Apa dasar islam menyebut agama lain lebih buruk

Oleh : Qonitah Cahyaning Tyas

  • Asal Usul Fundamentalisme

Fundamentalisme merupakan istilah yang muncul pertama kali di Amerika Serikat. Tetapi, jika dalam berbagai kamus, istilah fundamentalisme baru ditemukan . Istilah fundamentalisme ditemukan dalam Kamus Kecil Petite Larousse Encyclopedique edisi tahun 1966 dan pengertiannya sangat umum sekali, yakni “Sikap orang-orang yang menolak penyesuaian kepercayaan dengan kondisi-kondisi modern”.

Istilah fundamentalis juga menurut Riffat Hassan, pertama kali muncul dalam tulisan para teolog protestan. Menurut para penerjemah, tulisan ini menggunakan pendekatan ilmiah kritis studi mengenai kitab Injil. Dinyatakan pula oleh George Marsden, bahwa fundamentalisme adalah suatu sub-jenis dari penyebaran agama Nasrani. Istilah tersebut pada tahun 1920 di Amerika menunjuk pada para pengabar Injil yang mengatakan pada pemimpin Kristen mereka, untuk wajib bertempur tanpa kompromi dengan teologi kaum modernis.

Istilah fundamentalisme memang muncul pertama kali di Amerika Serikat dan dipakai untuk menyebut gerakan dalam Kristen Protestan yang benar-benar menjaga sesuatu mendasar pada keyakinan tersebut. Tetapi, setelah itu istilah fundamentalisme tak hanya dipakai untuk agama Kristen, istilah ini juga dipakai oleh penganut-penganut agama-agama lainnya yang ada kemiripan dengan gerakan tadi. Hingga banyak sekali yang memandang negatif pada istilah ini.

Istilah fundamentalis banyak sekali pemakaian kata fundamentalis dengan makna yang berbeda. Pertama, fundamentalisme dalam arti teologis yang menunjuk pada suatu pandangan tertentu mengenai kitab suci dan bagaimana pandangan itu terbentuk. Kedua, dalam arti filosofis menunjuk pada sikap bermusuhan terhadap metode kritis untuk mendekati studi kitab suci. Ketiga, dalam aspek sosiologis terkait dengan keanggotaan dalam suatu kelompok dan orang-orang yang berada diluar kelompok mereka dianggap bersalah atau buka orang beriman yang sebenarnya. Keempat, dalam arti historis tentang keagamaan konservatif atau berusaha pada asal dari keimanan, kembali pada fondasi. Kelima, dalam arti politik yang sering digunakan yakni menunjuk pada usaha untuk melakukan revolusi atas nama agama.

Sesungguhnya, istilah fundamentalisme tidak selalu berkonotasi negatif. Menurut M. Said Al-Asynawi, ketika hal tersebut dimaknai dengan sifat rasional dan spiritual artinya memahami ajaran agama berdasarkan semangat, konteksnya seperti kaum fundamentalisme spiritualis rasionalis dibedakan dengan kaum fundamentalis aktivis politis karena memperjuangkan Islam sebagai entitas politik.

  • Fundamentalisme Islam dan Karakteristiknya

Dilihat dari segi makro, maka sebenarnya fundamentalisme itu muncul karena situasi politik, dimanapun itu. Dapat dibuktikan saat masa kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib yang saat itu situasi politiknya sangat tidak kondusif. Karena ada pendukung Ali dan Mu’awiyyah, hingga terjadi perpecahan dan semapt terjadi saling membunuh. Hingga ada kelompok yang mengatakan tidak mendukung keduanya yang disebut Khawarij, mereka awalnya mendukung Ali, tetapi karena keadaan seperti itu maka mereka memutuskan untuk keluar dari kelompok Ali. Dan mereka berseteru bahwa Laa hukma illa lillah karena kekecewaan mereka. Jadi, tak heran jika akhir-akhir ini banyak tudingan tentang fundamentalisme Islam merupakan bagian dari politisasi Islam. Islam dijadikan sebagai ideologi politik alternatif.

Pandangan penulis barat terkait fundamentalisme Islam ini dipenuhi dengan bias, mereka menganggap setiap wacana dan protes radikal yang berbau kekerasan. Karena hal tersebut, sebagian ummat Islam tidak menerima atau menolak istilah fundamentalisme Islam untuk menyebut gerakan tersebut. Mereka menggunakan kata yang tepat dan nyaman. Hingga sebagian dari mereka memakai istilah ushuliyun untuk menyebut “orang-orang fundamentalis” dan adapula yang memakai kata al-ushuliyah al-Islamiyah . Dari segi arti kata ushul sendiri memang artinya adalah dasar atau pondasi, berarti mereka tidak akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan pondasi keyakinan mereka, yakni Al-Quran dan Sunnah. Tentunya banyak sekali istilah yang mengganti istilah fundamentalisme, tetapi yang paling umum dan sering digunakan adalah ushuliyuun sebagai kaum fundamentalis dan al-ushuliyah al-Islamiyah yakni fundamentalisme Islam.

  • Karakteristik Fundamentalisme Islam

Karakteristik gerakan fundamentalisme Islam diantaranya adalah : pertama, mereka beranggapan bahwa kebenaran yang sebenar-benarnya hanya ada pada teks-teks agama dan menolak pemahaman kontekstual terhadap teks agama. Mereka berpendapat bahwa sesuatu yang diluar teks itu tidak benar, dan mereka tidak memberikan ruang kepada pemahaman dan penafsiran selain dari mereka. 

Kedua, mereka menolak pluralisme dan relativisme, bagi mereka pluralisme merupakan produk yang salah dari pemahaman terhadap teks suci. Sedangkan relativisme merupakan pandangan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis. 

Ketiga, kaum fundamentalis menganggap dialah yang paling benar dalam menafsirkan teks agama, mereka memonopoli kebenaran atas penafsiran teks agama. Dan yang lebih parah, mereka mengklaim bahwa pendapat mereka yang paling benar dan pendapat kelompok lain salah. Padahal dalam Islam perbedaan pendapat itu sudah biasa, seperti terlahirnya banyak madzhab. Sikap inilah yang akhirnya membuat potensi terjadinya kekerasan, mereka berdalih atas nama agama atau bahkan untuk membela Islam.

Keempat, gerakan fundamentalis memang selalu dihubungkan dengan intoleran, radikalisme dan pandangan sejenisnya. Hal ini disebabkan, saat fundamentalis mengambil perlawanan untuk menjaga eksistensi agama seperti bentuk modernisme atau modernitas tata nilai Barat pada umumnya, mereka melakukan perlawanan tidak semuanya memilih jalan kekerasan, tetapi karena ada yang bersikap tidak sabar saat melihat yang menurut mereka penyimpangan dalam masyarakat, saat itulah mereka melakukan tindakan kekerasan atas perilaku mereka.

  • Fundamentalisme Islam di Indonesia

Fundamentalisme Islam di Indonesia diamsusikan bahwa mereka adalah para reformis dalam bidang teologi dan menolak madzhab. Dorongan untuk meletakkan syariah atau hukum ilahi diatas hukum buatan manusia sangat kuat. Di Indonesia gerakan fundamentalisme akarnya pada Gerakan Padri di Minangkabau. Diantara pokok-pokok gerakan kaum Padri yang terlihat mirip dengan ajaran Wahabi adalah mereka beroposisi pada bid’ah dan khurafat, mereka juga melarang penggunaan tembakau dan pakaian sutra. Tak hanya Gerakan Padri, menurut van Bruinessen gerakan paling puritan di lingkungan umat Islam Indonesia adalah Persis (Persatuan Islam).

Selain yang disebutkan diatas, adapula suatu kelompok yang diasumsikan sebagai gerakan fundamentalisme Islam, diantaranya adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Laskar Jihad.

Tampaknya, karena pesatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara Islam itu mempengaruhi akselerasi pendidikan ummat Islam. Dengan begitu, maka arus pemikiran keislaman juga semakin meluas di seluruh kawasan dunia Islam yang menyuguhkan visi-visi baru. Dengan ini juga terjadinya kebangkitan Islam kultural yang ditandai dengan ledakan kaum terpelajar Islam di kalangan umat Islam. Sehingga meluas juga arus pemikiran Islam yang hampir secara merata diapresiasi oleh kaum terpelajar Muslim di tanah air. Fenomena itulah yang kemudian mempengaruhi wacana pemikiran Islam di Indonesia dengan berbagai coraknya.

Berdasarkan pemaparan diatas tentang Islam fundamentalis, maka dapat disimpulkan bahwa, Islam fundamentalis merupakan  istilah baru dalam Islam. Tetapi, pada zaman nabi ada fenomena yang sama dengan fundamentalisme Islam ini, yakni gerakan Khawarij. Sedangkan jika di Indonesia, fundamentalisme Islam ini diasumsikan sebagai gerakan para reformis dalam bidang teologi yang menolak madzhab. Mereka meletakkan hukum Ilahi diatas hukum manusia dan ada dorongan yang sangat kuat didalamnya. Gerakan-gerakan seperti itu di Indonesia, diantaranya adalah Persis, HTI, FPI, FKAWJ, MMI, Laskar Jihad.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Nor Huda, ‘Gerakan Fundamentalisme Islam Di Indonesia: Perspektif Sosio-Historis’, Tamaddun, 2016

Khoir, T. (2014). Tujuh Karakter Fundamentalisme Islam. Al-Tahrir, 14(1), 47–71.

Ratnasari, Dwi, ‘Fundamentalisme Islam’, Komunika, 4.1 (2010)

Wijdan SZ, Aden, ‘Fundamentalisme Islam: Kecenderungan Antara Menafsirkan Realitas Dan Doktrin’, Unisia, 27.45 (2002), 220–29

Alhamdulillah. Saya bersyukur dan berbahagia, Bapak Dr. Sukidi di sela-sela kesibukan, berkenan meluangkan waktu untuk berbagi perspektif di Universitas Islam Indonesia dalam kuliah umum.

Tema yang diangkat dalam kuliah umum ini adalah Visi Islam Baru untuk Indonesia Maju. Tema yang menurut saya, sangat progresif untuk menghadirkan Islam yang kontekstual dan menjadi bagian solusi bangsa ini. DI sinilah Islam akan menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dan, bukan sebaliknya, Islam justru berpotensi menjadi bagian masalah, karena ulah pemeluknya.

Selain itu, tema ini juga mengindikasikan bahwa tidak ada pertentangan antara semangat keislaman dan kebangsaan. Ini sejalah dengan komitmen yang ditanamkan oleh para pendiri UII yang berasal dari lintasorganisasi dan latar belakang, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), Perikatan Umat Islam (PUI), dan para tokoh bangsa lain.

Dua semangat tersebut terangkum dalam nama UII, yang dalam bahasa Arab menjadi Al-jami’ah Al-islamiyyah Al-indunisiyyah, Universitas Islami Indonesiawi. Pembacaan Al-Qur’an dan lagu Indonesia Raya di awal acara ini merupakan simbol dua komitmen ini.

Selain itu, UII adalah rumah besar untuk keragaman pemikiran Islam yang disatukan dengan semangat kebangsaan.

Izinkan saya berbagi beberapa perspektif dalam sambutan pembukaan singkat ini.

Permusuhan sosial atas nama agama

Pertama, Pew Research Center pada akhir September 2021 menyajikan sebuah laporan terkait dengan permusuhan sosial (social hostilities) atas nama agama, apapun namanya. Permusuhan sosial dapat berupa kekerasan terhadap identitas agama seseorang, sampai dengan konflik sektarian dan terorisme. Laporan didasarkan pada analisis 198 negara. Pada 2019, permusuhan sosial yang tinggi atau sangat tinggi (skor 3,6 atau lebih tinggi) berdasar Social Hostilities Index (SHI) “hanya” terjadi di 43 negara, menurun dibandingkan dengan 2017 (56) dan 2018 (53).

Ini tentu kabar baik yang perlu disyukuri. Nampaknya semua yang hadir di sini tidak sulit untuk bersepakat, permusuhan atas nama agama, apapun agamanya, tidak bisa kita terima. Kita yakin, nilai-nilai perenial agama justru seharusnya, membawa manusia kepada kebaikan, sikap saling menghormati, dan perdamaian. Jika ada sebagian kecil pemeluk agama yang cenderung kepada permusuhan itu adalah fakta sosial, dan hal itu bisa terjadi di semua agama. Tetapi, itu bukan dasar yang valid untuk melakukan generalisasi yang membabi buta.

Curiga tak berkesudahan

Kedua, fakta sosial lain yang kita temukan adalah sebagian orang mempunyai perspektif yang berbeda dengan yang dibayangkan kelompok lain. Ada banyak data yang bisa ditampilkan, termasuk yang terserak di media massa, buku, halaman jurnal ilmiah, atau bahkan dalam film Holywood.

Huntington (1996) dalam bukunya The Clash of Civilization yang terkenal itu, misalnya, mengasosiasikan Islam dengan “jeroan berdarah” (“bloody innards”) atau “batas-batas berdarah” (“bloody borders”). Atau, Said (1979) dalam bukunya Orientalism telah memberikan gambaran bagaimana media Barat membangun opini terkait dengan Islam, yang tidak selalu menggembirakan.

Tokoh dalam film Hollywood yang dibingkasi dengan terorisme, hampir selalu berwajah atau bernama Arab, yang dengan mudah diasosiasikan dengan agama tertentu. Tidak sulit menemukan contohnya, seperti London has Fallen, True Lies, Eye in the Sky, dan masih banyak lagi.

Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (Lipka, 2017) memberikan gambaran lebih mutakhir bagaimana atribusi yang cenderung negatif terhadap kelompok yang berbeda itu nyata adanya. Survei yang dilakukan di negara-negara dengan pemeluk Islam mayoritas menemukan bagaimana orang Barat dipersepsikan. Mereka dianggap (mulai dari yang paling dominan) egois, brutal, rakus, amoral, arogan, dan fanatik. Ini adalah kombinasi sempurna semua keburukan.

Sebaliknya, orang Barat memberikan atribusi berikut kepada muslim: fanatik, jujur, brutal, dermawan, arogan, dan egois. Kombinasi atribut yang tidak lazim dan sulit dibayangkan untuk menyatu dengan harmoni.

Pertanyaannya: apakah memang seperti ini di lapangan? Mereka yang pernah hidup di “dua alam” (negeri Barat dan muslim) sangat mungkin akan memberi perspektif yang berbeda. Di sisi lain, dialog sehat dan jujur nampaknya memang menjadi pekerjaan rumah bersama.

Islam dan konflik

Ketiga, untuk menyelisik lebih jauh, peneliti dari Peace Research Institute di Oslo (PRIO), Gleditsch dan Rudolfsen (2016), memunculkan pertanyaan besar: apakah negara-negara muslim lebih rentan terhadap kekerasan? Data yang mereka kumpulkan dari 1946-2014 menunjukkan bahwa dari 49 negara yang mayoritas penduduknya muslim, 20 (atau 41%) di antaranya mengalami perang sipil (perang sesama anak bangsa), dengan total durasi perang 174 tahun atau sekitar 7% dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2,467 tahun).

Pasca Perang Dingin, sebagian besar perang adalah perang sipil dan proporsi terbesar terjadi di negara-negara muslim. Bukan hanya karena perang sipil di negara-negara muslim meningkat, tetapi juga karena konflik di negara lain berkurang. Fakta yang lebih dari cukup untuk mencelikkan mata kita.

Tentu catatan optimis masih ada. Empat dari lima negara dengan penduduk muslim terbesar, tidak terjebak dalam perang sipil. Indonesia salah satunya. Tiga yang lain adalah India, Bangladesh, dan Mesir.

Bahwa ajarah Islam tidak mempunyai korelasi dengan konflik juga diamini oleh Fuller (2010), mantan pentolan CIA, yang terekam dalam bukunya A World without Islam. Secara hipotetik, dalam sebuah diskusi di Rumi Forum, sebuah lembaga yang didirikan di Washington DC untuk dialog antaragama dan antarbudaya, Fuller menyatakan ”bahkan jika Islam dan Nabi Muhammad tidak pernah ada, hubungan antara Barat, terutama Amerika Serikat, dan Timur Tengah tidak akan berbeda jauh”.

Dalam bahasa lain yang lebih sederhana, “jika Islam tidak ada, konflik di muka bumi pun masih terjadi”.

Revitalisasi peran agama

Karenanya, merevitalisasi peran agama saat ini menjadi semakin penting, ketika fakta di lapangan memerlukan penjelasan yang lebih canggih. Survei yang dilakukan Pew Research Center pada pertengahan 2020 (Tamir et al., 2020) menemukan bahwa negara yang warganya mempunyai kepercayaan tinggi terhadap Tuhan, justru mempunyai Produk Domestik Bruto per kapita yang rendah.

Indonesia termasuk negara yang warganya sangat percaya dengan Tuhan, tetapi menempati posisi 102 negara paling korup dari 180 negara menurut Tranparency International. Belum lagi ditambah fakta kecenderungan global, proporsi terbesar mereka yang tidak percaya kepada Tuhan adalah yang berpenghasilan lebih besar, berpendidikan lebih tinggi, dan berusia lebih muda. Pew Research Center menyebut fakta ini sebagai The Global God Divide, kesenjangan Tuhan global.

Ajaran Islam seharusnya bisa menjadi pijakan dan katalis yang mendorong kemajuan Indonesia. Dan, muslim sudah seharusnya menjadi lokomotif dan aktor utamanya.

Referensi

Fuller, G. E. (2010). A World without Islam. New York: Little, Brown and Company.

Gleditsch, N. P., & Rudolfsen, I. (2016). Are Muslim countries more prone to violence?. Research & Politics, 3(2), 1–9

Lipka, M. (2017). Muslims and Islam: Key findings in the U.S. and around the world. Tersedia daring di https://www.pewresearch.org/fact-tank/2017/08/09/muslims-and-islam-key-findings-in-the-u-s-and-around-the-world/

Majumdar, S. (2021). Key findings about restrictions on religion around the world in 2019. Tersedia daring di https://www.pewresearch.org/fact-tank/2021/09/30/key-findings-about-restrictions-on-religion-around-the-world-in-2019/

Tamir, C., Connaughton, A. & Salazar, A. M. (2020). The Global God Divide. Tersedia daring di https://www.pewresearch.org/global/2020/07/20/the-global-god-divide/

Sambutan pembuka Kuliah Umum Visi Baru Islam untuk Indonesia Maju oleh Sukidi, Ph.D. di Universitas Islam Indonesia, 30 Oktober 2021.