Apa sajakah kerugian bencana yang ada di Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dalam satu tahun terjadi 3.253 bencana alam yang dialami Indonesia, artinya rata-rata ada 9 bencana yang terjadi setiap harinya. Tingginya jumlah bencana alam di Indonesia membuat tingginya kerugian negara dan menimbulkan korban jiwa.

Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan Kementerian Keuangan mencatat setiap tahunnya Indonesia mengalami kerugian senilai Rp 22,8 triliun. Dalam 10 tahun terakhir jumlah korban jiwa akibat bencana mencapai 1.183 orang.

"World Bank mencatat Indonesia adalah salah satu dari 35 negara dengan tingkat risiko ancaman paling tinggi di dunia. Pemerintah tidak tinggal diam, karena Presiden telah memberikan arahan bahwa seluruh instansi pemerintah, harus bersinergi," kata Doni dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, Rabu (03/03/2021).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT


Doni menyebutkan bencana yang terjadi di Indonesia meliputi gempa, tsunami, kebakaran hutan, banjir, banjir bandang, tanah longsor dan angin puting beliung. Pihaknya juga melakukan upaya pencegahan dan mitigasi dan pembangunan yang mengurangi risiko bencana, hingga memperkuat sistem peringantan dini.

BNPB menurutnya juga melakukan kolaborasi pentahelix untuk terus berupaya meningkatkan kesadaran, dan literasi kebencanaan di masyarakat.

"Bencana tidak bisa dihadapi sendiri, segenap bangsa sedang berjibaku menghadapi Covid-19 untuk mengurangi risiko kematian. Indonesia membuktikan pengendalian Covid-19 bisa paralel dengan upaya menjaga kegiatan sosial ekonomi berjalan, masyarakat bisa tidak terpapar covid-19 dan tidak terkapar karena PHK," jelas Doni.

Dia menegaskan momentum bencana Covid-19 juga menjadi kesempatan evaluasi dalam penanganan bencana di Indonesia.

"Kita harus optimis bahwa semua kebijakan yang diarahkan akan membawa bangsa idnoensia keluar dari masalah kesehatan," katanya.


[Gambas:Video CNBC]

(dob/dob)

Kerusakan SDA yang masif didukung dengan menguatnya dampak perubahan iklim telah merusak tatanan berbagai ekosistem dan mengakselerasi berbagai kejadian bencana. Terbukti selama tahun 2020 saja (BNPB 2020), sebanyak 2946 total kejadian bencana telah terjadi di Indonesia. Kondisi ini membutuhkan upaya-upaya besar untuk mengurangi resiko bencana, baik dalam bentuk kebijakan, aksi maupun perubahan perilaku. Kompleksitas dari isu kebencanaan ini telah mendorong Direktorat Publikasi ilmiah dan Informasi Strategis (DPIS) IPB untuk menyelenggarakan The 18th Strategic Talk secara daring dengan mengangkat tema: “Menyoroti Bencana di Indonesia: Dampak, Penanggulangan, dan Pencegahan”, pada Senin pagi (15/02/2021). Kegiatan dibuka oleh Asisten Direktur Informasi Strategis DPIS IPB Akhmad Faqih. Dalam sambutannya, Akhmad Faqih menyoroti pentingnya upaya menanggulangi bencana baik pra dan pasca bencana, termasuk aspek kesiapan masyarakat, serta dukungan kebijakan dari pemerintah. Beliau juga menambahkan, bahwa IPB telah memiliki kerangka penerapan data desa presisi sebagai salah satu upaya meminimalisir resiko terjadinya bencana, sebab daerah perdesaan merupakan salah satu wilayah rawan bencana. Dengan demikian, desa akan memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman bencana di wilayahnya dan menjadi Desa Tangguh Bencana, sehingga turut mendukung upaya pembangunan berkelanjutan. Strategic Talks IPB ke-18 ini menghadirkan tiga orang pembicara yaitu Ir. Rifai, M.Si, Dr. Eva Anggraini dan Dr. Syamsul Bahri Agus dan dimoderatori oleh Bahroin Idris Tampubolon, SE, M.Si.

Rifai, Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, menguraikan persoalan kebencanaan, yaitu Indonesia sebagai negara dengan tingkat risiko bencana yang tinggi menurut laporan World Risk Report 2016. Hal ini dipicu oleh tingginya tingkat keterpaparan (minimnya infrastruktur) dan kerentanan terhadap bencana. Selama kurun waktu lima tahun terakhir, bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor, dan puting beliung) mendominasi jumlah kejadian bencana, ungkap Rifai. Pun, selama 2019 saja tercatat sebanyak 3814 kejadian berupa banjir, longsor, dan angin puting beliung yang dominan, tambahnya.

Jumlah kejadian bencana sejak 2003 sampai 2019 menunjukan tren peningkatan, dan menghambat pembangunan, sebab pola waktu dan tempat kejadian bencana sulit diprediksi serta diperburuk oleh karakteristik yang berubah-ubah, ungkap Rifai. Dampak yang diakibatkan oleh bencana pun tidak sedikit, dilaporkan oleh BNPB, kejadian Karlahut 2015 telah menelan kerugian sebanyak Rp221 T, erupsi Gunung Agung 2018 (Rp19 T), kejadian Gempa NTB 2018 (Rp18,1 T), kejadian Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi di Sulteng 2018 (Rp36,8 T), serta Tsunami Selat Sunda (Rp1,25 T). Untuk itu, pemerintah melalui BNPB pun telah mengalokasikan dana hibah rehabilitasi dan rekonstruksi sebanyak Rp 9,24 T (2015 – 2019), dengan total penerima hibah 543 daerah, meskipun jumlah tersebut masih jauh dari total kebutuhan yaitu Rp 63,4 T, atau hanya sebanyak 14,6 persen saja, jelas Rifai.

Menyikapi hal tersebut, pemerintah telah berupaya merumuskan arah kebijakan pembangunan yang adaptif terhadap bencana, melalui beberapa tahapan yaitu: 1) Perencanaan pembangunan daerah perlu dilandaskan pada aspek-aspek PRB (Pengurangan Risiko Bencana), 2) Pelibatan akademisi dan pakar secara masif, 3) Penunjukan Gubernur yang secara otomatis menjadi Komandan Satgas Darurat, 4) Pembangunan EWS (Early Warning System) yang terpadu, 5) Edukasi kebencanaan, dan 6) Simulasi latihan penanganan bencana secara berkala dan berkesinambungan, jelas Rifai dalam the 18th Strategic Talk pagi tadi.

Tidak hanya itu, Rifai juga menyoroti pentingnya kolaborasi “Penta Helix”, dengan melibatkan pihak Pemerintah, Lembaga Usaha, Akademisi (Tri Dharma Perguruan Tinggi), dan peran serta media. Tidak ketinggalan, pandemi Covid-19 sebagai bencana non-alam juga turut menjadi perhatian dengan menguraikan sejumlah Peraturan Perundang-undangan terkait Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19, salah satunya adalah Perpres 82 tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19, dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Di antara strategi pemulihan pasca Covid-19 yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan ekonomi melalui penerapan protokol kesehatan yang ketat, meningkatkan budaya dan perilaku disiplin, penerapan kebijakan Tatanan Baru, dan adaptasi bersama Covid-19 menuju Indonesia produktif dan aman.

Eva Anggraini dosen Departemen Sumberdaya Alam dan Lingkungan, FEM IPB menguraikan pentingnya memahami aspek SDA dan valuasi dampak bencana, mengingat pentingnya peran SDA bagi perekenomian. Karakteristik non-excludable pada SDA milik bersama dan barang public mendorong eksternalitas negative yang masif yang sering kali berujung pada bencana. . Dilema sosial seringkali muncul dalam pemanfaatan SDA, karena tidak selarasnya tujuan individu (memaksimalkan profit) dan tujuan masyarakat (mengurangi dampak sosial). Tindakan ekonomi individu seringkali menimbulkan kerusakan SDA dan memberikan dampak bagi masyarakat. Pada kondisi alam yang memiliki tingkat vulnerabilitas tinggi seperti Indonesia, salah satunya karena berada pada ring of fire, tindakan ekonomi (atau proses-proses antropogenik) ini sering menjadi pemicu bencana yang hebat. Tidak hanya itu, Gill & Malamud (2017) juga menjelaskan seringnya bencana-bencana primer yang dipicu oleh proses-proses antropogenik mendorong timbulnya bencana sekunder dan tersier yang akhirnya menciptakan koneksi bencana yang semakin kompleks. Laporan dari UNDRR menunjukan tingkat kejadian bencana di dunia terus menunjukan tren peningkatan terutama yang berkaitan dengan anthropogenic, terutama sekali di wilayah Asia. Kondisi ini sangat erat kaitanya dengan tata kelola SDA serta mitigasi bencana yang belum tepat, jelas jelas Eva Anggraini yang juga merupakan Direktur Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis, IPB.

Sementara itu, dampak dari bencana jika dilihat dari tipologinya, dibagi menjadi kerugian langsung, tidak langsung, dan kerugian non-fisik. Semua dampak kerusakan dari bencana alam tersebut, jika divaluasi nilainya secara ekonomi, akan didapat akumulasi nilai yang begitu besar. Dan itu adalah kerugian yang harus ditanggung oleh society. Untuk itu, penting sekali bagi kita mengetahui nilai dari SDAL yang kita miliki sehingga bisa menjadi input dalam perencanaan dan implementasi dalam memanfaatakan SDAL tersebut. Dalam menilai SDAL, maka tidak bisa kita hanya hanya mengukur nilai tangible saja, melainkan harus mempertimbangkan nilai intangible yaitu jasa-jasa lingkungan, seperti manfaat hasil hutan sebagai penyedia jasa air, penyerap karbon, menjaga iklim mikro, dan pencegah erosi, yang justru memiliki nilai yang jauh lebih besar. .Untuk menilai dampak bencana, Eva Anggraini mengungkapkan beberapa teknik yang dapat digunakan, baik yang menggunakan pendekatan harga pasar (revealed preferences) maupun pendekatan non-pasar (stated preference) dengan mengukur willingness to pay untuk mempertahankan suata jasa lingkungan agar terhindar dari bencana.

Syamsul Bahri Agus Sekretaris Pusat Studi Bencana (PSB) IPBmenyoroti aspek mitigasi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam uraiannya ia menjelaskan penanggulangan bencana di dunia telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari responsif menjadi preventif, dari sektoral menjadi multisektoral, dari tanggung jawab pemerintah menjadi tanggung jawab bersama, dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dan dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana.

Ia menjelaskan, pengurangan risiko bencana menjadi penting karena beberapa hal, yaitu: 1) Bencana adalah masalah kompleks (faktor lingkungan hingga pembangunan), 2 ) Kesiapan secara konvensional perlu, namun saat ini belum lengkap dan menyeluruh, dan 3) Pemaduan dan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pengambilan keputusan dan kegiatan sehari-hari akan membantu pembangunan berkelanjutan, jelas Syamsul Bahri Agus.

Sementara itu, upaya mitigasi yang dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: 1) Edukasi kebencanaan, 2) Adaptasi, dan 3) Penguatan infrastuktur. Sebagai contoh daerah Sigi yang rawan terhadap likuifaksi, tidak perlu dilakukan pembangun perumahan, namun bisa dialihkan pada jenis pembangunan lainya. Tidak hanya itu, Syamsul Bahri Agus juga mengenalkan pentingnya penerapan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui strategi Ecosystem Based Adaptation (EbA), dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan ketahanan serta mengurangi kerentanan ekosistem dan (sekaligus) manusia dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Dalam paparanya, Syamsul Bahri Agus juga menguraikan rekomendasi portofolio adaptasi menuju tangguh bencana, dengan cara menentukan kemampuan dan ketangguhan dalam menghadapi bencana, serta memiliki adaptasi yang baik atau gagal atau berusaha merekonstruksi nilai-nilai baru. Berbagai upaya tersebut dapat dicapai dengan memperkuat nilai-nilai kearifan lokal, merumuskan nilai baru dan informasi eksternal, serta melakukan rekayasa sosial dan teknologi sebagai bagian dari upaya rekonstruksi agar kawasan mampu beradaptasi.