Apakah daging banteng halal untuk dimakan?

Suara.com - Makan daging babi merupakan tindakan haram alias perbuatan berdosa jika dilakukan oleh umat Muslim.

Namun pada kondisi tertentu, makan daging babi dibolehkan. Apa saja syarat dan kondisinya?

“Babi itu haram, tapi makan babi tidak selamanya haram,” ujar Ustadz Abdul Somad saat menghadiri diskusi virtual bersama IDI, beberapa waktu lalu.

Daging babi menurut penceramah yang akrab disapa UAS ini halal dimakan jika dalam kondisi darurat. Misalnya, ketika tersesat di dalam hutan dan tak bisa menemukan sumber makanan lain.

Baca Juga: 10 Fakta Menarik tentang Babi, Salah Satunya Tak Berkeringat

Apakah daging banteng halal untuk dimakan?
Olahan daging babi. (Pixabay/Sharon Ang)

“Jadi, ketika masuk di dalam hutan, dan di dalam hutan itu tidak ada makanan, tidak ada pisang, tidak ada umbi-umbian. Sementara (saat itu) pilihannya hanya babi atau mati,” terangnya.

Penting dipahami bahwa kondisi darurat ini berlaku mutlak. Dengan kata lain jika masih ada sumber bahan makanan lain yang halal, maka makan daging babi tetap haram.

Ketika kelaparan mengancam nyawa tanpa ada sumber makanan lain barulah daging babi halal dimakan.

“Maka saat itu tidak boleh (umat Islam) pilih mati. Jadi, boleh makan babi karena (situasinya) darurat,” kata UAS.

Sementara itu di pasaran, ada pula daging babi yang dijual bebas. Mengingat risiko ini, penting bagi masyarakat mengetahui perbedaan antara daging babi dan daging sapi.

Baca Juga: Arti Mimpi Babi, Ada Keberuntungan Yang Akan Menghampiri

Ada lima perbedaan antara daging babi dengan daging sapi yang bisa terlihat, yakni warna, serat, tekstur, lemak, dan aroma.

2020-08-09 21:47:50

Apakah daging banteng halal untuk dimakan?

Diasuh oleh:

Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat)

Dr. KH. Abdul Halim Sholeh, M.A. (Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Agaknya karena habitatnya terganggu, maka banyak gajah merambah ke kebun rakyat dan memakan tanaman kebun pertanian. Sehingga oleh beberapa warga ada gajah yang diburu dan dibunuh. Nah, bangkainya kalau dibiarkan membusuk secara terbuka, tentu juga akan membahayakan lingkungan, sedangkan kalau dikubur juga sangat sulit. Oleh karena itu ada yang menyembelih gajah itu sebelum mati, atau ketika menembak buruannya dengan mengucapkan “Basmalah” lalu dagingnya dimanfaatkan untuk konsumsi.

Sejatinya kami bingung dan ragu dengan kondisi ini, apakah daging gajah itu halal untuk dikonsumsi? Maka saya pun mengajukan pertanyaan ini. Bagaimana sebenarnya hukum mengkonsumsi atau memakan daging gajah itu pa’ ustadz? Atas jawaban dan penjelasan yang diberikan, kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.

Ali Husen, Jambi

Jawaban:

Pertama-tama, berkaitan dengan masalah ini, dalam ranah kenegaraan, perlu dikemukakan, ada ketentuan dan peraturan legal perundang-undangan yang merupakan hukum positif dan berlaku secara nasional. Menjadi acuan serta pedoman yang karenanya, harus diperhatikan sekaligus juga diimplementasikan bagi kita sebagai warganegara, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yakni, bahwa menurut ketentuan hukum nasional, dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa, Gajah (Elephas indicus) termasuk jenis satwa yang dilindungi. Juga ditetapkan kawasan hutan lindung sebagai habitatnya. Bagi yang merambah hutan lindung dan mengganggu habitat satwa yang dikonservasi-dilindungi, termasuk di dalamnya adalah gajah, niscaya dikenakan sanksi hukum, sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan dalam telaah Fiqhiyyah, gajah termasuk hewan yang bertaring. Berdasarkan hadits, dari Abu Hurairah dari Nabi Saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan. [H.R. Imam Muslim no. 1933]. Hadits ini diriwayatkan secara Mutawatir, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125), dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119).

Dalam hadits itu, disebutkan, yang dimaksud dengan “dziinaab” yakni semua binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk menghadapi lawannya. Dan semua hewan jenis itu haram dimakan”. [Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi].

Lebih lanjut lagi dijelaskan maksud bertaring ialah hewan yang menggunakan gigi taringnya untuk menerkam dan membunuh lawan/mangsanya (lihat Kitab An-Nihayah, Al-Majmu’). Di antara contoh yang disebut ulama bagi binatang-binatang jenis ini ialah; anjing, kucing, singa, harimau, serigala, gajah, kera dan seumpamanya (lihat; Nailul-Autar, As-Syaukani; 1/131. Al-Majmu’, an-Nawawi; 9/14. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah; Bab bahasan tentang “Ath’imah”).

Menurut Jumhur (kebanyakan) ulama Syafiiyah, gajah termasuk hewan yang tidak boleh dimakan. Meskipun gajah disembelih secara Islami, misalnya, namun dagingnya tetap tidak halal dimakan. Karena gajah termasuk hewan yang memiliki taring. Dan setiap hewan yang memiliki taring, maka ia tidak halal dimakan.

Dikatakan pula oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Wasith sebagai berikut: “Dasar ketiga (tentang bahan/makanan yang haram dimakan) adalah setiap hewan buas yang memiliki taring dan setiap burung yang memiliki cakar. Ini karena Rasulullah saw melarangnya. Dan, gajah hukumnya haram, karena ia memiliki taring”.

Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafii juga menyatakan sebagai berikut: “Tidak diperkenankan berwudhu’ dan minum dengan menggunakan tulang bangkai dan tulang hewan yang disembelih yang tidak boleh dimakan dagingnya, seperti tulang gajah, harimau dan sejenisnya. Sebab tulang hewan itu tidak dapat disucikan dengan dibasuh atau dengan proses penyamakan. Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa dia pernah mendengar Abdullah bin Umar yang tidak suka berminyak dengan minyak dari tulang gajah karena hal itu adalah bangkai”.

Meskipun kebanyakan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa gajah hukumnya haram dimakan, namun sebagian ulama ada yang membolehkan (daging) gajah untuk dimakan, seperti Imam Asy-Sya’bi, Ibnu Syihab, dan Imam Malik. Ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu sebagai berikut: “Termasuk hewan yang haram dimakan adalah gajah. Gajah adalah haram menurut kami (ulama Syafiiyah), juga menurut Abu Hanifah, ulama Kufah, dan Imam Al-Hasan. Sementara Imam Asy-Sya’bi, Ibnu Syihab, dan Imam Malik membolehkannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab”, Juz 10 h. 27, yang ditulis oleh dua orang ulama besar, yakni: Al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarof asy-Syafii an-Nawawi dan al-Imam Taqiyuddin al-Subuki, terbitan Darul Hadits, Kairo, Mesir.

Menurut madzhab Maliki; hewan yang haram dimakan hanyalah yang disebut keharamannya secara Sharih di dalam Al-Quran (di antaranya di dalam surat al-An’am, ayat 145, an-Nahl ayat 115, dll). Yaitu: “bangkai, darah dan daging babi”. Sedangkan binatang yang tidak disebut dalam ayat-ayat ini, maka tidaklah haram memakannya. Adapun binatang yang bertaring tadi; Makruh memakannya karena dilarang oleh hadits Nabi saw. Jadi, menurut madzhab Maliki; larangan Nabi Saw dalam hadits tersebut adalah larangan yang bersifat makruh, bukan larangan haram (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah).

Wallahu a’lam bimurodih.

2014-08-14 09:16:28

Apakah daging banteng halal untuk dimakan?

Pertanyaan

Assalamu’alaykum warahmatullah

Saya pernah mengikuti acara pemasangan pertama pondasi proyek pembangunan jembatan yang besar. Ketika itu ada penyembelihan kerbau, dipimpin oleh seorang kyai, dengan doa-doa. Lalu kepala kerbau dikubur di dekat pondasi proyek itu. Katanya sebagai sesajenan, tumbal untuk si penunggu daerah itu, agar proyek yang besar itu dapat selamat dari ‘gangguan’ si penunggu tempat. Nah, bagaimana hukumnya memakan daging dari sembelihan yang semacam itu pak ustadz?

Demikian pertanyaan dari kami dan atas jawaban yang diberikan kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.

Wassalam

Bayu, Tegal

Jawaban:

Kalau kita baca konteks ayat tentang penyembelihan hewan yang menyebutkan: wamaa uhilla lighoirillahi bih... (“dan apa-apa/daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah…” Q.S. 5:3). Maksudnya bahwa penyembelihan itu bukan saja zhahirnya harus menyebut Nama Allah, tetapi juga bahwa penyembelihannya itu secara batinnya memang ditujukan untuk ibadah atau amalan yang diperbolehkan Allah. Maka kalau ada penyembelihan dengan menyebut Nama Allah, tetapi diperuntukkan untuk hal-hal yang menyimpang dari Tauhid, apalagi ke arah Syirik seperti yang disebutkan untuk tumbal itu, maka dagingnya tetap dihukumi haram untuk dimakan. Karena ayat itu mesti kita pahami bukan secara zhahir saja, melainkan secara bathiniyah, dalam arti hal-hal yang dimaksud atau ditujukan dengan amal-perbuatan yang dilakukan, harus sinkron antara amalan zhahir dengan bathinnya. Maka walaupun hewan sapi atau kerbau itu disembelih dengan menyebut Nama Allah, tetapi dimaksudkan untuk tumbal, sesajenan atau yang semacam itu, yang jelas-jelas merupakan perbuatan syirik, maka itu menjadi haram hukumnya.

Dalam hal ini, kita harus memahami ajaran Islam secara Kaaffaah, secara totalitas. Tidak boleh sebagian-sebagian, secara parsial. Seperti itu tadi, menyembelih dengan menyebut Nama Allah, pakai doa-doa, mungkin juga dipimpin oleh seorang yang disebut kyai, tetapi kepala hewan ditanam untuk tumbal atau sesajenan.

Apalagi kalau itu dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi keinginan Jin atau Setan yang katanya akan mengganggu. Jelas itu merupakan bentuk kemusyrikan, menyalahi Aqidah, yang dilarang dalam agama! Seolah-olah ada keyakinan bahwa untuk menghindari gangguan, agar selamat, adalah dengan meminta perlindungan kepada Jin atau Setan, dengan memberinya sesajenan. Bukan meminta kepada Allah.  Perhatikanlah makna ayat yang tegas menyatakan: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Q.S. 1:5).

Dalam ayat yang lain dikemukakan: “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Q.S. 72:6).

Oleh karena itu, kita mengingatkan bersama, kalau ada proyek pembangunan, seperti yang disebutkan itu, kita boleh berdoa, menyembelih sapi dengan menyebut Nama Allah. Lalu dagingnya dimakan bersama, atau dibagikan kepada kaum fakir-miskin. Tapi jangan ada niatan dan amalan yang lain, seperti kepalanya ditanam, untuk menjadi tumbal atau sesajenan!

Dari sisi lain, perbuatan seperti menanam kepala sapi itu juga bisa dipahami sebagai perbuatan Tabdzir, perbuatan dosa, “idho’atul maal” menyia-nyiakan harta, itu termasuk saudaranya Setan. “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (mubadzir). Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. 17: 26-27).

Maka jelas, kita harus memperbaiki kesesatan semacam ini. Dan itu bisa! Kami pernah punya pengalaman. Di kampung kami, ada seorang pengusaha mau membangun pabrik penggilingan padi. Konon katanya dari awal pengerjaan pembangunan itu, ada saja pekerjanya yang kecelakaan, terkena musibah. Sampai mesin penggilingan padi yang baru dibeli, setelah dipasang, ternyata ada gangguan, tidak bisa jalan. Katanya hal itu terjadi karena ada yang mengganggu, dan meminta tumbal atau sesajenan, kepala sapi atau kerbau, kalau mau selamat. Namun kami dengan para ulama setempat sepakat tidak mau memenuhi permintaan yang jelas menyesatkan itu. Tapi kita bersama-sama membaca doa, berdzikir, meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah, di tempat shohibul bait itu. Dan Alhamdulillah, pada akhirnya semua berlangsung selamat.