Apa yg km ketahui tentang achmad soebarjo

Berdasarkan: Keppres No. 058/TK/TH. 2009, 6 November 2009

Menteri Luar Negeri pertama R.I ini lahir di Teluk Jambe, Karawang, di sebuah desa di tepi Sungai Cimanuk (Jawa Barat) pada tanggal 23 Maret 1896. Dari kakek buyutnya; H. Muhammad Usman, seorang pejuang perang Aceh dari Pidie. Ia meninggalkan Aceh karena merasa tidak aman hidupnya karena dikejar-kejar oleh apparat pemerintah kolonial Belanda dan persaingan internal kelompok pejuang. Pada tahun 1840, Teuku Usman bersama pengikutnya dengan perahu layer sampai di perairan Indramayu, pantai utara pulau Jawa. Tatkala mendekati pantai Indramayu, perahunya dilanda topan dan hancur berantakan, Teuku Usman bersama pengikutnya berenang menyelamatkan diri, terdampar di Pantai Panganjang di tepi Sungai Cimanuk, kemudian ia mendirikan pesantren dan menjadi tokoh di desa tersebut, kemudian ia menikah dengan gadis tersebut dan mempunya 3 (tiga) orang anak, anak pertamanya bernama Teuku Saleh, anak kedua bernama Abdul Karim dan seorang anak perempuan bernama Cut Aminah. Kakeknya Abdul Karim menikah dengan gadis Wardinah anak seorang pedagang kayu bernama Haji Husein, sesudah pernikahannya, Teuku Abdul Karim pindah ke kota Indramayu.

Disana ia tidak terlalu lama menetap, karena masyarakat meminta ia menjadi Khatib Masjid Jatibarang. Dalam perkawinannya, Teuku Karim mempunya 5 (lima) orang anak yaitu; Teuku Jusuf (anak sulung, ayah dari Achmad Subardjo), adik-adiknya adalah Ismail, Mujenal, Muchsan dan Sidua. Teuku Karim meninggal dunia di Jatibarang, sepeninggal Teuku Karim, istrinya pindah ke Indramayu, kemudian ke Teluk Agung yang jaraknya 4 KM dari kota Indramayu. Ketiga anak laki-lakinya dikirim masuk pendidikan pesantren pengajian, anak perempuan dan bungsunya yang tinggal bersama ibunya, ayah Subardjo; Teuku Jusuf di wilayah Indramayu tersohor sebagai Qori pembaca Al-Quran karena suaranya yang merdu. Ia seringkali mendapat undangan dari Husli Wedena (camat) Teluk Agung Indramayu) bernama Achmad yang pernah menjadi santri disebuah pesantren di Surabaya, berangkat dari santri Achmad bersekolah di negeri Belanda yang mengantarkannya ke kader pamong praja.

Achmad tertaut pada kesalehan Teuku Jusuf dan menjodohkannya dengan putri tunggalnya Wardinah dan dari perkawinan pasangan ini lahir 4 (empat) orang anak, Siti Chadijah, anak kedua yaitu Siti Alimah, disusul Abdurakhman dan yang bungsu bernama Abdul Manaf. Namun atas usul kawan kakeknya nama Abdul Manaf diganti menjadi Soebardjo yang berarti “Cemerlang” atau “Gemerlap”. Karena menurut pendapatnya nama Abdul Manaf terlalu berat bagi si bayi. Neneknya kemudian menambahkan nama kakeknya Achmad, lengkaplah namanya menjadi Achmad Soebardjo.

Karena menjadi seorang menantu Pamong Praja, Teuku Jusuf kemudian menempuh karir ke Pamong Praja juga. Ketika Soebardjo lahir, ayahnya telah menjabat sebagai Mantri Polisi Pamong Praja (Sekretaris Kecamatan) Teluk Jambe. Karir ini dimulai dari magang (calon pegawai). Dengan statusnya sebagai Pejabat Daerah, Teuku Jusuf mempunyai hak untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda. Di Karawang belum ada sekolah Belanda. Teuku Jusuf menyekolahkan anak-anaknya ke Batavia. Soebardjo bersama kakak-kakaknya terpaksa mondok di Batavia, mereka bersekolah di tiga sekolah; Europeesche Lagere School-ELS di Kwitang, kemudian pindah ke ELSB di Pasar Baur, tamat ELS Soebardjo melanjutkan pendidikannya di Prince Hendrik School (Sekolah Pangeran Hendrik) kemudian pindah ke sekolah Koning William III (KW III) di Salemba, suatu sekolah almamater para pemimpin Indonesia dan pelbagai suku bangsa.

Di sekolah ini, Soebardjo banyak membaca buku. Buku yang paling menyentuh hatinya adalah Max Havelar yang ditulis oleh Douwes Dekker mantan pejabat Asisten Residen Lebak (Banten). Penulis ini menggunakan nama samara Multatuli. Buku ini berkisah tentang kesewenang-wenangan para penguasa baik Belanda maupun pribumi terhadap rakyat.

Di sekolah ini, Soebardjo bersahabat dengan Max Maremis. Persahabatan terjalin karena mereka mempunyai hobby yang sama, musik klasik. Mereka berlatih secara tekun. Artikel pertama yang menggugah kesadaran politiknya adalah Een Eereschuld (Hutang Budi) karya Van Deventer. Artikel ini terbit pada 1899, dalam majalah De Nieuwe Gido. Ia mengetengahkan sebuah gagasan untuk meningkatkan kesejahteraan pendidikan pribumi agar pribumi dapat dilibatkan perannya dalam semua bidang pekerjaan baik di lingkungan pemerintah maupun swasta. Van Deventer mengusulkan agar dilaksanakan desentralisasi pemerintah, dalam rangka membantu kemjuan penduduk. Kesadasran politik dan kebangsaan semakin berkembang pada tahun 1913 setelah terjadi peristiwa besar. Peristiwa itu adalah perayaan 100 tahun kebebasan Belanda dari kekuasaan Perancis yang diadakan secara besar-besaran. Tiba-tiba saja perayaan itu terganggu oleh selembaran tulisan yang berjudul “Als ik een Nederland was…” (Seandainya aku orang Belanda…) yang ditulis bersama tiga serangkai anggota Indische Partij, Suwandi Suryaningrat, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker.

Soebardjo menamatkan pendidikan HBS Koning Willem III (KW III) pada tahun 1917. Pada tahun itu juga Soebardjo bergabung dengan Tri Koro Darmo organisasi pemuda di bawah naungan Boedi Utomo. Bersamaan dengan masa Perang Dunia I di Eropa, Pergerakan Nasional Indonesia berkembang pesat. Sarikat Islam sebuah organisasi pergerakan politik yang beridiologi Islam-Nasional di bawah pimpinan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, menjadi organisasi yang dominan. Hampir semua daerah berdiri cabang Sarikat Islam, karena organisasi bertujuan memajukan kesejahteraan, pendidikan masyarakat berdasarkan ajaran Islam. Soebardjo amat tertarik dan terkesan pada tema-tema pidato Tjokroaminoto tentang kebangsaan dan keagamaan. Ia seorang orator ulung yang menguasai psikologi massa yang amat mengesankan Soebardjo yaitu dengan kata-katanya: “Kita adalah bangsa yang mempunyai harga diri dan bukan bangsa kodok, yang menongkok ditanah untuk menghormati yang lain, tanpa memandang pangkat atau pendidikannya”.

Seusai Perang Dunia I, Soebardjo melanjutkan pendidikanya ke negeri Belanda, pelayaran ke negeri Belanda pada saat itu amat berbahaya, terutama di perairan Eropa. Ranjau-ranjau laut belom dibersihkan. Ia tiba di Ro Herdom pada tanggal 28 Juni 1919. Beberapa orang sahabatnya menyusul kemudian yaitu Alex Meramis dan Nasir Dadtuk Pamontjak. Di negeri Belanda ini, ia bertemu dengan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Soebardjo mengenang postur Tan Malaka yang tingginya ± 155 cm, pundaknya lebar, kupingnya berdiri dan sorot matanya tajam, tampak ia menderita sesuatu penyakit, tubuhnya kurus, suaranya tenang dan lembut. Pulang ke negeri Belanda dalam rangka sekolah guru untuk memperoleh Diploma Lageracte (akta pengajar tingkat rendah) yang dilanjutkan dengan Hoofdacte (akta pengajar tingkat tinggi). Soebardjo juga bertemu dengan Sneevliet yang menjadi pemimpin Partai Buruh Belanda, ialah orang yang mendirikan ISDV (Indische Sosial Demokratisehe Partij), kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada tahun 1908, para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda mendirikan organisasi Indische Vereniging sebagai sumbangan dari berdirinya Boedi Oetomo yang didirikan oleh para siswa STOVIA di Batavia. Tujuan organisasi ini adalah mengembangkan semangat kebangsaan Indonesia memajukan kebudayaan dan sejarah. Terbentuknya perhimpunan ini menurut Soebardjo adalah pengaruh dari kemenangan Jepang atas Rusia. Kemenangan Jepang ini dianggap sebagai manifestasi nasionalisme Asia. Bangsa Asia tidak selamanya inferior. Apabila mereka mampu membangkitkan semangat dan kesadaran akan persatuan, akan mampu pula menumbangkan dominasi dan kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa. Itulah pengaruh yang kuat atas lahirnya organisasi.

Pada awalnya, organisasi ini bertujuan untuk memajukan kepentingan dan persaudaraan mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Para pendirinya antara lain Raden Panji Sosrokartono, mahasiswa jurusan bahasa-bahasa timur, kakak R.A. Kartini. Tokoh Indische Vereniging lainnya adalah Raden Mas Notosuroto, mahasiswa Fakultas Hukum, bangsawan keturunan Paku Alaman. Tokoh lainnya adalah Husein Djajadiningrat, mahasiswa jurasan bahasa-bahasa timur, seornag keturunan Bupati Banten, mereka adalah generasi pelopor. Pada generasi kedua adalah Dr. Gunawan Mangunkusumo yang memimpin. Namun organisasi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (P.I), Ketua P.I – Dr. Gunawan Mangunkusumo bersikap anti cina dan ialah yang mempelopori keluar dari Indonesiche Verband (gabungan organisasi mahasiswa yang berasal dari Indonesia) suatu organisasi federasi pimpinan P.I beralih dari Dr. Gunawan ke Soebardjo, karena pelbagai masalah pelik yang dihadapi organisasi. Achmad Soebardjo mengundurkan diri pada tahun 1920 dan diganti oleh Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo 1908 yang memimpin P.I. sampai tahun 1921.

Pada tahun 1921, beberapa mahasiswa datang belajar di negeri Belanda antara lain; Muhammad Hatta, Iwa Kusuma Soemantri, Muhammad Nazif, Darmawan Mangoen Koesoema. P.I berkembang pesat tatkala dipimpin oleh para mahasiswa generasi ketiga ini, arah politiknya amat jelas, persatuan bangsa dan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Dalam suatu rapat, Soekiman (Ketua P.I.) mengusulkan agar Soebardjo memimpin kembali P.I. namun ia menolak dan mengusulkan Muhammad Hatta menjadi Ketua P.I. Sidang sepakat, Muhammad Hatta dipilih sebagai Ketua P.I. yang dijabatnya selama enam tahun (1925 – 1931).

Anggota Kongres Anti Imperealisme 1927

Pada bulan Februari tahun 1927 di Brussel diadakan Kongres Anti Imperealisme. Tindakan pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi pembebasan sudah dianggap oleh masyarakat Anti Imperealisme dunia telah melebihi batas kemanusiaan dan keadilan. Kongres ini membahas bagaimana cara melawan kekuatan imperealisme dan kolonialisme. Pada bulan itu telah tiba di Brussel utusan dari 21 negara dari Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Para utusan mewakili pelbagai organisasi politik, ekonomi, buruh. Kongres ini berlangsun selama lima hari dari tanggal 5 – 10 Februari 1927. Dari daerah jajahan Inggris lahir Jawaharlal Nehru (India), Nafez Ramadan Bey (Mesir), Mashur Baqaf Sakri (Syria) dari jajahan Perancis hadir Chodli Ben Mustafa. Dari Hindia Belanda mengurusi lima orang yaitu; Muhammad Hatta (Ketua) dan keempat orang anggotanya itu Semaun (tokoh PKI), Galat Tarunamihardja, Muhammad Nazir Datuk Paniontjak dan Achmad Soebardjo dari Perhimpunan Indonesia. Hasil pokok dari kongres ini terbentuknya League Against Imperealisme and For National Independence (Liga Anti Imperealisme untuk Kemerdekaan Nasional). Kongres juga membentuk sekretariat tetap yang berkedudukan di Berlin. Pemerintah Belanda sangat tidak menyukai terlibatnya mahasiswa Indonesia di negeri Belanda dalam gerakan ini. Dengan sigapnya polisi Belanda menangkap ketua P.I. Muhammad Hatta dan tiga orang lainnya; Muhammad Nazir Datuk Pamontjak, Ali Satroamidjojo, Abdul Madjid Djojoadiningrat ditahan untuk diadili. Achmad dan Arnold Mononutu terhindar dari penangkapan karena berada di luar negeri Belanda, ia tengah melakukah muhibah Rusia dan Perancis.

Kembali ke Tanah Air

Setelah tujuh tahun belajar dan berjuang dalam organisasi P.I. di negeri Belanda, pada bulan April 1934 kembali ke tanah air. Pekerjaan apakah yang dipilih oleh Soebardjo setelah menamatkan studie hukum. Sebagai seorang yang pernah menjadi aktivitas Perhimpunan Indonesia (P.I), hati nuraninya menolak bekerja pada pemerintah Hindia Belanda, padahal lowongan untuk jabatan di pemerintahan sangat terbuka bagi seorang yang berpendidikan tinggi. Akhirnya ia memilih bekerja swasta di Kantor Bantuan Hukum Mr. Sastro Muljono, seniornya di Semarang, banyak juga mantan anggota P.I. yang bekerja di pemerintahan, antara lain; Dr. Buntaran Martoatmodjo dan Dr. Achmad Mochtar dari Semarang. Soebardjo pindah ke Surabaya juga dikantor Bantuan Hukum Mr. Isk aq (Tjokro Hadisoerjo). Pada tahun tiga puluhan itu Soebardjo menyaksikan surutnya perjuangan pergerakan nasional. Para tokohnya, Ir. Soekarno, Sartono, Muhammad Hatta saling berbeda pendapat mengenai strategi perjuangan sekalipun mereka mempunyai dasar yang sama; Non Kooperasi.

Partai Nasional Indonesia pecah menjadi tiga kelompok, kelompok pertama ingin tetap berjuang secara bawah tanah, yang mayoritas mantan anggota Serikat Rakyat dan PRI. Kelompok kedua dibawah pimpinan Mr. Sartono yang menekankan perjuangan melalui organisasi politik (dalam bentuk partai) adalah lebih efektif, mereka kemudian membangun Partai Indonesia (Partindo) yang moderat. Kelompok ketiga mendirikan partai baru Pendidikan Nasional Indonesia yang dimentori oleh Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir, Soebardjo datang menemui mereka secara pribadi, ia menemui Soekarno, mendekati SArtono dan juga menemui Hatta. Pergerakan nasional lumpuh akibat dari kebijakan politik Gubernur Jenderal P.C. De Jonghe. Oleh karena itu Soebardjo bersikap wait and ses tidak masuk kelompok manapun, namun pemerintah Hindia Belanda tetap mencurigainya sebagai orang komunis. Ia merasa setiap gerak langkahnya diamati oleh Politicks Inlichtingen Drenst (P.I.D) atau Dinas Penyelidik Politik dari Kepolisian Hindia Belanda. Peristiwa perintah meninggalkan Banjarmasin dari Asisten Residen, ketika ia membela perkara pembunuhanan membenarkan dugaannya.

Pada tahun 1935, Soebardjo meninggalkan kantor pengacara Mr. Iskaq, pindah ke Malang mendirikan kantor pengacara sendiri dan menjauhkan diri dari aktivitas politik. Kantor Pengacara Soebardjo di Malang tidak sukses, karena kalah bersaing dengan kantor-kantor pengacara yang dibuka lebih dulu. Soebardjo jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Soekoen. Belum pulih benar dari sakitnya, Soebardjo menerima surat dari Mr. Soedjono yang tinggal di Tokyo, Soedjono meminta agar Soebardjo berkunjung ke Jepang karena berbagai tekanan keadaan, Soebardjo yang merasa terjepit, surat Soedjono dianggap sebagai berkah, tekanan keadaan dan kejiwaan. Harapannya adalah untuk memperolah ongkos hidup yang layak di negara asing itu, namun kendalanya ia tidak memunyai simpanan yang cukup untuk hidup, sebelum ia memperoleh pekerjaan. Bekerja sebagai apa dan dimana, itulah pertanyaan yang selalu terbesit dalam batin Soebardjo. Akhirnya pada bulan September 1935, ia berangkat ke Jepang bersama dengan keluarga kakaknya yang mengantar dua putrinya Herawati dan Saptarita untuk bersekolah di Jepang. Tiba di Tokyo, ia terkesan atas kemajuan Jepang, gedung-gedung pencakar langit telah berdiri dengan megahnya. Dengan perantaraan Soedjono, Soebardjo diperkenalkan dengan para cendikiawan Jepang. Melalui ceramah-ceramah umrah di Nihon Bunka Renmei dan Society for International Cultural Relations, ia memperoleh penghasilan. Ada yang lebih mengesankan, sejumlah cendikiawan Jepang mampu berbahasa Belanda, Inggris, Jerman secara baik. Koleksi perpustakaannya sangat lengkap, hampir semua buku dan artikel tentang Hindia Belanda tersedia dalam koleksi.

Penelitian tentang Hindia Belanda rupanya sangat intensif, bahkan sampai nama-nama Kepala Distrik, hal ini diketahuinya tatkala tentara Jepang baru memasuki Indonesia. Pemikiran dan konsep-konsep tradisi digali dan dikembangkan. Sikap anti barat orang Jepang sangat kuat. Japanese Society of Cultural Relations menjadi perantara untuk mengundang sejumlah orang-orang penting Hindia Belanda seperti Dr. Soetomo, Soekardjo Wirjopranoto, Pangeran Suyono Hendraningrat dan beberapa tokoh lagi. Setelah satu tahun tinggal di Jepang sejak bulan September 1935, pada bulan September 1936 kembali ke tanah air, Soebardjo memilih Kota Bandung sebagai tempat tinggalnya yang baru, bekerja sebagai penuh sebagai pengacara, meninggalkan semua kegiatan politik, namun ia masih merasa tidak lepas dari pengawasan P.I.D. mengingat ia pernah tinggal setahun di Jepang. Pada pertengahan tahun 30-an ini hubungan Jepang Hindia Belanda bertambah memburuk. Peristiwa berulang Soebardjo mengajukan protes kepada asisten Residen. Para polisi penyelidik ini dianggap menghalangi seseorang mencari kehidupan, asisiten residen minta maaf dan selama satu tahun di Bandung, Soebardjo telah mempunyai penghasilan yang stabil. Kegemarannya menulis bangkit kembali ketika ia bertemu dengan wartawan senior yang berhaluan sosialis Mr. D. M. G. Koch, selain wartawan ia juga penulis buku Om de Vujhed (Menuju Kemerdekaan). Buku ini berisi tentang sejarah perjuangan pergerakan nasional Bangsa Indonesia. Hubungannya dengan Mr. D.M.G. Koch mengantarkan Soebardjo untuk menulis kembali sejumlah artikel dalam Kritiek en Opbouw (Kritik dan Pembangunan). Setelah ini lahirlah Asrama Indonesia Merdeka yang berlokasi di Jalan Gunung Sahari, Gedung Dai San ka (Biro III) dari Kaigun Bukanfu. Para pesertanya terdiri atas pemuda. Wikana ditunjuk sebagai pengawas asrama. Asrama Indonesia Merdeka diresmikan oleh Laksamana Maeda pada bulan Oktober 1944. Renatara terselenggara sampai dua angkatan, berakhir pada bulan mei 1945. Seluruh aktifitas kursu dan juga kantor Soebardjo, sebagai pengendali kursus tidak seorang Jepang pun yang melakukan intervensi. Bahkan kantor ini menjadi tempat diskusi politik yang aman.

Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Sesuai dengan janji Koiso, pada bulan Maret 1945 Jepang membentuk BPUPKI yang bertugas menyusun rancangan Konstitusi negara Indonesia yang akan merdeka. Hampir semua tokoh pergerakan diangkat sebagai anggotanya. Jumlahnya 61 orang yang dipimpin oleh Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Soebardjo termasuk yang dipolih dengan nomor urut 42. Soebardjo menjelaskan bahwa Soebardjo menjelaskan bahwa Soekarno berjasa meletakkan dasar pandangan hidup atau filosofi rakyat Indonesia mengenai kehidupan dan dunia, yang terumus dalam sila-sila Pancasila. Kemudian diperdaulatkan, teori apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia. Ada tiga teori yaitu teori inidividualis, teori klas, teori negara kesatuan. Setelah masing-masing melakukan curah pendapat dan tukar pendapat, Soekarno membentuk kelompok sembilan orang yang disebut panitia 9. Soebardjo mengusung gagasan Kongres menentang imperealisme di Brussel pada bulan Februari 1927 yakni imperealisme dan kolonialisme hendaklah dihapuskan. Ada gagasan lain yaitu tentang menentukan nasi sendiri yang mengadopsi gagasan Presiden Amerika Serika Woodrow Wilson pada tahun 1917. Dan sublimasi gagasasn itu lahirlah paragraf 1 dari rancangan pembukaannya. Panitia 9 menurut Soebardjo menghadapi kesulitan ketika mencari kompromi antara ideologi nasionalis dan konsepsi Islam mengenai negara dan masyarakat. Pada sidang kedua Panitia 9 yang berlangsung selama satu minggu (tanggal 10 – 17 Juli 1945) menghasilkan keputusan :

  1. Menolak teori-teori individualis, didasarkan atas pertimbangan teori tersebut bisa menciptakan penindasan seseorang terhadap orang lain, termasuk menciptakan politik ekspansionis, militer, ekonomi.
  2. Menolak teori Karl Marx, Engels dan Lenin yang bertentangan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia.
  3. Menolak terhadap suatu bentuk negara Islam bagi Indonesia karena tidak memisahkan antara negara dan agama, sekalipun mayoritas rakyat Indonesia memeluk agama Islam, pemeluk agama yang merupakan minoritas tidak akan merasa sebagai warga negara kelas dua. Toleransi beragama berdasarkan falsafah hidup bangsa (Pancasila) merupakan satu-satunya saluran kearah tercapainya suatu kehidupan yang saling berdampingan secara damai.

Selanjutnya teori apa yang diterima? Teori Adam Muller, Hegel (Abad 18-19) yang mengemukakan Teori Negara Kesatuan. Menurut teori ini, negara tidak semata-mata menjamin kepentingan individu, kelas atau kelompok, bagaimanapun kuatnya kelompok itu. Tetapi negara memberikan jaminan atas kepentingan masyarakat secara keseluruhan sebagai satu kesatuan, struktur sosial dan negara disatukan, seluruh kelas, bagian-bagian serta semua anggota masyarakat secara erat dirangkaikan sebagai satu kesatuan yang organic. Soebardjo menyatakan bahwa tokoh kunci teori ini adalah Prof. Dr. Mr. Supomo dan Muhammad Yamin, Soebardjo menandaskan bahwa pada pertengahan tahun 1945 ini, eskalasi perang telah mencapai titik terdahsyat, sehingga badan penyelidik tidak sempat membahas secara mendalam fasal-fasal dalam batang tubuh rancangan Undang-Undang Dasar Negara, Tugas Badan Penyelidik sebenarnya telah selesai dan berhasil menyusun rancangan Undang-Undang Dasar Negara secara utuh, pada bulan Juli 1945.

Menjelang Proklamasi Kemerdekaan

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Soebardjo bersama sejumlah tokoh dan penduduk Jakarta menyambut kedatangan Dr. Radjiman, Soekarno-Hatta di Bandar Udara Kemayoran. Masih ada tiga orang lagi yaitu Teuku Moh. Hassan, Dr. Amir dan Abas yang ikut serta dalam rombongan Rajiman. Mereka adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang mewakili Sumatera.

Setelah turun dari pesawat, Soekarno memberikan pidato singkat, “Jika beberapa waktu yang lalu saya menyatakan bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbuah, sekarang saya menyatakan kepada kamu bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tananam tersebut berbunga”.

Pada tanggal 15 Agustus 1945 di Jakarta terdengar desas-desus bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Soekarno dan Hatta berusaha untuk mencari kebenaran desas-desus itu, mendatangi sunseikanbu (Kantor Pemerintahan Militer). Tidak bertemu Pejabat Jepang yang dimaksud Jenderal Yamamoto Moichiro, mereka datang ke kantor Soebardjo dengan harapan memperoleh informasi dari Soebardjo. Soebardjo mengusulkan agar mereka mendapatkan konfirmasi dari Laksamana Maeda. Soekarno, Hatta dan Soebardjo datang menemui Maeda. Jawaban Maeda tidak tegas, tidak membantah dan tidak membenarkan desas-desus tersebut. Mereka meninggalkan kantor Maeda pada sore hari tanpa hasil.

Karena masih ada tugas mendesak yang harus diselesaikan yaitu membahas penyelenggaraan sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945 yang akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Negara yang disusun oleh BPUPKI. Sementara itu Soebardjo masih penasaran ingin memperoleh informasi yang jelas. Ia menduga Laksamana Maeda karena jabatan dan sumpahnya menolak membocorkan kebenaran berita tersebut yang masih dinilai rahasi. Soebardjo mencoba mengontak bawahan Maeda di kantor Kaigan Bukanbu, barangkali mereka mau bicara. Pada sore hari Soebardjo datang ke asrama mereka, disana telah ada Dr. Buntara dan Iwa Kusuma Sumantri, dengan maksud yang sama. Orang-orang Jepang itupun juga tidak bisa memberikan informasi. Soebardjo kemudian mengajak Hatta untuk menemui Soekarno pada malam itu. Mereka diterima Soekarno pada pukul 11.00 malam (23.)). Ia duduk dikelilingi oleh sejumlah pemuda antara lain Wkana, “Suasana mereda setelah kami datang”, tulis Soebardjo. Para pemuda menginginkan agar Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada malam itu juga dengan nada mengancam. Soekarno menolak, karena harus dibicarakan dulu dalam sidang PPKI. Ancaman Wikana dijawab oleh Soekarno, “Ini batang leherku, setelah saya kepojok itu dan potonglah leherku mala mini juga!”, Wikana pun mundur.

Kemudian Hatta memperingati Wikana antara lain, “Jika sodara tidak setuju dengan apa yang saya katakana dan mengira Sodara telah siap dan sanggup memproklamasikan, mengapa sodara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri?” mengapa meminta Soekarno untuk melakukan itu?”, Wikana pun terdiam, drama menjelang proklamasi itulah yang disaksikan oleh Soebardjo. Seusai menyaksikan drama proklamasi tersebut, Soebardjo dan Hatta meninggalkan rumah Soekarno, waktu telah menunjukkan malam.

Rengasdengklok

Pada hari itu pukul 08.00 tanggal 16 Agustus 1945, Soebardjo menerima laporan dari sekretarisnya Embah Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan tidak tahu dibawa kemana, menambahkan setelah pemuda mengadakan rapat dikantor Soebardjo dan Wikana ada diantara mereka. Soebardjo kaget, peristiwa ini dinilai gawat, karena pukul 10.00 akan diselenggarakan rapat PPKI. Tanpa Ketua dan Wakil Ketua tidak mungkin rapat dapat terselenggara. Ia menduga bahwa Wikana mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta. Soebardjo berpikir lebih jauh, bahwa ia harus menghubungi pimpinan Angkatan Laut Jepang dalam usaha pencarian Soekarno dan Hatta. Soebardjo khawatir kedua pemimpin ini ditangkap oleh Angkatan Darat. Hanya Angkatan Laut yang bisa menolong membebaskannya. Kemudian seorang anggota stafnya Soebardjo memberi tahu Angkatan Laut. Nishijima menerima laporan Soediro. Soebardjo sendiri kemudian datang secara pribadi kepada Laksamana Maeda, belum sempat terucap salam Maeda mendahului bertanya, “Kenapa tuan datang sendiri dan tidak dengan tuan Soekarno dan Hatta? Saya berjanji kepada tuan-tuan kemarin untuk menyampaikan bentuk resmi tentang penyerahan kami!” Soebardjo menjawab, “Kami datang untuk memberi tahu tuan, tutup halannya mereka dari kota”, Maeda terkejut, tidak berkata apa-apa lagi termenung.

Dari rumah Maeda, Soebardjo bergegas menuju kantornya di Jalan Prapatan. Kantor Daisanka memang tempat yang aman untuk rapat-rapat yang membahas masalah-masalah sosial maupunaktivitas politik. Soebardjo kemudian memerintahkan sekretarisnya agar memanggil Wikana, terjadi dialog, “Apa yang telah kamu perbuat terhadap Seokarno dan Hatta?”, tanyak Soebardjo. “Itu keputusan kami dalam pertemuan semalam untuk keselamatan mereka. Mereka kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta”, jawab Wikana. “Apakah akibat dari tindakan itu sudah kamu putuskan?” tanya Soebardjo. “Keputusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi merupakan keputusan semjua golongan pemuda, tugas saya membujuk Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin.”, jawab Wikana. Soebardjo menasehati Wikana agar tidak merahasiakan keberadaan Soekarno-Hatta. Wikana tidak menjawab, kemudan pergi. Ia kembali bersama Pandu Kartawiguna, maksudnya untuk menegaskan pendiriannya, menolak memberitahu dimana Soekarno-Hatta disembunyikan. Jawaban Pandu kepada Soebardjo tidak berbeda kepada Wikana. Sekali lagi Soebardjo menasehati Pandu, bahwa proklamasi kemerdekaan harus dilakukan dengan damai, yang akibatnya merugikan perjuangan. Wikana dan Pandu keluar dari ruangan Soebardjo. Pada sekitar pukul 14.30, Nishijima, Shegetada datang dan rupanya sudah berbicara dengan Wikana, bahwa Angkatan Laut akan mendukung Proklamasi Kemerdekaan.

Beberapa saat kemudian, Wikana dan Pandu dan juga seorang anggota Tentara PETA, Jusuf Junto datang menyakinkan Soebardjo bahwa tindakan itu bermaksud menyelamatkan Soekarno dan Hatta. Soebardjo menyatakan kepada mereka, “Jika atas dasar keselamatan saudara membawa Soekarno dan Hatta keluar kota, “saudara tidak usah khawatir keselamatan mereka jika mereka kembali ke sini. Karena saya percaya bahwa Angkatan Laut akan memberikan dukungan andai kata mereka mendapat kesulitan dari Angkatan Darat. Tolonglah beritahu saya, dimana mereka berdua disembunyikan. Saya akan mengantarkan mereka kembali ke Jakarta, sehingga dapat memulai Proklamasi Kemerdekaa. Saya sepenuhnya bertanggungjawab atas usaha ini”. Pandu kemudian menyatakan bahwa Soebardjo tidak bisa pergi sendiri karena terlalu berbahaya dan melarang menemui Soekarno-hatta tanpa ditemani orang yang mereka kena. Jusuf Kunto yang ditunjuk untuk menemui Soebardjo. Sementara Nishijima yang berada di luar ruangan mengkhawatirkan keselamatan Soebardjo. Ia menawarkan diri untuk mendampingi Soebardjo, namun ditolaknya secara halus.

Pada kira-kira pukul 16.00 dengan mengendari mobil Skoda, Soebardjo, Jusuf Kuntoi, Soediro kearah Jatinegara terus kearah timur. Sepanjang perjalanan mereka diam, berhenti dibeberapa pos yang dijaga oleh Tentara PETA. Tiba di pinggiran kota Karawang, Kunto memerintahkan pengemudi membelok kea rah Rengasdengklok, Kota Kawedanan di Pantai Utara. Tiba pada waktu maghrib, istirahat di rumah Wedana. Jusuf Kunto mohon diri meninggalkan Soebardjo, melapora kepada Soekarni. Dengan menggunakan seragam PETA, Soekarni datang menemui Soebardjo. Terjadi lagi dialog singkat, Soekarni menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bukan prakarsa pribadi tetapi memenuhi tugas revolusi. Soebardjo dan Soedira mengikuti Soekarni dan Kunto dihadapkan Komandan PETA Rengasdengklok, Cundonco Subeno. Untuk meyakinkan niat dan itkad kedatangan Soebardjo ke Rengasdengklok bukan untuk kepentingan Jepang. Soebardjo diinterogasi dengan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan pertamanhya adalah apa maksud kedatangannya di Rengasdengklok. Beberapa pertanyaan mendasar yang diingat Soebardjo antara lain: “Bisakah saudara mengatakan kepada kami bahwa Jepang sudah menyerah? Apakah saudara datang atas nama Kaigan? Apakah saudara bisa memproklamasikan kemerdekaan sebelum tengah malam? Untuk meyakinkan Komandan, Soebardjo menjaminkan dirinya untuk siap ditembak. Seusai acara interogasi ini, Soebardjo diantar ke sebuah rumah dipertemukan dengan Soekarno. Hatta disembunyikan di tempat lain. Tatkala melihat Soebardjo, Soekarno terperanjat dan langsung bertanya, “Apakah Jepang sudah menyerah?” Soebardjo memberitahukan bahwa ia mendapat informasi penting ini dari Laksamana Maeda. Kemudian diputuskan untuk segera kembali ke Jakarta. Dengan tiga buah mobil mereka meninggalkan Rengasdengklok kembali ke Jakarta pada pukul 21.00. perjalanan kembali ke Jakarta dipenuhi rasa was-was, khawatir disergap oleh tentara Jepang. Tiba di rumah Soekarno pada pukul 21.00 dan dilanjutkan kerumah Hatta dan Soebardjo teiba dirumah Maeda. Setelah bertegur sapa sebentar, Soekarno menyampaikan terima kasih atas penerimaannya dan kesediaan rumahnya sebagai tempat pertemuan.

Mempersiapkan Proklamasi

Di rumah Maeda ternyata sudah banyak orang berkumpul sebelum rombongan dari Rengasdengklok tiba di rumah tersebut. Soekarno dan Hatta bersama Maeda meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian muncul Dr. Buntara Martoatmodjo, Sayuti Melik dan Iwa Kusuma Sumantri. Soekarni bersama rombongannya tiba kembali di rumah Maeda pada pukul 01.00. ia mengajak Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri untuk menemui Sjahrir di sebuah rumah di Jalan Bogor Lama (Jl. Minangkabau). Ternyata Sjahrir tidak ada di tempat. Soebardjo bertemu dengan beberapa pemuda; Chairul Soleh, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimihardjo. Karena tidak ketemu, mereka bertiga kembali ke rumah Maeda. Soekarno dan Hatta dan Maeda belum kembali kerumah, beberapa orang anggota PPKI telah hadir. Pada kurang lebih pukul 02.00, Soekarno-Hatta dan Maeda tiba kembali bersama Kolonel Miyoshi, Perwira Penghubung Angkatan Darat yang mantan Diplomat, kemudian mereka berunding. Soekarno-Hatta, Miyoshi, Soebardjo, Maeda, Nishijima menghadap meja bundar, dibelakangnya duduk Soediro, Soekarni dan B.M. Diah, baru kemudian Soebardjo memperoleh informasi dari Hatta bahwa mereka datang ke Gunseikon (Kepala Pemerintah Jepang) Mayor Jenderal Yamamoto Moichiro dan Mayor Jenderal Nishimura, Otoshi, Samubuco (Kepala Bagian Pemerintahan Umum) tanpa hasil. Nishimura berpegang teguh pada prinsip status quo. Tidak boleh ada kegiatan politik sesudah tanggal 15 Agustus 1945.

Dari pertemuan meja bundar di rumah Maeda ini diputuskan bahwa proklmasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan tanpa persetujuan Angkatan Darat Jepang. Ketika Soekarno-Hatta, Soebardjo akan menyusun redaksi (teks) proklamasi, “masih ingatkah saudara teks dari bab pembukaan UUD kita?”, tanya Soekarno kepada Soebardjo. “Ya, saya ingat tetapi tidak lengkap.” Jawab Soebardjo. “Tidak apa, kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut proklamasi, bukan keseluruhan teksnya,” jawab Soekarno. Soekarno pun mengambil secarik kertas, menulis sesuai dengan yang Soebardjo ucapkan “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan.” Soekarno kemudian menambahkan, “Hal-hal yang mengenai pemindahan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Menurut Soebardjo inilah teks awal, rupanya Soekarno tidak menuliskan rakyat, tetapi bangsa. Mula-mula Soekarni yang diminta untuk mengetiknya, ia kemudian pergi ke dekat Dapur. Sayuti Melik dan beberapa orang lain sedang duduk-duduk. Ia diminta oleh Soekarni untuk mengetiknya yang kebetulan di ruangan itu ada sebuah mesin ketik. Seusai diketik teks ketikan itu diserahkan kepada Soekarni dan selanjutnya diserahkan kepada Soebardjo, kemudian diterima oleh Soekarno. Seusai pengetikan teks para hadirin yang terdiri dari anggota PPKI dan pemuda menuju ke ruang besar, bagian depan antara lain Dr. Radjiman, Prof. Supomo, Dr. Ratulangi, Latuharhary, Dr. Buntaran, Iwa Kusuma Sumantri. Diantara pada pemuda; B.M. Diah, Adam Malik, Mando Nitimhardjo, Pandu Kartawiguna. Soekarno didampangi oleh Hatta membacakan Teks Proklamasi. Soekarni telah membaca sebelumnya dan mengkritik sebagai teks lepas dari semangat revolusioner, lemah, tidak mempunyhai kepercayaan diri, ia tidak setuju dengan kalimat kedua, karena ia tidak percaya bahwa Jepang akan menyerahkan kekuasaannya kepada kita dengan cara sukarela, maka kita harus merebutnya dari tangan mereka, terjadilah perdebatan setelah penilaian Soekarni. Para anggota PPKI menentang perubahan teks. Soekarno menawarkan siapa yang membubuhkan tandatangannya pada teks, mereka sepakat yang menanda-tangani teks tersebut adalah Soekarno dan Hatta, diusulkan dibacakan di lapangan Ikada. Soekarno menolak pembacaan teks proklamasi akan dilakukan di rumahnya Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10.00. Soebardjo merasa bahwa tugasnya sudah selesai, setelah saling bersalaman, mereka meninggalkan rumah Maeda pada kira-kira pukul 06.00. Pada pagi hari itu menjelang pukul 10.00, dua utusan Soekarno datang menjemput, karena terlalu capek maka Soebardjo memutuskan untuk melanjutkan istirahatnya setelah dua hari diliputi suasana tegang. Ia tidak hadir dalam upacara tatkala Soekarno yang didampingi Hatta mengucapkan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.

Menjadi Menteri Luar Negeri

Hari-hari sesudah Proklamasi diliputi kesibukkan yang luar biasa pada tanggal 18 Agustus 1945, para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berkumpul di Pejambon, mereka mewakili rakyat Indonesia mengesahkan Undang-Undang yang telah diselesaikan oleh Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada hari berikutnya PPKI bersidang kembali, Presiden Soekarno menunjuk Soebardjo sebagai Ketua Panitia Kecil yang beranggotakan 2 orang; Soebardjo Kartohadikusumo dan Alex Andries Maramis. Tugas panitia kecil adalah merumuskan organisasi pemerintah pusat. Hasil rumusan itu panitia kecil menyampaikan saran agar pemerintah pusat dibagi atas 10 Departemen, setelah deibahas pada sidang pleno diterima oleh Presiden. Soebardjo pada sidang itu mengusulkan tambahan enam orang Menteri Negara, berhubung negara dalam situasi revolusioner. Tugas Menteri Negara bersifat khusus, dapat bergerak cepat apabila ada situasi darurat, mereka dapat diutus oleh pemerintah pusat ke daerah-daerah, usul ini diterima oleh Presiden, namun yang diangkat hanya lima orang, setelah sidang Presiden pun membentuk kabinet. Pemerintah RI yang pertama ini terdiri atas 18 Menteri, 13 Menteri pemimpin departemen dan 5 Menteri Negara. Soebardjo ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri. Tugas pertama Menteri Luar Negeri adalah membangun kementerian, karena sebelumnya tidak ada orang Indonesia pun pernah bekerja di Kementerian ini. Gedung Kementerian harus dicari, rumah tempat tinggal pribadi keluarga Soebardjo dijadikan Kantor Kementerian, tidak ada pilihan lain. Selanjutnya adalah merumuskan dasar-dasar politk luar negeri suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Soebardjo mengantisipasi akan hadirnya tentara sekutu di Indonesia. Oleh karena itu, baik Presiden dan Wakil Presiden dan juga Menteri Luar Negeri terus menerus berkampanye bahwa Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi dan mentaati semua hukum hubungan internasional. Atlantic Charter, Piagram PBB diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia disebarkan ke seluruh jajaran pemerintah. Tujuan utama adalah bagaimiana lahrinya dan eksistensi negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh dunia internasional. Kedaulatan pemerintah Hindia Belanda sudah berakhir sejak bulan Maret 1942 dan pemerintah militer Jepang berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945. Disamping pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia, Bangsa Indonesia telah bertekad mempertahankan Kemerdekaan dan Kehormatannya dengan cara apapun. Tekad bangsa ini berhasil, tatkala tentara sekutu akan masuk ke Indonesia untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan protocol Dotsdam, terlebih dahulu mengakui secara de facto Negara Republik Indonesia dan memberitahu Kementerian Luar Negeri rencana kedatangannya. Peristiwa ini bisa dianggap sebagai sukses pertama dari kampanye Kementerina Luar Negeri.

Testamen Politik

Masih pada bulan Agustus 1945, Menteri Luar Negeri; Achmad Soebardjo kedatangan seorang tamu, ia adalah Tan Malaka yang dikiranhya telah meninggal dunia. Kehadiran Tan Malaka menarik simpati para pengagumnya. Beberapa orang ingin menemuinhya antara lain; Sayuti Melik, Iwa Kusuma Sumantri, Gatot Tarunamihardja dan Presiden Soekarno. Pada suatu pertemuan, Presiden Soekarno menyampaikan kekhawatirannya bahwa kemungkinan ia akan ditangkap tentara sekutu, Soekarno meminta kepada Tan Malaka agar memberi petunjuk kepada para pemimpin perjuangan tentang taktik dan strategi perjuangan. Tan Malak menyanggupi apabila diberi surat tugas resmi. Beberapa hari kemudian Achmad Soebardjo yang ditanya mengenai surat tugasnya, melaporkan bahwa Soekarno akan datang kerumah Soebardjo, Soekarno datang bersama Hatta, Tan Malaka bertanya tentang surat tugasnya, Soekarno menjawab ia datang akan menyusun surat tugas itu bersama-sama, Soebardjo menyediakan kertasnya, Soekarno mempersilahkan Tan Malaka menulis dengan kalimatnya sendiri, draf sruat tugas tulisan Tan Malaka diserahkan kepada Soekarno. Setelah dibacanya diserahkan kepada Hatta, Soekarno mengusulkan agar judul surat itu diubah dengan Amanat Soekarno-Hatta. Dari beberapa nama yang disebut dalam surat itu, Hatta mengusulkan dengan Sjahrir dan Wongsonegoro, isi pokok amanat Soekarno-Hatta adalah “apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Soekarno-Hatta, maka pimpinan perjuangan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir dan Wongsonegoro”, surat amanat itu kemudian dikenal dengan nama Testamen Politik (Surat Wasiat Politik) yang disaksikan proses penyusunannya oleh Soebardjo.

Pada tanggal 19 September 1945, Soebardjo menemui Soekarni menyatakan pada dasarnya bahwa perlu ada satu pernyataan tekad dari rakyat dalam bentuk rapat raksasa. Soekarni setuju berjanji akan mengerahkan massa ke lapangan Ikada, rapat ini mempunyai bobot politik sebagai jawaban kedatangan pasukan AFNEI di Jakarta, Soebardjo juga meminta kepada Presiden agar diadakan sidang kabinet untuk membahas rencana rapat raksasa dengan massa yang jumlahnya puluhan ribu. Presiden setuju, namun masih diliputi resiko yang akan dihadapi. Sidang kabinet diadakan pada pukul 16.00 dirumah Presiden karena maslah ini masih terjadi perdebatan, sidang diundur sampai pukul 22.00, Presiden menghubungi pimpinan tentara Jepang, tidak berhasil. Akhirnya Soebardjo mengusulkan agar semua anggota kabinet ikut hadir dalam rapat raksasa ini. Semua setuju, massa yang jumlahnya ribuan telah terkumpul di lapangan Ikada, para Menteri mendahului berangkat, Soebardjo, Iwa Kusuma Sumantri, Ki Hadjar Dewantara menggunakan satu mobil, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden berangkat dengan satu mobil, sebelum memasuki lapangan mobil ditahan sebentar oleh Kimpeilais. Presiden naik keatas panggung, ia berpidato sangat singkat, meminta rakyat agar taat kepada pemerintah dan tunduk kepada perintah-perintah pemerintah dan tunduk kepada disiplin. Masyarakat mengikuti perintah Presiden dan meninggalkan lapangan Ikada dengan tertib.

Soebardjo menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet pertama selama empat bulan, karena perubahan dari Kabinet Presidensial. Peristiwa rapat raksasa tanggal 19 September memberi dampak yang dahsyat. Peristiwa yang sama diikuti oleh daerah-daerah terutama ketika mendengar berita pasukan AFNEI bersama NICA mendarat di Jakarta. Bulan September dan Oktober adalah bulan perlawanan pemuda dan bulan yang penuh ketegangan. Soebardjo sebagai Menteri Luar Negeri yang mengirimi radio para pemimpin Partai Buruh yang berkuasa. menteri menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia berdasarkan azas-azas demokrasi. Radio kedua pun dikirim pada tanggal 9 Oktober 1945, yang menyatakan sikap pemerintah RI tidak keberatan atas pendaratan tentara Inggris (AFNEI) untuk melaksanakan tugas. “Kami tidak memusuhi sesuatu bangsa tetapi kami memusuhi penjajah dan siapapun juga.”

Di Jakarta, insiden bersenjata meluas. Rakyat meluas dan marah kepada tentara sekutu yang “membawa” NICA. Beberapa perwira Inggris menjadi korban penembakan. Menteri Luar Negeri Soebardjo dipanggil oleh Panglima AFNEI Letjen. Christison ke Markas Besar AFNEI (sekarang gedung Perhubungan Laut, Jl. Merdeka Timur), Christison meminta agar tentara Indonesia diberi uniform, untuk membedakan gerombolan liar dan tentara timur. Disamping perlawanan fisik menentang kehadiran NICA, Menteri Luar Negeri menyarankan kepada Presiden utnuk menegaskan kembali sikap pemerintah Indonesia kepada dunia internasional melalui RRI, pada tanggal 25 Oktober 1945 Presiden menegaskan:

  1. Bangsa Indonesia hanya menghendaki pengakuan kemerdekaan.
  2. Menolak kedatangan Belanda. Orang-orang Belanda harus dikumpulkan di suatu tempat.
  3. Pengakuan de facto RI harus dinyatakan dengan perbuatan.

Insiden bersenjata berlanjut di Surabaya, pasukan AFNEI mengerahkan kekuatannya untuk “menghukum para perusuh”, yang adalah arek-arek Surabaya yang berjuang mempertaruhkan kemerdekaan. Peristiwa yang sama terjadi di Bandung, Semarang, Medan dan beberapa kota lain di Indonesia.

Tragedi Revolusi

Pada bulan November 1945 terjadi penggantian kabinet, menurut Soebardjo perubahan pemerintah ini dilatar-belakangi oleh pergantian pemerintah di Inggris dan Belanda yang berhaluan sosialis. Sultan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri, sebagaimana seorang sosialis Sjahrir, menurut Soebardjo melakukan kebijakan politik yang evolusioner, yang menekankan “taktik diplomasi”. Sebaliknya rakyat bersemangat evolusioner untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada kabinet baru ini, Soebardjo ditawari sebagai Wakil Menteri Luar Negeri, ia menolak karena perbedaan prinsip. Soebardjo kemudian pindah ke Yogyakarta, disini melalui Dr. Sukirman ia berkenalan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang kebetulan sedang mencari penasehat politik. Bersama beberapa kawannya Iwa Kusuma Sumantri, Ki Hadjar Dewantoro, kemudian menjadi anggota Badan Penasehat Panglima Besar.

Pada akhir bulan Juni 1946, anggota Badan Politik Panglima Besar, menghadiri Rapat Partai Buruh di Blitar. Dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta, ia memperoleh informasi bahwa ia akan ditangkap oleh Pemuda Sosialis Indonesia, organisasi para militer Partai Sosialis Sjahrir. Soebardjo tidak melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, ia tinggal di kompleks Tasikmadu Kartasura. Rupanya keberadaannya diketahui oleh Polisi. Ia ditangkap dan dibawa ke Tawangmangu ke sebuah kompleks tempat peristirahatn (bungalow). Di tempat tersebut ternyata telah ada beberapa tokoh yang sealiran dengan Soebardjo. Pengikut Tan Malaka antara lain; Iwa Kusuma Sumantri, Muhammad Yamin dan Sayuti Melik.

Pada akhir bulan Juni 1946, mereka dipindah ke penjara Wirogunan Yogyakarta. Pada tanggal 3 Juli 1946 dibebaskan dari penjara oleh Jenderal Mayor Soedarsono, dibawa ke suatu penginapan, dalam percakapannya dengan Muhammad Yamin, bahwa Yamin telah menulis sebuah petisi yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno. Isi petisi itu agar Presiden melakukan reshuffle kabinet Sjahrir meninggalkan politk berunding dengan Belanda dan melaksanakan politik konfrontasi merdeka seratus persen (100%). Pada tanggal 3 Juli 1946, kelompok ini menghadap Presiden Soekarno. Di pihak Istana Kepresidenan dan apparat keamanan telah mengetahui rencana mereka. Setiba di istana, mereka ditangkap dan sejak hari itu Soebardjo dan kawan-kawannya menjadi tahanan pemerintah. Ada generasi yang lebih muda antara lain; Adam Malik dan Chairul Saleh.

Dari Penjara ke Penjara

Setelah ditahan beberapa saat di Yogyakarta, Soebardjo dan kawan-kawannya diangkat dengan truk menuju Tretes, suatu tempat peristirahatan di Jawa Timur. Tidak lama disini, kemudian dipindahkan ke penjara Magelang. Karena ada desas-desus Belanda akan menyerbu Magelang, Soebardjo dan kawan-kawannya dipindahkan ke penjara Ponorogo, kemudian dipindahkan lagi ke rumah penjara Mojokerto dan terakhir pindah ke rumah penjara Madiun. Pada tanggal 17 Agustus 1948, Soebardjo dan kelompoknya memperoleh amnesti dari Presiden, dibebaskan dari rumah penjara. Baru merasakan udara bebas beberapa bulan di Yogyakarta, pecah aksi militer Belanda II. Ia ditangkap oleh Intelijen Militer Belanda atau Inlichtnigen Verligheid Groep (IVG) dan dimasukkan rumah penjara Ambarawa, ia baru bebas setelah ada resolusi PBB, bahwa semua tahanan politik harus dibebaskan.

Kembali ke Departemen Luar Negeri

Setelah memperoleh kebebasan, Soebardjo kembali ke Departemen Luar Negeri. Pada bulan September 1951, ia diangkat sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam konferensi perdamaian dengan Jepang di San Fransisco yang membahas berbagai masalah hubungan bilateral dan pampasan perang. Pada tahun 1953, ia diangkat sebagai Direktur Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Setelah selama dua tahun sukses membangun pendidikan dan mendidik para calon diplomat, Soebardjo diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Federasi Switzerland.

Achmad Soebardjo meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1978 dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Cibogo. Ia menerima tanda penghargaan:

  1. Order of Merit dari Pemerintah Mesir, 1954
  2. Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, 1961
  3. Bintang Mahaputra Adipradana, 1973
  4. Bintang Republik Indonesia Utama, 1992

Tentang Achmad Subardjo

Wafat pada tanggal 15 Desember 1978 di Jakarta. Atas permintaanya di makamkan di tanah milik sendiri (ex Villa) di Jl. Panatraco, Desa Cibogo, Jawa Barat yang dipimpin oleh Inspektur Upacara Jenderal Maraden Panggabean Panglima ABRI. Istrinya bernama Raden Ayu Pudji Djoyoadusuryo Binti Wiryodihardjo yang di makamkan di sebelah makam Profesor Mr Achmad Subardjo.

Ketika Sukarno-Hatta diculik oleh para pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945, seseorang bernama Sudiro segera melaporkannya kepada Mr Achmad Subardjo. Tuntutan para pemuda adalah agar dwitunggal itu segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka tidak memberitahu tempat keduanya disembunyikan.

Subardjo khawatir jika Sukarno-Hatta jatuh ke tangan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Jika itu terjadi, maka ia berharap kepada koneksi utamanya selama pendudukan Jepang, yakni Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun). Oleh karena itu, Laksamana Muda Tadashi Maeda pun diberitahu soal hilangnya kedua tokoh penting tersebut.

Menurut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1994), Maeda beserta para stafnya punya visi yang tidak sekolot Angkatan Darat Jepang dalam politik pendudukan atas Pulau Jawa.

Sementara Subardjo adalah orang kepercayaan Maeda dan pernah ditawari membentuk kantor penelitian di Jalan Prapatan Nomor 60. Ia mengaku pernah tinggal di Jepang. Dan di akhir masa pendudukan Jepang, ia dikenal sebagai pengelola Asrama Indonesia Merdeka yang memiliki hubungan dengan para pemuda Indonesia terpelajar dan militan.

Selain Subardjo, ada juga Wikana yang berjejaring dengan Tan Malaka. Selain mereka—meski ogah-ogahan berurusan dengan orang-orang Jepang—Sutan Sjahrir pun pernah mengajar di asrama tersebut. Tempat itu cocok bagi para pemuda Indonesia yang tidak suka dengan Angkatan Darat Jepang yang kaku.

Sumber lengkap: https://tirto.id/achmad-subardjo-sang-penjamin-proklamasi-kemerdekaan-indonesia-em7M

Galeri

Apa yg km ketahui tentang achmad soebarjo

Makam Pahlawan Ahmad Soebardjo