Apa fungsi kontrol sosial untuk organisasi pemerintah

TIMESINDONESIA, MALANG – ‘To be a good governance’ adalah tantangan global bagi tata kelola pemerintahan di seluruh wilayah di dunia ini. Adanya paradigm bahwa setiap pemangku kepentingan dapat dapat melaksanakan segala aktivitas, interaksi dan partisipasi sesuai fungsi dan peranan masing-masing dalam pemerintahan menjadi sangatlah penting. 

Generasi muda sebagai sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, kreatifitas dan daya inovatis memiliki peran yang cukup penting dalam keikutsertaan dan pelaksanaan fungsi pemerintahan. Tanpa generasi muda pembangunan akan kehilangan kemampuannya menuju perubahan dan arah yanglebih baik. esuai dengan Undang-Undang No.40 (Pasal-7) Tahun 2009 tentang ‘Kepemudaan’, yang di dalamnya menyatakan Pemerintah Daerah diharuskan memberikan pelayanan terhadap kepemudaan dengan tujuan yang dapat mengarahkan mereka berkontribusi pada pembangunan. Dalam diri setiap pemuda dipundaknya harus ditumbuhkan kesadaran akan masa depan bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.

Kabupaten Bojonegoro yang dipimpin oleh Bupati Ana Muawanah dan Wakil Bupati Budi Irwantoro masa periode 2018-2022, sejak awal kepemimpinannya telah diwarnai dengan demo masyarakat. Khususnya tuntutan masyarakat terhadap 17 (Tujuh Belas) program prioritas sebagai janji politik yang telah disampaikan pada masa kampanye PILKADA tahun 2018. Meskipun tidak ada kewajiban yang mengikat secara hukum Bupati dan Wakil Bupati terpilih untuk merealisasikan janji politik tersebut, namun masyarakat mensikapi secara pandangan moral bahwa janji tentunya adalah hutang yang harus dipenuhi, sebagaimana pemahaman mayoritas masyarakat muslim di Bojonegoro. Hal ini tidak lepas dalam pandangan Generasi Muda Bojonegoro khususnya mereka yang tergabung dalam aktivis OMEK (Organisasi Mahasiswa Eksternal Kampus) di Bojonegoro yang menyampaikan aspirasi masyarakat Bojonegoro melalui aksi audiensi, mediasi, orasi dan demonstrasi yang dilakukan dalam melaksanakan pengawalan realisasi program-program Pemerintahan Daerah dilaksanakan secara intens hingga sekarang.

Hal inilah yang membuat Susilawati, salah satu mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat isu tersebut menjadi sebuah penelitian disertasi dengan fokus pada seberapa besar partisipasidan makna keikutsertaan generasi muda dalam melaksanakan fungsi control sosial atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.

Penelitian yang dilaksanakan di Bojonegoro ini berhasil dipertahankan dalam Ujian Promosi Doktor yang dilaksanakan pada 30 Desember 2021 secara daring.

Mahasiswa yang akrab dipanggil bu Susi ini menjelaskan dirinya menjadikan OMEK sebagai subjek penelitiannya karena jajaran pada organisasi ini memimpin hampir setiap aksi partisipasi OMEK dalam melaksanakan fungsi kontrol sosialnya atas penyelenggaraan Pemerintahan Bojonegoro, dari PMII, IMM, HMI dan GMNI, Dinas terkait serta Infokom Bojonegoro.”Hal ini yang membuat saya tertarik untuk menjadikannya sebagai subjek penelitian saya” ujar Susi.

Tingkat Partisipasi Generasi Muda

Susi juga menjelaskan dalam temuannya bahwa tingkat partisipasi para geneari muda ini memiliki tingkatan yang bebeda mulai dari partisipasi yang lemah sampai dengan partisipasi yang memiliki pengaruh yang kuat dan diberi istilah partisipasi Netral-aktif dimana pada tingkat ini diwakili oleh OMEK GMNI, selanjutnya pada tingkatan Pro-Aktif dimana pada tingkat partisipasi ini diwakili oleh OMEK dari IMM, dan yang terakhir adalah tingkatan Kontra-Aktif yang pada tingkat ini diisi oleh OMEK dari PMII.

Menggunakan teori dari Blumer, Susi mendapatkan temuan bahwa Omek PMII menyatakan bahwa bentuk partisipasi yang mereka lakukan sebagai wujud beban tanggung jawab dan rasa hormat kami terhadap semua pihak. Pernyataan lainnya dari IMM menyatakan bahwa bentuk partisipasi yang mereka lakukan sebagai wujud proses pembelajaran bagi diri sendiri dan semua pihak yang bersinggungan.

HMI, menyatakan bahwa bentuk partisipasi yang mereka lakukan sebagai wujud rasa cinta kami terhadap Bojonegoro. Dan pihak dari GMNI menyatakan bahwa bentuk partisipasi yang mereka lakukan sebagai wujud kebersamaan dan solidaritas kami terhadap semua pihak.

Generasi Muda Sebagai Kontrol Sosial

Generasi muda sebagai kontrol sosial dalam pelaksanaan pemerintahan di Bojonegoro digambarkan oleh susi dalam bentuk pemaknaan pemikiran, dimana OMEK PMII memaknai bahwa bentuk partisipasi mereka “Penting sekali untuk instrospeksi diri, dengan membuka diri kita untuk orang lain, siapapun diri kita”. Sedangkan OMEK IMM memaknai bahwa partisipasi mereka ini sebagai seruan agar dewasalah dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Omek HMI juga menyatakan agar fahamilah diri sendiri terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya agar dapat memahasi orang lain dengan baik. Lalu OMEK GMNI menyatakan bahawa jangan pernah mengesampingkan hal kecil, Karena yang besar berawal dari hal yang kecil.

Kesimpulan yang ditarik oleh Susi dalam hal ini adalah artisipasi Generasi Muda (OMEK) PMII yang Kontra-Aktif, OMEK IMM yang Kontra-Semi-Aktif, OMEK HMI yang Pro-Aktif dan OMEK GMNI yang Netral-Aktif, menempati jenjang/tangga ketiga ‘Informing’, keempat ‘Consultation’, dan tangga teratas pada jenjang/tangga kedelapan ‘Citizen Control’ meskipun belum secara totalitas, yaitu hanya tahap akhir (tahap evaluasi program) dalam citizen control. Partisipasi Generasi Muda (OMEK) PMII yang Kontra-Aktif, OMEK IMM yang Kontra-Semi-Aktif, menempati jenjang/tangga kelima ‘Placation’.

Partisipasi Generasi Muda (OMEK) HMI yang Pro-Aktif, secara khusus menempati tangga/jenjang keempat ‘Consultation’ secara mandiri yang dalam partisipasinya terdapat special consultation.
Melalui penelitian ini Susi berharap agar Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro dapat memberikan kewenangan kepada komunitas masyarakat di Bojonegoro untuk turut serta berpartisipasi secara aktif dan nyata dalam setiap program pembangunan di Bojonegoro, hal ini dilakukan dalam rangka mengakomodir masyarakat dalam wadah partisipasi secara nyata.

Menghimbau Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro agar tidak bertahan hanya mendiamkan generasi muda (OMEK) dalam sikap yang KONTRA-AKTIF, KONTRA-SEMI-AKTIF, PRO-AKTIF Dan NETRAL-AKTIF, hanya untuk sekedar menyejukkan hati, melainkan lebih terbuka untuk menerima masukan dan menjadikan suara mereka sebagai media memahami masyarakat dan mengaplikasikannya dalam setiap program-program untuk masyarakat.

Tak hanya kepada pemerintah Bojonegoro, Susi juga menyampaikan himbauannya kepada para generasi muda agar dalam melaksanakan fungsi kontrol sosial atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bojonegoro, murni atas aspirasi mereka dan masyarakat, sehingga tetap dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemurnian perjuangan untuk masyarakat luas, dan bukan karena ada kepentingan lain yang menjadi bayangan atas perjuangannya.

Polhukam, Bandung – Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur (Sesdep Bidkoor Kominfotur) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Oka Prawira menyampaikan bahwa di era globalisasi, media massa telah menjadi alat kontrol sosial dan pilar keempat demokrasi dimana kebebasan pers digunakan sebagai alat ukur untuk melihat demokratisasi sebuah negara.

“Media yang netral berarti media yang bergerak secara independen, kredibel, dan mandiri dalam menjalankan tugas jurnalistiknya sehingga masyarakat tidak tertipu terhadap fakta yang sebenarnya terjadi,” kata Oka mewakili Deputi Bidkor Kominfotur pada kegiatan Fullboard Penyelarasan Program Kemenko Polhukam Dengan Dewan Pers dan Peningkatan Sistem Pelaksanaan Pers Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di Bandung, Rabu (20/11/2019).

Apa fungsi kontrol sosial untuk organisasi pemerintah

Oka mengatakan tugas media haruslah sesuai koridornya sebagai penyampai informasi kepada publik yang diharapkan tidak menyeleweng dari fungsinya sebagai agen demokrasi. Fungsi ini memaksa media untuk tidak memelintir berita guna kepentingan tersendiri. Media sebagai agen sosialisasi informasi bagi masyarakat dituntut untuk mengedepankan profesionalisme dan idealisme, karena tanpa itu media akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

“Dewan pers selaku pemangku kepentingan media massa di Indonesia perlu mengefektifkan poin kode etik yang menekankan pada pemberitaan yang jujur dan tanpa memihak. Aturan yang telah dibuat diharapkan lebih maksimal implementasinya dan pengenaan hukuman bagi pelanggar tidak tebang pilih,” kata Oka.

Dari sisi pemerintah, dirinya menyampaikan perlu adanya penambahan regulasi yang membuat media lebih profesional dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Karenanya, Oka menyampaikan, Kedeputian Bidkoor Kominfotur yang salah satu program kerjanya berhubungan langsung dengan Dewan Pers perlu kembali menegaskan peran pers dalam rangka menjamin kemerdekaan pers dan untuk memenuhi hak masyarakat mendapatkan informasi yang berkualitas dan adil, salah satunya tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 6 Butir a yaitu “Pers nasional melaksanakan peranannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui”.

“Tujuan pelaksanaan fullboard ini adalah sebagai bentuk akuntabilitas instansi pemerintah atas pelaksanaan kinerja dalam mendorong terciptanya kualitas kerjasama antara Kemenko Polhukam (instansi pemerintah) dengan Dewan Pers yang optimal sehingga dapat menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan terpercaya serta melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan,” jelas Oka.

Baca juga:  Menteri Luhut: Situasi Keamanan Jelang Lebaran Terkendali

Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Koordinasi Informasi Publik dan Media Massa Muztahidin menyampaikan bahwa Kemenko Polhukam bersama Dewan Pers terus bersinergi meningkatkan dan mengembangkan kualitas jurnalis melalui sertifikasi serta melindungi kehidupan pers di Iindonesia.

Muztahidin juga mengatakan bahwa dunia jurnalistik Indonesia harus mengacu kepada 4 azas kode etik jurnalistik yaitu azas demokratis dimana wartawan Indonesia harus melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Kedua adalah azas profesionalitas yang mengharuskan wartawan Indonesia menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. Ketiga, azas moralitas dimana wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesinya atau tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender. Terakhir adalah azas supremasi hukum yang berarti wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.

“Oleh karena itu, Uji Kompetensi Wartawan atau UKW yang selama ini diselenggarakan oleh Dewan Pers bakal diselaraskan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia atau KKNI yang dimiliki oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi,” ungkap Muztahidin.

Biro Hukum, Persidangan, dan Hubungan Kelembagaan Kemenko Polhukam RI

Terkait