Bagaimana keadaan keamanan pada masa demokrasi parlementer

Peristiwa gangguan keamanan yang berkaitan dengan perkembangan politik pada masa demokrasi parlementer yaitu pemberontakan dan kekacauan yang dilakukan oleh PKI. keinginan PKI untuk mengganti ideologi pancasila dengan ideologi komunis. Demokrasi parlementer merupakan sistem pemerintahan pada masa Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat bentukan belanda, pada masa itu kabinet berganti sampai 7 kali sehingga kegiatan politik dan ekonomi sangat terganggu.

Dengan demikian, berikut ini gangguan keamanan politik pada masa Demokrasi Parlementer yaiitu

  1. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
  2. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).
  3. Pemberontakan Andi Aziz.
  4. Pemberontakan PRRI & Permesta.

tirto.id - Indonesia sempat menganut sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer. Namun, penerapan sistem demokrasi ini tidak bertahan lama. Berikut ini sejarah masa Demokrasi Parlementer di IndonesiaSejarah sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer atau Liberal diterapkan di Indonesia pada 1950-1959. Ketika menganut sistem ini, pemerintahan Indonesia dipimpin oleh perdana menteri bersama presiden sebagai kepala negara.Demokrasi Parlementer adalah sistem pemerintahan di mana parlemen negara punya peran penting. Pada sistem ini, rakyat memiliki keleluasaan untuk ikut campur urusan politik dan boleh membuat partai.
Tokoh-tokoh Indonesia yang memercayai dibutuhkannya Demokrasi Parlementer atau dikenal juga sebagai Demokrasi Liberal di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Menurut keduanya, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.

Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008:122) menambahkan, Indonesia berbentuk republik berlandaskan kedaulatan rakyat.

Penerapan Demokrasi Parlementer

Tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan bentuk negara hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan dengan Belanda, resmi dibubarkan.

Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2015:48) menyebutkan bahwa RIS kemudian diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seiring dengan itu, sistem pemerintahannya pun berubah menjadi Demokrasi Parlementer dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Menurut tulisan Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:96), pada masa Demokrasi Parlementer, muncul partai-partai politik baru yang bebas berpendapat serta mengkritisi pemerintahan.

Kendati awal kelahiran semua partai ini merupakan semangat revolusi, namun akhirnya mengakibatkan persaingan tidak sehat. Bahkan, bisa dikatakan ketika masa itu Indonesia mengalami ketidakstabilan pemerintahan.

Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)

Secara garis besar, kabinet-kabinet di Indonesia terbagi menjadi tujuh era di bawah pimpinan perdana menteri.

Setiap periodenya pasti memiliki permasalahannya masing-masing. Berikut ini ketujuh masa tersebut:

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)

Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan.Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas.

Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi.

PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.
2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952) PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi.Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952.

3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen. Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955. Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956)

Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis.Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956.
6. Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat , otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya.Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)

Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.

Akhir Demokrasi Parlementer

Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat keadaan politik Indonesia tidak stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada segala aspek lain negara.

Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.

KOMPAS.com - Demokrasi Liberal berlangsung di Indonesia dari tahun 1949 sampai 1959 dipimpin oleh Presiden Soekarno. 

Sewaktu Demokrasi Liberal berlangsung, muncul sistem multipartai yang didasari maklumat pemerintah pada 3 November 1945. 

Berlakunya sistem multipartai ini mendorong kemunculan banyak partai-partai politik Indonesia, hingga lebih dari 28 partai.  

Sayangnya, partai-partai pada masa demokrasi liberal lebih cenderung untuk mementingkan kepentingan partainya dari pada kepentingan bangsa.

Ini menyebabkan seringnya kabinet berganti karena masing-masing saling berebut kepentingan.

Dinamika politik dan pemerintahan Indonesia pada masa awal kemerdekaan pada masa Demokrasi Liberal, para elite politik dan pemimpin bangsa masih mencoba menemukan konsep pemerintahan yang sesuai dengan kondisi bangsa.

Kehidupan politik pada masa demokrasi liberal yaitu partai politik berkembnag secara kuantitas dan terciptanya kolaborasi antarpartai.

Baca juga: Kabinet Sukiman-Suwiryo: Susunan, Program Kerja, dan Pergantian

Pergantian Kabinet

Sistem politik Demokrasi Liberal berjalan selama kurang lebih 9 tahun di Indonesia (1949-1959).

Pada masa 9 tahun tersebut, Indonesia telah berganti kabinet sebanyak 7 kali, yaitu:

Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)

Kabinet ini dipimpin oleh Muhammad Natsir dari Partai Masyumi

Program Kerja:

  1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
  2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
  3. Menyempurnakan organisasi angkatan perang.
  4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
  5. Memperjuangkan kemerdekaan penyelesaian masalah Irian Barat.

Hasil:

Terjadi perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai Irian Barat.

Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Partai Masyumi dan PNI dipimpin oleh Sukiman Wiryosanjoyo.

Proram Kerja:

  1. Menjamin keamanan dan ketentraman
  2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agrarian agar sesuai dengan kepentingan petani.
  3. Mempercepat persiapan dan pemilihan umum
  4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas dan aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam RI secepatnya.

Hasil:

Hasil dari program kerja Kabinet Sukiman tidak terlalu berarti, hanya terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti yang sebelumnya menggiatkan keamanan dan ketentraman menjadi menjamin keamanan dan ketentraman.

Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Kabinet ini merupakan kabinet zaken, yaitu kabinet yang terdiri dari pakar yang ahli dalam bidangnya, dipimpin oleh Mr. Wilopo

Program dan Hasil Kerja:

  1. Dalam negeri: menyelenggarakan pemilu (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
  2. Luar negeri: penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, pengembalian Irian Barat ke Indonesia, dan menjalankan politik luar negeri bebas-aktif.

Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Kabinet ini merupakan koalisi antara Partai PNI dan NU dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo.

Program Kerja:

  1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera terselenggara pemilu.
  2. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
  3. Pelaksanaan politik bebas-aktif serta ditinjau kembali persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar).
  4. Penyelesaian permasalahan politik.

Hasil:

  1. Persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
  2. Menyelenggarakan konferensi Asia-Afrika tahun 1955.

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Kabinet ini dipimpin oleh Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi

Program Kerja:

  1. Mengembalikan kewibawaan (gezag) moril pemerintah, i.e. kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
  2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan menyegerakan terbentuknya parlemen yang baru.
  3. Menyelesaikan perundang-undangan desentralisasi sedapat-dapatnya dalam tahun 1955 ini juga.
  4. Menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan inflasi.
  5. Memberantas korupsi.
  6. Meneruskan perjuangan mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia.
  7. Memperkembangkan politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik bebas dan aktif menuju perdamaian.

Hasil:

  1. Berlangsungnya pemilihan umum pertama untuk DPR dan anggota konstituante secara demokratis pada tanggal 29 September 1955.
  2. Pemberantasan korupsi
  3. Pembubaran uni Indonesia-Belanda.
  4. Penyelesaian masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staff Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.

Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo, merupakan hasil koalisi dari PNI, Partai Masyumi, dan NU

Program Kerja:

  1. Perjuangan pengembalian Irian Barat
  2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya DPRD.
  3. Pembatalan KMB
  4. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan 5 tahun, menjalankan politik luar negeri bebas-aktif.
  5. Melaksanakan keputusan KAA.

Hasil:

Pembatalan seluruh perjanjian KMB

Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 5 Juli 1959)

Kabinet ini dipimpin oleh Ir. Djuanda.

Program Kerja:

  1. Membentuk Dewan Nasional
  2. Normalisasi keadaan RI
  3. Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB
  4. Perjuangan mengembalikan Irian Barat
  5. Mempercepat proses pembangunan

Hasil:

  1. Mengatur laut pedalaman dan laut territorial melalui Deklarasi Djuanda.
  2. Terbentuknya dewan nasional
  3. Mengadakan musyawarah nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah.
  4. Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri, namun tidak berhasil baik.

Baca juga: Sultan Mahmud Malik Az Zahir, Pembawa Kejayaan Samudera Pasai 

Pemilu 1955 

Sewaktu Demokrasi Liberal berlangsung, terdapat peristiwa penting yang terjadi di dalamnya, salah satunya yaitu Pemilu 1955. 

Dari banyaknya partai yang mencalonkan diri pada pemilihan umum 1955, terdapat empat partai yang menarik perhatian besar masyarakat Indonesia, yaitu:

Partai Nasional Indonesia (PNI) 

Partai Nasional Indonesia adalah partai politik tertua di Indonesia, didirikan pada 4 Juli 1927. 

PNI sendiri menjadi partai paling populer di kalangan masyarakat muslim. 

Pada masa pemilu 1955, PNI menjadi partai yang memperoleh suara terbanyak, yaitu 8.434.653 atau sebanyak 22,32% suara. 

Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)

Partai Masyumi menjadi partai politik Islam terbesar di Indonesia yang dibentuk pada 7 November 1945. 

Pada pemilu 1955, Masyumi menduduki peringkat kedua dengan perolehan suara sebanyak 7.903.886 atau sebesar 20,92% dan meraih 57 kursi parlemen di pemerintahan. 

Meskipun Masyumi mendapat suara terbanyak kedua, partai ini juga memiliki masalah dalam organisasi internal antara golongan Islam modernis dan tradisionalis. 

Masyumi terpecah menjadi 2 kubu pada 1952, kubu yang dipimpin oleh Sukiman dan kubu yang dipimpin oleh Natsir. 

Nahdlatul Ulama (NU) 

Partai NU ini merupakan pecahan dari Partai Masyumi yang didirikan oleh tokoh-tokoh Masyumi berideologi Islam tradisionalis, seperti 

Pada pemilu 1955, Partai NU berhasil menduduki peringkat ketiga dengan perolehan suara sebanyak 6.955.141 atau 18,41% dan meraih 45 kursi parlemen. 

Kesuksesan NU pada pemilu 1955 ini cukup mengejutkan bahkan bagi anggota internal NU sendiri. 

Partai Komunis Indonesia (PKI) 

Partai Komunis Indonesia berdiri pada 7 November 1945 oleh Henk Sneevliet. 

PKI sebenarnya pernah terlibat pada pemberontakan Madiun 1948, namun pada masa Demokrasi Liberal masih diperbolehkan untuk berpolitik. 

DN Aidit, salah satu tokoh dari PKI membangun partai ini dengan sangat hati-hati pasca pemberontakan Madiun 1948. 

PKI sendiri menduduki peringkat keempat pada masa pemilu 1955 dengan perolehan suara sebanyak 6.179.914 atau 16,36% dengan meraih 39 kursi parlemen. 

Referensi:

  • Hakiki, P. (2018). Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1949-1959. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau.
  • Sucipto, Sujarwanto. (2018). Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Pontianak: Derwati Press.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.