Apa yang dimaksud dengan perang puputan

Apa yang dimaksud dengan perang puputan

Ilustrasi Perang Puputan Margarana. Facebook.com

TEMPO.CO, Jakarta - 20 November merupakan tanggal yang istimewa bagi masyarakat Bali. Tepat satu tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, masyarakat Bali di Desa Marga, Kecamatan Margarana, Tabanan berjuang melawan pasukan Belanda yang berambisi untuk mendirikan Negara Indonesia Timur. Pertempuran yang kemudian dikenal sebagai Perang Puputan Margarana tersebut dipimpin oleh sosok Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Divisi Sunda Kecil.

Dilansir dari repository.unej.ac.id, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan yang disebut Ciung Wanara untuk berjuang habis-habisan dalam melawan Belanda. Ia memegang peranan penting dalam perang Puputan Margarana. Sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam perang tersebut, I Gusti Ngurah Rai memiliki peran dalam menyusun strategi, mengatur serangan, hingga berkomunikasi dengan Pemerintah Pusat di Pulau Jawa untuk meminta bantuan.

Pertempuran antara pasukan Ciung Wanara dengan pasukan Belanda berlangsung sangat sengit. Karena tidak memiliki perlengkapan senjata yang mumpuni, pasukan Ciung Wanara menggunakan taktik perang gerilya untuk melawan Belanda. Pada titik akhir pertempuran, sebagaimana dilansir dari e-journal.pasca.undiksha.ac.id, I Gusti Ngurah Rai memekikkan kata "Puputan!" yang berarti perintah untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Dilansir dari bi.go.id, I Gusti Ngurah Rai pada akhirnya tewas bersama dengan 95 pasukannya di tangan Belanda.

Meskipun demikian, I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya berhasil menewaskan 400 pasukan Belanda. Taktik perang gerilya dan perang Puputan khas Bali yang ia terapkan mampu membawa perlawanan yang berarti bagi pasukan Belanda. Hal tersebut kemudian membuat I Gusti Ngurah Rai dinobatkan menjadi salah satu Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia. Namanya pun kini juga diabadikan sebagai nama salah satu bandara terbesar di Bali.

Metusnya Perang Puputan Margarana yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai di Bali dipicu oleh tiga faktor. Pertama, faktor politik internasional yang mengizinkan Belanda untuk merebut kekuasaannya kembali di Indonesia. Kedua, faktor politik nasional yang menempatkan Bali sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca-Kemerdekaan. Ketiga, faktor politik lokal, yakni rasa senasib dan sepenanggungan yang dirasakan masyarakat Bali dengan seluruh masyarakat Indonesia dalam hal melawan penjajahan.

NAOMY A. NUGRAHENI

Baca: Perang Habis-habisan Puputan Nargarana, I Gusti Ngurah Rai Pimping Ciung Wanara

Admin disbud | 28 April 2021 | 6777 kali

Apa yang dimaksud dengan perang puputan

Perang Puputan Jagaraga yang juga disebut Perang Bali II ini terjadi pada 1848 hingga 1849. Perang ini dilakukan oleh Patih Jelantik bersama dengan rakyat Buleleng, Bali.

Puputan Jagaraga disebabkan oleh ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Maha Patih I Gusti Ketut Jelantik pada perjanjian damai kekalahan perang Buleleng pada 1846. Mengutip dari situs Pemerintah Kabupaten Buleleng, perjanjian tersebut ditandatangani oleh Raja Buleleng serta Raja Karangasem yang membantu Perang Buleleng. 

Berikut merupakan isi perjanjian damai tersebut Kedua kerajaan harus mengakui Raja Belanda sebagai tuannya serta berada di bawah kekuasaan Gubernemen. Tidak diperbolehkan membuat perjanjian dengan bangsa kulit putih lainnya. Penghapusan peraturan Tawan Karang. Tawan Karang adalah hak raja-raja Bali untuk merampas kapal yang karam di perairannya. Harus membayar biaya perang sebesar 300 ribu Gulden. 

Raja Buleleng harus membayar 2/3 dari biaya perang. Sedangkan Raja Karangasem membayar 1/3 biaya yang harus dilunasi dalam jangka waktu 10 tahun. Baca juga: Puputan Margarana, Pertempuran Rakyat Bali Mengusir Belanda Setelah Perang Buleleng berakhir, I Gusti Ngurah Made Karangasem, I Gusti Ketut Jelantik bersama pasukannya memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga karena Letaknya yang berada di bukit dan banyak jurang, memudahkan mereka untuk melakukan serangan mendadak. 

Hanya ada satu jalan penghubung, yakni melalui Desa Sangsit. Hal ini memudahkan mereka untuk mengintai musuh yang hendak menyerang. Jarak antara Jagaraga serta Pabean tergolong pendek sehingga mereka mudah mengawasi gerak gerik pasukan Belanda. Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga. Selama di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng dengan dibantu oleh Jro Jempiring telah menyusun strategi perang, yakni membangun berbagai benteng pertahanan di Desa Jagaraga. 

Melatih seluruh prajurit Buleleng dan Jagaraga. Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang serta menggunakan rumah mereka sebagai lokasi penyimpangan logistik perang. Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali dalam hal persenjataan. 

Penggunaan strategi perang Supit Surang atau Makara Wyuhana. Adanya Pura Dalem Segara Madu Jagaraga yang terletak di belakang tembok benteng. Lihat Foto Prajurit Bali di tahun 1880-an (Bali Museum) Belanda yang saat itu menguasai Buleleng, Bali, merasa terusik dengan strategi serta persiapan yang telah dilakukan oleh I Gusti Ketut Jelantik bersama warga Jagaraga lainnya.

Apa yang dimaksud dengan perang puputan

Apa yang dimaksud dengan perang puputan
Lihat Foto

J.P. de Veer

Artileri Belanda di Jagaraga

KOMPAS.com - Perlawanan raja - raja Bali terhadap Belanda dikenal dengan sebutan perang puputan yang maknanya perang sampai titik darah penghabisan. 

Puputan berasal dari bahasa Bali, puput yang artinya tanggal, putus, habis, atau mati. Sehingga puputan dalam bahasa Bali mengacu pada ritual bunuh diri massal yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. 

Puputan yang terkenal di Bali adalah Puputan Jagaraga dan Puputan Margarana. Berikut penjelasannya: 

Puputan Jagaraga

Perang Puputan Jagaraga disebut Perang Bali II, terjadi pada 1848 hingga 1849. Perang ini dilakukan oleh Patih Jelantik bersama dengan rakyat Buleleng, Bali. 

Puputan Jagaraga disebabkan oleh ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Maha Patih I Gusti Ketut Jelantik pada perjanjian damai kekalahan perang Buleleng pada 1846. 

Mengutip dari situs Pemerintah Kabupaten Buleleng, perjanjian tersebut ditandatangani oleh Raja Buleleng serta Raja Karangasem yang membantu Perang Buleleng. 

Baca juga: Senjata Tradisional Kandik Bali

Adapun isi perjanjian damai tersebut, yakni: 

  • Kedua kerajaan harus mengakui Raja Belanda sebagai tuannya serta berada di bawah kekuasaan Gubernemen. 
  • Tidak diperbolehkan membuat perjanjian dengan bangsa kulit putih lainnya. 
  • Penghapusan peraturan Tawan Karang. Tawan Karang adalah hak raja-raja Bali untuk merampas kapal yang karam di perairannya. 
  • Harus membayar biaya perang sebesar 300 ribu Gulden. Raja Buleleng harus membayar 2/3 dari biaya perang. Sedangkan Raja Karangasem membayar 1/3 biaya yang harus dilunasi dalam jangka waktu 10 tahun.

Setelah Perang Buleleng berakhir, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan I Gusti Ketut Jelantik memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga. 

Di sana mereka mengatur strategi perang untuk melawan Belanda. Pada 8 Juni 1848, Belanda menyerang Pelabuhan Sangsit dan diserang balik oleh I Gusti Ketut Jelantik. 

Mengakibatkan 250 prajurit Belanda tewas dan menandakan bahwa Belanda kalah pada Perang Jagaraga pertama. 

Apa yang dimaksud dengan perang puputan

Apa yang dimaksud dengan perang puputan
Lihat Foto

Wikimedia Commons/Eric Bajart

Monumen Puputan Badung.

KOMPAS.com - Perang Puputan Badung adalah peristiwa heroik dari rakyat Badung ketika bertempur melawan Belanda.

Pertempuran itu dilakukan secara habis-habisan atau puputan oleh rakyat Badung pada tahun 1906.

Puputan berasal dari kata “puput” yang artinya selesai, habis atau mati. Dalam kacamata budaya, puputan adalah tradisi masyarakat Bali dalam berperang yang dilakukan dengan pantang menyerah dan secara habis-habisan.

Baca juga: Kerajaan Badung: Sejarah, Raja-raja, Keruntuhan, dan Peninggalan

Latar belakang Puputan Badung

Penyebab terjadinya perang Puputan Badung hanya karena permasalahan kecil antara seorang pedagang dari China bernama Kwee Tek Tjiang dan masyarakat Badung.

Sebelum pecah pertempuran, permasalahan datang ketika Kwee Tek Tjiang, yang kapal dagangnya berbendera Belanda, terdampar di Sanur pada Mei 1904.

Setelah terdampar, mereka melakukan pembongkaran dan meminta Syahbandar Sanur untuk menjaga barangnya.

Saat melakukan pengecekan, Kwee Tak Tjieng membuat laporan palsu bahwa uangnya dalam jumlah besar telah dicuri. Ia lantas menghadap Raja Badung untuk meminta ganti rugi dengan nominal lebih besar.

Merespons hal itu, Raja Badung bersumpah bahwa rakyatnya tidak ada yang mencuri sehingga enggan untuk memberi ganti rugi.

Permasalahan ini menjadi rumit hingga terdengar oleh pemerintah kolonial Belanda.

Baca juga: Puputan Bayu: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampak

Gubernur Hindia Belanda, Van Heutsz, tidak terima dengan sikap penguasa Kerajaan Badung dan siap membalasnya dengan melakukan blokade ekonomi hingga mengirim ekspedisi militer ke Bali.