Bagaimana cara mengukur tingkat kemakmuran penduduk dalam suatu negara secara lebih real?


Bagaimana cara mengukur tingkat kemakmuran penduduk dalam suatu negara secara lebih real?

GDP (PPP) Indonesia tahun 2016 berada diurutan ke-8

Bagi sebagian ekonom, tingkat kemakmuran suatu bangsa biasanya diukur dari seberapa besar pendapatan/pengeluaran masyarakatnya. Dalam hal ini, untuk mendapatkan angka tersebut, yang paling mudah dilihat adalah seberapa besar produk domestik bruto per kapita suatu negara (PDB per kapita/GDP per capita). Jika ditinjau dari PDB per kapita, berdasarkan data IMF tahun 2016, pendapatan masyarakat Indonesia diperkirakan sebesar USD 3.620. Jika dibandingkan dengan negara sekitar, angka ini masih jauh di bawah Malaysia (USD 12.127) dan China (USD 8.239), namun berada di atas Filipina (USD 3.073) serta India (USD 1.820). Meski angka ini sering menjadi acuan, namun sebenarnya jumlah tersebut tak menunjukkan pendapatan secara riil.

Untuk melihat pendapatan masyarakat yang sebenarnya, saat ini ekonom menggunakan metode berdasarkan kemampuan daya beli dalam satuan internasional (dalam hal ini USD), atau yang dikenal dengan purchasing power parity. Mengapa menggunakan metode ini? Karena jika diukur secara nominal (seperti angka-angka di atas), maka tingkat kemakmuran suatu masyarakat tak bisa dibandingkan secara apple to apple. Misalnya, untuk memperoleh seporsi Nasi Padang di Indonesia, kita hanya merogoh kocek sebesar USD 1,5. Sedangkan di Malaysia untuk porsi yang sama, kita harus membayarnya hingga mencapai USD 3. Dari contoh tersebut, bisa diartikan bahwa secara nominal daya beli USD 1,5 di Indonesia, setara dengan USD 3 di Malaysia. Artinya, jika Anda memiliki USD 1,5 di Indonesia, maka di Malaysia bernilai USD 3.

Nah, jika diukur dengan menggunakan cara tersebut, maka pendapatan masyarakat Indonesia saat ini sebesar USD 11.633. Sedangkan Malaysia mencapai USD 25.833, China : USD 15.095, Filipina : USD 7.612, dan India : USD 6.664. Jadi jika diukur dengan menggunakan purchasing power parity (PPP), maka pendapatan masyarakat Indonesia saat ini adalah sebesar 45% pendapatan Malaysia, 77% pendapatan China (bandingkan jika menggunakan angka nominal, menjadi 44%), 153% pendapatan Filipina, dan 175% pendapatan India (bandingkan jika menggunakan angka nominal, menjadi 199% atau hampir dua kali lipat). Dengan menggunakan metode ini, maka bisa dikatakan bahwa daya beli orang Indonesia saat ini hanya separuh dari penduduk jiran Malaysia.

PNB Per Kapita Jabotabek Setara Malaysia

Bagaimana cara mengukur tingkat kemakmuran penduduk dalam suatu negara secara lebih real?

Peta Indonesia berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia

Meski income rakyat Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia, namun jika disigi secara regional, ada wilayah-wilayah yang pendapatannya lebih tinggi atau setara dengan Malaysia. Jabotabek misalnya, yang populasinya setara dengan Malaysia : 30.975.000 jiwa (Malaysia) dan 30.091.131 (Jabotabek) – memiliki pendapatan per kapita relatif sama. Berdasarkan perkiraan tahun 2016, PDB (PPP) per kapita warga Jabotabek mencapai USD 25.508, sedangkan Malaysia sebesar USD 25.833. Jika dilihat secara nasional, maka pendapatan masyarakat Jabotabek 2,2 kali lebih besar dari rata-rata pendapatan rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan lebih dari 25% PDB nasional dihasilkan oleh megapolitan tersebut.

Propinsi Riau yang secara geografis cukup dekat dengan Semenanjung justru memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi dari Malaysia. Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2015 Riau memiliki PDB sebesar Rp 652,39 triliun (dengan kurs IDR 12.500/USD, setara dengan USD 52,191 miliar atau USD 167.665 miliar (PPP)). Dengan jumlah penduduk mencapai 6,3 juta jiwa, maka pendapatan per kapita masyarakat tersebut sekitar USD 26.429 (PPP). Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sarawak memiliki pendapatan lebih tinggi lagi. Di tahun 2015, propinsi termakmur di Indonesia itu mempunyai PDB mencapai IDR 564,7 triliun (dengan kurs IDR 12.500/USD, setara dengan USD 45,176 miliar atau USD 145,129 miliar (PPP)). Dengan populasi yang cuma 3,6 juta jiwa, propinsi kaya batu bara itu bisa menghasilkan pendapatan hingga USD 41.477 (PPP).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Selain berdasarkan PDB per kapita, tingkat kemakmuran masyarakat juga diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM adalah indikator untuk melihat sejauh mana pemerintah berhasil membangun kualitas hidup masyarakat. Dalam hal ini ialah sejauh mana hasil pembangunan bisa diakses oleh masyarakat, sehingga mereka bisa memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan yang layak. Jika indeks di suatu negara/wilayah mendekati angka 1, maka masyarakat di wilayah itu bisa dikategorikan telah hidup makmur. Berdasarkan data yang dirilis oleh UNDP, pada tahun 2015 IPM Indonesia tergolong medium, yakni sebesar 0,684. Angka ini masih di bawah Malaysia (0,779) dan China (0,727), namun di atas Filipina (0,668) serta India (0,609).

Jika kita melihat masing-masing wilayah, maka beberapa daerah di Indonesia khususnya kawasan perkotaan, telah memiliki IPM dengan kategori tinggi, bahkan sangat tinggi. DKI Jakarta misalnya, propinsi dengan IPM tertinggi di Indonesia, saat ini memiliki indeks sebesar 0,789 (kategori tinggi). Bahkan Kota Yogyakarta dan Padang, berhasil masuk kategori IPM sangat tinggi, dengan skor masing-masing mencapai 0,846 dan 0,804. Bagaimana dengan Jabotabek? Selain Jakarta, kota-kota lainnya, yakni : Bekasi (0,796), Tangerang Selatan (0,793), Depok (0,791), Tangerang (0,761), dan Bogor (0,737), masuk ke dalam kategori tinggi. Sehingga secara keseluruhan IPM kawasan ini berada di atas Malaysia.

Rendahnya tingkat IPM Indonesia berbanding Malaysia, disebabkan tingginya disparitas pembangunan antara Jawa, Sumatera, dan Bali dengan wilayah lainnya. Saat ini, dari delapan propinsi yang masuk kategori IPM tinggi, enam berada di Jawa, Sumatera, dan Bali. Sementara itu 13 propinsi dengan IPM di bawah rata-rata nasional, 11 diantaranya berada di luar ketiga pulau tersebut. Ketimpangan lainnya tercermin dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dimana 80% PDRB nasional dihasilkan oleh Jawa, Sumatera, dan Bali.

Meski kawasan Indonesia Timur relatif tertinggal, namun tingkat kesejahteraan mereka masih cukup baik jika dibandingkan dengan negara tetangga. Hal ini bisa dilihat dari IPM Nusa Tenggara Timur (0,627) yang lebih baik dari Timor Leste (0,595). Ataupun IPM Papua (0,573) yang berada jauh di atas Papua Nugini (0,505). Tak salah jika kemudian banyak masyarakat dari kedua negara tersebut yang pergi berobat atau mendapatkan kebutuhan pokok di Indonesia.

Indeks Daya Saing Global

Bagaimana cara mengukur tingkat kemakmuran penduduk dalam suatu negara secara lebih real?

Indeks Daya Saing Global.

Indeks daya saing global atau Global Competitiveness Index, juga bisa menjadi acuan untuk melihat tingkat kemakmuran masyarakat. Karena dalam perhitungannya ada sembilan variabel pengukuran yang digunakan, antara lain : infrastruktur, makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan, teknologi, serta inovasi. Dari data yang dirilis oleh World Economic Forum pada tahun 2016, tercatat bahwa tingkat daya saing global Indonesia berada di posisi 37 (nilai 4,5) dari 140 negara. Posisi ini turun tiga peringkat dari tahun sebelumnya, setelah melompat 16 peringkat dibandingkan tahun 2014. Walau mengalami penurunan, posisi Indonesia tahun ini jauh di atas Filipina (47) dan India (55), namun masih di bawah Malaysia (18) serta China (28).

Indeks Kemakmuran

Meski baru diluncurkan satu dasawarsa lalu, indeks ini mulai dipertimbangkan sebagai alat ukur untuk melihat tingkat kemakmuran masyarakat. Dirilis oleh The Legatum Institute, salah satu lembaga penelitian yang berbasis di London, indeks ini menggunakan sembilan variabel dalam pengukurannya. Kesembilan variabel itu adalah : kualitas perekonomian, lingkungan bisnis, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, keamanan, kebebasan individu, modal sosial, dan lingkungan. Berdasarkan indeks tersebut posisi Indonesia saat ini berada di urutan ke-61 setelah Filipina (60), atau 23 peringkat di bawah Malaysia (38). Sementara dua raksasa Asia : China dan India, jauh di bawah Indonesia, yang masing-masing berada di urutan 90 dan 114.

Yang menarik dari indeks tersebut adalah posisi Indonesia dalam hal modal sosial. Dimana peringkat kita sekarang berada di urutan ke-14 atau yang tertinggi di Asia. Ini bisa diartikan bahwa masyarakat Indonesia merupakan kelompok yang paling altruistik di Asia. Altruistik adalah tindakan suka rela yang dilakukan oleh seseorang untuk menolong orang lain, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Selain memiliki modal sosial sangat baik, Indonesia juga tergolong aman. Hal ini tercermin dari rendahnya tingkat pembunuhan, dimana hanya 0,5 kasus yang terjadi pada setiap 100.000 orang. Sebagai catatan, Amerika yang menjadi kiblat peradaban saat ini, memiliki tingkat pembunuhan mencapai 3,9 : 100.000 orang. Ke depan, yang menjadi tantangan kita adalah bagaimana menciptakan lingkungan bisnis yang nyaman. Untuk itu, maka pemerintah kini sedang giat-giatnya melakukan berbagai paket deregulasi ekonomi, serta meningkatkan peran UMKM dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Indeks Kebahagiaan

Indeks lainnya yang bisa digunakan untuk melihat tingkat kemakmuran masyarakat adalah Indeks Kebahagiaan. Baru dirilis tahun 2012 lalu, indeks ini belumlah sepopuler IPM atau Indeks Daya Saing Global. Beberapa variabel yang digunakan untuk mengukur indeks tersebut adalah : pendapatan, tingkat harapan hidup, dukungan sosial, kebebasan atas pilihan, kemurahan hati, dan persepsi korupsi. Dengan menggunakan alat ukur tersebut, ternyata posisi Indonesia ada di peringkat 79 dengan angka sebesar 5,314. Lagi-lagi pencapaian ini masih di bawah Malaysia, yang memiliki tingkat kebahagiaan mencapai 6,005 (urutan 47). Namun tetap unggul dari Filipina (5,279), China (5,245), apalagi India (4,404). Sebagai gambaran, Denmark yang merupakan negara paling bahagia di dunia, saat ini memiliki skor mencapai 7,526.

* * *

Bagaimana cara mengukur tingkat kemakmuran penduduk dalam suatu negara secara lebih real?

PNB per kapita Indonesia diantara beberapa negara (1960-2014)

Jika dilihat data 50 tahun terakhir, bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup mengesankan. Meski beberapa negara seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, bisa menggenjot perekonomiannya lebih baik lagi. Namun jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lain, pertumbuhan ekonomi kita jauh lebih baik. Sebagai perbandingan, pada tahun 1960 PDB per kapita masyarakat Indonesia hanya sebesar USD 55, sedangkan India, Srilanka, dan Filipina sudah berada di level : USD 84, USD 143, dan USD 267. Tetapi setelah 54 tahun berselang, level Indonesia justru melampaui ketiga negara tersebut (lihat grafik), bahkan meninggalkan India jauh di belakang. Begitu pula halnya dengan Malaysia, dimana Indonesia berhasil mempersempit kesenjangan pendapatannya, dari 5,2 kali pada tahun 1960 menjadi 3,9 kali pada tahun 1990, dan kemudian 3,3 kali pada tahun 2014. Dari data Bank Dunia kita juga bisa menengok, bahwa pada tahun 1960 pendapatan per kapita Indonesia cuma sepertiga negara-negara Amerika Latin dan Afrika, seperti : Bolivia (USD 152,5), Honduras (USD 167,6), Maroko (USD 164,8), Pantai Gading (USD 157,2), atau Ghana (USD 183). Namun jika dibandingkan dengan saat ini, posisi Indonesia jauh meninggalkan mereka.

Ke depan, kinerja ekonomi Indonesia nampaknya tak lagi secepat pertumbuhan 50 tahun terakhir. Kecuali kita bisa menggeser sumber pendapatan dari yang berbasis ekstraktif ke produk-produk berteknologi tinggi serta jasa. Saat ini, peralihan tersebut baru terjadi di Jawa dan Bali. Dimana Jawa telah menjadi basis pengembangan teknologi dan industri keuangan, sementara Bali terus menggenjot penerimaannya dari sektor pariwisata. Di masa mendatang, sudah seharusnya pendapatan masyarakat Sumatera, Kalimantan, dan Papua tak lagi mengandalkan barang-barang tambang atau hasil perkebunan. Namun juga dari sektor jasa dan produk-produk olahan. Sehingga tingkat kemakmuran mereka tak lagi bergantung pada kebaikan dan ketersediaan alam.

Untuk melihat bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan, mungkin perhitungan Price Waterhouse Coopers (PwC) berikut bisa menjadi acuan. Menurut lembaga konsultan tersebut, pada tahun 2050 nanti PDB (PPP) Indonesia akan mencapai USD 12.210 miliar. Posisi Indonesia berada di urutan keempat setelah China, India, serta Amerika. Untuk pendapatan per kapita (PPP), di tahun itu income masyarakat Indonesia hampir menyentuh angka USD 40.000. Sedangkan China dan India masing-masing berada di level USD 42.500 dan USD 26.000. Dari perkiraan tersebut, terlihat bahwa selisih antara pendapatan rakyat Indonesia dan China semakin mendekat. Sementara India tetap jauh di belakang (lihat grafik di bawah).

Bagaimana cara mengukur tingkat kemakmuran penduduk dalam suatu negara secara lebih real?

Perbandingan PDB (PPP) per kapita Indonesia dan beberapa negara (2014 dan 2050)

Lihat pula :
Benarkah Jaman Soeharto Lebih Murah, Lebih Enak?