Apa teori poitifisme tentang ibadah

tirto.id - Auguste Comte (1798-1857) adalah seorang filsuf asal Prancis yang sering kali disebut sebagai peletak dasar ilmu sosiologi. Ia juga turut memperkenalkan istilah “Sociology". Istilah itu pertama kali diperkenalkan pada tahun 1838 dalam bukunya yang berjudul Cours De Philosophie Positive.

Dalam karyanya tersebut, Comte menjelaskan bahwa kata “sosiologi" berasal dari bahasa Latin yaitu “socius" yang berarti "kawan atau teman", dan “logos" yakni "ilmu pengetahuan".

Dengan demikian, sosiologi merupakan satu cabang ilmu yang mempelajari masyarakat, termasuk perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan jalan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial.

Melalui buku itu pula, Comte mengenalkan tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.

Tiga tahapan itu meliputi:

a) Tahap Teologis, yakni tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia;

b) Tahap Metafisis, yang pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan; serta c) Tahap Positif, yaitu tahap di mana manusia mulai berpikir secara ilmiah.

Tiga tahap perkembangan intelektual yang terakhir, atau Tahap Positif, pada akhirnya membawa manusia mengenal pemikirannya yang mahsyur: Positivisme.

Mengenal Positivisme

Dalam ilmu pengetahuan, positivisme merupakan bentuk pemikiran yang menekankan pada aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Umumnya positivisme menjabarkan pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi).

Dengan kata lain, positivisme merupakan aliran pemikiran yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik.

Menurut Anthony Flew dalam A Dictionary of Philosophy (1984), jika dilihat dari asal perkembangannya, positivisme merupakan paham falsafah dalam alur tradisi Galilean yang muncul dan berkembang pada abad XVIII. Comte sendiri telah mencoba menggunakan paradigma Galilean untuk menjelaskan kehidupan manusia dalam masyarakat.

Menurut Comte, konsep dan metode ilmu alam dapat dipakai untuk menjelaskan kehidupan kolektif manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa kehidupan manusia juga terjadi di bawah imperative hukum sebab-akibat dengan segala kondisi dan faktor probabilitasnya.

Sebagaimana kejadian di alam semesta yang tunduk pada hukum yang bersifat universal, Comte menyatakan bahwa kehidupan manusia selalu dapat dijelaskan sebagai proses aktualisasi hukum sebab-akibat. Setiap kejadian atau perbuatan dalam kehidupan manusia yang kasuistik sekalipun selalu dapat dijelaskan dari sisi sebab-akibat yang rasional dan alami dan karena itu bersifat ilmiah (scientific).

Menurutnya, setiap perbuatan tidak dapat dimaknakan dari substansi yang berupa niat dan tujuannya sendiri yang moral-altruistik dan yang metafisikal. Sebab, yang demikian itu merupakan sesuatu yang dapat dianggap tidak ilmiah (unscientific).

Kelebihan dan Kekurangan Positivisme

Sebagai sebuah pemikiran, positivisme memiliki kelebihan dan kekurangan. Mengutip Jurnal Cakrawala (2016), positivisme memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:

a.) Kelebihan

  • Positivisme menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mampu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, melainkan konkrit, pasti, mutlak, teratur dan valid;
  • Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya;
  • Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi;
  • Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemologi ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya

b.) Kekurangan

  • Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik;
  • Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada;
  • Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.

Baca juga:

  • Apa Itu Ketimpangan Sosial dalam Masyarakat dan Faktor Penyebabnya
  • Apa yang Dimaksud dengan Sosiologi Bersifat Non-Etis?
  • Jenis-Jenis Perubahan Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari

Baca juga artikel terkait TEORI SOSIOLOGI atau tulisan menarik lainnya Ahmad Efendi
(tirto.id - efd/ale)


Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto
Kontributor: Ahmad Efendi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

KITAB AL-RISA<LAH DALAM TILIKAN POSITIVISME HUKUM

Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan pendekatan kualitatif-filosofis. Dari hasil

penelitian memberikan kesimpulan bahwa: Pertama, Menurut al-Sha>fi’i<, hakikat hadirnya hukum

adalah kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam dipahami al-Sha>fi’i< sebagai institusi

yang tidak berakar maupun dicangkokkan pada sosiologi sebagaimana positivisme hukum. Hukum

Islam merupakan sarana mengabdi kepada Tuhan, dan bukan kepada masyarakat, meskipun

pada aspek teknisnya sangat memahami kondisi masyarakat. Kedua, Al-Sha>fi’i< membangun teori

hirarkhi hukum Islam didasarkan pada empat sumber yaitu, al-Qur’an, sunnah Nabi, konsensus

ulama (ijma’), dan metode analogi (qiyas). Jika ditilik secara konseptual dari perspektif positivisme

hukum, maka teori sumber hukum Islam yang dibangun oleh al-Sha>fi’i< kurang lebih sama

dengan teori tingkatan norma Hans Kelsen. Ketiga, Dalam konteks eksistensi positivisme hukum

ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia selaku anggota masyarakat agar tercipta kepastian

hukum. Tentu eksistensi ini berbeda dalam sistem hukum Islam, hukum hadir dalam Islam untuk

mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat agar dapat

bertingkah laku yang sesuai dengan kehendak Sang pencipta. Keempat, Sumber positivisme hukum

yang terbagi dalam hukum material dan formal juga memiliki aspek perbedaan dengan hukum

Islam. Hukum Islam juga mempunyai sumber hukum material, namun memiliki substansi berbeda

dengan positivisme, yaitu bahwa sumber hukum Islam berasal dari wahyu, sedangkan hukum

positif bersumber kepada perilaku dan realitas dalam masyarakat.

Kata Kunci: Hukum, Positivisme Hukum, al-Risa>lah, al-Sha>fi’i<

PENDAHULUAN

Urgensi epistemologi us}u>l al-fiqh dalam ranah pemikiran Hukum Islam, tampaknya baru

dirasakan seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat. Penyebaran Islam yang

semakin meluas ke berbagai daerah, serta penetrasi budaya non-Arab, hal inilah yang sedikit

banyak mempengaruhi perkembangan penafsiran terhadap teks wahyu. Di tengah kegelisahan

akademik ini, al-Ima>m al-Sha>fi’i< (w. 204 H) kemudian hadir dengan mengusung teori-teori

ilmu fiqh yang dibutuhkan. Dengan bekal pengetahuan yang memadai terhadap eksistensi

kedua kubu pemikiran yang saling berhadap-hadapan saat itu, al-Sha>fi’i< lalu dapat memadukan

penggunaan sumber ajaran suci yang berupa teks dengan kemampuan rasio secara bersamaan.

Kitab al-Risa>lah adalah salah satu karya al-Ima>m al-Sha>fi’i< yang monumental dalam bidang

us}u>l al-fiqh.1 Karya ini dipandang sebagai karya pertama yang dikenal dalam bidang us}u>l al-fiqh.2

Disebutkan juga bahwa al-Sha>fi’i> datang dalam suasana kebingungan epistemologis, ketika para

1 Kitab ini merupakan karya al-Ima>m al-Sha>fi’i< atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi yang berkaitan

dengan penjelasan makna-makna al-Qur’an, dan menghimpun beberapa khabar, ijma’ dan penjelasan tentang

nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an dan sunnah. Dan juga atas dorongan dari Ali bin al-Madani agar al-Ima>m

al-Sha>fi’i memenuhi permintaan Abdurrahman bin al- Mahdi. Atas permintaan dan dorongan itulah Imam Syafi’i

menulis kitab ar-Risa>lah ini. Lihat Ar-Risa>lah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), 13.

2Abdulla>h bin Sa’i<d Muh}ammad ‘Abba>di< al-Lah{ji< al-Sah{a>ri<, I<d}a>h al-Qawa>’id al-Fiqhi<yah (Surabaya: al-

Hidayah, 1410 H.), 2.

2 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

yuris Islam sempat beberapa saat sebelumnya terbelah ke dalam dua kecenderungan utama,

yaitu ahl al-h}adi<th dan ahl al-ra’y. Selain appreciate terhadap penggunaan al-Sunnah sebagai

sumber inspirasi hukum, sebagaimana ditunjukkan kubu tradisionalis (ahl al-h}adi<th), al-Sha>fi’i<

juga tidak dapat menafikan apa yang menjadi komitmen kalangan rasionalis (ahl al-ra’y) dalam

penggunaan analogi.

Kedatangan al-Sha>fi’i< menenteramkan persengketaan antara kedua golongan tersebut

dan secara perlahan namun pasti, pemikiran dalam hukum Islam menapak jalan yang telah

digariskannya. Tidak hanya di kalangan madhab Shafi’i<, tetapi arahannya juga diikuti semua

madhab hukum dalam Islam.3

Us}u>l al-fiqh adalah salah satu bidang ilmu agama Islam yang lebih kurang berarti metodologi

hukum Islam. Ilmu ini juga dapat disebut metodologi riset menemukan hukum Islam. Us}u>l al-fiqh

juga merupakan sistem interpretasi. Sebagaimana layaknya sebuah sistem interpretasi, us}u>l al-fiqh

juga berdiri di atas premis-premis yang dianggap benar. Dengan demikian, al-Risa<lah diketahui

menjelaskan premis-premis itu sebagai pijakan dari sistem interpretasi yang ditawarkannya.

Berkat inisiasi dari al-Sha>fi’i< berupa diterimanya al-Risa>lah secara luas di kalangan umat

Islam, ia dijuluki sebagai “Bapak us}u>l al-fiqh”. Selanjutnya berkat ketentraman epistemologis yang

tercipta berkat al-Risa>lah, ia juga dikenal sebagai “Bapak equilibrium” dalam Islam. Equilibrium

atau keseimbangan yang tercipta itu adalah antara kecenderungan ahl al-h}adi<th dan ahl al-

ra’y di atas. Artinya kedua kecenderungan itu menjadi mendekat dan mencapai kesepakatan-

kesepakatan atas posisi-posisi yuristik dalam pemikiran hukum Islam.4

Banyak pernyataan al-Sha>fi’i< yang berlaku sebagai premis-premis utama dari metolodologi

hukum yang ditawarkannya yang patut ditilik dari sudut pandang positivisme hukum. Al-Sha>fi’i<

mengatakan bahwa kasus apa saja pasti ada penyelesaiannya di dalam al-Qur’an:



(Tidak ada kasus hukum yang terjadi pada para pemeluk agama Allah kecuali pasti ada dalil penyelesaiannya

dalam bentuk petunjuk)

Pernyataan senada diulanginya lagi di bagian lain:











(Setiap kasus hukum yang terjadi di kalangan orang Islam pasti ada keputusan yang pasti. Dalam keadaan

demikian, ia harus mengikutinya apa adanya. Bisa juga harus ditemukan dahulu dalil yang sebenarnya

sudah pasti ada. Di sini caranya adalah dengan ijtiha>d, sedangkan ijtiha>d itu adalah qiya>s).

Di sini al-Sha>fi’i< menegaskan bahwa apa yang disebut hukum adalah yang tercantum

di dalam al-Qur’an. Sedangkan satu-satunya pengembangan yang sah dari makna apa yang

terkandung di dalam al-Qur’an adalah qiya>s atau analogi. Dalam pikiran al-Sha>fi’i<, orang Islam

tidak dibenarkan mencari hukum di luar al-Qur’an. Orang Islam meyakini bahwa al-Qur’an

adalah firman Allah, atau kata-kata Allah sendiri. Di dalam wacana us}u>l al-fiqh, Allah disebut

sebagai al-Sha>ri’, yang dalam literatur us}ul al-fiqh berbahasa Inggris diterjemahkan dengan The

Lawgiver.

3 Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law (Islamabad: The International Institute of Islamic

Thought, 1994), 52; Kemal A. Faruki, Islamic Jurisprudence (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994), 22-23.

4 Ahmad Hasan, “Al-Sha>fi’i<’s Role in the Development of Islamic Jurisprudence,” Islamic Studies, 5 (1966),

239; Abdul Mun’im Saleh, Otoritas Maslahah dalam Madhhab Syafi’I (Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2012),

31.

5 Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi’i<, al-Risa>lah ed. Ah}mad Muh}ammad Sha>kir (T.t: Da>r al-Fikr, t.t.), 20.

6 Ibid., 477.

Kitab Al-Risa<lah Dalam Tilikan Positivisme Hukum 3

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

Dari segi inilah tampaknya premis al-Sha>fi’i< bersentuhan dengan aliran Positivisme Hukum

yang mengatakan bahwa hukum adalah perintah. Tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan

hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa

dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.7 Positivisme Hukum

melihat sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang

tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya.8

Hukum adalah perintah dari sang Penguasa Hukum (command of Lawgivers).9

Dengan demikian, hukum sangat ditentukan oleh pertanyaan bagaimana manusia melihat

dan menggunakannya. Pada kenyataannya, beragam teori hukum yang berkembang selama

ini bertumpu kepada kedua faktor tersebut. Oleh karena itu, jika bandul sebuah teori hukum

bergeser ke arah manusia maka teori tersebut memberikan ruang cukup banyak pada faktor

manusia. Sebaliknya jika bandul teori tadi banyak bergeser ke arah hukum maka teori tersebut

akan menganggap hukum sebagai sesuatu yang mutlak, otonom, dan final. Pengkutuban teori

hukum ini pada gilirannya sangat berimplikasi pada lahirnya aliran-aliran hukum dengan

berbagai jenis dan karakternya. Dalam konteks tersebut, penelitian ini akan melihat medan

persentuhan antara premis-premis al-Sha>fi’i< di dalam al-Risa<<lah dan premis-premis aliran

Positivisme Hukum.

Terlebih, dewasa ini wacana hakikat hukum dikuasai oleh dua aliran saja, yaitu aliran

hukum kodrat dan positivisme. Penelitian ini memilih tilikan positivisme karena aliran ini lebih

dominan dalam mendominasi wacana hakikat hukum saat ini. Mengingat setiap aliran filsafat

hukum selalu memiliki kelemahan di samping kelebihannya, maka membiarkan sebuah aliran

hukum mendominasi wacana bukanlah tindakan yang tepat, dan pasti tidak memuaskan.

al-Sha>fi’i< telah memuaskan pertikaian epistemologi dan menciptakan equilibrium. Tetapi

banyak pernyataannya yang memiliki kesamaan dengan premis-premis positivisme. Mungkin

saat ini positivisme memang paling memuaskan, tetapi dengan perkembangan yang ada,

tampaknya positivisme juga tampak cacat epistemologinya, sehingga muncul kritik dari banyak

pakar. Berpijak pada hal inilah, mungkin terdapat premis yang lain lagi yang dimiliki al-Sha>fi’i<,

sehingga menjadi urgen untuk dikaji lebih mendalam. Sehingga penelitian ini menjadi menarik,

untuk menggali apakah hakikat hukum menurut al-Sha>fi’i< dalam al-Risa>lah ? Apakah sumber

hukum menurut al-Sha>fi’i< di dalam al-Risa>lah, dan bagaimana hirarkinya serta bagaimana

bangunan metodologi menemukan hukum? Bagaimana sikap al-Sha>fi’i< di dalam al-Risa>lah

terhadap hal-hal yang bersifat non-hukum (metayuridis)? Serta Apakah al-Shafi’i< dalam al-

Risa>lah mempersoalkan tujuan hukum?

PEMBAHASAN

Teori Positivisme Hukum

Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif-empiris. Sesuatu yang

di luar fakta atau empiris dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.10

Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan

empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode

ilmiah (scientific methods) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi

pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme ditambah rasionalisme. Hanya saja pada

7 http://www.boyyendratamin.com/ 2011/08/ positivisme-hukum-di-indonesia-dan.html, diakses tanggal 14

Maret 2016.

8 Ibid.

9 Ibid. Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik Sampai Postmoderisme) (Yogyakarta:

Universitas Atmajaya, 2011), 158.

10 Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. cet. Ke-2. (Jakarta: Kencana, 2005).

4 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

empirisme dapat menerima pengalaman bathiniah sedangkan pada positivisme membatasi pada

perjalanan objektif saja.11

Positivisme berkembang dalam sistem hukum Eropa kontinental (civil law) abad XIX

dan XX. Positivisme lahir bermula dari pemikiran Henry Saint Simon dan Auguste Comte.

Positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan pemikiran metafisik yang abstrak. Setiap

norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah norma yang konkrit dan nyata.12 Bahkan,

paham positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu primitif

dan kurang rasional. Artinya kebenaran metafisik dan teologis dianggap ringan dan kurang

teruji. Singkat kata, positivistik lebih berusaha mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya

fenomena secara objektif, terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.

Positivisme turut mempengaruhi bidang hukum ketika mencapai puncaknya pada paruh

pertama abad ke-19 M, seiring munculnya berbagai pengaturan dalam bentuk hukum yang

menuntut kepatuhan serta memberi ancaman sanksi agar tercipta masyarakat yang teratur.

Struktur masyarakat yang semakin kompleks, tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

serta semakin pesatnya perdagangan antarbangsa, membutuhkan para yuris profesional

untuk menangani permasalahan hukum. Para yuris yang mendasarkan karyanya pada hukum

positivistis-analitis membangun pemikiran rasional dalam memandang hukum sebagai sebuah

sistem yang utuh.13

Dampak lain pemikiran aliran positivisme dalam hukum adalah berkembangnya ilmu

hukum dengan menggunakan format ilmu sosial dalam paradigma ilmu empiris. Para ilmuwan

hukum merasa lebih percaya diri apabila menggunakan pendekatan sosial empiris. Dengan

menggunakan pendekatan ini, penjelajahan ilmu hukum akan lebih ilmiah karena dapat

dikuantifikasi dan memungkinkan digunakannya rumus-rumus ilmu pasti untuk menjamin

pembuktian ilmiah dari segi empiris. Pemikiran Comte menginginkan apa yang bersifat sosial

dalam masyarakat dapat diredusir ke dalam dalil-dalil yang pasti sehingga lebih bersifat ilmiah

sesuai hukum tiga tahap yang dikembangkannya.14

Secara epistemik-falsafati, positivisme hukum lahir sebagai kritik atas aliran hukum kodrat.

Dengan senjata rasio, positivisme hukum menolak aliran hukum kodrat yang terlampau

idealistik.15

Istilah positif dalam positivisme hukum merupakan terjemahan dari ius positum menjadi

hukum positif yang mengandung makna hukum yang ditetapkan. Jadi, munculnya istilah ius

positum pada zaman hukum Romawi jauh lebih awal sebelum pemunculan karya-karya pemikiran

Comte.

Dalam etimologi Latin, positivisme atau positivus mempunyai makna ditetapkan, ditentukan

oleh kehendak, dikehendakkan, dan positif. Makna lain dari positivisme adalah meletakkan,

yaitu bahwa tindakan manusia itu adil atau tidak, sepenuhnya bergantung pada peraturan atau

hukum yang diletakkan atau diberlakukan.16 Para eksponen positivisme hukum, diantaranya:

H.L.A. Hart, J.Austin, dan Hans Kelsen.17

H.L.A. Hart, seorang positivis modern berpengaruh di Inggris, membangun tesis tentang

positivisme dengan memisahkan secara tegas keterkaitan antara hukum dan moral. Sikap seperti

ini sangat berlawanan dengan pandangan aliran hukum alam yang menegaskan bahwa hukum

11 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2011), 69-70.

12 Abu Yasid, Aspek-Aspek Penelitian Hukum (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2010), 101.

13 Ibid., 88.

14 Moch. Koesnoe, Kritik terhadap Ilmu Hukum (Yogyakarta: Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat

Fakultas Hukum UII, 1981), 3.

15 Sulistyowati Irianto, dkk, Metode Penelitian Hukum., 8.

16 Abu Yasid, Aspek-Aspek., 117.

17 Khudzaifah Dimyati, Pemikiran Hukum (Yogyakarta: Genta Publishing), 29.

Kitab Al-Risa<lah Dalam Tilikan Positivisme Hukum 5

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

dan moral tidak dapat dipisahkan. Pengaruh Comte terhadap pemikiran Hart tampak pada

waktu ia menguraikan gagasan tentang hukum murni yang terpisah dari aspek moral.18

Di dalam aliran positivisme kepastian hukum merupakan tujuan utama, sedangkan

keadilan dan ketertiban menjadi hal yang dinomor dua kan. Diskursus antara kepastian hukum

dan keadilan telah lama mengemuka, dengan aliran positivisme tersebut hukum seolah-olah

terpisah dari nilai-nilai keadilan yang ada di tengah masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah

renovasi baru terhadap hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan

kepastian hukum. Aliran positivisme hukum telah memperkuat ajaran legisme, yaitu suatu

ajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi

sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.

Dalam positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai

norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret

antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Di sini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai

asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah

mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang

terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang

bukan terbilang hukum.19

Aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan

tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya tertib mengikuti norma-

norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas-

kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan.

Kausalitas dalam kehidupan manusia itu bukanlah kausalitas yang berkeniscayaan tinggi

sebagaimana yang bisa diamati dalam realitas-realitas alam kodrat yang mengkaji “prilaku

benda-benda anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas itu dihukumkan atau dipositifipkan

sebagai norma dan tidak pernah dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau

dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan struktural yang

dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi.20

Terkait dengan kondisi di Indonesia maka persoalannya tidak bisa terlepas dari kenyataan

sejarah dan perkembangan hukum, sehingga dapat dipahami bila saat ini terdapat perbedaan cara

pandang terhadap hukum di antara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan

atas penegakan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang

yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum.21

Para aparat penegak hukum terperangkap kedalam pola pikir postivisme sehingga menganggap

hukum sebatas undang-undang.

Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan

positivisme (ilmu). Dalam definisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, dimaknai

sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologinya,

pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan materialisme. Oleh

Bernard Sidharta dikatakan, penjelasan seperti itu mengacu pada teori hukum kehendak (the

will theors of law) dari Jhon Austin dan teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan

pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia,

maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret.

18 Abu Yasid, Aspek-Aspek., 118.

19 Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam & Huma,

2002), 96.

20 Ibid.

21

6 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

Masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan

acuannya adalah norma-norma hukum.22

Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:

1. Hukum adalah perintah.

2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis dan

penilaian kritis.

3. Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih

dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.

4. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran

rasional, pembuktian atau pengujian.

5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari

hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan23.

Menurut Thomas Aquino, hukum positif dinamakan Undang-undang Manusia (Menschelijke

Wet) adalah hukum yang ada dan berlaku. Menurutnya, undang-undang tersebut tidak

didasarkan kepada alam, akan tetapi didasarkan akal. undang-undang tersebut harus mengabdi

kepentingan umum karena undang-undang adalah suatu peraturan tertentu dari akal yang

bertujuan untuk mengabdi kepentingan umum dan berasal dari satu “kekuasaan” yang sebagai

penguasa tertinggi harus memelihara kesejahteraan masyarakat. Hukum positif adalah sesuatu

yang perlu untuk umat manusia, hukum positif kebanyakan ditaati oleh manusia dengan sukarela

dengan jalan peringatan-peringatan dan tidak oleh karena paksaan oleh undang-undang.

Dalam rangka kepentingan menjamin kepastian hukum, positivisme hukum mengistirahatkan

filsafat dari kerja spekulasinya, dan mengidentifikasi hukum dengan peraturan perundangan.

Melalui tokohnya Hans Kelsen, dengan teorinya hukum murni, positivisme hukum modern

berupaya membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum, seperti sejarah, moral,

sosiologis, politis, dan sebagainya. Kelsen hanya ingin menerima hukum apa adanya, yaitu

berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara.24

Sementara, melalui teori Stufenbau Des Rech, yang berasal dari muridnya Adolf Merkl,

Kelsen mengintrodusir tentang adanya hierarki perundang-undangan.25 Ajaran Stufenbau theory

ini berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari norma-norma hukum

positif, di mana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya

yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang

bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang

lebih tinggi.26 Sebagai contoh, dapat dilihat dalam ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966

tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

Hakikat Hukum Menurut al-Sha>’i< dalam al-Risa>lah

Hukum Islam diturunkan sebagai wahyu dari Allah, tetapi dalam proses transformasinya

diperlukan ‘agen’ penyampai untuk menjadi mediator antara sumber sakral dari langit dengan

kehidupan manusia. Dalam konteks inilah, Muhammad saw. dipercaya sebagai Nabi untuk

menjadi agen penyampai yang mampu membahasan ajaran Islam dalam bahasa masyarakat

22 Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistemik; Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia

(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), 71.

23 Satjipto Raharjo, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV (Jakarta: Karunika, 1985), 111.

24 Ibid., 273.

25 Munir Fuadi, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Jakarta: kencana, 2013), 127-130.

26 Ibid., 131-137.

Kitab Al-Risa<lah Dalam Tilikan Positivisme Hukum 7

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

awam.27 Dalam proses inilah segala kegiatan dan keputusan yang diambil oleh Nabi sebagai

wahyu di luar al-Qur’an terejawantahkan, yang dalam definisi umum disebut sebagai sunnah.28

Dari kedua sumber itulah para ahli hukum Islam, termasuk al-Sha>fi’i< mengembangkan

sistem hukum yang dalam literatur Islam disebut syari’ah.29 Diambil dari istilah bahasa Arab

yang bermakna jalan. Syari’ah merepresentasikan jalan hidup yang telah didesain oleh Allah dan

rasul-Nya untuk kehidupan umat Islam.30 Syari’ah didefinisikan sebagai apa yang disyariatkan

oleh Allah kepada hamba-Nya baik berupa akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun aturan-

aturan hidup manusia dalam berbagai aspek kehidupannya untuk mengatur hubungan umat

manusia dengan Tuhan mereka dan mengatur hubungan mereka dengan sesama mereka serta

untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.31 Di samping itu, syari’ah juga

mencakup hukum-hukum Allah bagi tiap-tiap perbuatan manusia, yakni halal, haram, makruh,

sunnah, dan mubah. Derivasi dari syariah dalam berbagai konsep hukum teknis dan aplikatif ini

kemudian disebut fiqh.32

Menurut al-Sha>fi’i<, hakikat hadirnya hukum adalah dengan diwahyukannya al-Qur’an

sumber hukum utama dan tertinggi. Berikutnya dalam hierarki sumber hukum Islam terdapat

Sunnah, yang merupakan penjelasan tentang ucapan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi

(termasuk sikap diam beliau terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu). Sunnah kerap dijadikan

aturan untuk persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Sumber hukum

selanjutnya adalah Ijma’, yaitu pendapat-pendapat yang diterima secara umum di kalangan

ulama, terutama cendekiawan hukum dalam menafsirkan dua sumber hukum utama tadi.33

Selain itu juga terdapat terdapat sumber hukum yang disebut qiyas, yaitu penalaran dengan

logika, terutama terkait persoalan-persoalan kontemporer untuk menghasilkan regulasi untuk

situasi yang tidak secara langsung dicakup sumber-sumber dasar.34

Oleh karenanya hukum Islam dipahami al-Sha>fi’i< sebagai institusi yang tidak berakar

maupun dicangkokkan pada sosiologi sebagaimana positivisme hukum. Hukum Islam merupakan

sarana mengabdi kepada Tuhan, dan bukan kepada masyarakat, meskipun pada aspek teknisnya

sangat memahami kondisi masyarakat. Prinsip yang bekerja disini adalah manusialah yang harus

menaati hukum dan bukan hukum yang harus diciptakan sesuai dengan keinginan manusia.

Oleh karena itu hukum Islam didesain sangat konprehensif dan berlaku sepanjang zaman.35 Ini

tentu berbeda dengan positivisme yang dijabarkan Hart melalui bukunya “The Concept of Law,”

menurutnya hukum memiliki kelemahan alamiah berupa keterbatasan bahasa serta keterbatasan

jangkauannya akan situasi-situasi yang muncul di masa depan. Peraturan seringkali terkendala

27 Ibid., 75-76.

28 Abdul Mun’im Saleh, Otoritas, 42

29 Kata syari’ah dan derivasinya digunakan lima kali dalam al-Qur’an yakni (Surat Al-Syura>, 42 :13, 21. Al-

A’raf, (7) :163, Al- Maidah (5) :48, dan Al-Jasiyah (45) :18).

30 Ratno Lukito, Hukum ..., 76.

31 Marzuki, Hukum Islam (Yogyakarta: FIS UNY, 2011). Lihat pula Muhammad Yusuf Musa, Islam; Suatu

Kajian Komprehensif (Jakarta: Rajawali, 1988), 131.

32 Kata fikih dalam al-Qur’an digunakan dalam bentuk kerja (fi’il) dan disebut sebanyak 20 kali. Kata fikih

bermakna memahami, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-An’am ayat 65 yang artinya “Perhatikanlah,

betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran, kami silih berganti, agar mereka memahaminya”. Fikih secara

etimologis, bermakna paham. Namun berbeda dengan ‘ilm yang artinya mengerti. Ilmu bisa diperoleh secara nalar

atau wahyu, fikih menekankan pada penalaran, meski penggunaannya terikat kepada wahyu. Lihat Muhammad

Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), 3-4.

33 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, terj. Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa Media,

2010), 289-300.

34 Selain sumber hukum yang disepakati, dalam Islam juga dikenal sumber hukum yang tidak disepakati,

diantara, Istihsan (kebaikan), ‘Urf (tradisi), Istishab, Maslahah al-Mursalah, Syadd al-Dzara’i, Syar’u man Qablana

(Syari’at umat sebelumnya), dan Qaul Shahabi (perkataan sahabat). Lihat “Sumber-Sumber Hukum Islam,” dalam

http:// id.wikipedia.org, akses pada 11 Februari 2014. Lihat pula Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 82.

35 Ibid., 79.

8 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

oleh masalah bahasa yang kurang lugas dan menimbulkan beragam interpretasi (multi tafsir).

Demikian juga peraturan seringkali tidak dapat mengantisipasi situasi-situasi yang muncul

kemudian, sehingga diperlukan ruang diskresi bagi hakim untuk mencocokan peristiwa hukum

dengan peraturan yang mengaturnya.36

Ide hukum sebagai entitas yang mencakup segalanya menjadi karakter utama bagaimana

Islam memandang kehidupan ini.37 Termasuk persoalan hubungan dengan Tuhan (abl min

Alla>h), hubungan sesama manusia (abl min an-na>s), termasuk refleksi hubungan manusia

dengan Tuhan.38 Konsep inilah yang sulit dipahami oleh sebagian besar orang Barat.

Dengan kondisi demikian, Hukum Islam yang disajikan dalam al-Risa>lah adalah hukum

yang berkarakter, Ia mempunyai ciri-ciri khas. Beberapa karakter yang umum misalnya, takamul

(utuh), kamīl (sempurna), universal, dinamis, sistematis, humanis, dll. Berbagai karakter itulah

yang kemudian membentuk Islam dalam sebuah sistem hukum yang komprehensif dengan titik

tekan pada implementasi nilai dan moral agama, karena untuk membentuk suatu interaksi

sosial kemanusiaan dalam sebuah sistem hukum negara, tentu manusia harus memiliki aspek

moral (akhlak) yang baik.

Tentu ini berbeda dengan paham positivisme yang menghendaki dilepaskannya pemikiran

metayuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para pendukung aliran hukum alam

(naturalis) atau aliran hukum kodrat. Karena itu menurut paham positivisme, setiap norma

hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif, serta

ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontrak yang konkret antar warga masyarakat atau

wakil-wakilnya. Dalam konteks ini, hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral

metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan atau bernilai moral, melainkan sesuatu yang

telah mengalami positivisasi guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum.39

Sehingga, dalam positivisme, tindakan manusia itu adil atau tidak, patut atau tidak sepenuhnya

bergantung pada peraturan atau hukum yang diletakkan atau diberlakukan.

Dalam perspektif al-Risa>lah , apa yang disoroti kaum positivis terkait hukum yang irasional

sebenarnya mengarah pada elemen hukum ibadah (ritual) yang memang mempunyai watak

immutable dan tidak didasarkan pada fakta empiris dan logis. Dalam ranah hukum ibadah unsur

akal-budi dan intelektual manusia tidak banyak berperan dalam proses penelusuran makna di

balik apa yang tersurat. Sebaliknya, dalam elemen hukum mu’amalah penilaian Comte, Austin

dan Kelsen bahwa hukum merupakan bagian dari metafisika yang tidak masuk akal dan tidak

memuat unsur moral tidak memiliki relevansinya. Sebab, muatan hukum mu’amalah dalam

Islam selain sangat positivistik juga mengapresiasi nilai-nilai moral dalam membangun pranata

sosial berbasiskan ketentuan-ketentuan hukum operasional. Hal ini tentu bertolak belakang

dengan positivisme yang justru memisahkan hukum dengan moral. Selain itu, akal-budi

manusia mempunyai peran cukup signifikan dalam rangkaian kerja istinbath untuk menelorkan

ketentuan-ketentuan hukum. Sumber inspirasi dalam hukum mu’amalah selain berupa prinsip-

prinsip umum dalam ketentuan wahyu, juga berupa realitas masyarakat dengan aspek perubahan

dan pengembangannya yang tidak bisa dielakkan.

Hukum Islam, sebagaimana diuraikan dalam al-Risa>lah menempatkan sistem ketuhanan

untuk menuntun umat manusia menuju kedamaian di dunia dan di akhirat. Urusan dunia ini

oleh penentu hukum dipandang dari kerangka kepentingan dunia lain, yang lebih baik dan

abadi. Sehingga hukum perlu dipahami dan terimplementasi secara benar sesuai makna hakiki

36 H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), terj. M. Khozim (Bandung: Nusa Media, 2013), 192-

210.

37 Ratno Lukito, Hukum..., 76.

38 Ibid., 77.

39 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, editor Ifdhal Kasim et.al.

(Jakarta: Elsa Elsam & Huma, 2002), 96.

Kitab Al-Risa<lah Dalam Tilikan Positivisme Hukum 9

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

dari hukum dalam kitab Suci. Hal ini membuktikan perbedaan antara hukum Islam dari hukum

yang dibuat manusia yang hanya membicarakan kepentingan dunia belaka. Tuhan adalah

Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sifat ini benar-benar terefleksikan dalam setiap hukum-

hukum-Nya. Jadi, rahmat merupakan inti syari’ah dengan konsekuensi bahwa kekuasaan yang

berdasarkan pada kekuatan akal semata dicela oleh Tuhan. Mengatur dengan kekuatan akal

bukan tujuan syari’ah, sedangkan keadilan merupakan tujuan utama.

Keadilan menurut hukum Islam adalah perintah yang lebih tinggi, karena tidak hanya

memberikan kepada setiap orang akan haknya, tetapi juga sebagai rahmat dan kesembuhan

qalbu. Berlaku adil dianggap sebagai langkah taqwa setelah beriman kepada Allah. Oleh sebab

itu, hukum Islam merupakan pernyataan Tuhan, dan usaha untuk menegakkan perdamaian di

muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada setiap orang. Jadi,

perintah dan keadilan merupakan tujuan mendasar bagi hukum Islam (Syari’ah). Pada dimensi

hakikat hukum sebagai perintah ini selaras dengan positivisme, sementara pada dimensi hakikat

keadilan justru bertolak belakang dengan positivisme.

Keadilan dalam Islam merupakan perpaduan harmonis antara hukum dengan moralitas,

Islam tidak bertujuan menghancurkan kebebasan individu, tetapi mengontrol kebebasan itu

demi keselarasan dan harmonisasi masyarakat, yang terdiri dari individu itu sendiri. Hukum Islam

memiliki peran dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan kolektif, bukan sebaliknya.

Individu diberi hak untuk mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu

kepentingan orang lain. Singkatnya, hukum Islam yang diuraikan al-Risa>lah adalah norma

hukum dan norma moral sekaligus.40

Artinya, secara sederhana dapat ditarik benang merah bahwa positivisme dalam definisinya

yang paling tradisonal tentang hakikat hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif dalam

sistem perundang-undangan yang konkret. Ini tentu berbeda dengan pemikiran hukum Islam

yang justru merupakan perwujudan dari norma-norma moral agama.

Sumber -sumber Hukum Menurut al-Sha>’i< di dalam al-Risa>lah, dan Hirarkinya serta

Bangunan Metodologi Menemukan Hukum

Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, ijitihad dan us}u>l al-fiqh merupakan dua istilah

yang memiliki hubungan erat. Kedua Istilah tersebut juga erat kaitannya dengan bagaimana

teks dapat menjadi produk fiqh di tengah-tengah masyarakat. Serta bagaimana teks wahyu

dapat membumi dalam perilaku masyarakat. Pemikir Islam kontemporer, Ali Harb, mengatakan

bahwa teks memiliki gagasan dan dunianya sendiri. Kebenaran bukanlah esensi yang melampaui

kondisinya, atau ditemukan terpisah dari wacananya, melainkan ia diciptakan oleh teks itu

sendiri.41 Hal inilah yang oleh al-Sha>fi’i< melalui karyanya Al-Risa>lah mencoba untuk dimaknai

secara jernih dengan mengunakan penalaran bercorak teologis deduktif, sebuah persoalan tidak

eksplisit ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah.

Al-Sha>fi’i< membangun teori hierarki hukum Islam didasarkan pada empat sumber yaitu,

al-Qur’an, sunnah Nabi, konsensus ulama (ijmak), dan metode analogi (qiyas).42 Pokok-pokok

teori sumber hukum Islam ini dibangun oleh al-Sha>fi’i< .

Jika ditilik dari perspektif positivisme hukum, maka teori sumber hukum Islam yang dibangun

oleh al-Sha>fi’i< kurang lebih sama dengan teori tingkatan norma Hans Kelsen. Dimana menurut

al-Sha>fi’i< , dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapi oleh orang-orang Muslim

40 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum, 295.

41 Lukman Santoso, “Nomenklatur Pemikiran,” 84.

42 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (t.tp: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th), 17.

10 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

dipecahkan dengan bantuan sumber-sumber hukum Islam tersebut secara bertingkat atau

berurutan.43

Ditinjau dari aspek metodologi, hukum Islam merupakan hasil ijtihad, maka hukum Islam

tidak memiliki sifat kebenaran yang absolut.44 al-Sha>fi’i< mencurahkan sebagian besar tulisan-

tulisannya untuk berdiskusi dengan dan berpolemik melawan penentang-penentangnya, namun

selalu dengan maksud agar mereka mengakui dan mengikuti sunnah Nabi, dan dia berulangkali

menentang taklid buta terhadap pendapat seseorang.45

Perkembangan lain yang berkaitan dengan formalisasi hukum Islam oleh al-Sha>fi’i< adalah

terbentuknya kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar telah berubah menjadi hadis-hadis dari

Nabi. Meskipun tidak semua kaidah-kaidah hukum itu berhasil berubah menjadi hadis dengan

isnad yang dapat diterima. Misalnya, pada kaidah “barangsiapa yang bekerjasama dengan suatu

kaum maka ia adalah bagian dari kaum itu” yang digunakan sebagai sebuah argumen oleh Awza’i.

Penalaran lain tentang kaidah ini adalah penalaran Irak kuno terkait kedudukan budak dalam

hukum waris dengan bunyi kaidahnya yang dinisbatkan kepada Ibn Mas’ud “seorang budak itu

terhalangi dan tidak dapat mewariskan”. Bentuk ini memperlihatkan satu jenis penalaran kuno

seolah-olah hak mewarisi merupakan suatu kuasa yang diberikan dari seseorang melalui orang

lain kepada orang ketiga. Kemudian Sha>fi’i< mengembangkan sebuah penalaran hukum yang

bersifat teknis dan ketat yang mereka nyatakan dalam kaidah “budak tidak dapat mewarisi dan

tidak mewariskan” (al-‘abd la yaris wa-la yuris). Kaidah ini diambil dari kaidah pertama (dengan

perubahan makna dalam kata yuris) dan menunjukkan bahwa budak tidak menghalangi siapa

pun dari menerima warisan.

Secara keseluruhan, teori hirarkhi sumber hukum al-Sha>fi’i< ini merupakan satu sistem sumber

hukum yang konsisten dan jauh lebih unggul dibandingkan dengan doktrin mazhab-mazhab

kuno. Keberhasilan al-Sha>fi’i< merupakan hasil logis dari sebuah proses yang berawal ketika

hadis-hadis Nabi pertama kali dikemukakan sebagai argumen-argumen hukum. Perkembangan

teori hukum didominasi oleh pertarungan antara dua konsep, yakni konsep doktrin yang umum

di masyarakat, dan konsep otoritas hadis dari Nabi.

Jika dibandingkan dengan positivisme, yang memiliki ciri bahwa hukum itu dibuat dalam

bentuk tertulis, dan hakim terikat dengan peraturan-peraturan tertulis, hierarki sistem hukum

Islam juga terkodifikasi dalam bentuk tertulis, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun bentuk

tertulisnya merupakan bagian dari ijtihad, hal ini menunjukkan bahwa keduanya memiliki

persamaan. Disamping itu juga sumber hukum Islam memiliki dimensi berbeda. Sumber

hukum Islam dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu dalil naལ (yuridis) dan ghairu na>sh

(metayuridis). Sumber nash (yuridis) yaitu al-Qur’an dan As–sunnah, sedangkan sumber ghairu

na> (metayuridis) berupa qiyas, dan sebagainya.

Artinya, dalam hukum Islam, hasil ijtihad itu kemudian dijadikan sumber untuk tersusunnya

aturan atau undang-undang (rules) dan dalam waktu bersamaan juga berupa ketentuan prinsip

(di dalamnya termasuk qawa>’idul fiqhiyyah) yang dijadikan landasan para hakim (qaལi) untuk

membuat suatu keputusan terhadap kasus-kasus di pengadilan. Sumber utama yakni wahyu dan

ijtihad inilah yang merupakan perbedaan mendasar antara hukum Islam dengan sistem hukum

positif.46 Artinya, dalam hukum positif, menggunakan kodifikasi hukum tertulis buatan manusia

sebagai sumber hukum, sedangkan sistem hukum Islam sumber hukum utama yaitu, al-Qur’an,

Sunnah, meskipun terkodifikasi tetapi bersumber dari wahyu.

43 Ahmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Mahrus

(Yogyakarta: UII Press, 2001), 24.

44 Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam; Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Teras, 2009), 134.

45 Joseph Schacht, the Origins of Muhammadan Jurisprudence; tentang asal-usul Hukum Islam dan Masalah

Otentisitas Sunah, alih bahasa Joko Supomo (Yogyakarta: Insan Madani, 2010), 11-12.

46 Abdul Ghofur Ansori, Hukum Islam..., hlm. 39.

Kitab Al-Risa<lah Dalam Tilikan Positivisme Hukum 11

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

Sumber positivisme hukum yang terbagi dalam hukum material dan formal juga memiliki

aspek perbedaan dengan hukum Islam. Sumber hukum material merupakan materi-materi

hukum berupa perilaku dan realitas yang ada di masyarakat. Sedangkan sumber hukum

formil adalah 1) Undang-undang, 2) Kebiasaan, 3) Yurisprudensi, 4) Traktat, dan 5) Doktrin.

Sementara Hukum Islam juga mempunyai sumber hukum material, namun memiliki substansi

berbeda dengan positivisme, yaitu bahwa sumber hukum Islam berasal dari wahyu, sedangkan

hukum positif bersumber kepada perilaku dan realitas dalam masyarakat. Adapun Urf sebagai

kebiasaan yang dapat disebut juga perilaku masyarakat, masih harus dipilah menjadi ‘urf ལahih

(yang sesuai dengan nash atau sumber hukum tekstual) dan ‘urf baལil (yang tidak sesuai dengan

nash), sehingga yang dapat dijadikan sumber hukum hanyalah ‘urf ལahih.47

Eksistensi hukum pada prinsipnya merupakan tatanan sistem nilai. Dalam konteks eksistensi

positivisme hukum ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia selaku anggota masyarakat

(odening van het sociale leven) agar tercipta kepastian hukum. Artinya adanya masyarakat adalah

yang menjadikannya adanya hukum (ubi societas ibi ius) sehingga hukum itu ada (raison d’etre)

karena adanya conflicts of human interest. Tentu eksistensi ini berbeda dalam sistem hukum Islam,

hukum hadir dalam Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun

selaku anggota masyarakat agar dapat bertingkah laku yang sesuai dengan kehendak Sang

pencipta. Dari hal ini terlihat bahwa konsepsi positivisme hukum cenderung melihat hukum

karena adanya interaksi antar manusia, adapun aturan yang hanya berkaitan dengan kehidupan

pribadi tidak dinamakan hukum tetapi disebut norma.48

Pada aspek lain, dalam mendefinisikan makna hukum dalam kaitannya dengan agama pun

sangat berbeda antara positivisme dan hukum dalam al-Risa>lah. Sebut saja misalnya pendapat

al-Sha>fi’i< yang mendudukkan hukum harus dicocokkan dengan ketentuan agama karena

hukum berhubungan dengan wahyu secara langsung, sehingga hukum dipandang sebagai bagian

dari wahyu. Pendapat berbeda terkait hukum diberikan Austin, yang bermazhab positivisme,

menurutnya hukum Tuhan dan hukum manusia itu terpisah, seperti halnya terpisahnya moral

dengan hukum.49

Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara hukum alam dengan hukum Tuhan (syari’at),

karena syariat yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an sesuai dengan hukum alam itu sendiri,

yang dalam Islam disebut fitrah. Namun pemaknaan fitrah dalam Islam jauh lebih tinggi

daripada pemaknaan alam sebagaimana dipahami dalam konteks positivisme. Jika alam (lex

naturale) dipahami sebagai segala yang ada berjalan sesuai dengan aturan semesta alam, seperti

manusia dalam bertindak mengikuti kecenderungan-kecenderungan dalam jasmaninya, maka

fitrah berarti pembebasan manusia dari keterjajahan terhadap kemauan jasmaninya yang serba

tidak terbatas pada kemauan ruhani yang mendekat pada Tuhan.

Sikap al-Sha>’i< di dalam al-Risa>lah Terhadap Hal-hal yang Bersifat Non-hukum

(Metayuridis)

Mayoritas ulama Sunni, bersepakat bahwa us}u>l al-fiqh sebagai disiplin ilmu yang mandiri

baru lahir pada awal abad III H, yaitu setelah penyusunan kitab al-Risa>lah, oleh al-Sha>fi’i< (150-

204 H). Sebelum kemunculan al-Sha>fi’i<, ada satu periode terjadinya pertentangan antara

rasionalis Kufah dan tradisionalis Basrah. Kufah merupakan pusat pertemuan budaya antar

bangsa, terutama masyarakat Persia, jauh dari pusat tradisi Nabi, yaitu Madinah, maka sangat

jarang mereka menemukan hadis sehingga banyak menerapkan dalil-dalil rasio seperti qiyas dan

istihsan.

47 Abdul Ghofur Ansori, Hukum Islam.... 40-41.

48 Abdul Ghofur Ansori, Hukum Islam..., 31.

49 Abdul Gofur Ansori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan (Yogyakarta: Gajah Mada University,

2006), 18.

12 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

Al-Sha>fi’i< ingin mencoba mengkompromikan antar kedua wacana tersebut melalui

kunjungannya ke daerah-daerah, seperti di Kufah yang diwarnai dengan dialog dengan

murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Imam Muhammad asy-Syaibani, di Yaman

menemukan fikih sahabat Mu’az Ibn Jabal, Matraf Ibn Mazin, Hasyim Ibn Yusuf. Ia juga sempat

bertemu dengan fikihnya al-Auza’i lewat muridnya ‘Amr Ibn Salamah, dan fikihnya al-Lais

lewat muridnya Yahya Ibn Hasan. Bentuk kompromi itu kemudian dirumuskan dalam bentuk

sintesis baru, yaitu ushul al-Sha>fi’i< yang dibukukan dalam karyanya yaitu al-Risa>lah, yang

nama sebelumnya adalah al-Kitab. Meskipun al-Sha>fi’i< dalam kasanah Islam dikenal sebagai

pengkompromi antara dua kubu tradisionalis dan rasionalis, namun menurut Nasr Hamid Abu

Zaid, Sha>fi’i< dianggap masih banyak memihak kubu tradisionalis dengan warna fanatisme-rasial

Arabnya.50

Dengan lahirnya al-Risa>lah, prestasi yang patut dicatat dalam diri al-Sha>fi’i< antara lain

karena 1) Sebagai perintis dasar-dasar konseptual tentang hadits, dan 2) Sebagai peletak utama

dasar metodologi hukum Islam. Gejala-gejala itu mulai tampak ketika al-Sha>fi’i< banyak belajar

dan berguru tentang hadits kepada Imam Malik. Sejak itulah al-Sha>fi’i< mulai berani memberi

perumusan sistematik dan tegas, bahwa sunnah yang harus diikuti bukanlah setiap bentuk

sunnah, melainkan sunnah yang hanya berasal langsung dari Nabi.

Konsekuensi pemahaman seperti ini ialah bahwa kritik terhadap sunnah dalam bentuknya

sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus dilakukan. Dengan melakukan

seleksi ketat, al-Sha>fi’i< kemudian membuat klasifikasi mana yang benar-benar berasal dari Nabi

dan mana yang diklaim sebagai dari Nabi. Sejak itu pula semua laporan dan cerita tentang

hadits sebagai sumber hukum kedua harus diuji secara teliti menurut standart ilmiah tertentu

sebagai diuraikan dalam al-Risa>lah. Kenyataan inilah yang menjadikan al-Sha>fi’i< dijuluki sebagai

perintis metodologi hukum Islam tersebut. Penelitian ilmiah terhadap laporan dan cerita Nabi,

yang ia rintis telah memperoleh bentuknya yang paling kuat setelah munculnya sarjana hadits

kelahiran Bukhara di kawasan Transoksania, yang dianggap paling tinggi otoritas ilmiahnya,

yaitu al-Bukhari.

Berkat kepeloporan al-Sha>fi’i<, muncul pula secara berturut-turut beberapa tokoh hadits

yang kritis, yang secara kolektif karya-karya mereka dinamai dengan al-kutub al-sitah. Banyak

hal yang melatarbelakangi as- Shafi’i bertindak kritis seperti ini, antara lain kegiatan pemikiran

yang berkembang dengan pesatnya ketika itu, hingga membuka kemungkinan untuk membawa

ide-ide dasar agama menjadi relevan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, disatu sisi.

Meskipun di sisi lain kemampuan intelektual pada ujung-ujungnya juga bermasalah, yaitu

pemikiran yang keluar dari teks selalu dianggap sebagai pendapat pribadi/al-ra’y. Sehingga selalu

rawan terhadap ancaman subjektivisme. Keadaan inilah yang mendorong al-Sha>fi’i< untuk

membuat penajaman batasan dan pemastian keabsahan antara sunnah dan atsar sebagai sumber

hukum.

Disadari atau tidak metodologi pemikiran hukum Shafi’i ini, ternyata menjadi model yang

paling khas di antara beberapa model yang digunakan untuk mendekati dan menggali suatu

hukum. Sisi lain yang tidak kalah menarik adalah, bahwa metodologi pemikiran hukum al-Sha>fi’i<

sejak diterbitkannya al-Risa>lah hingga kini belum ada tandingannya. Disinilah urgensitas sebuah

metodologi yang memiliki daya aktualitas sepanjang sejarah, suatu metodologi yang langsung

mengadopsi logika al-Quran. Daya aktualitas dan universalitas metodologi pemikiran hukum

Imam Sha>fi’i< tersebut, disatu sisi memudahkan para ulama yang datang kemudian, namun di

sisi lain membuat para ulama modern enggan memaksimalkan pemikirannya, dan yang terjadi

adalah pengulangan ide-ide lama.

50 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fikih Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2008), 55.

Kitab Al-Risa<lah Dalam Tilikan Positivisme Hukum 13

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

Karena kepeloporan al-Risa>lah banyak juga pemikir muslim yang juga mensarah kitab

ini, diantaranya Syarh Abi Bakr al-Shairafi (w.330 H), dan Syarh Abu al-Walid al-Naisaburi

Muhammad Ibn Abdillah (w. 388 H). Edisi yang saat beredar adalah edisi yang dicetak

Mathba’ah Mesir 1358 H.51

Dengan demikian setiap ulama yang akan menetapkan suatu hukum atas suatu kejadian/

fenomena, tentu mereka akan lebih dahulu menetapkan metode berpikir mana yang akan

dipilih dan diikuti. Dan bukan metodolgi yang dikreasi sendiri, yang selalu memiliki relevansi

dan signifikansi terhadap tuntutan budayanya. Meskipun dari berbagai sisi diketahui bahwa

metode berpikir akan sangat menentukan hasil keputusan akhir dari suatu hukum. Indikasi ini

bisa dilihat dari ragamnya para ulama fiqh dalam memilih dan menerapkan metode berpikirnya,

hingga berakhir pada formulasi fiqh yang berbeda pula.

Sayangnya tidak banyak ulama kontemporer yang mampu memfungsikan orisinalitas

pemikirannya untuk melakukan istinbath hukum. Karena mayoritas di antara mereka masih

banyak yang merujuk metodologi Imam madzhab yang dipandang memiliki otoritas keagamaan

yang memadai. Sementara metodologi Imam madzhab dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi

sosio kultural ketika itu. Tentu metodologi pemikiran sepertinya kurang relevan dengan

perkembangan budaya kekinian. Padahal upaya para ahli fiqh dalam menggali hukum Islam dari

sumber-sumbernya tidak akan membuahkan hasil yang memadai, bila menggunakan cara-cara

yang kurang tepat.

Dalam pandangan Ali Hasbullah, ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para

ulama ushul fiqh dalam melakukan istinbath hukum, yaitu a). melalui pendekatan kaidah-kaidah

kebahasaan (teks) dan b). dengan pendekatan makna atau maksud syari’ah (konteks). Cara-

cara pendekatan seperti ini, dari satu aspek memiliki kekurangan karena pendekatan sepertinya

masih bersifat umum. Dan metodologi model apapun, selama masih bersinggungan dengan teks

bahasa (al-Qur’an dan al-Hadits), tidak akan bisa lepas dari trend seperti di atas. Dengan kata

lain trend metodologi di atas bukanlah trend yang baru, tetapi trend yang sudah wajar, di mana

sejak orang Islam berkeinginan menggali hukum juga melewati model seperti ini.

Berbeda dengan metodologi pemikiran hukum al-Sha>fi’i< yang muncul beberapa abad yang

lalu. Sebuah metodologi yang telah mengenalkan kaidah-kaidah teoritik yang diilhami oleh

logika al-Quran. Tentu metodologi sepertinya adalah metodologi yang telah melalui proses

panjang, antara lain pertanyaan al-Sha>fi’i< menyangkut esensi al-Quran. Apakah ia hanya

makna semata atau makna yang dibungkus dengan kata-kata. Bagi al-Sha>fi’i< suatu pendekatan

yang jarang dilakukan adalah pendekatan yang terinci menyangkut penggunaan dalil dan

pemaknaan atas dalil. Jika para ulama berbeda dalam wilayah penggunaan dalil berikut berbeda

atas pemahaman dalil tersebut, maka formulasi fiqhnya pun juga akan jauh berbeda. Baginya

dua pokok pemikiran ini merupakan persoalan yang fundamental. Istilah dalil yang digunakan

al-Sha>fi’i< di atas agaknya identik dengan sumber hukum. Kata sumber untuk hukum Islam ini,

merupakan terjemahan dari Arab, yaitu mashadir, dimana kata tersebut hanya digunakan oleh

sebagian kecil para penulis kontemporer dalam hukum Islam, sebagai ganti dari sebutan al-

Adillah al-Syari’iyah dan tidak ditemukan adanya istilah mashadiru al-ahkam. Ini artinya kedua

terma di atas secara umum, memiliki makna konteks yang sama (dekat). Dengan demikian bisa

dikatakan bahwa pengguanaan dalil dan pemaknaan dalil sama artinya dengan penggunaan

sumber hukum dan pemaknaan atas sumber hukum. Disinilah para ulama banyak menemukan

perbedaan-perbedaan, mulai dari pembatasan sumber yang sah untuk digunakan dalil dan yang

tidak sah untuk digunakan dalil. Lebih-lebih menyangkut pemaknaan atas dalil atau sumber

hukum tersebut.

51 Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, 26

14 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

Itulah sebabnya al-Sha>fi’i< segera menaruh perhatian yang besar untuk menyusun metodologi

pemikiran hukum (ushul fiqh), hingga muncullah karya monumentalnya yang berjudul al-

Risa>lah. Sejak itu pula murid-murid dan pengikut madzhabnya di kemudian hari tetap merujuk

kepada kitab al-Risa>lah tersebut.

Pembicaraan menyangkut dalil-dalil syara’, al-Sha>fi’i< membagi istilah dalil menjadi dua,

yaitu dalil yang sah yang wajib diamalkan dan dalil yang sah, tetapi sebenarnya tidak sah. Yang

dimaksud dalil yang sah menurut al-Sha>fi’i< dan memiliki kekuatan hukum adalah al-Quran,

Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istishhab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil yang dikelompokkan

pada dalil yang diperselisihkan, yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, madzhab shahabi, syar’u

man qablana, adalah termasuk dalil-dalil yang tidak sah dan tidak wajib diamalkan menurut al-

Shafi’i.

Posisi al-Sha’i< dalam al-Risa>lah Terhadap Tujuan Hukum

Berbeda dengan positivisme yang hanya berpijak pada fakta empiris. Sehingga tujuan dengan

adanya hukum hanyalah bersifat aspek kepastian. Hukum Islam justru bertolak pada wahyu, yang

mengidealkan hukum sebagai pranata keadilan yang muaranya adalah untuk kebahagiaan hidup

manusia di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah sebagaimana

yang tertera dalam rumusan maqasid as-syari’ah, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, akal,

keturunan dan harta.Tujuan hukum Islam di atas dapat dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut

pembuat hukum Islam (Allah SWT. dan Rasullah) dan sudut manusia yang menjadi pelaku dan

pelaksana hukum Islam tersebut.52

Stabilitas hubungan dalam masyarakat menurut positivisme dapat dicapai dengan adanya

peraturan hukum yang bersifat mengatur (anvullenrecht) dan aturan-aturan hukum yang bersifat

memaksa (dwingenrecht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Secara garis

besar, hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Sehingga

dari sini, dapat diketahui bahwa tujuan positivisme hukum hanya dalam wilayah kehidupan

dunia. Sedangkan dalam hukum Islam bertujuan untuk kebahagiaan hidup manusia di semua

aspek, dengan jalan mengambil yang bermanfaat dan menolak yang madharat.

Mengkaji dan mendalami hukum Islam berbeda dengan cara penetapan hokum lainnya.

Hukum Islam tidak boleh dikaji akal dengan sebebas-bebasnya, akan tetapi harus mengikuti

kaidah hukum syara yang terikat dengan landasan hukum Islam. Oleh karena itu, seorang

mujtahid memerlukan kerangka teori atau metodologi berpikir dalam menggali fikih yang

disebut dengan ushul fikih.53

Sementara prosesnya dipahami sebagai ijtihad, yakni proses metodologis dalam memahami

hukum yang bersumber dari al-Quran dan sunnah. Karakteristik hukum Islam yang bersendikan

nash dan didukung dengan akal merupakan ciri khas yang membedakan hukum Islam dengan

sistem hukum lainnya. Ijtihad memegang peranan signifikan dalam pembaruan hukum Islam.54

Ijtihad sebagai sebagai suatu prinsip dan gerak dinamis dalam khazanah Islam merupakan

aktivitas daya nalar yang dilakukan oleh para ahli hukum Islam dalam menggali hukum dan

kegiatan ijtihad ini telah mengalami dinamisasi yang panjang.

Konsep metodologi hukum yang ditawarkan al-Sha>fi’i< berupaya mengendalikan rasionalitas

yang berlebihan yang menghendaki perubahan dan tekstualitas yang berlebihan yang menghendaki

kepastian menuju posisi moderat, sebagaimana tertulis dalam kitab Al-Risa>lah . Ia kemudian

dikenal sebagai salah satu tokoh Equilibium keseimbangan” dalam Islam yang menempatkan

akal dan wahyu dalam posisi yang seimbang.

52 Moh. Makmun, “Perbandingan Hukum Barat dan Hukum Islam,” AL-HUKAMA, Volume 03, Nomor 02,

(Desember 2013), 195.

53 M. Kholil Nafis, Teori Hukum..., 27.

54 Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran..., 15.

Kitab Al-Risa<lah Dalam Tilikan Positivisme Hukum 15

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

Pada dasarnya posisi keseimbangan ini di dapatkan dari gaya legislasi “perundang-undangan

hukum” dari Al-qur’an. Pemikiran Hukum Islam sekarang mengambil posisi berikut, yakni

mengikuti mengikuti wahyu apa adanya jika, wahyu itu tegas dalam menyampaikan maksudnya

“qoth’i”, tetapi melakukan penafsiran jika wahyu memang memberikan kesempatan untuk

menafsirkan “dhonni”. Teks wahyu yang qoth’i berguna untuk menciptakan kepastian hukum,

keadilan hukum, universalitas hukum, dan kemampuan hukum. Sedangkan teks wahyu yang

dhonni yang bertugas untuk menerima perubahan, keseimbangan, partikulasi, dan pembaharuan

hukum.

Artinya, diantara bentangan ketentuan ketuhanan yang asli dan pengaturan manusia yang

banyak kemungkinannya itu, terhamparlah lapangan yang luas bagi kegiatan dan keputusan

intelektual. N.J Coulson melihat peranan dua pihak itu sebagai konflik. Sekalipun Allah sebagai

al-Hakim (sang pembuat hukum), dimana Dia, dan hanya Dia, sebagai sumber nilai bagi segala

perbuatan subyek hukum, tetapi dalam keyataannya ada ruang gerak bagi keputusan intelektual.

Inilah keunikan teknik legislasi al-Qur’an.55

PENUTUP

Dari keseluruhan uraian diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Menurut al-

Sha>fi’i<, hakikat hadirnya hukum adalah kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam

dipahami al-Sha>fi’i< sebagai institusi yang tidak berakar maupun dicangkokkan pada sosiologi

sebagaimana positivisme hukum. Hukum Islam merupakan sarana mengabdi kepada Tuhan,

dan bukan kepada masyarakat, meskipun pada aspek teknisnya sangat memahami kondisi

masyarakat. Prinsip yang bekerja disini adalah manusialah yang harus menaati hukum dan

bukan hukum yang harus diciptakan sesuai dengan keinginan manusia. Oleh karena itu hukum

Islam didesain sangat konprehensif dan berlaku sepanjang zaman. Artinya, secara sederhana

dapat ditarik benang merah bahwa positivisme dalam definisinya yang paling tradisonal tentang

hakikat hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan yang

konkret. Ini tentu berbeda dengan pemikiran hukum Islam yang justru merupakan perwujudan

dari norma-norma moral agama.

Kedua, Al-Sha>fi’i< membangun teori hierarki hukum Islam didasarkan pada empat sumber

yaitu, al-Qur’an, sunnah Nabi, konsensus ulama (ijma’), dan metode analogi (qiyas). Jika ditilik

secara konseptual dari perspektif positivisme hukum, maka teori sumber hukum Islam yang

dibangun oleh al-Sha>fi’i< kurang lebih sama dengan teori tingkatan norma Hans Kelsen. Dimana

menurut al-Sha>fi’i<, dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapi oleh orang-orang

Muslim dipecahkan dengan bantuan sumber-sumber hukum Islam tersebut secara bertingkat

atau berurutan. Sementara dalam konteks metodologi, hukum Islam merupakan hasil ijtihad,

maka hukum Islam tidak memiliki sifat kebenaran yang absolut. al-Sha>fi’i mencurahkan

sebagian besar tulisan-tulisannya untuk berdiskusi dengan dan berpolemik melawan penentang-

penentangnya, namun selalu dengan maksud agar mereka mengakui dan mengikuti sunnah

Nabi, dan dia berulangkali menentang taklid buta terhadap pendapat seseorang.

Ketiga, Dalam konteks eksistensi positivisme hukum ditujukan untuk mengatur kehidupan

manusia selaku anggota masyarakat (odening van het sociale leven) agar tercipta kepastian hukum.

Artinya adanya masyarakat adalah yang menjadikannya adanya hukum (ubi societas ibi ius)

sehingga hukum itu ada (raison d’etre) karena adanya conflicts of human interest. Tentu eksistensi

ini berbeda dalam sistem hukum Islam, hukum hadir dalam Islam untuk mengatur kehidupan

manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat agar dapat bertingkah laku

yang sesuai dengan kehendak Sang pencipta. Dari hal ini terlihat bahwa konsepsi positivisme

55 Abdul Mun’in Saleh, Madhhab Sha>fi’i<; Kajian Konsep Maslahah (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 41.

16 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

hukum cenderung melihat hukum karena adanya interaksi antar manusia, adapun aturan yang

hanya berkaitan dengan kehidupan pribadi tidak dinamakan hukum tetapi disebut norma.

Keempat, Sumber positivisme hukum yang terbagi dalam hukum material dan formal juga

memiliki aspek perbedaan dengan hukum Islam. Sumber hukum material merupakan materi-

materi hukum berupa perilaku dan realitas yang ada di masyarakat. Sedangkan sumber hukum

formil adalah 1) Undang-undang, 2) Kebiasaan, 3) Yurisprudensi, 4) Traktat, dan 5) Doktrin.

Sementara Hukum Islam juga mempunyai sumber hukum material, namun memiliki substansi

berbeda dengan positivisme, yaitu bahwa sumber hukum Islam berasal dari wahyu, sedangkan

hukum positif bersumber kepada perilaku dan realitas dalam masyarakat.

Kitab Al-Risa<lah Dalam Tilikan Positivisme Hukum 17

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

DAFTAR RUJUKAN

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana, 2012.

al-Sah{a>ri<, ‘Abdulla>h bin Sa’i<d Muh}ammad ‘Abba>di< al-Lah{ji<, I<d}a>h al-Qawa>’id al-Fiqhi<yah,

Surabaya: al-Hidayah, 1410 H.

al-Sha>fi’i, Muh}ammad bin Idri>s, Ar-Risa>lah al-Ima>m al-Sha>fi’i. terj. Misbah, Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008.

al-Sha>fi’i<, Muh}ammad bin Idri>s, al-Risa>lah ed. Ah}mad Muh}ammad Sha>kir, T.t: Da>r al-Fikr, t.t.

Armia, Muhammad Siddiq Tgk., Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya

Paramita, 2008.

Basuki, Cara Mudah Menyusun Proposal Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Felicha, 2011.

Faruki, Kemal A., Islamic Jurisprudence, Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994.

Fuadi, Munir, Teori-Teori Besar Dalam Hukum, Jakarta: kencana, 2013.

Hasan, Ahmad, “Al-Sha>fi’i<’s Role in the Development of Islamic Jurisprudence,” Islamic Studies,

5 (1966).

Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing,

2006.

Irianto, Sulistyowati, dkk., Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Buku Obor, 2013.

Koesnoe, Moch., Kritik terhadap Ilmu Hukum, Yogyakarta: Lembaga Riset dan Pengabdian

Masyarakat Fakultas Hukum UII, 1981.

Mastuhu (ed.), Metodologi Penelitian Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Nawawi, Hadari & Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,

1996.

Noeng, Muhajir, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2011.

Nyazee, Imran Ahsan Khan, Theories of Islamic Law, Islamabad: The International Institute of

Islamic Thought, 1994.

Praja, Juhaya S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. cet. Ke-2. Jakarta: Kencana, 2005.

Raharjo, Satjipto, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Jakarta: Karunika, 1985.

Rhiti, Hyronimus, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik Sampai Postmoderisme), Yogyakarta:

Universitas Atmajaya, 2011.

Saleh, Abdul Mun’im, Otoritas Maslahah dalam Madhhab Syafi’I, Yogyakarta: Magnum Pustaka

Utama, 2012.

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2013.

Susanto, Anthon F., Ilmu hukum Non Sistemik; Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum

Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Tanya, Bernard L. dkk., Teori Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing. 2010.

Usman, Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009.

18 Abdul Mun’im, Lukman Santoso, Niswatul Hidayati

Kodikasia, Volume, 12 No. 1 Tahun 2018

Wignjosobroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta:

Elsam & Huma, 2002.

Yasid, Abu, Aspek-Aspek Penelitian Hukum, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2010.

Yasid, Abu, “Paradigma Tradisionalisme dan Rasionalisme Hukum dalam Perspektif Filsafat

Ilmu,” Jurnal hukum No. 4 vol. 17 Oktober 2010.