Latif, MA., PhD., saat memberikan ceramah Wawasan Kebangsaan kepada Pasis Seskoau Angkatan Ke-57 dan Sesau Angkatan Ke-13 di Gedung Widya Mandala I, Seskoau, Lembang. Selasa (28/1). Keberagaman di Indonesia harus dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan karena menjadi modal utama dalam membangun bangsa yang lebih kuat dan makmur. “Jangan jadikan keberagaman tersebut sebagai perbedaan untuk saling membatasi, tetapi untuk saling melengkapi dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,” katanya. Pancasila menjawab keberagaman tersebut, katanya, dengan menautkan perbedaan suku, ras, etnik, agama, budaya dan geografis dalam satu titik temu atau persetujuan untuk membangun kebhinekaan yang tertuang pada setiap sila pada Pancasila. Menurutnya dalam sila pertama menjelaskan keberagaman agama dimana setiap penduduk bebas memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing serta saling menghormati pilihannya. Kemudian sila kedua mengenai persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, selanjutnya sila ketiga merupakan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sila keempat, lanjutnya, dengan menghormati perbedaan pandangan, menerima aspirasi dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan serta dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Untuk sila kelima, saling bekerja sama, bekerja keras dan inovatif dalam mengembangkan usaha bersama dengan semangat tolong menolong. “Perwira siswa harus memahami betul visi misi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur,” katanya. Melalui ceramah ini, Yudi Latif berharap para Perwira siswa semakin menguatkan pemahaman, menumbuhkan dan mengamalkan semangat kebhinekaan yang tercantum dalam Pancasila. “Salam Pancasila,” tegasnya bersama seluruh Pasis dengan penuh semangat menutup kegiatan.
Oleh: Dr. Arqom Kuswanjono (Wakil Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada) Pancasila merupakan konsensus politik the founding fathers Indonesia ketika merumuskan dasar negara. Pluralisme dan multikulturalisme menjadi frame besar yang membingkai pemikiran mereka. Hal ini terlihat jelas pada usulan “kebangsaan/nasionalisme” sebagai sila pertama Pancasila yang dikemukakan oleh tiga tokoh besar dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Bukan sesuatu yang kebetulan, tetapi beranjak dari refleksi atas realitas keragaman bangsa Indonesia. Pancasila secara etimologis berarti lima dasar, yaitu 1). Ketuhanan Yang Maha Esa; 2). Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3). Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; 5). Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam buku Risalah BPUPKI dijelaskan bahwa Soekarno pun tidak ‘mensakralkan’ konsep Pancasila yang dirumuskannya. Bahkan ia mengatakan kalau ada yang tidak suka dengan bilangan 5 (lima) bisa diperas menjadi 3 (tiga) dengan nama Trisila, dan dapat pula diperas menjadi 1 (satu) sila dengan nama Eka Sila. Bagi Soekarno, hal yang jauh lebih penting dari sekedar bilangan-bilangan itu adalah terbentuknya dasar negara yang mewadahi dan mempersatukan seluruh keragaman bangsa Indonesia. Ketika ditanya mengapa Ketuhanan tidak dijadikan sebagai sila pertama, Soekarno menjawab bahwa kalau pun tidak ada sila ketuhanan dalam Pancasila, toh semua orang Indonesia sudah beragama. Agama, dalam arti kepenganutan agama, tidak menjadi persoalan untuk negara ini. Namun, keberadaan berbagai agamalah yang harus diwadahi dan disatukan. Di era Presiden Soeharto, Pancasila semakin memiliki posisi yang kuat sebagai konsensus politik dan dijadikan konsensus moral. Artinya, Pancasila tidak hanya sebagai dasar negara, tetapi diangkat sebagai pandangan hidup, jiwa, kepribadian serta dasar moralitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini ditegaskan melalui penetapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1978. Seluruh warganegara wajib mengikuti Penataran P4 ini baik melalui jalur pendidikan maupun struktural. Seiring dengan kejatuhan Soeharto, P4 turut dihapuskan karena dinilai menyimpang dari tujuan awal (menanamkan nilai-nilai Pancasila) menjadi alat politik penguasa. Beberapa tahun belakangan, wacana Pancasila cenderung bergulir ke arah ilmiah. Ada yang menempatkannya sebagai objek material yang dikaji dari perspektif beragam ilmu, adapula yang memposisikannya sebagai objek formal (pisau analisis untuk melihat persoalan). Tulisan ini mencoba menelisik Pancasila sebagai perspektif dalam melihat pluralisme agama. Pluralisme adalah fenonema yang sangat lekat dengan Indonesia. Enam agama resmi negara (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu) dan lebih dari 150 aliran kepercayaan, cukup menjadi bukti bahwa Indonesia termasuk salah satu negara pluralis terbesar di dunia. Pluralitas bisa menjadi potensi, namun dapat pula menjadi problem. Dalam konteks inilah pluralisme diperlukan untuk mengelola keragaman itu. Harus dipahami bahwa satu pandangan pluralisme tidak dapat mewakili, menggambarkan dan memberi solusi terhadap seluruh kenyataan manusia di dunia ini. Para tokoh pluralisme menyadari berbagai varian dalam pluralisme itu sendiri. Pluralisme Pancasila adalah dirkursus menarik yang perlu dipikirkan secara filosofis. Sejauh penelusuran saya, Pluralisme Pancasila telah lama hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pela Gandong (aturan adat di Ambon), misalnya, mengandung ajaran toleransi yang sangat tinggi. Apabila masyarakat Kristen memiliki hajat maka orang Islam yang menjadi panitia, demikian pula sebaliknya. Hanya saja, tradisi-tradisi bermuatan nilai pluralisme ini belum banyak diangkat oleh para ilmuan yang konsen dengan Pancasila. Secara garis besar, Pluralisme Pancasila didasarkan pada konsep Tuhan yang Satu, Kemanusiaan, Persatuan/kebangsaan, Demokrasi dan Keadilan. Secara filosofis kelima sila ini dapat klasifikasikan sebagai berikut: sila 1 merupakan dasar ontologis pluralisme, sila 2,3,4 sebagai dasar epistemologis dan sila 5 menjadi dasar aksiologis. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengafirmasi konsep ketuhanan seluruh agama yang ada di Indonesia. Dari segi eksoterik, pemahaman manusia tentang Tuhan sangat beragam. Namun secara esoterik Tuhan itu satu. Ungkapan terkenal yang menyiratkan hal ini adalah Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrua (berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada pengabdian yang mendua, artinya berbeda-beda jalan, namun sesungguhnya semua menuju pada Tuhan yang satu.) Dasar ontologis di atas menjadi pijakan bagi landasan epistemologis Pluralisme Pancasila yaitu kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan. Pluralisme harus didasarkan pada pemahaman kolektif bahwa semua manusia memilki hak yang sama dan harus diperlakukan secara adil dan beradab. Konsep pluralisme perlu ditarik dari dimensi teologis menuju dimensi sosial-kemanusiaan. Husserl mengatakan, “selera itu tidak dapat diperdebatkan”. Demikian pula dengan agama, yang lebih dari sekedar selera. Agama yang masuk ke ranah keyakinan, sangat bias jika diperdebatkan. Wilayah pemahaman teologis bersifat privat, sehingga setiap orang harus saling menghormati baik dalam posisinya sebagai individu spiritual maupun sebagai bagian suatu bangsa. Konsep demokrasi beragama di Indonesia diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 29, dimana negara menjamin setiap warganya untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Landasan aksiologis Pluralisme Pancasila adalah nilai ‘keadilan’ (sila ke-5). Negara harus dapat menjamin keadilan di segala bidang kehidupan agar kerukunan antarumat beragama dapat diwujudkan. Beragam kasus konflik antarumat beragama salah satu disebabkan oleh masalah keadilan, baik keadilan hukum, ekonomi, politik, sosial dan lain-lain. Secara distributif negara harus memperlakukan setiap pemeluk agama secara adil. Secara legalis, setiap pemeluk agama wajib taat dengan aturan yang dibuat oleh negara, dan secara komutatif antar pemeluk agama satu dengan yang lain harus membangun rasa keadilan secara bersama-sama. Notonagoro mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan ‘kesatuan organis’ (tidak dapat dipisahkan satu sila dengan yang lain). Maka dalam pluralisme Pancasila, kelima sila dengan ketiga dasar filosofisnya harus dilaksanakan dalam satu napas yang bersamaan.
Islam dan Pancasila saling menguatkan dan mendung pluralitas Selasa , 01 Jun 2021, 10:19 WIB Republika/Mardiah Ilustrasi Pancasila Red: Elba Damhuri REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Faisal Ismail, Guru Besar FIAI UII YogyakartaSebagai titik tolak pembahasan tulisan ini, perlu dirujuk kamus besar berstandar internasional untuk memahami secara benar pengertian plural, pluralitas, dan pluralisme. Menurut The Random House Dictionary of the English Language, kata ‘plural’ berarti “pertaining or involving a plurality of persons or things” (berkenaan atau melibatkan banyak orang atau hal). Kata ‘plurality’ (pluralitas) berarti “state or fact of being plural” (keadaan atau fakta yang bercorak majemuk). Kata ‘pluralism’ (pluralisme) berarti “a theory that reality consists of two or more independent elements” (suatu teori bahwa realitas terdiri atas dua unsur independen atau lebih). Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa inti pengertian kata plural, pluralitas, dan pluralisme adalah sama, yaitu sama-sama mengandung pengertian kemajemukan, keberagaman, keberbagaian, dan kebinekaan. Kata ‘plural’ dipakai untuk menujukkan kata sifat, kata ‘pluralitas’ dipergunakan untuk menunjukkan keadaan atau fakta yang bercorak majemuk, dan kata pluralisme dipakai untuk menunjukkan pandangan atau paham tentang kemajemukan.Kata plural, pluralitas, dan pluralisme dapat dipakai dan diterapkan ke dalam berbagai konteks dan wacana. Misalnya, pluralitas budaya, pluralisme budaya, pluralitas sosial, pluralisme sosial, pluralisme politik, pluralisme hukum, pluralitas pemikiran, pluralisme mazhab, dll. Poin penting yang perlu dicatat adalah makna pluralitas dan pluralisme sama sekali tidak mengandung pengertian menyamakan semua hal. Pluralisme politik tidak berarti menyamakan semua aliran dan pandangan politik. Pluralisme sosial tidak berarti menyamakan semua unsur dan aspek-aspek kehidupan sosial. Begitu pula, pluralisme agama tidak berarti menyamakan semua agama yang ada di dunia ini.Alquran, pluralitas, dan pluralisme Pancasila, pluralisme, dan agama Tidak ada agama atau kelompok komunitas agama yang di-exclude (dikeluarkan) dari bumi dan naungan Pancasila. Pancasila bersifat fair dan berlaku adil terhadap semua komunitas agama yang ada di Indonesia. Pancasila tidak membedakan keberadaan agama-agama dan eksistensi komunitas-komunitas agama. Di bawah naungan Pancasila, semua umat beragama yang ada di Indonesia adalah warga negara Indonesia yang memiliki status kewarganegaraan dan kebangsaan yang sama. Semua kelompok dan komunitas agama di Indonesia mengakui dan meyakini bahwa kelima sila dalam Pancasila sejalan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama masing-masing. Itu berarti Pancasila disambut dan diterima baik oleh semua komunitas agama di Indonesia. Pancasila dan agama memang tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan. Rais Syuriah Nahdlatul Ulama, KH Muhfudz Shiddiq, pada tahun 1990-an mengatakan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sudah final, bukan merupakan negara sementara dan bukan pula merupakan negara antara. Dalam ungkapan bahasa sekarang, NKRI dan Pancasila merupakan ‘harga mati.’Pancasila bersikap netral dan inklusif. Ia tidak memihak kepada agama tertentu dan juga tidak memihak kepada komunitas agama tertentu. Bukan tugas dan fungsi Pancasila untuk mengakui “kebenaran” suatu agama atau semua agama yang ada di Indonesia. Pancasila menyerahkan klaim kebenaran ajaran agama itu kepada para pemeluk agama masing-masing. Pancasila tidak mensinkretisasi ajaran agama-agama. Pancasila tidak mencampuri doktrin akidah dan ibadah yang diajarkan oleh masing-masing agama. Pancasila menyerahkan doktrin akidah dan tata cara beribadah itu kepada masing-masing komunitas agama. Pancasila sebagai konsepsi hidup kebangsaan dan kenegaraan tidak mengatur –apalagi mencampuri– doktrin transendental-Ilahiyah yang diajarkan oleh masing-masing agama. Tugas dan fungsi utama Pancasila adalah mengatur praktik berbangsa dan bernegara menuju persatuan, kesatuan, toleransi, dan kerukunan.
|