Apa peran gereja dalam menghadapi kerusakan alam dan lingkungan

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gereja Harus Turut Ikut Merasa Bersalah Menyebabkan Krisis Ekologi

Sejarah zending di Indonesia, umumnya mencatat adanya suatu sikap bermusuhan dengan alam lingkungan. Hal ini didasarkan pada prinsip zending bahwa semua bentuk penyembahan agama suku serta media dan fasilitasnya (hutan, pohon dan air) adalah kafir, bertentangan dengan Allah maka harus dimusnahkan. Disini dimulailah proses desakralisasi alam oleh Gereja, yang membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang melampaui kuasa di dunia ini, di demostrasikan dengan menebang pohon besar yang diyakini masyarakat tradisional memiliki penghuni dan di anggap angker. Masalahnya, pohon menjadi korban sementara setan terus gentayangan. Hal ini mungkin juga dapat kita temukan dalam sejarah zending di tanah Batak dimana pada awalnya segala bentuk penyembahan berhala di musnahkan dan dianggap kafir oleh para Missionaris. Sehingga tidak jarang pargodungan di bangun ditempat-tempat yang dulu di anggap angker (Misalnya, bona ni hariara). Hal ini mungkin menunjukkan sikap yang arogan dari Gereja tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang.

Namun, pada saat sekarang ini mungkin kita tidak lagi pernah melihat Gereja membakar atau memusnahkan barang-barang yang dianggap kafir. Tetapi walaupun demikian sikap Gereja dari dulu sampai sekarang sepertinya tidak berbeda jauh. Gereja hanya memikirkan kepentinganya sendiri tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya. Saat ini Gereja hanya selalu berpikir untuk membangun gedung yang megah dilengkapi fasilitas yang serba lengkap. Tanpa memikirkan berapa besar sumber daya yang akan terbuang begitu saja. Begitu juga setiap gereja saat ini sudah ada kebiasaan mengcopy tata kebaktian dan warta jemaat untuk dibagikan kepada warga jemaat. Pengurus Gereja tidak berpikir bahwa untuk kertas yang digunakan setiap minggu itu sudah berapa batang pohon yang akan ditebang dari hutan. Mungkin itu hanya persoalan sepeleh yang tidak terpikirkan Gereja, namun akibatnya sudah sangat buruk bagi lingkungan.

Di masa lalu budaya suku termasuk budaya religiusnya mempunyai pemahaman yang baik mengenai alam sebagai saudara bagi manusia, bahkan kadang-kadang kita mendengar dari penduduk bahwa mereka bersaudara dengan alam. Namun kesadaran itu telah hilang dengan berkembangnya modernisasi, teknologi dan kepercayaan. Hutan lalu di anggap sebagai tempat roh jahat atau binatang buas yang membahayakan manusia, oleh karena itu manusia kemudian menebang hutan di sekitarnya supaya kelihatan tidak kumuh. Dan akhirnya hutan menjadi berkurang tanpa tujuan dan alasan yang jelas bagi manusia itu sendiri.

Gereja Dengan Pro-Kehidupan

           Panggilan Gereja dalam saat ini adalah membangun kesadaran warga jemaat bahwa kelestarian dan kesinambungan alam bukanlah sesuatu yang terjadi otomatis. Gereja harus mengingatkan warganya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikanya. Gereja harus menanamkan kesadaran bahwa kesadaran ekologi merupakan akibat langsung dari iman akan penciptaan, dan iman akan penciptaan merupakan akibat langsung dari iman kepada Allah sebagai pencipta. Manusia harus menghormati Sang Pencipta dengan menjaga kelestarian ciptaanNya, dan dengan demikian keutuhan dan kelestarian ciptaan menjadi berkat bagi semua yang hidup.

            Visi agama-agama harus menekankan makna dan nilai kosmos bagi manusia. Manusia bukan tuan atau penguasa dunia, melainkan manusia adalah penjaga kosmos. Dunia atau kosmos merupakan ciptaan dan hadiah (anugerah) dari Allah bagi manusia. Manusia harus menjaga keutuhan atau keharmonisan relasi antara pelbagai elemen dalam dunia. Lingkungan hidup merupakan penyangga perikehidupan yang amat penting. Oleh karena itu kita harus mempertahankan keberadaanya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan usaha pemeliharaan keseimbangan alam yang terus-menerus.

            Dewasa ini mungkin kita sudah mulai melihat adanya sikap gereja yang lebih baik dalam menyikapi krisis ekologi. Gereja-gereja saat ini sudah mulai serius membahas tentang krisis lingkungan hidup yang terjadi. Misalnya, dalam masalah Indorayaon atau TPL (Toba Pulp Lestari), HKBP sudah tegas dengan sikapnya. J. R. H sewaktu menjabat Ephorus dengan tegas mengatakan, apabila Indorayon memang terbukti merusak lingkungan dan kesehatan sebaiknya harus ditutup. Dan apabila pihak Indorayon sudah melakukan penanganan limbah yng benar dan tidak lagi merugikan masyarakat dan lingkungan, HKBP mendukung supaya Indorayon tetap beroperasi.

            Bahkan salah satu Pendeta HKBP (MS) harus mendekam di penjara karena bersama masyarakat menyuarakan Indorayon harus ditutup karena merugikan bagi masyarakat sekitarnya dan merusak lingkungan. Militansi perjuangan pemimpin agama yang di perlihatkan MS bersama istrinya Pendeta SS, serta Uztad MG yang saat itu mendekam di penjara Tarutung. Pendeta MS yang saat itu bertugas di Parhitean di hukum 1 tahun 6 bulan. Sementara Pendeta SS, yang bertugas di Huta Nagatimbul, dihukum enam bulan. Uztad MG (77), seorang tokoh Muslim di daerah itu, di hukum penjara 2 tahun 3 bulan. Bersama 13 orang penduduk yang lain, mereka di penjarakan karena di tuduh merusak Kantor Camat Porsea dan menghasut massa pada November 2002.

            Disamping sikap di atas memang sudah banyak kita lihat upaya-upaya Gereja untuk mengatasi krisis ekologi, demikian juga halnya dengan persekutuan-persekutuan oikumenis (JPIC: Justice Peace Integrity of Creation). Dalam beberapa tahun terakhir ini kita melihat Gereja-gereja sudah banyak membicarakan tentang teologi dan ekologi. Bahkan tidak jarang gereja turun langsung untuk melakukan penghijauan di beberapa lokasi yang sudah gundul. Namun, sikap demikian tidak akan berjalan optimal apabila hal itu tidak dengan secepatnya di sosialisasikan dan di lakukan di kalangan jemaat itu sendiri. Gereja saat ini terpanggil untuk pro kehidupan, dan lingkungan gereja harus menjadi panutan penghijauan bagi jemaatnya.


Page 2

Gereja Harus Turut Ikut Merasa Bersalah Menyebabkan Krisis Ekologi

Sejarah zending di Indonesia, umumnya mencatat adanya suatu sikap bermusuhan dengan alam lingkungan. Hal ini didasarkan pada prinsip zending bahwa semua bentuk penyembahan agama suku serta media dan fasilitasnya (hutan, pohon dan air) adalah kafir, bertentangan dengan Allah maka harus dimusnahkan. Disini dimulailah proses desakralisasi alam oleh Gereja, yang membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang melampaui kuasa di dunia ini, di demostrasikan dengan menebang pohon besar yang diyakini masyarakat tradisional memiliki penghuni dan di anggap angker. Masalahnya, pohon menjadi korban sementara setan terus gentayangan. Hal ini mungkin juga dapat kita temukan dalam sejarah zending di tanah Batak dimana pada awalnya segala bentuk penyembahan berhala di musnahkan dan dianggap kafir oleh para Missionaris. Sehingga tidak jarang pargodungan di bangun ditempat-tempat yang dulu di anggap angker (Misalnya, bona ni hariara). Hal ini mungkin menunjukkan sikap yang arogan dari Gereja tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang.

Namun, pada saat sekarang ini mungkin kita tidak lagi pernah melihat Gereja membakar atau memusnahkan barang-barang yang dianggap kafir. Tetapi walaupun demikian sikap Gereja dari dulu sampai sekarang sepertinya tidak berbeda jauh. Gereja hanya memikirkan kepentinganya sendiri tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya. Saat ini Gereja hanya selalu berpikir untuk membangun gedung yang megah dilengkapi fasilitas yang serba lengkap. Tanpa memikirkan berapa besar sumber daya yang akan terbuang begitu saja. Begitu juga setiap gereja saat ini sudah ada kebiasaan mengcopy tata kebaktian dan warta jemaat untuk dibagikan kepada warga jemaat. Pengurus Gereja tidak berpikir bahwa untuk kertas yang digunakan setiap minggu itu sudah berapa batang pohon yang akan ditebang dari hutan. Mungkin itu hanya persoalan sepeleh yang tidak terpikirkan Gereja, namun akibatnya sudah sangat buruk bagi lingkungan.

Di masa lalu budaya suku termasuk budaya religiusnya mempunyai pemahaman yang baik mengenai alam sebagai saudara bagi manusia, bahkan kadang-kadang kita mendengar dari penduduk bahwa mereka bersaudara dengan alam. Namun kesadaran itu telah hilang dengan berkembangnya modernisasi, teknologi dan kepercayaan. Hutan lalu di anggap sebagai tempat roh jahat atau binatang buas yang membahayakan manusia, oleh karena itu manusia kemudian menebang hutan di sekitarnya supaya kelihatan tidak kumuh. Dan akhirnya hutan menjadi berkurang tanpa tujuan dan alasan yang jelas bagi manusia itu sendiri.

Gereja Dengan Pro-Kehidupan

           Panggilan Gereja dalam saat ini adalah membangun kesadaran warga jemaat bahwa kelestarian dan kesinambungan alam bukanlah sesuatu yang terjadi otomatis. Gereja harus mengingatkan warganya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikanya. Gereja harus menanamkan kesadaran bahwa kesadaran ekologi merupakan akibat langsung dari iman akan penciptaan, dan iman akan penciptaan merupakan akibat langsung dari iman kepada Allah sebagai pencipta. Manusia harus menghormati Sang Pencipta dengan menjaga kelestarian ciptaanNya, dan dengan demikian keutuhan dan kelestarian ciptaan menjadi berkat bagi semua yang hidup.

            Visi agama-agama harus menekankan makna dan nilai kosmos bagi manusia. Manusia bukan tuan atau penguasa dunia, melainkan manusia adalah penjaga kosmos. Dunia atau kosmos merupakan ciptaan dan hadiah (anugerah) dari Allah bagi manusia. Manusia harus menjaga keutuhan atau keharmonisan relasi antara pelbagai elemen dalam dunia. Lingkungan hidup merupakan penyangga perikehidupan yang amat penting. Oleh karena itu kita harus mempertahankan keberadaanya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan usaha pemeliharaan keseimbangan alam yang terus-menerus.

            Dewasa ini mungkin kita sudah mulai melihat adanya sikap gereja yang lebih baik dalam menyikapi krisis ekologi. Gereja-gereja saat ini sudah mulai serius membahas tentang krisis lingkungan hidup yang terjadi. Misalnya, dalam masalah Indorayaon atau TPL (Toba Pulp Lestari), HKBP sudah tegas dengan sikapnya. J. R. H sewaktu menjabat Ephorus dengan tegas mengatakan, apabila Indorayon memang terbukti merusak lingkungan dan kesehatan sebaiknya harus ditutup. Dan apabila pihak Indorayon sudah melakukan penanganan limbah yng benar dan tidak lagi merugikan masyarakat dan lingkungan, HKBP mendukung supaya Indorayon tetap beroperasi.

            Bahkan salah satu Pendeta HKBP (MS) harus mendekam di penjara karena bersama masyarakat menyuarakan Indorayon harus ditutup karena merugikan bagi masyarakat sekitarnya dan merusak lingkungan. Militansi perjuangan pemimpin agama yang di perlihatkan MS bersama istrinya Pendeta SS, serta Uztad MG yang saat itu mendekam di penjara Tarutung. Pendeta MS yang saat itu bertugas di Parhitean di hukum 1 tahun 6 bulan. Sementara Pendeta SS, yang bertugas di Huta Nagatimbul, dihukum enam bulan. Uztad MG (77), seorang tokoh Muslim di daerah itu, di hukum penjara 2 tahun 3 bulan. Bersama 13 orang penduduk yang lain, mereka di penjarakan karena di tuduh merusak Kantor Camat Porsea dan menghasut massa pada November 2002.

            Disamping sikap di atas memang sudah banyak kita lihat upaya-upaya Gereja untuk mengatasi krisis ekologi, demikian juga halnya dengan persekutuan-persekutuan oikumenis (JPIC: Justice Peace Integrity of Creation). Dalam beberapa tahun terakhir ini kita melihat Gereja-gereja sudah banyak membicarakan tentang teologi dan ekologi. Bahkan tidak jarang gereja turun langsung untuk melakukan penghijauan di beberapa lokasi yang sudah gundul. Namun, sikap demikian tidak akan berjalan optimal apabila hal itu tidak dengan secepatnya di sosialisasikan dan di lakukan di kalangan jemaat itu sendiri. Gereja saat ini terpanggil untuk pro kehidupan, dan lingkungan gereja harus menjadi panutan penghijauan bagi jemaatnya.


Apa peran gereja dalam menghadapi kerusakan alam dan lingkungan

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 3

Gereja Harus Turut Ikut Merasa Bersalah Menyebabkan Krisis Ekologi

Sejarah zending di Indonesia, umumnya mencatat adanya suatu sikap bermusuhan dengan alam lingkungan. Hal ini didasarkan pada prinsip zending bahwa semua bentuk penyembahan agama suku serta media dan fasilitasnya (hutan, pohon dan air) adalah kafir, bertentangan dengan Allah maka harus dimusnahkan. Disini dimulailah proses desakralisasi alam oleh Gereja, yang membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang melampaui kuasa di dunia ini, di demostrasikan dengan menebang pohon besar yang diyakini masyarakat tradisional memiliki penghuni dan di anggap angker. Masalahnya, pohon menjadi korban sementara setan terus gentayangan. Hal ini mungkin juga dapat kita temukan dalam sejarah zending di tanah Batak dimana pada awalnya segala bentuk penyembahan berhala di musnahkan dan dianggap kafir oleh para Missionaris. Sehingga tidak jarang pargodungan di bangun ditempat-tempat yang dulu di anggap angker (Misalnya, bona ni hariara). Hal ini mungkin menunjukkan sikap yang arogan dari Gereja tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang.

Namun, pada saat sekarang ini mungkin kita tidak lagi pernah melihat Gereja membakar atau memusnahkan barang-barang yang dianggap kafir. Tetapi walaupun demikian sikap Gereja dari dulu sampai sekarang sepertinya tidak berbeda jauh. Gereja hanya memikirkan kepentinganya sendiri tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya. Saat ini Gereja hanya selalu berpikir untuk membangun gedung yang megah dilengkapi fasilitas yang serba lengkap. Tanpa memikirkan berapa besar sumber daya yang akan terbuang begitu saja. Begitu juga setiap gereja saat ini sudah ada kebiasaan mengcopy tata kebaktian dan warta jemaat untuk dibagikan kepada warga jemaat. Pengurus Gereja tidak berpikir bahwa untuk kertas yang digunakan setiap minggu itu sudah berapa batang pohon yang akan ditebang dari hutan. Mungkin itu hanya persoalan sepeleh yang tidak terpikirkan Gereja, namun akibatnya sudah sangat buruk bagi lingkungan.

Di masa lalu budaya suku termasuk budaya religiusnya mempunyai pemahaman yang baik mengenai alam sebagai saudara bagi manusia, bahkan kadang-kadang kita mendengar dari penduduk bahwa mereka bersaudara dengan alam. Namun kesadaran itu telah hilang dengan berkembangnya modernisasi, teknologi dan kepercayaan. Hutan lalu di anggap sebagai tempat roh jahat atau binatang buas yang membahayakan manusia, oleh karena itu manusia kemudian menebang hutan di sekitarnya supaya kelihatan tidak kumuh. Dan akhirnya hutan menjadi berkurang tanpa tujuan dan alasan yang jelas bagi manusia itu sendiri.

Gereja Dengan Pro-Kehidupan

           Panggilan Gereja dalam saat ini adalah membangun kesadaran warga jemaat bahwa kelestarian dan kesinambungan alam bukanlah sesuatu yang terjadi otomatis. Gereja harus mengingatkan warganya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikanya. Gereja harus menanamkan kesadaran bahwa kesadaran ekologi merupakan akibat langsung dari iman akan penciptaan, dan iman akan penciptaan merupakan akibat langsung dari iman kepada Allah sebagai pencipta. Manusia harus menghormati Sang Pencipta dengan menjaga kelestarian ciptaanNya, dan dengan demikian keutuhan dan kelestarian ciptaan menjadi berkat bagi semua yang hidup.

            Visi agama-agama harus menekankan makna dan nilai kosmos bagi manusia. Manusia bukan tuan atau penguasa dunia, melainkan manusia adalah penjaga kosmos. Dunia atau kosmos merupakan ciptaan dan hadiah (anugerah) dari Allah bagi manusia. Manusia harus menjaga keutuhan atau keharmonisan relasi antara pelbagai elemen dalam dunia. Lingkungan hidup merupakan penyangga perikehidupan yang amat penting. Oleh karena itu kita harus mempertahankan keberadaanya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan usaha pemeliharaan keseimbangan alam yang terus-menerus.

            Dewasa ini mungkin kita sudah mulai melihat adanya sikap gereja yang lebih baik dalam menyikapi krisis ekologi. Gereja-gereja saat ini sudah mulai serius membahas tentang krisis lingkungan hidup yang terjadi. Misalnya, dalam masalah Indorayaon atau TPL (Toba Pulp Lestari), HKBP sudah tegas dengan sikapnya. J. R. H sewaktu menjabat Ephorus dengan tegas mengatakan, apabila Indorayon memang terbukti merusak lingkungan dan kesehatan sebaiknya harus ditutup. Dan apabila pihak Indorayon sudah melakukan penanganan limbah yng benar dan tidak lagi merugikan masyarakat dan lingkungan, HKBP mendukung supaya Indorayon tetap beroperasi.

            Bahkan salah satu Pendeta HKBP (MS) harus mendekam di penjara karena bersama masyarakat menyuarakan Indorayon harus ditutup karena merugikan bagi masyarakat sekitarnya dan merusak lingkungan. Militansi perjuangan pemimpin agama yang di perlihatkan MS bersama istrinya Pendeta SS, serta Uztad MG yang saat itu mendekam di penjara Tarutung. Pendeta MS yang saat itu bertugas di Parhitean di hukum 1 tahun 6 bulan. Sementara Pendeta SS, yang bertugas di Huta Nagatimbul, dihukum enam bulan. Uztad MG (77), seorang tokoh Muslim di daerah itu, di hukum penjara 2 tahun 3 bulan. Bersama 13 orang penduduk yang lain, mereka di penjarakan karena di tuduh merusak Kantor Camat Porsea dan menghasut massa pada November 2002.

            Disamping sikap di atas memang sudah banyak kita lihat upaya-upaya Gereja untuk mengatasi krisis ekologi, demikian juga halnya dengan persekutuan-persekutuan oikumenis (JPIC: Justice Peace Integrity of Creation). Dalam beberapa tahun terakhir ini kita melihat Gereja-gereja sudah banyak membicarakan tentang teologi dan ekologi. Bahkan tidak jarang gereja turun langsung untuk melakukan penghijauan di beberapa lokasi yang sudah gundul. Namun, sikap demikian tidak akan berjalan optimal apabila hal itu tidak dengan secepatnya di sosialisasikan dan di lakukan di kalangan jemaat itu sendiri. Gereja saat ini terpanggil untuk pro kehidupan, dan lingkungan gereja harus menjadi panutan penghijauan bagi jemaatnya.


Apa peran gereja dalam menghadapi kerusakan alam dan lingkungan

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 4

Gereja Harus Turut Ikut Merasa Bersalah Menyebabkan Krisis Ekologi

Sejarah zending di Indonesia, umumnya mencatat adanya suatu sikap bermusuhan dengan alam lingkungan. Hal ini didasarkan pada prinsip zending bahwa semua bentuk penyembahan agama suku serta media dan fasilitasnya (hutan, pohon dan air) adalah kafir, bertentangan dengan Allah maka harus dimusnahkan. Disini dimulailah proses desakralisasi alam oleh Gereja, yang membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang melampaui kuasa di dunia ini, di demostrasikan dengan menebang pohon besar yang diyakini masyarakat tradisional memiliki penghuni dan di anggap angker. Masalahnya, pohon menjadi korban sementara setan terus gentayangan. Hal ini mungkin juga dapat kita temukan dalam sejarah zending di tanah Batak dimana pada awalnya segala bentuk penyembahan berhala di musnahkan dan dianggap kafir oleh para Missionaris. Sehingga tidak jarang pargodungan di bangun ditempat-tempat yang dulu di anggap angker (Misalnya, bona ni hariara). Hal ini mungkin menunjukkan sikap yang arogan dari Gereja tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang.

Namun, pada saat sekarang ini mungkin kita tidak lagi pernah melihat Gereja membakar atau memusnahkan barang-barang yang dianggap kafir. Tetapi walaupun demikian sikap Gereja dari dulu sampai sekarang sepertinya tidak berbeda jauh. Gereja hanya memikirkan kepentinganya sendiri tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya. Saat ini Gereja hanya selalu berpikir untuk membangun gedung yang megah dilengkapi fasilitas yang serba lengkap. Tanpa memikirkan berapa besar sumber daya yang akan terbuang begitu saja. Begitu juga setiap gereja saat ini sudah ada kebiasaan mengcopy tata kebaktian dan warta jemaat untuk dibagikan kepada warga jemaat. Pengurus Gereja tidak berpikir bahwa untuk kertas yang digunakan setiap minggu itu sudah berapa batang pohon yang akan ditebang dari hutan. Mungkin itu hanya persoalan sepeleh yang tidak terpikirkan Gereja, namun akibatnya sudah sangat buruk bagi lingkungan.

Di masa lalu budaya suku termasuk budaya religiusnya mempunyai pemahaman yang baik mengenai alam sebagai saudara bagi manusia, bahkan kadang-kadang kita mendengar dari penduduk bahwa mereka bersaudara dengan alam. Namun kesadaran itu telah hilang dengan berkembangnya modernisasi, teknologi dan kepercayaan. Hutan lalu di anggap sebagai tempat roh jahat atau binatang buas yang membahayakan manusia, oleh karena itu manusia kemudian menebang hutan di sekitarnya supaya kelihatan tidak kumuh. Dan akhirnya hutan menjadi berkurang tanpa tujuan dan alasan yang jelas bagi manusia itu sendiri.

Gereja Dengan Pro-Kehidupan

           Panggilan Gereja dalam saat ini adalah membangun kesadaran warga jemaat bahwa kelestarian dan kesinambungan alam bukanlah sesuatu yang terjadi otomatis. Gereja harus mengingatkan warganya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikanya. Gereja harus menanamkan kesadaran bahwa kesadaran ekologi merupakan akibat langsung dari iman akan penciptaan, dan iman akan penciptaan merupakan akibat langsung dari iman kepada Allah sebagai pencipta. Manusia harus menghormati Sang Pencipta dengan menjaga kelestarian ciptaanNya, dan dengan demikian keutuhan dan kelestarian ciptaan menjadi berkat bagi semua yang hidup.

            Visi agama-agama harus menekankan makna dan nilai kosmos bagi manusia. Manusia bukan tuan atau penguasa dunia, melainkan manusia adalah penjaga kosmos. Dunia atau kosmos merupakan ciptaan dan hadiah (anugerah) dari Allah bagi manusia. Manusia harus menjaga keutuhan atau keharmonisan relasi antara pelbagai elemen dalam dunia. Lingkungan hidup merupakan penyangga perikehidupan yang amat penting. Oleh karena itu kita harus mempertahankan keberadaanya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan usaha pemeliharaan keseimbangan alam yang terus-menerus.

            Dewasa ini mungkin kita sudah mulai melihat adanya sikap gereja yang lebih baik dalam menyikapi krisis ekologi. Gereja-gereja saat ini sudah mulai serius membahas tentang krisis lingkungan hidup yang terjadi. Misalnya, dalam masalah Indorayaon atau TPL (Toba Pulp Lestari), HKBP sudah tegas dengan sikapnya. J. R. H sewaktu menjabat Ephorus dengan tegas mengatakan, apabila Indorayon memang terbukti merusak lingkungan dan kesehatan sebaiknya harus ditutup. Dan apabila pihak Indorayon sudah melakukan penanganan limbah yng benar dan tidak lagi merugikan masyarakat dan lingkungan, HKBP mendukung supaya Indorayon tetap beroperasi.

            Bahkan salah satu Pendeta HKBP (MS) harus mendekam di penjara karena bersama masyarakat menyuarakan Indorayon harus ditutup karena merugikan bagi masyarakat sekitarnya dan merusak lingkungan. Militansi perjuangan pemimpin agama yang di perlihatkan MS bersama istrinya Pendeta SS, serta Uztad MG yang saat itu mendekam di penjara Tarutung. Pendeta MS yang saat itu bertugas di Parhitean di hukum 1 tahun 6 bulan. Sementara Pendeta SS, yang bertugas di Huta Nagatimbul, dihukum enam bulan. Uztad MG (77), seorang tokoh Muslim di daerah itu, di hukum penjara 2 tahun 3 bulan. Bersama 13 orang penduduk yang lain, mereka di penjarakan karena di tuduh merusak Kantor Camat Porsea dan menghasut massa pada November 2002.

            Disamping sikap di atas memang sudah banyak kita lihat upaya-upaya Gereja untuk mengatasi krisis ekologi, demikian juga halnya dengan persekutuan-persekutuan oikumenis (JPIC: Justice Peace Integrity of Creation). Dalam beberapa tahun terakhir ini kita melihat Gereja-gereja sudah banyak membicarakan tentang teologi dan ekologi. Bahkan tidak jarang gereja turun langsung untuk melakukan penghijauan di beberapa lokasi yang sudah gundul. Namun, sikap demikian tidak akan berjalan optimal apabila hal itu tidak dengan secepatnya di sosialisasikan dan di lakukan di kalangan jemaat itu sendiri. Gereja saat ini terpanggil untuk pro kehidupan, dan lingkungan gereja harus menjadi panutan penghijauan bagi jemaatnya.


Apa peran gereja dalam menghadapi kerusakan alam dan lingkungan

Lihat Humaniora Selengkapnya