Apa saja tantangan dan peluang dalam membangun mengembangkan Dialog Antar umat beragama di Indonesia

Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam

Volume 5, Nomor 1, Juni 2015; ISSN 2088-7957; 190-217

Mohamad Ali Hisyam

Universitas Trunojoyo Madura, Indonesia

E-mail: hisyamhisyam@gmail.com

Wan Zailan Kamaruddin Wan Ali

Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya Kuala Lumpur Malaysia

E-mail: wzk.ali@um.edu.my

Abstract: The article briefly maps and analyzes a number of

obstacles in creating interreligious harmony in Indonesia. It

also offers potential solutions to be practically implemented.

The writers observe that there are a number of problems

which become obstacles to build interreligious harmony such

as economic and political problems, dispute over territory, the

difference of ideological doctrines, role of the mass media,

provocative and unfair (biased) journalism, and the clash

among religious missionaries of each religion when they

encounter one with another in the field. In the last part of the

article the writers provides an illustration on how

interreligious harmony has been impressively implemented in

Bali. The writers argue that interreligious life in Bali is a robust

example for interreligious harmony. In addition, a number of

experts consider the dynamic of interreligious life in Bali a

remarkable model of how social harmony is well managed

within a plural society. One may assume that Bali is an ideal

miniature of interreligious harmony in Indonesia. Therefore, it

should be imitated and implemented in other regions of our

country.

Keywords: Obstacles; interreligious harmony.

Pendahuluan

Agama diturunkan Tuhan untuk menjadi paradigma utama

kehidupan manusia. Dalam banyak aspek, agama kemudian menjadi

tolok ukur bagi lurus tidaknya tingkah laku manusia menurut kacamata

Tuhan. Hanya manusia makhluk Tuhan yang dikaruniai akal sehingga

mereka dibebani keniscayaan untuk mengatur diri serta mengelola alam

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

semesta agar kehidupan di dunia menjadi seimbang dan penuh

kedamaian.

Dari sini jelas bahwa setiap agama itu membawa pesan

kedamaian. Semua agama tentu ingin menebar rasa damai dan

keselamatan bagi penganutnya dan bahkan kepada siapa saja. Sebagai

contoh, agama kaum Muslim disebut Islâm karena ia membawa misi

salâm dan salâmah (keselamatan) ke tengah-tengah kehidupan manusia.

Sikap pasrah atau berdamai merupakan inti sejati dari Islam. Dengan

lahirnya Islam semuanya akan merasa selamat, tidak hanya pemeluknya

sendiri, melainkan menebar ke semua alam.

Tak bisa disangkal bahwa dalam perjalanannya, agama bukan

hanya sebagai sebuah simbol identitas ataupun ritual belaka, akan tetapi

telah menjelma kebutuhan asasi tiap manusia. Agama telah menjelma

the problem of ultimate concern. Ia adalah solusi bagi masalah yang

menyangkut kepentingan mutlak setiap individu. Oleh karenanya dalam

konteks ini, Paul Tillich pernah mengemukakan bahwa setiap pemeluk

agama senantiasa dalam keadaan terlibat (involved) dalam agama

anutannya. Sehingga bisa dikatakan “aneh” jika setelah berikrar dan

mengikat diri dengan Tuhan, manusia lantas merasa bebas menjalankan

pesan agama dengan sekehendak hatinya.

Termasuk merasa leluasa

untuk melanggar aturan-aturan di dalamnya.

Begitupun sebuah “kejanggalan” pula apabila kemudian manusia

lupa dan mengabaikan misi esensial agama. Ketika manusia menyebut

dirinya beragama, pantaskah ia menentang kedamaian yang diajarkan

agamanya? Layakkah ia mempraktikkan kekerasan dalam segala

motifnya justru dengan “label” kebenaran? Pertanyaan yang paling

krusial, layakkah seseorang yang mengaku agamis menebar konflik

demi konflik, hingga mengatasnamakan agama dan Tuhan mereka?

Dari sini, patut ditelusuri apa sebenarnya yang menyebabkan

manusia harus saling menikam demi dan atas nama agama. Baik dalam

lingkup intern maupun antaragama. Agama yang semestinya berfungsi

sebagai moral force untuk berbuat baik, malah dibuat senjata dan tameng

untuk membenarkan sikap ataupun tindakan-tindakan keliru dan

anarkhis. Agama semestinya berperan sebagai kontrol yang menyuruh

berbuat bajik serta mencegah berlaku jahat (amr marûf nahy munkar).

Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1966), 166.

Mohammad Daud Ali, Agama Islam (Jakarta: Koordinatoriat MKDU UI, 1992), 11.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

Memang muatan agama tak dapat berperan secara langsung dalam

menampakkan nilai-nilai luhurnya. Ia harus melalui perantara, yakni

manusia, lingkungan, dan pergaulan sosial (kebudayaan).

Menurut Kuntowijoyo, agama bisa berperan langsung manakala

ia dilibatkan melalui proses objektivikasi. Ia bisa akan leluasa

berpengaruh ketika ia dipraktikkan dalam struktur keseharian, baik itu

berupa proses hidup beragama ataupun bernegara.

Dengan kekuatan

luhurnya, ia pun mampu menjadi sendi bagi proses demokratisasi. Di

sinilah faktor manusia secara mencolok akan menampakkan perannya.

Hingga hari ini di saat peradaban modern melesat dengan

beragam kemajuan yang dicapainya, masyarakat rasional masih

senantiasa dibayangi pertayaan seputar eksistensi agama. Sodoran-

sodoran konflik dan tragedi kemanusiaan yang banyak melibatkan

unsur SARA (terutama agama), kembali membongkar wacana seputar

kerukunan agama dan pluralitas sosial.

Berbagai kasus mutakhir semisal peristiwa Ambon, Gujarat,

Israel-Palestina, Suriah, hingga tragedi Rohingya di Myanmar,

merupakan cermin faktual dari akumulasi pertanyaan di atas. Betapa

masyarakat dunia yang dengan gemuruh mengklaim diri mereka sebagai

masyarakat agamis (religion society) seakan kehilangan muka di depan

cermin dan bayangannya sendiri. Agama-agama yang mereka anut

untuk bisa mengayomi hidupnya justru acapkali dijadikan “amunisi”

untuk berperang. Nama Tuhan pun ramai-ramai digotong untuk

menjustifikasi membenarkannya. Wajar jika kemudian banyak manusia

modern berpaling dan mencari spiritualisme baru di luar agama. Jutaan

nyawa dan harta yang dikorbankan dalam tragedi “atas nama” agama

ini dari masa ke masa, serasa belum cukup untuk menghentikan

pertikaian-pertikaian yang pada akhirnya menggugat kembali nilai-nilai

kemanusiaan dan keagamaan dari manusia yang menganggap diri

sebagai makhluk beragama.

Pada kerangka itulah, tulisan ini mencoba memetakan beberapa

anasir dan faktor di balik sengkarut problematika relasi lintas agama,

khususnya di Indonesia. Terdapat sejumlah motif dan background yang

layak disodorkan sebagai sekian di antara banyak penyebab yang

potensial menyulut fenomena konfliktual semacam ini.

Kuntowijoyo, “Kaidah-kaidah Demokrasi”, Majalah Ummat, 14-10-96, 44.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

Konflik Antaragama dan Pembebasan Wilayah

Salah satu penyebab konflik lintas agama adalah adanya klaim-

klaim terhadap wilayah geografis. Tak jarang masalah tanah

mengakibatkan di antara komunitas beragama terjadi clash. Masing-

masing merasa berhak memiliki wilayah tertentu untuk dianggap

sebagai kekuasaan mereka. Fanatisme beragama seringkali dijadikan

bahan bakar untuk bertempur hanya demi beberapa jengkal tanah.

Sungguhpun itu hanyalah sebuah petak kecil tanah, ketika ia

sudah dianggap bersejarah (monumental), ia pun akan diagungkan dan

kemudian diupayakan direbut dengan beragam cara. Konflik Palestina

adalah contohnya. Secuil wilayah yang bernama Yerussalem menjadi

lahan rebutan dari tiga komunitas beragama sekaligus, yakni Islam,

Yahudi, dan Kristen. Ketiganya menganggap Yerussalem sebagai

tempat bersejarah bagi agama mereka.

Bagi kaum Muslimin, di situlah kiblat pertama mereka (masjid al-

Aqsha) ditetapkan, sebelum akhirnya pindah ke Makkah. Di sana pula

terdapat qubbat al-sakhrâ, tapak tilas tempat Nabi singgah dalam

peristiwa Isra Mi’raj. Bangsa Yahudi mempunyai tabernakel (semacam

aula) serta Haykal dan tembok bersejarah yang mereka sebut dengan

whaling wall atau tembok ratap. Sedangkan umat Kristiani merasa di

situlah terletak gereja Holy Sepulchure, dan mereka berkeyakinan di situ

jugalah Isa (Yesus) disalib.

Wilayah rebutan ini selanjutnya dalam lensa sejarah disebut-sebut

sebagai arkeologi religius dari pengembaraan spiritual kenabian Ibrahim

sampai keturunan-keturunannya. Lahirlah kemudian Abrahamic Religion

yang menjadi topik masyhur setelah diulas oleh Karen Amstrong

melalui banyak karya-karyanya. Th. Sumartana beranggapan bahwa

ketiga agama serumpun semiotik ini menjadi besar dan survive hingga

kini, karena ditopang oleh kekuatan tradisi dan peradaban sosial yang

maju.

Pada awalnya, lingkup geografis dari peradaban agama-agama

turunan Ibrahim ini beredar dan berkutat dengan kuat di sekitar

wilayah Timur Tengah sehingga menambah “panas” eskalasi dan

gesekan klaim di antara satu dan yang lainnya. Wilayah, tanah dan

Lihat Nurcholish Madjid, Perjalanan Religius Umroh dan Haji (Jakarta: Paramadina,

1997), 39-61.

Th. Sumartana, dkk, Agama dan Negara: Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha,

Konghucu, dan Protestan (Yogyakarta: Dian dan Interfidei, 2002), 125.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

sejarah menjadi tema substansial dalam riwayat perselisihan di antara

Islam, Kristen dan Yahudi.

Nuansa Politik dalam Hubungan Antaragama

Agama erat berkelindan dengan politik. Politik adalah seutas

benang yang berperan menghubungkan antara agama dan negara. Dari

sinilah acapkali terjadi silang sengkarut antar pelbagai kepentingan.

Agama sering dimanipulasi demi kepentingan politik. Begitu pula

sebaliknya. Pertanyaannya, bisakah keduanya berhubungan secara

sinergis tanpa harus saling menafikan satu dengan lainnya?

Di lingkungan internal agama sendiri, masalah politik ini kerap

dijadikan senjata untuk saling menjatuhkan. Bahkan dengan tanpa

sungkan, ada pihak tertentu yang “tega” memanipulasi teks-teks

keagamaan hanya semata untuk kepentingan kelompok yang bersifat

sesaat. Dengan cukup cermat, melalui bukunya Mutasyabih al-Qur’an:

Dalih Rasionalitas al-Qur’an, Machasin memberikan gambaran bagaimana

konflik antarkelompok Islam di abad pertengahan berlangsung sengit,

cukup hanya dengan sumbu picu mempertentangkan antara ayat

muh

}

kamât (tegas) dengan ayat mutashâbihât (ambigu) dalam al-Qur’ân.

Tak jarang di antara pihak yang bertikai harus mengakhirinya dengan

cara saling bunuh hanya karena saling berebut pengaruh serta merasa

pendapat diri dan kelompoknyalah yang paling benar.

Akan halnya pertentangan antaragama dalam belantika politik,

antara lain dilatarbelakangi oleh ketidakdewasaan para politisi dalam

mengemban pesan luhur agama ke meja politik. Betapapun agama tak

harus sepenuhnya terpisah dari politik, namun mengusung “simbol-

simbol” agama dengan cara yang keliru ke dalam kancah politik, hanya

akan menjadi bumerang dan manuver yang kontraproduktif terhadap

agama itu sendiri. Sebaliknya, praktik-praktik politik yang simpatik dan

selaras dengan nilai-nilai moral akan menyandingkan politik dan agama

dalam posisi yang luhur dan semestinya. Al-mulk bi al-n yabnâ, wa al-n

bi al-mulk yabqâ. Kekuasaan yang berlandaskan nilai-nilai agama akan

terbina dan agama yang ditopang kekuasaan akan lestari.

Tentu saja yang dimaksud dengan “perkawinan” agama dan

kekuasaan bukanlah selalu bermakna bahwa sebuah negara haruslah

Bandingkan Machasin, Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an al-Qadli Abdul

Jabbar (Yogyakarta: LKiS, 2000).

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

menjadi negara agama secara formal. Sebaliknya, negara atau

pemerintahan yang diisi oleh orang-orang yang senantiasa menjunjung

tinggi prinsip luhur agama, ia akan berpotensi memajukan dan

menjalankan kekuasaan dengan baik dan lurus. Alexis De Tocquiville

dalam Democracy in America menegaskan bahwa agama akan bisa

berperan sentral dan berfungsi efektif justru apabila ia bergerak dari

luar negara, yakni dari kawasan masyarakat bawah atau civil society.

Dengan pola kultural semacam ini, agama dinilai lebih berpeluang

untuk menjadi kekuatan penyeimbang (balance of power) daripada larut

dalam kekuasaan (power) itu sendiri.

Di antara bukti dari kekurangdewasaan penerapan agama dalam

politik adalah munculnya gagasan untuk mendirikan negara agama.

Agama dianggap akan mampu menjadi jiwa dan paradigma kebangsaan,

apabila diwujudkan dalam bentuk negara formal. Meskipun ada

sebagian yang sepakat, tidak sedikit kalangan yang jengah dengan

guliran gagasan semacam ini yang dinilainya tidak akan efektif serta

merupakan mainstream yang salah arah. Formalisasi agama ke dalam

kekuasaan dipandang hanya akan menjauhkan “spirit” keagamaan dan

keberagamaan yang murni dan penuh harmoni di tengah masyarakat.

Agama menjadi terkurung secara eksklusif dalam jeruji formalisme yang

cenderung simbolik dan berpotensi melahirkan “kekerasan” atas nama

agama. Terutama dalam hal kontestasi antara agama mayoritas dan

minoritas.

Salah seorang penentang ide formalisasi ini adalah Azyumardi

Azra. Menurut Azra, keinginan mendirikan negara agama terjadi karena

adanya segelintir orang yang begitu terpesona pada klaim negara

agama.

Ada semacam kenangan dan nostalgia sejarah yang ingin selalu

diulang tanpa mempertimbangkan pentingnya aspek konteks, berupa

latar ruang dan waktu di mana sebuah agama tersebut tumbuh dan

berkembang. Seolah-olah dengan pola ini, permasalahan kebangsaan

dan kenegaraan akan langsung selesai dengan serta-merta (instant

solution). Abdul Munir Mulkhan bahkan mencurigai bahwa rumusan

serupa itu hanyalah sebagai gejolak reaktif dari kekalahan politik dunia

Islam.

Ini bersumber dari asumsi bahwa hukum-hukum agama akan

Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan (Yogyakarta: LKiS, 2001), 41.

Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 195-196.

Wawancara, Majalah Santri, Edisi 11/1997, 9-12.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

dapat ditegakkan hanya dengan menegakkan konstitusi negara yang

berlandaskan kepada pilar-pilar agama. Karena itu hasrat seperti ini

mestilah dijawab dengan pemahaman substansial dan bukan hanya

jalan keluar yang simbolik formal.

Namun demikian, penolakan atas gagasan negara agama tak

selamnya berarti pemisahan di antara keduanya. Menyelesaikan masalah

ini dengan cara sekularisasi ketat khas negara-negara Barat juga tak

otomatis akan menjamin menuai hasil. Tawaran sekularisasi ala Barat

dalam beberapa hal akan berhadapan melawan kekuatan-kekuatan lokal

yang memang dari awal cenderung kental dengan muatan-muatan

religius.

Anggapan bahwa masyarakat Indonesia merupakan pewaris

tradisi religius, di satu sisi memang bukan isapan jempol belaka. Bukti

empiris dan jejak historis terang benderang terpampang dalam sejarah

panjang kehidupan beragama di nusantara. Fenomena aktual

kemasyarakatan masih menyiratkan nuansa kuat keagamaan di banyak

tempat di sekujur negeri ini. Kendati saat ini, anggapan masyarakat

agamis tersebut mulai dipertanyakan seiring marak dan berlarutnya

konflik-konflik sosial dan agama yang terus mendera bangsa ini.

Bagaimanapun juga kondisi ini merupakan simbol dan karakter

khas dari kepribadian bangsa yang layak kita banggakan. Local genius

semacam ini perlu kita jaga dan lestarikan agar proses akulturasi budaya

dan agama yang terjadi bisa dikendalikan.

Di Indonesia, proses

semacam ini bisa dengan mencolok dapat diamati terutama ketika

pasukan kolonial Belanda membawa budaya indis masuk ke wilayah

nusantara.

Menariknya, tercampurnya budaya asing dan lokal juga atas

peran besar para cendekiawan dan rohaniawan (termasuk ulama). Inilah

Di samping mengurai detail seputar wacana perang suci (jihad) umat Islam versus

Perang Adil ala Barat, James Turner Johnson cukup banyak menawarkan pola

pemisahan antara masalah kenegaraan dari kewenangan (intervensi) agama seperti

yang telah berlangsung di Barat. Lihat lebih lengkap James Turner Johnson, Perang

Suci atas Nama Tuhan dalam Tradisi Barat dan Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).

Istilah local genius dipopulerkan sejak awal oleh Quaritch Wales setelah ia melakukan

penelitian serius tentang perubahan sosial yang terjadi di Asia Tenggara pasca

masuknya budaya asing (Barat). Lihat Quaritch Wales, “The Making of Greater Indis:

A Study of South East Asia Culture Change”, Journal of the Royal Asiatic Society

(Cambridge: Cambridge University Press, 1948), 49.

Joko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa

(Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2000), 43.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

yang disebut oleh Bambang Pranowo turut punya andil membaur

sekaligus merobohkan pembatas sosial (social barrier) masyarakat hingga

membentuk karakter agamis dan religius seperti saat ini.

Ada

perjumpaan sinergis antara budaya luar yang agamis dengan khazanah

lokal yang luhur dan religius. Kedua nilai murni ini kemudian tumbuh

saling mengisi hingga menjadi corak utama dari karakter masyarakat

pribumi.

Mengacu pada perspektif ini, tidak selayaknyalah apabila fatsoen

politik kemudian menjadikan hubungan internal maupun antaragama

menjadi renggang dan retak. Paradigma politik yang mengesahkan

aturan “tiada kawan maupun lawan yang abadi” sejatinya bisa dikontrol

dengan pemahaman keagamaan yang baik sehingga tak harus bergumul

dan bergulir ke arah yang negatif. Justru melalui penanaman visi

keagamaan secara lurus dalam diri politisi, akan lahir sebuah prilaku

politik yang bersih dan luhur (clean politics). Dan pada akhirnya,

kehidupan agama dan politik bisa berlangsung inklusif, adil, toleran,

dan saling topang. Hal ini mampu terwujud, antara lain apabila

didukung kiprah para agamawan dengan jalan tidak “latah” untuk turun

langsung secara pragmatis ke gelanggang politik serta senantiasa

berupaya menjaga jarak yang ideal dengan dunia politik praktis.

Lantas apakah religiositas ada kaitannya dengan politik? tak

mudah untuk secara langsung menjawabnya. Politik menarik digeluti

karena ia menawarkan daya pukau berupa pesona kekuasaan yang

glamour. Dan ketika seseorang berada dekat ataupun dalam lingkaran

kekuasaan, ia akan ditawari oleh beragam kecenderungan (baca:

kemungkinan). Antara lain oleh keinginan dan nafsu menghalalkan

segala cara. Zuly Qodir mengibaratkan bahwa setiap kali membincang

agama, kekuasaan senantiasa mengintai, mengikuti, dan bahkan terang-

terangan menghadang. Mulai dari depan, sisi samping bahkan dari arah

belakang.

Di sinilah peran politik akan diuji untuk sedapat mungkin

mengambil tempat yang strategis di tengah jepitan kebutuhan hidup

serta jebakan kepentingan agama dan negara.

Wawancara, Jawa Pos, Edisi 09-06-2002, 4.

Zuly Qodir, Agama dalam Bayang-bayang Kekuasaan (Yogyakarta: Dian dan Interfidei,

2001), v.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

Harmoni Antaragama dan Faktor Ekonomi

Ada sebuah diktum keagamaan yang pernah dipopulerkan oleh

Alî b. Abî T}âlib, khalifah Islam yang ketiga, yaitu ujaran kâd al-faqr an

yakûnâ kufran (kemiskinan seringkali membawa ke arah kekafiran).

Artinya, faktor ekonomi (kemiskinan) kerap kali terbukti bisa

melunturkan keyakinan serta ideologi seseorang. Ekonomi pula yang

kadang dapat membuat seseorang kalap dan tak bisa menguasai diri.

Pertahanan dan kekuatan iman kadangkala mudah dijebol jika perut

dalam kedaan kosong. Dalam keadaan seperti ini semua menjadi

mudah dipengaruhi.

Cukup beralasan apabila kemudian entitas agama tertentu saling

mencurigai entitas yang lain yang dianggapnya menjalankan misi

agamanya lewat jalur ekonomi. Mereka dianggap memanfaatkan

kondisi keterpurukan masyarakat untuk menyebarkan ajarannya. Di lain

pihak, tertuduh membela diri dengan alasan bahwa tak ada salahnya

mengentaskan kemiskinan ekonomi, kerena itu merupakan bagian

tugas suci dari agama yang dianutnya. Perang prasangka semacam ini

cukup beralasan karena pada level praktis memang ditemukan realitas

penyebaran agama di tengah masyarakat dengan menggunakan jalur

ekonomi, terutama di kawasan pedesaan yang akrab dengan

kemiskinan.

Hingga di sini, permasalahan menjadi berkembang dilematis.

Dalam bentuknya yang lain, perebutan lahan ekonomi pun memiliki

potensi ke arah benturan yang sering kali mereka legalkan dengan dalih

alasan agama. Mengambil contoh kasus Ambon, Azyumardi Azra

beranggapan bahwa apa yang sebenarnya terjadi di Maluku bukanlah

murni konflik antaragama. Ada sejumlah faktor dan anasir lain yang

saling berkelindan dalam memanaskan bara konflik di sana, baik secara

samar maupun terang-terangan.

Azra menilai telah terjadi apa yang disebut dengan contest for space

(perebutan ruang) dalam banyak aspek, termasuk di dalamnya di bidang

ekonomi.

Perselisihan di sana sesungguhnya lebih disebabkan oleh

adanya hegemoni kemapanan yang seiring berjalannya waktu merasa

terusik dan terganggu. Ada komunitas tertentu yang sekian lama

mampu bertahan dengan stabil dan berada pada zona kenyamanan

(comfort zone) yang merasa “terancam”. Oleh karena itu, guna

Azra, Islam, 147.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

menanggulangi konflik seperti di Ambon dibutuhkan seperangkat

kemampuan guna menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang

terjadi pada sebuah kelompok masyarakat. Tentu saja dengan ditopang

oleh kesamaan perspektif dan kesatuan persaudaraan yang harus

dipelihara semua pihak dengan cara damai.

Jejak Historis dan Miskonsepsi

Sejarah menuturkan bahwa konflik-konflik yang melibatkan

kelompok lintas agama bukanlah hal baru dalam lanskap peradaban

manusia. Ia sudah terjadi bahkan semenjak era Nabi Adam (manusia

pertama) yang ditandai dengan perselisihan antara Qabil dan Habil: dua

anak Adam yang bertikai karena dibakar rasa dengki manusiawi.

Pertengkaran ini kemudian diabadikan menjadi titik awal sejarah

pertikaian manusia, sekalipun dalam lingkup satu agama, bahkan

sesama saudara dan satu keluarga.

Sedangkan perseteruan antaragama barangkali bisa dirunut mulai

dari zaman-zaman kenabian setelah Adam. Bagaimana para Nabi yang

membawa misi agama Ilahi harus selalu berhadapan dengan kekuatan

domestik masyarakat setempat (lokal) yang tak selamanya bisa

menerima risalah mereka. Ini bisa dibaca dari sejarah-sejarah kenabian

Nabi Ishaq, Ibrahim, Musa, Isa hingga zaman Muhammad sekarang ini.

Sebagai contoh, untuk kisah kasus pembebasan kota tua

Yerussalem saja, menurut Nurcholish Madjid terjadi dengan memakan

waktu yang begitu lama dan fluktuatif. Pasang surut tersebut diawali

dari penemuan Ibrahim akan wilayah subur bernama r al-salâm

(Yerussalem) yang bermakna “rumah kedamaian” hingga merentang

sampai masa Nabi-Nabi sesudahnya. Bahkan bisa disebut perebutan

dan klaim terhadap Yerussalem tetap bergejolak sampai era khalifah

Umar b. Khat}t}âb yang secara adil berupaya mendamaikan ketiga

agama (Islam, Yahudi, dan Kristen) untuk tetap hidup rukun di tanah

Bani Israel tersebut.

Hingga kini pun, pertikaian di sana masih

menyisakan bara panas permusuhan yang belum sepenuhnya mampu

dipadamkan.

Pada kerangka yang lain, persengketaan antaragama juga

dimunculkan oleh adanya miskonsepsi atau perbedaan konsep. Masing-

masing agama merasa memiliki konsep sendiri dan merasa tak masalah

Madjid, Perjalanan Religius, 48.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

jika itu harus bertentangan dengan agama yang lain. Miskonsepsi terjadi

setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor yang kesemuanya bertali-

temali antara yang satu dengan yang lainnya.

Pertama, adanya sikap saling klaim. Ketika tiap-tiap agama merasa

paling berhak menafsirkan kebenaran dan merasa paling benar, saat

itulah muncul klaim kebenaran (claim of truth), klaim keselamatan (claim

of salvation) serta beragam pengakuan-pengakuan bernada fanatik

lainnya. Hal ini sebenarnya dapat diterima sepanjang disertai

penghargaan yang layak dan setimpal terhadap aneka perbedaan yang

terjadi. Apabila penghargaan tersebut diberikan, niscaya ada semacam

kesadaran teologis yang apresiatif dan saling menghormati dalam

konteks kehidupan beragama.

Kedua, timbulnya kesadaran misi. Setiap agama tentu mempunyai

misi sendiri-sendiri dan boleh jadi berbeda satu sama lain.

Orang

Islam misalnya, mengajarkan bahwa setiap Muslim memiliki kewajiban

untuk menjalankan perintah berdakwah (amr ma‘rûf nahy munkar).

Demikian pula agama yang lain walaupun dalam motif serta modus

yang berbeda. Sekadar contoh, proyek misi Kristenisasi yang sering

dicurigai, ternyata memang benar-benar wujud keberadaannya. Hal ini

diakui sendiri oleh pihak Kristiani. Pendeta Martin Sinaga, salah

seorang tokoh agama Kristen, mengungkapkan bahwa Kristenisasi

(missionari) memang bagian dari formulasi kaum Nasrani yang

bertujuan untuk mengajak berdialog tanpa pretensi mengristenkan

seseorang.

Kendati kemudian ada orang yang tertarik dan berminat

mengkonversi agamanya ke dalam Kristen, hal itu semata dimaknai

sebagai “efek positif” dari kegiatan dialog tersebut.

Ketiga, melekatnya sikap purbasangka. Kedua faktor di atas yakni

missionari dan saling klaim, telah melahirkan kecurigaan-kecurigaan

yang berbentuk purbasangka. Pada sebagian agama, pandangan prejudice

atau mencurigai secara negatif pihak lain sebenarnya adalah cermin dari

ketidakdewasaan pemeluk agama dalam merespons pluralitas dan

keberagaman sosial. Sikap ini jika terus dibiarkan, akan berbahaya dan

KH. Wahid Zaini, dkk, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi (Yogyakarta: LKiS,

1996), 198.

Ibid., 199.

Pdt Martin Sinaga, “Kristenisasi Sungguh-Sungguh Terjadi”, Wawancara, Jawa Pos,

Edisi 26-05-2002, 4.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

menjadi preseden buruk bagi masa depan kehidupan lintas agama di

Indonesia dan di manapun juga.

Sepanjang agama-agama mentolelir adanya pelbagai penafsiran-

penafsiran baru (multi-tafsir), maka sikap saling terbuka (inklusif) ini

akan menimbulkan suasana perbedaan yang indah dirasakan. Menuduh

pemahaman akan pluralisme beragama sebagai tindakan menyebarkan

keraguan (tashkîk), terasa sebagai pandangan yang sepihak dan masih

perlu penelusuran ilmiah yang lebih baru dan kontekstual untuk

melarangnya sama sekali. Apalagi hingga menuding itu sebagai bagian

dari paham wah

}

dat al-adyân (penyatuan agama-agama) rintisan tokoh

sufi tersohor Ibn Arabî yang terbukti menuai banyak kecaman.

Dalam

batas-batas tertentu, menghargai kemajemukan beragama (tanpa harus

larut ke dalam agama tertentu) adalah juga implementasi dari sikap

tasâmuh

}

(toleran) dan al-musâwah (egaliterianisme) yang sangat

dianjurkan oleh setiap agama.

Antusiasme Massa dan Peran Media

Memanasnya perselisihan antaragama juga tak bisa dilepaskan

dari peran aktif media (pers). Dalam beragam bentuknya (cetak

maupun elektronik) media acapkali digunakan oleh pihak-pihak

tertentu untuk menyerang dan mendiskreditkan pihak-pihak lain yang

berseberangan pandangan. Pada konteks paling minimal, media juga

tak jarang dimanfaatkan secara provokatif sebagai sarana meledakkan

antusiasme umat beragama terhadap absolusitas kebenaran agamanya

sendiri. Lalu lahirlah fanatisme sempit dengan jalan menerima

kebenaran dari luar mereka dengan logika permusuhan.

Pers memang ditakuti dalam beberapa aspek. Keluasan daya

jangkau yang dimilikinya serta dukungan power provokatifnya, sering

membuat takut pihak-pihak yang merasa memendam suatu kesalahan

ataupun hal-hal yang bersifat rahasia. Terutama jika sesuatu hal tersebut

akhirnya dikhawatirkan menuai gugatan dan ancaman apabila kelak

dibuka serta dipublikasikan. Seorang Napoleon Bonaparte (panglima

perang dan kaisar kerajaan Perancis pada abad 17-18 Masehi) tak bisa

menyembunyikan ketakutannya terhadap kekuatan serangan media.

Napoleon mengaku lebih takut menghadapi sebuah penerbitan

Hartono Ahmad Jaiz, “Kewajiban Menerapkan Syariat Islam, Membincang

Kontroversi Islam Liberal”, Media Dakwah (Juni 2002), 38.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

(pers/media) yang terbit di negaranya, daripada harus melayani seribu

bala tentara musuh yang siap dengan senjata terhunus.

Begitulah dahsyatnya daya serang media. Ia bisa menyanjung dan

melambungkan siapa saja yang dikehendakinya, sekaligus mampu

menjerumuskannya kapan saja ia suka. Kemerdekaan dan kedaulatan

sebuah bangsa pun melibatkan perjuangan pers secara massif dan

intensif sebagai sarana psy war dan agitasi. Rakyat Indonesia

patriotismenya luar biasa menggelora, selain disebabkan oleh sikap

angkuh penjajah kolonial, juga lantaran turut diprovokasi oleh “suara

beracun” pers Belanda.

Peran penting pers inilah yang selanjutnya

membuat hukum tata negara memasukkannya dalam the fourth estate

(empat pilar) demokrasi bersama lembaga eksekutif, yudikatif, dan

legislatif. Jurnalis senior Rosihan Anwar masih yakin bahwa di masa-

masa mendatang, pers dan media tetap akan mendapat peranan yang

amat penting. Kendatipun masih perlu dibenahi, media ke depan masih

merupakan salah satu tiang utama reformasi peradaban modern.

Pada kerangka hubungan antaragama, media tak bisa dinafikan

memiliki fungsi vital yang cukup berpengaruh. Media ibarat pisau

bermata dua. Di satu sisi, ia sanggup melempangkan jalan kerjasama

damai lintas agama. Namun demikian di sisi yang lain, media pun

mampu pula meluluhlantakkannya dengan serta-merta. Hal ini amat

bergantung kepada siapa dan faktor kepentingan apa yang ada serta

“bermain” di balik pengelolaan media tersebut.

Efektivitasnya dalam membentuk opini publik membuat media

dijadikan alternatif sebagai sarana aktualisasi, publikasi maupun juga

provokasi. Ketika ada pihak yang diserang melalui media, maka ia pun

akan berpikir dan memiliki potensi guna membalasnya dengan cara

yang sama pula. Paling tidak untuk menjadi benteng dalam membela

diri (self defense). Sekadar contoh, isu fundamentalisme Islam yang

digencarkan media-media di Barat, disambut dengan ulasan-ulasan

bernada serangan balik (counter attack) oleh media-media di Timur

Tengah serta negara-negara Islam lainnya. Isu yang bersifat generalisasi

Lihat Je Dae Sik, Gerakan-gerakan Keagamaan di Korea dan Indonesia di Awal Abad 20:

Studi Historis (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), 44.

Kompas, 09-02-2002, 3.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

tersebut dipahami (baca: diterima) bukanlah sebagai uraian ilmiah

melainkan lebih sebagai gangguan atau ajakan untuk bermusuhan.

Padahal dengan stereotyping ini, tak semua kalangan di Barat

sepakat. Dalam bukunya The Battle for God, Karen Armstrong

mengutarakan bahwa fundamentalisme adalah cara baru untuk lebih

menghayati agama, tatkala proses modernisasi nyaris memusnahkan

nilai-nilai keagamaan manusia.

Sikap dan seruan guna kembali kepada

fondasi asas agama secara fanatik dan militan akhirnya menjadi solusi

bagi melawan keringnya jiwa-jiwa kemanusiaan orang-orang modern

yang kian waktu semakin terhimpit oleh kehidupan yang serba hedonis

dan materialistik.

Bagi sebagian kalangan, cukup mudah membaca gejala

bagaimana pers menggiring opini massa menuju arah yang

diinginkannya. Karena ada banyak ragam “tangan” kepentingan di balik

penerbitannya, tentu warna medianya akan beragam pula. Di Indonesia

sendiri, orang akan gampang menebak aliran-aliran media massa ditilik

dari muatan tendensius dari “idealisme” yang dijajakan di dalamnya.

Mulai kalangan yang dicap fundamentalis, pluralis, tradisionalis,

modernis, teroris bahkan sampai aliran yang dianggap sesat pun banyak

memilih media sebagai sarana aktualisasi mereka sekaligus wahana

sosialisasi gagasan-gagasannya ke hadapan khalayak. Tanpa media,

sebuah komunitas pasti akan kesulitan dalam memperkenalkan diri,

mengelola dan merekrut anggota dan juga mempengaruhi khalayak di

luar mereka.

Belum lagi kalangan agama lain semisal Kristiani, Hindu, Buddha

serta Konghucu. Sebagian besar dari mereka memiliki media guna

menguatkan identitas. Sekalipun dalam jumlah (tiras) dan lingkup yang

amat terbatas dan minimal. Yahudi pun disebut-sebut sebagai

pemegang IBM Company dan Intel, dua buah perusahaan raksasa

dunia yang bergerak aktif di jalur industri informasi dan komunikasi

modern.

Hingga di titik ini, media juga bisa menjalankan fungsi-fungsi

solutif bagi hubungan lintas agama dengan jalan tidak selalu memuat

tulisan-tulisan bernada provokasi serta opini-opini kontroversial yang

cenderung menyesatkan. Di saat media rajin menyuarakan “ayat-ayat

Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997), 143.

Jawa Pos, 19-05-2002, 04.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

pedang”, saat itu pula ia harus mengimbanginya dengan juga

menurunkan “ayat-ayat rahmat”. Bahwa betapa perbedaan itu ada,

sekecil apapun peluang untuk damai bersama senantiasa tetap harus

diikhtiarkan secara terbuka.

Malah tidak menutup kemungkinan jika masing-masing agama

bersedia guna saling tukar media. Hal ini penting bukan hanya sebagai

cara mengikat persaudaraan berikut tawar menawar dalam ruang

keterbukaan, melainkan juga bisa berguna sebagai upaya saling

menggali dan tukar menukar gagasan dalam bentuk yang rukun dan

konstruktif. Cara ini yang barangkali banyak disinggung Goenawan

Mohammad sebagai free market ideas (pasar bebas gagasan).

Dalam rangka membangun bangunan kehidupan antaragama

yang harmonis dan berkeadaban di masa mendatang, seyogyanya peran

kondusif media ini bisa dijadikan sebagai ajang untuk semakin menjalin

pergaulan, memupuk wacana kesatuan serta memelihara keseimbangan

hidup beragama yang adil dengan jalan mengembangkan sisi-sisi positif

dari setiap edisi penerbitannya. Bukan malah sebaliknya menjadikan

media sebagai wahana pemecah belah antarkelompok yang cenderung

destruktif.

Jadikanlah media sebagai cara santun da‘wah bi al-qalam (mengajak

ke arah kebaikan melalui tulisan). Marah Roesli pernah mengemukakan

bahwa watak pers dan media yang sejati adalah untuk kepentingan

umum. Yakni satu untuk bersama dan bersama untuk satu. Oleh

karena itu dibutuhkan adanya dialog serta saling keterbukaan dari

banyak pihak. Jika saling keterbukaan telah diwujudkan, maka kasus

semisal penodaan dan penistaan ajaran agama tertentu (seperti aksi

penyebaran al-Qur’ân palsu yang sempat meletup pada awal tahun

2002) akan relatif mudah dilacak untuk selanjutnya diretas jalur

penyelasaiannya dengan baik dan damai.

Mata Pedang dan Jurnalisme Perang

Sebagai pewarta kebenaran, media massa dituntut

mengungkapkan segenap fakta, segetir apapun ia. Berbagai konflik

kemanusiaan yang bernuansa agama, misalnya, mesti ia paparkan

dengan apa adanya. Namun demikian, seorang jurnalis tetaplah

manusia biasa yang pada dimensi lain dalam dirinya masih

menampakkan suara nurani yang pekat. Artinya, sebagai sebuah gejala

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

dan ironi kemanusiaan, beragam konflik keberagamaan tentu tak

dinginkan oleh siapapun untuk terjadi dan senantiasa terulang kesekian

kali. Tepat di garis inilah, kepekaan dan humanisme seorang jurnalis

media diuji. Tepat di aras ini pulalah, jurnalisme damai (peace journalism)

menjadi bukan sekadar wacana retoris yang dihembuskan kalangan

media, melainkan merupakan tuntutan sekaligus tuntunan bagi para

pecinta dialog dan kedamaian untuk diterapkan secara nyata di

lapangan kehidupan.

Secara sederhana, jurnalisme damai dapat diartikan sebagai suatu

praktik jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis

tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik serta perihal

hikmah di balik konflik itu sendiri bagi entitas kemanusiaan. Jurnalisme

damai memandang konflik sebagai tragedi kemanusiaan yang tak

seharusnya terjadi. Ia pun pada dasarnya merupakan seruan kepada

semua pihak untuk merenungi kerugian yang bisa ditimbulkan akibat

konflik, baik itu psikologis, budaya, dan struktur sosial kemasyarakatan

yang menjadi korban.

Artinya, ada semacam ajakan reflektif untuk

segera bertindak, mengambil hikmah, serta mengedepankan visi

kedamaian dalam setiap tindakan manusia.

Jurnalisme damai adalah genre jurnalisme yang lebih

menonjolkan harapan dan hasrat untuk berdamai daripada aroma

dendam dan kebencian kepada pihak yang terlibat pertikaian. Berbeda

dengan jurnalisme perang (war journalism)

yang kerap dipraktikkan

media-media Barat, jurnalisme damai lebih mementingkan sisi empati

kepada korban-korban konflik ketimbang liputan kontinu dan

Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2001), 167.

Sebenarnya secara prinsip, jurnalisme damai bukanlah lawan atau kebalikan dari

jurnalisme perang, melainkan jurnalisme alternatif yang disodorkan karena seringnya

jurnalis media mengalami conflict of interest dalam penurunan hasil berita. Lihat Maria

Hartiningsih, Jurnalisme Damai Multikultural (Bogor: Makalah Diklat Jurnalis Dakwah

ICIP, 2005), 4.

Empati atau perasaan untuk bersedia terlibat dalam kesadaran, derita, dan psikologi

pihak lain acapkali diabaikan oleh para jurnalis. Padahal, dengan berempati, orang

bisa menebar simpati kemanusiaan secara alamiah, santun, lembut, dan penuh kasih

kepada pihak lain (yang biasanya terdiri dari orang-orang yang ditindas dan

dikorbankan) dengan beragam cara. Dengan jurnalisme empati, secara tidak langsung

jurnalis membantu memberikan harapan dan optimisme hidup yang dibutuhkan

banyak orang. Lebih jauh dan eksploratif perihal jurnalisme jenis ini. Irwan Julianto,

Jika Ia Anak Kita: AIDS dan Jurnalisme Empati (Jakarta: Penerbit Kompas, 2004).

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

bombastis tentang jalannya konflik itu sendiri.

Ciri lain dari jurnalisme

ini adalah penghindaran akan keberpihakan serta pemberitaan ihwal

kebenaran dan keadilan dalam wujud yang sesungguhnya. Bahkan jika

perlu, jurnalisme damai akan berusaha menyebutkan nama pelaku

kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak guna mengungkapkan

kebenaran maupun kebohongan pada masing-masing pihak.

Bila ditilik secara historis-formal, istilah jurnalisme damai

pertama kali muncul menjadi wacana serius dalam kegiatan Kursus

Jurnalisme Perdamaian yang diadakan di Taplow Court,

Buckinghamshire Inggris pada 25-29 Agustus 1997. Ia dicetuskan

sebagai kritik terhadap kecenderungan jurnalisme perang yang

digembar-gemborkan pers Barat. Sebagaimana diketahui, media-media

Barat dalam meliput perang di berbagai tempat di belahan dunia

terbiasa dengan pola yang menempatkan konflik yang terjadi sebagai

persoalan “menang-kalah” atau “ditundukkan dan menundukkan”

layaknya sebuah pertandingan olahraga.

Pemberitaan yang

dihidangkan terlalu berfokus pada aksi-aksi kekerasan yang mewarnai

konflik tanpa banyak kesudian guna lebih lanjut mengkaji akar konflik,

dampak-dampak, serta bagaimana solusi pencegahannya. Akibatnya,

jurnalisme perang tak ubahnya exposing yang malah mengobarkan

semangat perselisihan yang penuh kebencian. Sehingga war journalism

tak ubahnya semakin mengasah “mata pedang” kebencian bagi pihak-

pihak yang memang tak menginginkan adanya dialog harmonis dan

kerukunan lintas agama terwujud dalam kenyataan.

Posisi yang diperankan oleh jurnalisme perang ini jika dirujuk

lebih dalam jelas-jelas mengingkari dan menodai fungsi asasi dari media

Dalam khazanah jurnalistik, jurnalisme damai bisa digolongkan pada jenis berita

mendalam (feature) yang berusaha menyingkap beragam sisi di seputar konflik.

Jurnalisme damai, misalnya, pada sebuah kasus akan cenderung menelusuri

penderitaan orang-orang yang kehilangan sanak saudara dan terusir dari kampung

halaman, kisah-kisah traumatik anak-anak yang terpisah dari orang tuanya, serta

sejumlah latar cerita yang dramatis di balik konflik lainnya.

Sudibyo, Politik Media, 168.

Ibid. Namun demikian, secara informal jurnalisme damai sudah mulai berkembang

dan dipraktikkan sejak awal tahun 1970-an (salah satu tokoh penting yang

memomulerkan istilah ini adalah profesor studi perdamaian terkemuka, Johan

Galtung) dan disosialisasikan secara intensif di berbagai negara di dunia, khususnya di

wilayah-wilayah konflik, mulai akhir tahun 1980-an.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

itu sendiri sebagai pelayan masyarakat. Dengan kata lain, media boleh

dikatakan gagal berpartisipasi dan memberikan kontribusi positif bagi

tatanan kehidupan sosial, khususnya kerukunan beragama. Oleh

karenanya, kehadiran jurnalisme damai sungguh sebuah sumbangan

yang layak dinanti oleh lapisan publik. Dalam bahasa yang lain, A. Muis

menyebut jurnalisme yang berpihak pada kemaslahatan khalayak ini

dengan istilah jurnalisme partisipasi. Jurnalisme semacam ini berangkat

dari hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari media.

Jurnalisme partisipasi mampu melibatkan pikiran dan perasaan

sepenuhnya dalam suatu kejadian yang akan diberitakan (yang

mempunyai nilai berita) dan atau menggabungkan teknik jurnalistik

investigasi dengan teknik jurnalistik interpretasi. Dengan cara itu, dalam

spektrum sosial-politik (misalnya) pers bisa tetap menjadi penjaga,

pemantau, dan sekaligus pengontrol terhadap jalannya pemerintahan

atau mendorong terciptanya pemerintahan yang baik lagi bersih (good

governance) dan pelaksanaan demokrasi (watch dog).

Di Indonesia, jurnalisme damai mulai menjadi wacana yang ramai

diperbincangkan pada saat maraknya kasus bernuansa SARA di

Ambon, Kalimantan, Jakarta, Sulawesi, dan berbagai tempat lain di

seantero nusantara. Serentetan tragedi SARA, terutama di awal 1990-

an, yang menyeruak di berbagai media membuat masyarakat

menanggapinya dengan tergagap. Realitas ini bisa dimaklumi karena

pada masa-masa sebelumnya (era Orde Baru), konflik-konflik seperti

ini tersembunyikan di bawah karpet tebal “persatuan dan kesatuan”

dan diselesaikan dengan cara represif. Pihak yang berseteru dibungkam

dan di level permukaan konflik didesain seolah sudah usai. Karenanya,

konflik demi konflik bernuansa SARA di Indonesia tak ubahnya bom

waktu yang secara akumulatif telah tertanam semenjak lama.

Dalam kondisi sosial yang serba buram tersebut, jurnalisme

damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang

jurnalis mentransformasikan realitas faktual sebagai realitas media.

Bahwa media dan jurnalis bebas berekspresi adalah hal yang tiada

terbantah, namun penting ditelisik apakah media sudah cukup dengan

seperangkat pengetahuan dan pengalamannya selama puluhan tahun

ditindas? Merespons maraknya tragedi kemanusiaan dan konflik

antaragama, rasanya “jurnalisme titik” (baca: konvensional, dengan

A. Muis, “Pers Indonesia Sebagai Agent of Reform”, Kompas, 09 Februari 1999, 4.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

matra pokok 5W+1H) tidak lagi memadai. Dalam situasi sosial yang

karut-marut, jurnalisme tak bisa digunakan secara naif. Pada dimensi

tertentu, jurnalisme damai menyuguhkan alternatif bagaimana jurnalis

bekerja dalam situasi yang penuh tekanan dan sarat resiko. Lebih-lebih

dalam bingkai kesetempatan yang mau tak mau secara emosional

merangsang orang untuk larut terlibat dalam konflik, seorang jurnalis

dituntut menajamkan nurani kemanusiaannya. Bagaimanapun mereka

bukanlah media dan jurnalis asing yang semaunya memahami fakta

konflik seperti melihat peristiwa dalam sebuah kotak kaca. Sekali lagi,

bagaimana jurnalis bekerja sementara ia juga berada dalam satu kotak

kaca.

Jack Lynch dan Annabel McGoldrick mewakili pangamat media

yang pro-jurnalisme damai mengemukakan bahwa pada kenyataannya

tak semua media sudi menerima konsep jurnalisme damai. Banyak di

antara pemilik media yang lebih senang menggunakan jurnalisme

perang karena beragam sebab. Di antaranya dari segi ekonomi,

jurnalisme perang lebih menjanjikan keuntungan profit. Paradigma

jurnalisme ini lebih leluasa memotretmeminjam istilah antropolog E.

Valentine Danielkekerasan yang telanjang (pornography of violence).

Semakin variatif tindakan kekerasan, semakin panas sebuah pertikaian,

maka ia akan kian meningkatkan antusiasme publik terhadap media.

Bahkan ada sejumlah kalangan yang berapologi bahwa jurnalisme

selamanya bersifat obyektif, sementara konsep damai lebih cenderung

subjektif. Keduanya tak akan bisa disatukan. Merujuk kepada

pandangan ini, maka aspek nurani dan kepedulian sosial menjadi tidak

penting untuk dilibatkan.

Di bingkai inilah jurnalisme damai hendak mengetuk kesadaran

akan pentingnya persaudaraan kemanusiaan sebagai sesama makhluk

sosial. Dalam penilaian Maria Hartiningsih, kendati tetap memakai pola

komprehensif cover both sides (bahkan multisides) sebagaimana jurnalisme

baku pada umumnya, dalam jurnalisme damai mind set (pola pandang)

jurnalis dikerangkai oleh kehendak dan spirit untuk menyelesaikan

setiap konflik secara damai. Karenanya ia membutuhkan tak hanya

stamina, tapi juga compassion: pemahaman bahwa sebagai manusia kita

seharusnya disatukan oleh kemanusiaan kita serta kenyataan alamiah

bahwa kita hidup di bumi yang serupa.

Hartiningsih, Jurnalisme Damai Multikultural, 4.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

Pendek kata, jurnalisme damai mengajak jurnalis untuk

memahami konflik hingga ke dimensi terdalam yang bisa dirasakannya.

Karena itu, ada yang mengistilahkan jurnalisme demikian dengan

jurnalisme analisis konflik disebabkan dalam menjalankan tugasnya,

jurnalis perlu memiliki pengetahuan seputar analisis konflik. Dengan

begitu ia akan tahu apa saja yang mesti ia perbuat dan apa saja hal yang

mesti dihindarinya. Di samping itu ia juga dituntut memahami sejumlah

hal, mulai dari akar konflik dan kekerasan, dampak sosial, metode

pemecahan konflik (solusi), menyuarakan rekonstruksi, rekonsiliasi dan

resolusi konflik, membantu menggelar dialog, serta menolong semua

pihak terkait untuk mengubur dendam, memulihkan harapan dan

menjalin persaudaraan damai. Jurnalisme damai menjadi satu di antara

beberapa kunci strategis yang diharapkan mampu merangkai dialog

antaragama, membina kerukunan, dan memelihara citra dan suasana

keberagamaan yang meneduhkan. Karena itu, menatap agenda

antaragama ke depan, sudah waktunya media massa berpartisipasi

secara kontributif melalui penerapan jurnalisme dialogis yang adil,

terbuka, dan menyejukkan semua pihak.

Berkiblat ke Bali

Indonesia termasyhur sebagai salah satu negara yang dipenuhi

oleh keragaman budaya dan agama. Kemajemukan sosial di dalamnya

merupakan potensi kelebihan yang positif apabila dijaga dan dikelola

dengan benar. Namun sebaliknya, ia boleh menjadi titik negatif dan

sumber konflik sosial yang besar jika tak disertai dengan kuatnya

pemahaman budaya serta keberagamaan. Banyak orang, khususnya

orang asing, yang terkesan dengan kerukunan lintas agama di bumi

nusantara. Salah satu daerah yang terkenal dengan kerukunan serta

keragaman budaya dan agamanya adalah Bali. Bukan hal yang aneh jika

Pulau Dewata ini kerap dijuluki sebagai miniatur ideal atau gambaran

“Indonesia Mini” karena kehidupan di sana yang plural namun

terkelola dengan cukup baik.

Populasi Muslim sejauh ini masih terbanyak di Indonesia (kira-

kira 85 persen), sementara komunitas agama-agama yang lain berkisar

di angka 15 persen dari total jumlah penduduk nasional. Fenomena

yang menarik, perselisihan antaragama di Indonesia yang paling sering

adalah antara kaum Muslim versus pemeluk Kristen (Katolik dan

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

Protestan). Timbul pertanyaan, mengapa umat Islam Indonesia jarang

sekali bertikai dengan umat selain Kristen? Padahal di Indonesia, ada

banyak agama lain seperti Buddha, Hindu, Konghucu, serta pelbagai

sekte-sekte aliran kebatinan.

Jika ditelisik dari sisi historis, agama yang sejak awal berhadapan

face to face pada masa awal masuknya Islam di nusantara adalah Hindu,

bukan Kristen. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, agama Hindu

sudah lama tumbuh dan bertahan lama di berbagai wilayah, terutama di

pulau Jawa. Bukti ini bisa ditelusuri dari paparan sejarah ihwal kerajaan-

kerajaan besar di nusantara yang menjadikan Hindu sebagai ajaran

utama mereka. Kerajaan dianggap sebagai sentrum dari penyebaran

kekuasaan serta agama yang mudah diterima masyarakat. Realitas

menunjukkan bahwa datangnya Islam telah berhasil meruntuhkan

hegemoni kerajaan dan simpul-simpul agama Hindu. Semestinya,

agama Hindulah yang sakit hati dan membalas dendam kepada umat

Islam atas lunturnya pengaruh Hindu di Indonesia, terutama di Jawa.

Bukan Kristen yang selama ini menjadi “musuh utama” umat Muslim.

Apabila diamati memang kaum Hindu (khususnya di Indonesia)

cenderung lebih toleran dan lunak ketika bergaul dengan komuniti

Muslim. Hal itu antara lain dipengaruhi oleh doktrin ajaran Hindu yang

cenderung “pasif” dan tidak terlalu memaksakan orang lain untuk

memeluk agama mereka. Dalam Hindu tak ada penekanan yang

berlebihan tentang kewajiban menyebarkan agama, sebagaimana

ditemukan pada doktrin-doktrin pada agama-agama samawi, semacam

ideologi dakwah (Islam) atau misionari (Kristen). Karena itu, kalau

pengamat antarbangsa seperti Sajida Alwi dan Mohamed Arkoun

pernah menjuluki Indonesia sebagai bangsa dengan model kerukunan

antaragama yang tipikal Qur’âni, maka Komarudin Hidayat menyebut

bahwa miniatur serta prototipe kerukunan antaragama yang paling

harmonis dan sangat kondusif adalah masyarakat di pulau Bali.

Realitas ini menyuguhkan gambaran bahwa kasus dan konflik yang melibatkan

komunitas Hindu dan Muslim di Indonesia amat jarang terjadi. Bandingkan dengan

konflik antaragama yang terus menerus berlaku hingga sekarang antara umat Islam

dan Kristen di Indonesia. Bahkan, konflik juga masih sering berlaku antara umat

Muslim berhadapan dengan penganut Konghucu dan Buddha yang mayoritas dipeluk

oleh masyarakat dari etnis Tionghoa (Cina).

Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2002), 20.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

Lanskap mutakhir kehidupan beragama antara masyarakat

Muslim dan Hindu di Indonesia melahirkan asumsi bahwa hubungan

kedua agama tersebut selama ini berlangsung cukup harmonis,

kondusif, dan patut dijadikan contoh model kerukunan antaragama.

Banyak pengamat yang menilai harmoni antara pemeluk Hindu dan

Islam terutama di Bali, memberikan gambaran akan berpadunya dua

entitas ideologi yang mampu meminimalisir potensi konflik lintas

agama. Bali sebagai basis dari penganut ajaran Hindu di nusantara

terbukti mampu hidup damai berdampingan dengan komuniti Muslim

yang juga berjumlah tak sedikit di sana. Sedangkan umat Islam yang

mayoritas menghuni pulau Jawa juga terbukti tak banyak bermasalah

hidup bersama kaum Hindu.

Sebagai mayoritas, kaum Hindu di Bali mampu mengamalkan ajaran toleransi yang

didoktrinkan ideologi mereka secara aplikatif dan tepat dalam kehidupan praktis

keseharian. Dalam Ajaran Hindu, terdapat salah satu prinsip utama, yaitu harmoni

agama, yang merupakan perwujudan dari sifat kejujuran (satya) dan kesederhanaan

(ahimsa). Selanjutnya dapat dirujuk pada Osman Bakar et. al., Modul Pengajian Tamadun

Islam dan Tamadun Asia (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya), 86. Sedangkan

ihwal tragedi Bom Bali I (12 Oktober 2002) dan II (1 Oktober 2005) yang sempat

mengguncang Pulau Dewata, lebih disebabkan adanya teroris dan pengacau dari luar

Bali yang datang menyusup dan sengaja hendak merusak dinamika harmoni lintas

iman yang sudah terawat di sana. Mereka bukan penduduk setempat.

Para sejarawan dan pengamat agama di Indonesia, misalnya, menyaksikan peristiwa

langka pada 24 maret 1993, di mana saat itu umat Hindu di Bali merayakan hari raya

Nyepi yang bertepatan pula dengan hari raya Idul Fitri (Islam) 1314 hijriyah. Umat

Islam di sana rela berhari raya dan berpuasa dengan cara yang sederhana, tak keluar

rumah, tak membuat perayaan yang ramai, demi menghormati pemeluk Hindu.

Padahal kita tahu, saat itu kaum Muslim diperintahkan untuk keluar membagi zakat

fitrah, bersilaturrahmi, membaca takbir dan tahmid. Bahkan pada perayaan Hari Raya

Nyepi yang terbaru (tahun 2012) pun bertepatan dengan hari Jumat, Muslim di Bali

bersedia untuk salat Jumat di rumah saja dan tak pergi ke masjid beramai-ramai.

Demikian pula yang terjadi di Jawa. Sampai hari ini masyarakat Muslim di Kudus

(Jawa Tengah) tidak berani menyembelih sapi di daerah mereka sebagai tanda

toleransi bagi umat Hindu yang meyakini sapi sebagai makhluk suci. Konon, ini

adalah pusaka sejarah yang diwariskan Sunan Kudus untuk penghormatan terhadap

penganut agama lain (Hindu). Bahkan, menara masjid utama di kota Kudus didesain

khusus menyerupai menara kerajaan peninggalan Majapahit, sentrum daripada

peradaban Hindu di nusantara. Demikianlah gambaran harmoni antaragama Islam

dan Hindu di Indonesia yang sejuk dan damai. Lihat Jean Couteau et al., Bali Today:

Modernity (Jakarta: Gramedia, 2005), 106-107.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

Kondisi sosial-historis ini menunjukkan bahwa telah terjalin

perpaduan antaragama maupun antara agama dan tradisi-tradisi lokal di

nusantara. Fakta ini antara lain bisa ditelaah melalui paparan sejarah

yang menunjukkan betapa antara Islam dan Hindu telah lama

melakukan pertautan hubungan yang akrab.

Bali kemudian menjadi

tempat yang subur bagi tumbuh berkembangnya ajaran Hindu

disebabkan kondisi masyarakat Bali yang ramah terhadap pendatang

dan tidak suka kekerasan (anarkisme). Fenomena tersebut dianggap

cocok dengan karakter kelembutan orang Bali.

Munculnya sejumlah

gejala keagamaan yang kemudian disebut dengan istilah “sinkretisme”

tak lain adalah lanskap nyata dari adanya pluralitas agama dan budaya

yang sudah saling bertegur sapa di nusantara.

Umat Hindu Indonesia yang 95 persen tinggal di pulau Bali

secara praktis telah mengamalkan ajaran-ajaran kasih yang diwariskan

Penganut agama Hindu di Indonesia mayoritas berasal dan tinggal di pulau Bali.

Masyarakat Bali sendiri menganggap bahwa agama Hindu mereka agak berbeda

dengan Hindu di India. Hindu Bali dikenal lebih toleran, ramah, dan terbuka.

Sementara di India dikenal lebih fanatik dan keras. Sejarah membuktikan bagaimana

konflik antara umat Hindu dan Islam di wilayah anak benua Hindia yang sampai kini

belum kunjung reda. Perang kecurigaan serta kerusuhan komunal masih senantiasa

terjadi. Belum lagi konflik yang menlibatkan antara komunitas Hindu dan Sikh di

Punjab dan Delhi. Lihat Hasan Asykari, Dialog Spiritual Lintas Iman (Yogyakarta: LKiS,

2003), 168. Cukup banyak dijumpai perbedaan antara Hindu Bali dan Hindu India.

Salah satu anasir dijumpai oleh Slamet Muljana, yakni upacara ritual pemujaan arwah

leluhur. Ritual ini hanyalah khusus di kalangan umat Hindu Indonesia (Bali). Lihat

Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di

Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2009), 250. Sementara bukti perbedaan lain yang

diungkapkan oleh Michel Picard adalah ketidaksamaan sistem kasta. Menurut Picard,

hirarki kasta masyarakat Hindu di Bali yang melahirkan kelompok Brahmana, Satria,

dan Wesia, secara prinsipil tak sama dengan India. Lebih jauh. Lihat Michel Picard,

Bali, Cultural Tourism, and Touristic Culture (New York: Archipelago Press, 1996), 22.

Karakter ramah masyarakat Bali memungkinkan agama Hindu dengan cepat

mampu berkolaborasi dengan kearifan budaya lokal. Bila dibandingkan dengan

kondisi sosial antara komunitas Hindu dan Muslim di tempat-tempat lain, relasi

antara Hindu-Muslim di Bali relatif jauh lebih teduh dan damai. Sebagai contoh, di

Malaysia yang dihuni sekitar 10 persen penganut Hindu dan 60 persen Muslim, masih

seringkali dilanda konflik dan kasus lintas agama, khususnya antara Hindu dan Islam.

Lihat Berita Dunia-BBC News, “Pressure on Multi-Faith Malaysia”,

http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4965580.stm, 16 Mei 2006. Bahkan di

India, tempat asal dari agama ini juga mengalami konflik yang melibatkan sejumlah

agama (Hindu, Islam, dan Sikh) yang tak kunjung selesai hingga sekarang.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

oleh Mahatma Gandhi, tokoh panutan mereka. Dalam pandangan

mereka, kebenaran tertinggi (summum bonum) hanya bisa dicapai antara

lain dengan jalan menghormati kelompok lain dengan sikap saling

percaya serta bekerjasama tanpa dihinggapi rasa keakuan (egolesness)

dalam mewujudkan kerukunan yang damai. Di internal Hindu sendiri

amat banyak ditemui perbedaan dan keragaman dalam menjalankan

ritual. Namun itu bisa dipelihara sebagai kekayaan religius yang sejuk

dan tanpa pertentangan berarti. Kearifan dinamika internal inilah yang

dijadikan acuan masyarakat Hindu dalam menciptakan toleransi,

kerukunan, dan kerjasama antaragama dalam bingkai jagadhita,

masyarakat multikultural yang damai dan sejahtera. Dengan berbagai

keunikan dan karakteristiknya, relasi masyarakat beragama di Bali telah

memberikan teladan dan contoh yang teduh dan aplikatif bagi iklim

kehidupan lintas agama dalam lingkup yang luas.

Catatan Akhir

Beberapa kendala dan problematika di atas adalah sejumlah

permasalahan yang memayungi iklim kerukunan antaragama di

Indonesia. Barangkali tidak semua wilayah dan tempat memiliki

permasalahan yang serupa. Semua sangat bergantung kepada lokalitas

suatu wilayah serta kedewasaan masyarakat setempat dalam

menghadapi dan mengelolanya. Yang jelas, sebagai bagian dari kaum

beragama yang cinta terhadap kerukunan dan perdamaian, sejumlah

problema tersebut tak mesti disikapi dengan skeptis. Sebaliknya, ia

dapat kita baca sebagai celah peluang dan harapan untuk terus optimis

dalam mengatasi rintangan yang menghadang demi terciptanya tatanan

masyarakat lintas agama yang rukun, terbuka, dan harmonis.

Niscayalah bagi segenap insan beragama untuk tetap menjaga

keutuhan dan kerukunan hidup beragama. Masing-masing kita memiliki

tanggungjawab untuk menjadikan agama sebagai pengayom (all

embracing) yang mempunyai daya penggugah bagi semua manusia.

Tatkala harmonitas antaragama masih berhenti sebatas dalam bentuk

slogan, maka pada saat yang sama kita mestilah berkaca diri: jangan-

jangan memang ada something wrong dalam cara kita beragama selama ini.

Bukan hanya dugaan adanya kesalahan, namun dapat dipastikan bahwa

telah ada sesuatu yang keliru dalam khazanah kehidupan beragama kita.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

Sepatutnya kesalahan itu ditelusuri, diakui, dan selanjutnya diperbaiki

dan dicarikan solusi.

Sungguhpun diskursus hubungan lintas agama merupakan

wilayah yang peka, selamanya tetap tak menutup kemungkinan untuk

menghimpun perbedaan demi perbedaan yang ada menjadi sebuah

lingkaran keutuhan yang kokoh. Dengan potensi sophisticated dan magic-

nya, janganlah sentimen agama selalu dijadikan bara untuk membakar

para penganutnya menuju ke arah perbenturan-perbenturan sosial yang

negatif. Bahwa setiap agama memiliki banyak media dengan ragam

wacana di dalamnya, hal itulah semestinya disikapi sebagai kesempatan

terbaik untuk membuka dan menjalin dialog antaragama hingga apa

yang dinamakan “percakapan peradaban” benar-benar kongkret

terwujud dan bukan semata gagasan manis yang utopis.

Memang tidak sedikit di antara kita yang sulit menerima dan

mencerna perbedaan, apalagi menghargainya. Benda-benda anugerah

Allah yang beragam warna di muka bumi ini, seharusnya mengingatkan

kita agar selalu berlapang dada, terbuka, toleran dan saling menghargai

apapun perbedaan itu.

Keberagaman itulah yang sejatinya merupakan

tantangan bagi ikhtiar sosial bagi terbinanya perdamaian dan kerukunan

lintas keyakinan. Ketika ragam perbedaan itu kita syukuri, niscaya ia

akan menjelma rahmat yang nikmat dirasakan bersama.

Alangkah bijak apabila kita sudi untuk terus belajar dari dan

dalam menghadapi kegagalan. Tak terkecuali belajar dari langkah-

langkah dari tapak sejarah. Banyak yang bisa kita petik sebagai pelajaran

dari sejarah bangsa-bangsa di belahan manapun di dunia. Belajar dari

kegagalan negara dalam mengelola kepentingan agama di dalamnya.

Begitu pula sebaliknya. Pada tahun 1980-an bangsa Lebanon ditimpa

ketidakmampuan mengatasi persoalan akibat perubahan (perbedaan)

yang terjadi dalam lapisan demografi, ekonomi, dan (lebih-lebih)

keagamaan. Namun berbekal tekad dan kebersamaan, mereka bisa

belajar dan bangkit dari keterpurukan.

Melalui penyelesaian-

penyelesaian solutif, akhirnya mereka bisa stabil dan hingga sekarang

menjadi sebuah negara yang aman penuh kedamaian.

Yang krusial untuk disikapi saat ini adalah bagaimana membenahi

serta mempersegar penafsiran-penafsiran terhadap wujudnya pelbagai

Ummu Bella, “Warna Bermakna”, Sabili, 02-09-98, 72.

Azra, Islam, 148.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

khazanah perbedaan. Karena perbedaan adalah suatu hal yang dinamis

seiring laju sang waktu, maka untuk menyikapinya diperlukan tawaran

tafsir-tafsir baru yang lebih elegan, up to date dan segar. Pemahaman

yang rigid dan sekadar black and white akhirnya akan menjelma pigmen

buram sekaligus pengingkaran terhadap kesadaran plural: bahwa kita

memang diciptakan dalam dan untuk sebuah perbedaan dan

kemajemukan.

Apabila revisi dan redefinisi kesadaran serta pemahaman

keagamaan serta keberagamaan di antara kita tak kunjung diwujudkan,

maka gugatan terhadap visi ideologis kita yang mengaku makhluk

agamis ini akan terus-menerus menggema. Karena bagaimanapun,

lentera agama akan selalu berpendar menyala, manakala ajaran-

ajarannya terpatri subur di hati manusia. Dan hal itu akan tampak

ketika kedamaian telah melingkupi semesta dan perilaku-perilaku

anarkhi musnah hingga ke akarnya. Kalau tidak, maka tiada keliru apa

yang pernah dikhawatirkan oleh Bung Karno yang pernah menyatakan

bahwa “terhadap ajaran agama, kita kadang hanya bisa dikotori oleh

abu-abunya dan kita telah gagal menangkap nyala apinya”.

Daftar Rujukan

Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Ali, Mohammad Daud. Agama Islam. Jakarta: Koordinatoriat MKDU

UI, 1992.

Asykari, Hasan. Dialog Spiritual Lintas Iman. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Azra, Azyumardi. Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000.

Bakar, Osman et. al., Modul Pengajian Tamadun Islam dan Tamadun Asia.

Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya.

Bella, Ummu. “Warna Bermakna”, Sabili, 02-09-98, 72.

Berita Dunia-BBC News, “Pressure on Multi-Faith Malaysia”,

http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4965580.stm, 16 Mei

2006.

Couteau, Jean et al. Bali Today: Modernity. Jakarta: Gramedia, 2005.

Hartiningsih, Maria. Jurnalisme Damai Multikultural. Bogor: Makalah

Diklat Jurnalis Dakwah ICIP, 2005.

Hefner, Robert W. Islam Pasar Keadilan. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Soekarno, “Surat Islam Kesebelas Untuk Hassan”, Republika, 06-06-2002, 7.

Ali Hisyam dan Wan AliMembaca Tantangan

Jaiz, Hartono Ahmad. “Kewajiban Menerapkan Syariat Islam,

Membincang Kontroversi Islam Liberal”, Media Dakwah, Juni

2002.

Johnson, James Turner. Perang Suci atas Nama Tuhan dalam Tradisi Barat

dan Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Julianto, Irwan. Jika Ia Anak Kita: AIDS dan Jurnalisme Empati. Jakarta:

Penerbit Kompas, 2004.

Kompas, 09-02-2002, 3.

Kuntowijoyo. “Kaidah-kaidah Demokrasi”, Majalah Ummat, 14-10-96.

Machasin. Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an al-Qadli

Abdul Jabbar. Yogyakarta: LKiS, 2000.

Madjid, Nurcholish. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina,

1997.

-----. Perjalanan Religius Umroh dan Haji. Jakarta: Paramadina, 1997.

-----. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 1966.

Muis, A. “Pers Indonesia Sebagai Agent of Reform”, Kompas, 09

Februari 1999.

Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-

negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2009.

Picard, Michel. Bali, Cultural Tourism, and Touristic Culture. New York:

Archipelago Press, 1996.

Qodir, Zuly. Agama dalam Bayang-bayang Kekuasaan. Yogyakarta: Dian

dan Interfidei, 2001.

Sik, Je Dae. Gerakan-gerakan Keagamaan di Korea dan Indonesia di Awal

Abad 20: Studi Historis. Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985.

Sinaga, Pdt Martin. “Kristenisasi Sungguh-Sungguh Terjadi”,

Wawancara, Jawa Pos, Edisi 26-05-2002.

Soekarno. “Surat Islam Kesebelas Untuk Hassan”, Republika, 06-06-

2002.

Soekiman, Joko. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya di Jawa. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2000.

Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS,

2001.

Sumartana, Th. Dkk. Agama dan Negara: Perspektif Islam, Katolik, Hindu,

Buddha, Konghucu, dan Protestan. Yogyakarta: Dian dan Interfidei,

2002.

TeosofiVolume 5, Nomor 1, Juni 2015

3

Wales, Quaritch. The Making of Greater Indis: A Study of South East

Asia Culture Change”, Journal of the Royal Asiatic Society.

Cambridge: Cambridge University Press, 1948.

Zaini, KH. Wahid dkk. Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi.

Yogyakarta: LKiS, 1996.