Apa yang dimaksud dengan omnibus law

Banyak kajian yang diterbitkan oleh berbagai lembaga menunjukkan pengesahan UU Cipta Kerja akan merugikan buruh/pekerja. Beberapa pasal yang dinilai akan merugikan buruh/pekerja adalah:

1. Masuknya Pasal 88B

Pasal 88B dalam UU Cipta Kerja berbunyi :

(1) Upah ditetapkan berdasarkan:

a. satuan waktu; dan/atau

b. satuan hasil,

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Menurut Amnesty Internasional, pasal tersebut memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan).

Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.

2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan

Pasal 91 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 berbunyi:

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal tersebut mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan.

Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.

Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang.

Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.

3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT

Jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi disebutkan akan diatur dalam PP.

Sebagai catatan, aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja.

Dalam UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tadinya terbatas untuk paling lama 2

(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Dalam UU Cipta Kerja, PWKTT menjadi tidak dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) UU.

Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi jangka waktu PKWT.

Output dari ketentuan ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak. Ketentuan ini sudah banyak dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pekerja.

4. Pasal 77

Pasal 77 dalam UU Cipta Kerja berbunyi:

(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1

(satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1

(satu) minggu.

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan

tertentu.

(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP).

Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.

Pengaturan kebijakan waktu kerja yang tidak jelas, dinilai menjadi celah semakin terbukanya eksploitasi terhadap pekerja. Selama ini saja banyak kasus pekerja yang upahnya tidak dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap berjalan normal. Bahkan terdapat kasus pengusaha yang kabur dengan tidak membayar hak-hak normatif pekerja.

Banyak hal kontroversial yang selama ini kasusnya menimpa pekerja, walau instrumen hukumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dipatuhi atau dijalankan oleh perusahaan.

Terlebih lagi ketika memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengatur waktu kerja terhadap pekerja, menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan tertentu, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum. Hal ini akan semakin menjerumuskan nasib pekerja di bawah jurang eksploitasi.

Istilah Omnibus Law kini marak diperbincangkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan, Pemerintah Indonesia menyusun Omnibus Law yang tujuan akhirnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu Omnibus Law yang telah diresmikan adalah UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mari mengenal lebih jauh mengenai Omnibus Law dan salah satunya memelajari UU 11 Tahun 2020 Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Apa yang dimaksud dengan Omnibus Law?

Omnibus law adalah suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. Regulasi yang dibuat senantiasa dilakukan untuk membuat undang-undang yang baru dengan membatalkan atau mencabut juga mengamandemen beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.

Konsep Omnibus Law ini dalam undang-undang  bertujuan untuk menyasar  isu besar yang memungkinkan dilakukannya pencabutan atau perubahan beberapa undang-undang sekaligus (lintas sektor) untuk kemudian dilakukan penyederhanaan dalam pengaturannya, sehingga diharapkan tidak terjadi konkurensi/persengketaan dan atau perlawanan antara norma yang satu dengan yang lainnya.

Apabila dilihat dari kedudukannya, Omnibus Law sebagai sebuah undang-undang berkedudukan di bawah undang-undang dasar, namun lebih tinggi dari jenis peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Apa  saja regulasi/Undang-Undang yang akan disusun dengan metode Omnibus Law?

Omnibus law yang akan dibuat Pemerintah Indonesia, akan menyasar 3 Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Kerja, UU Pemberdayaan UMKM, dan UU Perpajakan.

3. Apa yang menjadi latar belakang pemerintah untuk membuat Omnibus Law?

Alasan pemerintah membuat Omnibus Law lantaran sudah terlalu banyak regulasi yang dibuat, yang kemudian menimbulkan persoalan tersendiri, seperti tumpah tindih regulasi. Akibatnya, tak sedikit menimbulkan konflik kebijakan atau kewenangan antara satu kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga lainnya, dan juga antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Regulasi yang tumpang tindih ini akhirnya berdampak pada terhambatnya implementasi program pembangunan dan memburuknya iklim investasi di Indonesia. Sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai.

Bersamaan dengan itu, tantangan era ekosistem masyarakat digital juga semakin berkembang, dimana Indonesia sudah tidak bisa lagi berlama-lama terbelit oleh prosedur formal. Berdasarkan hal ini, maka jalan satu-satunya adalah dengan untuk menyederhanakan dan sekaligus menyeragamkan regulasi secara cepat ialah melalui skema Omnibus Law.

4. Apa tujuan dari Omnibus Law?

Omnibus Law yang akan didorong dalam bentuk 3 UU besar ini, UU Cipta Kerja, UU Pemberdayaan UMKM, dan UU Perpajakan ini dapat menjadi alat untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia.

Beberapa tujuan lain dari dibuatnya Omnibus Law ini adalah

  1. Meningkatkan iklim usaha yang kondusif dan atraktif bagi investor
  2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
  3. Meningkatkan kepastian hukum dan mendorong minat Warga Negara Asing (WNA) untuk bekerja di Indonesia yang dapat mendorong alih keahlian dan pengetahuan bagi kualitas SDM Indonesia
  4. Mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak (WP) dan menciptakan keadilan berusaha antara pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha luar negeri.

5. Apa manfaat dari Omnibus Law?

Keberadaan Omnibus Law diyakini dapat memberikan sejumlah keuntungan, diantaranya adalah:

  1. Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan, adanya penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi
  2. Efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan, diyakini akan menghemat energi pemerintah baik dari sisi administrasi dan juga politik dalam pembahasan dengan Parlemen
  3. Menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

6. OMNIBUS LAW UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

Undang-Undang (UU) ini mulai berlaku pada 2 November 2020. Bertujuan untuk mengatur mengenai upaya cipta kerja yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Sepuluh ruang lingkup UU ini adalah:

1) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;

2) ketenagakerjaan;

3) kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M;

4) kemudahan berusaha;

5) dukungan riset dan inovasi;

6) pengadaan tanah;

7) kawasan ekonomi;

8) investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;

9) pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan

10) pengenaan sanksi.

7. Apa saja Peraturan Pemerintah (PP) terkait Ketenagakerjaan yang merupakan turunan dari UU 11/2020?

Terdiri dari:

  • PP 34/2021 tentang Tenaga Kerja Asing
  • PP 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Waktu Kerja, Hubungan Kerja, Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
  • PP 36/2021 tentang Upah Minimum
  • PP 37/2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP)

Informasi terkait:

https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/upah-kerja/perubahan-upah-minimum-berdasarkan-pp36-2021

https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/upah-kerja/formula-perhitungan-upah-minimum-terbaru-berdasarkan-pp-36-2021

https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/jaminan-sosial/BPJS/jaminan-kehilangan-pekerjaan-jkp

Sumber: