Apakah wudhu batal jika anak perempuan bersentuhan dengan adik kandung

Sudah maklum bahwa menyentuh orang lain jenis yang bukan mahram dalam mazhab Syafi’i merupakan salah satu hal yang dapat membatalkan wudhu. Hal ini berdasarkan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah (rambut) kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh wanita, lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS Al-Ma’idah Ayat 6)

Namun para ulama mengecualikan dari batalnya menyentuh orang lain yang bukan mahram, yaitu anak yang masih kecil dan belum sampai pada usia yang bisa menimbulkan syahwat. Berbeda halnya orang berlainan jenis kelamin bukan mahram yang telah sampai pada usia yang bisa menimbulkan syahwat, maka menyentuhnya dapat membatalkan wudhu meskipun orang yang punya wudhu tidak bersyahwat pada wanita atau laki-laki yang disentuhnya.

Baca juga:
• Siapa Saja Mahram, Orang yang Haram Dinikahi itu?
• Empat Hal yang Membatalkan Wudhu

Tentang batasan usia anak kecil yang tidak membatalkan wudhu ini para ulama memberikan pandangan bahwa yang menjadi pijakan adalah ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Sehingga tidak ada ketentuan usia khusus yang menjadi patokan dalam menentukan batas usia anak kecil yang tidak membatalkan wudhu ini.

Namun sebagian ulama lain ada yang menjadikan patokan khusus dalam menentukan usia anak yang sudah tidak masuk dalam kategori ini. Salah satunya adalah yang diungkapkan oleh Syekh Yusuf as-Sanbalawini bahwa usia tujuh tahun adalah batas akhir dari anak yang tidak menimbulkan syahwat, sehingga ketika anak sudah berusia tujuh tahun maka menyentuhnya dapat membatalkan wudhu. Sedangkan anak yang dianggap masih dalam tahapan tidak disyahwati adalah anak yang masih berusia lima tahun ke bawah, sehingga menyentuhnya tidak membatalkan. Sedangkan anak yang berusia enam tahun, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama antara yang berpendapat membatalkan dan tidak membatalkan.

Ketentuan demikian seperti yang terdapat dalam kitab Mirqah Shu’ud at-Tashdiq:

ـ (ولمس بشرة الأجنبية مع كبر) يقينا فلا تنقض صغيرة لا تشتهى لأنها ليست في مظنة الشهوة. والمرجع في المشتهاة وغيرها إلى العرف على الصحيح. قال الشيخ أبو حامد: التي لا تشتهى من لها أربع سنين فما دونها أفاد ذلك الدميري. وقال شيخنا يوسف السنبلاويني: فإذا بلغ الولد سبع سنين فإنه ينقض باتفاق ذكرا كان أوأنثى وإذا بلغ خمس سنين فلا ينقض باتفاق. وأما إذا بلغ ستّ سنين ففيه خلاف فقيل ينقض وقيل لا. وهذا يرجع إلى طباع الناس حتّى أنّ الولد الذي بلغ خمس سنين فقط ينقض لمن يشتهيها ولا ينقض لغيره

“Dan (di antara hal yang membatalkan wudhu) menyentuh kulit wanita lain (bukan mahram) yang telah besar secara yakin. Maka tidak batal menyentuh gadis masih kecil yang tidak menimbulkan syahwat, sebab ia bukanlah orang yang layak untuk dijadikan sebagai madzinnah as-syahwat (objek yang diduga kuat akan menimbulkan syahwat). Parameter dalam penentuan wanita yang disyahwati dan yang tidak disyahwati adalah urf (kebiasaan manusia setempat) menurut pendapat yang sahih.

As-syaikh Abu Hamid berkata: ‘perempuan yang tidak disyahwati adalah orang yang masih berusia empat tahun dan usia di bawahnya’ hal ini dikutip oleh Imam Ad-Damiri. Guruku, Yusuf As-Sanbalawini berkata, ‘ketika anak telah berusia tujuh tahun maka (menyentuhnya) dapat membatalakan wudhu menurut kesepakatan para ulama. Baik laki-laki maupun perempuan. Dan ketika berusia lima tahun maka (menyentuhnya) tidak membatalkan wudhu menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan ketika berusia enam tahun maka terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat membatalkan ada pula yang berpendapat tidak membatalkan. Ketentuan ini berpijak pada perwatakan manusia, sampai seandainya anak yang berusia lima tahun saja (menyentuhnya) dapat membatalkan wudhu bagi orang yang merasa syahwat padanya dan tidak membatalkan bagi orang yang tidak syahwat padanya.” (Muhammad bin ’Umar Nawawi al-Bantani, Mirqah Shu’ud at-Tashdiq, hal. 44)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa batas usia anak yang tidak membatalkan wudhu sebenarnya ditentukan oleh ‘urf atau common sense sehingga pijakannya bisa berbeda-beda sesuai dengan budaya umumnya masyarakat setempat. Namun sebagian ulama berpandangan bahwa batas usia akhir anak yang tidak membatalkan wudhu ketika disentuh adalah berusia tujuh tahun, sehingga dengan demikian baiknya bagi kita untuk menghindari menyentuh anak yang sudah berusia tujuh tahun walaupun sejatinya anak tersebut masih belum memunculkan rasa syahwat pada kita, hal ini dalam rangka mengambil jalan hati-hati (ihtiyath) atas menyikapi berbagai pandangan ulama dalam menyikapi hal ini. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)


Apakah wudhu batal jika anak perempuan bersentuhan dengan adik kandung
Apakah wudhu batal jika anak perempuan bersentuhan dengan adik kandung
bersentuhan dengan sepupu

BincangSyariah.Com – Dalam kitab Safinatun Najah terdapat keterangan bahwa perkara yang membatalkan wudhu ada empat, di antaranya adalah menyentuh lawan jenis antara laki-laki dan perempuan. Baik menyentuh secara sengaja atau tidak, jika terjadi persentuhan antara lawan jenis, maka wudhu keduanya batal. Apakah bersentuhan dengan sepupu termasuk yang membatalkan wudhu?

Namun demikian, persentuhan antara lawan jenis ini dapat membatalkan wudhu bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;

Pertama, tidak ada ikatan mahram antara keduanya. Jika ada ikatan mahram, maka persentuhan antara keduanya tidak membatalkan wudhu.

Kedua, anggota yang tersentuh antara kulit dan kulit, bukan rambut, kuku atau gigi. Bila hanya menyentuh rambut, atau menyentuh dengan kuku, maka wudhu keduanya tidak batal.

Ketiga, terjadi persentuhan langsung antara kulit laki-laki dan perempuan, tanpa ada penghalang seperti kain, plastik dan lain sebagainya. Jika ada penghalang, maka wudhu keduanya tidak batal.

Keempat, keduanya sudah mencapai batasan umur yang sudah bisa disukai lawan jenisnya atau disebut dengan haddun yusytaha.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;

ذكر للتلاقي الناقض أربعة قيود لا بد منها: تلاقي البشرة، وكونه بين ذكر وأنثى، وكونه مع الكبر، وعدم المحرمية بينهما

Disebutkan bahwa persentuhan yang membatalkan wudhu harus memenuhi empat syarat; Persentuhan kulit antar kulit, antara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama sudah dewasa, dan tidak ada hubungan mahram di antara keduanya.

Sepupu Bukan Termasuk Mahram

Sementara ikatan sepupu, menurut para ulama, tidak ada ikatan kemahraman di antara sepupu. Karena itu, jika seseorang menyentuh sepupunya yang berbeda jenis dan sudah sama-sama dewasa, maka wudhunya batal.

Ini sebagaimana terdapat keterangan dalam kitab Asnal Mathalib berikut;

فَإِنَّ بِنْتَ الْعَمِّ لِلْأُمِّ أَوْ لِلْأَبِ لَيْسَتْ فِي الْمَحَارِمِ فَإِنَّهُ يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُهَا

Sesungguhnya anak perempuan dari saudara laki-laki (sepupu) baik seibu atau seayah bukan termasuk mahram, maka halal untuk dinikahi.

Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat kita pahami bahwa sepupu bukan termasuk bagian dari mahram. Oleh karena itu, jika seseorang bersentuhan dengan sepupu, maka wudhunya batal, baik sepupu dari jalur ayah maupun sepupu dari jalur ibu.