WAKIL Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin mengatakan pandemi virus Covid-19 memperbesar tantangan dalam meraih pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals / SDGs). Namun, dDengan trategi yang tepat, tantangan itu bisa berganti menjadi peluang. Menurut Wapres, pandemi setidaknya akan berdampak pada sejumlah aspek yang termuat dalam SDGs seperti meningkatnya kemiskinan serta ketimpangan di masyarakat, terhambatnya kemajuan kualitas pendidikan karena sekolah dan universitas tutup, melebarnya disparitas gender, dan juga berkurangnya kesempatan kerja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. "Pandemi menyebabkan beban masyarakat bertambah dan roda perekonomian berjalan lebih lambat karena kegiatan bisnis terhenti akibat adanya wabah," tutur Wapres ketika memberikan sambutan kunci dalam acara International Conference on Islamic Civilization atau ICIC di Jakarta, Kamis (27/8). Akan tetapi, lanjut Wapres, kita sesungguhnya dapat memanfaatkan pandemi ini sebagai momentum untuk membangun lebih baik dan melakukan akselerasi pencapaian SDGs pascapandemi. Ia menyontohkan, masyarakat dapat mengurangi beban dengan menggunakan sumber daya energi lebih efisien.
Melalui kebiasaan baru seperti menggunakan masker, menjaga jarak fisik dan mencuci tangan, ujarnya, masyarakat dapat sadar akan pentinynya upaya promotif dan pencegahan penyakit sebagai kunci utama dalam meningkatkan kualitas kesehatan, sehingga nantinya beban pembiayaan kesehatanpun akan berkurang. Disampaikan Wapres bahwa SDGs telah menjadi komitmen besar dunia. Sampai saat ini, imbuhnya, setidaknya 193 negara termasuk Indonesia, yang telah mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan menyatakan komitmen mereka secara bersama-sama untuk mewujudkan SDGs. "Bagi Indonesia, implementasi pencapaian SDGs kemudian diintegrasikan dan diselaraskan dengan prioritas pembangunan nasional. Pemerintah Indonesia menyiapkan kelembagaan SDGs untuk memperkuat koordinasi serta menyiapkan platform kerjasama pembiayaan program-program yang terkait dengan pencapaian SDGs," ucap Wapres. Mengutip SDG Index 2020, Wapres menuturkan bahwa upaya pencapaian SDGs di Indonesia mengalami kemajuan yang berarti pada sejumlah indikator seperti berkurangnya kemiskinan, ketersediaan akses terhadap air bersih dan sanitasi, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, serta upaya terkait dengan perubahan iklim. Beberapa indikator, imbuhnya, turut menunjukkan perbaikan secara moderat seperti pengurangan kelaparan, perbaikan kualitas kesehatan, kesejahteraan, pendidikan, penyediaan akses energi bersih yang terjangkau, Inovasi dalam bidang industri dan infrastruktur, serta penguatan institusi peradilan dan perdamaian. "Meskipun demikian, diperlukan penguatan upaya pencapaian SDGs ini karena secara keseluruhan Indonesia masih berada di peringkat 101 dunia dengan total skor 65,3," tegasnya. Indonesia, tegas Wapres, masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tentangga di Asia Tenggara seperti Thailand yang berada di peringkat 41 dengan total skor 74,54; Malaysia di peringkat 60 dengan total skor 71,76; dan Filipina di peringkat 99 dengan total skor 65,5. (H-2) 22 Feb 2022, 15:34 WIB - Oleh:
Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mendorong ekonomi hijau dan pembangunan yang berkelanjutan. Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan bahwa Indonesia telah berkomitmen menerapkan Sustainable Development Goals (SDGs) dan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. Berdasarkan perhitungan Bappenas, pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia dengan dukungan internasional dapat turun hingga 41 persen. “Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sudah dituangkan dalam berbagai kebijakan pembangunan, mulai pembangunan 5 tahun, pembangunan jangka pajang dalam rangka SDGs, dan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca yang sudah ditetapkan pada 2011,” katanya dalam Webinar Bisnis Indonesia Green Economy Outlook 2022, Selasa (22/2/2022). Namun demikian, Amalia menyampaikan, untuk menangani masalah perubahan iklim akan memiliki konsekuensi pendanaan, karena anggaran yang diperlukan tidaklah sedikit. Selain itu, kebutuhan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan kontribusi sektor swasta dan masyarakat, sehingga pendanaan juga diperlukan tidak hanya dari sisi pemerintah. Baca Juga : Bank Besar Dorong Pembiayaan ke Sektor Ekonomi Hijau Amalia menyampaikan, masih banyak tantangan lainnya yang dihadapi Indonesia untuk bisa mencapai SDGs. Pertama, dengan kebutuhan pembiayaan yang diperkirakan mencapai US$247,3 miliar, investor global memandang tingginya risiko di perbankan, karena rendahnya standar lingkungan dan tidak adanya kewajiban No Deforestation, Peat and Exploitation (NDPE) bagi debiturnya. Kedua, adanya pandangan tingginya risiko kredit, dimana untuk sektor yang energi baru terbarukan atau sustainability business memiliki risiko yang besar. Ketiga, pemahaman dan pendekatan pelaku usaha yang masih beragam. Amalia mengatakan, masih banyak perusahaan yang belum sadar akan pentingnya peduli lingkungan. Keempat, pemanfaatan potensi energi terbarukan di Indonesia belum optimal padahal Indonesia memiliki potensi kapasitas energi baru terbarukan (EBT) yang sangat bagus. Misalnya, pembangkit listrik tenaga surya dengan potensi yang mencapai 207,9 giga watt, namun baru termanfaatkan 0,2 giga watt. “Artinya kita masih memiliki ruang yang cukup besar untuk memanfaatkan potensi EBT yang kita miliki di Indonesia sehingga transisi ke EBT lebih cepat dan kita bisa segera memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca,” jelasnya. Kelima, lanjut Amalia, Indonesia saat ini masih banyak bergantung pada sektor batu bara. Ketergantungan ini sedang diupayakan untuk bisa dikurangi. Lebih lanjut, tantangan lainnya adalah pengolahan sampah dan limbah, yang menjadi isu krusial karena volume sampah di Indonesia semakin meningkat, sementara tempat penampungan sampah menyebabkan polusi dan emisi yg tidak sedikit. “Selain itu sampah ini sebagian terbuang ke laut sehingga mencemari dan menurunkan kualitas laut Indonesia,” tuuturnya. Dia menambahkan, sampah makanan pun berkontribusi sebesar 39,8 persen dari total sampah. Tercatat, sampah makanan hingga 2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun. “Sebenarnya kalau dikaitkan dengan salah satu goal pada SDGs, bagaimana kita bisa menurunkan food waste, sangat penting bagaimana kita bisa mengubah perilaku masyarakat ke sustainable consumption," kata Amalia. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini : bappenas, energi terbarukan, green economy, ekonomi hijau Simak Video Pilihan di Bawah Ini :
|