3 macam hukum yang terkandung dalam al quran

BAB I

PENDAHULUAN

        Allah telah menetapkan sumber hukum islam yang wajib diikuti setiap muslim. Kehendak Allah tersebut, terekam dalam al-Qur’an yang menjadi sumber hukum pertama dalam agama islam. Aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an memiliki tiga fungsi utama sebagai huda (petunjuk), bayyinat (penjelasan), dan furqon (pembeda). Sebagai huda, artinya al-Qur’an merupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justru mengabaikan petunjuk yang ada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat. Pengibaratan tadi menunjukkan bahwa apabila al-Qur’an ditinggalkan atau diabaikan, sudah pasti akan tersesat.

          Petunjuk yang ada pada al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah, bukan cerita yang dibuat-buat. Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi. Melihat pentingnya pembelajaran tersebut, maka menarik untuk dikaji khususnya isi dari al-Qur’an sebagai sumber hukum.

2. Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan al-Qur’an dan fungsi dari al-Qur’an?
  2. Apakah semua ulama mazhab sepakat dengan kehujahan al-Qur’an?
  3. Bagaimana penjelasan al-Qur’an terhadap hukum?
  4. Bagaimana hukum yang terkandung dalam al-Qur’an?

3. Tujuan Penulisan

  1. Untuk mengetahui pengertian al-Qur’an dan fungsi al-Qur’an.
  2. Untuk mengetahui kesepakatan ulama mengenai kehujahan al-Qur’an.
  3. Untuk mengetahui penjelasan al-Qur’an terhadap hukum.
  4. Untuk mengetahui hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Al-Qur’an dan Fungsi Al-Qur’an

Secara etimologis, al-Qur’an dalam Bahasa Arab diambil dari kata قرا (qara-a) artinya membaca. Seperti yang tertuang dalam firman Allah:

اِنَّاعَلَيْنَاجَمْعَهُ وَقُرْاۤنَهُ٬فَاِذَاقَرَأْنَﻩُفَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ

Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Apabila Kami telah selesai membacanya ikutilah bacaannya itu. (QS. al Qiyamah:17-18)

Secara terminologis, al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasul bahwasanya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana pendekatan (seorang hamba kepada Tuhannya) sekaligus sebagai ibadah bila dibaca, diawali surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Naas, yang sampai kepada kita secara teratur (perawinya tidak terputus) secara tulisan maupun lisan, dari generasi ke generasi, terpelihara dari adanya perubahan dan penggantian.[1]

Menurut Syaltut, al-Qur’an adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.

Al-Syaukani mengartikan al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir. Menurut Ibn Subku mendefinisikan al-Qur’an adalah  lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, mengandung mu’jizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya.

Dari definisi di atas dapat ditarik suatu rumusan mengenai definisi al-Qur’an, yaitu lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang dinukilkan secara mutawatir.[2]

Adapun fungsi Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai huda (petunjuk bagi kehidupan umat). Fungsi huda ini banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an, lebih dari 79 ayat, salah satunya:

ذٰلِكَ اْلكِتَبُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ

Kitab (al-qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (al-Baqarah: 2)

  1. Sebagai rahmat (keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangnya. Al-Qur’an sebagai rahmat untuk umat ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan dalam Al-Qur’an, salah satunya:

تِلْكَ آيَاتُ اْلكِتَبِ اْلحَكيْمِ هُدًى وَرَحْمَةًلِلْمُحْسِنِيْنَ

Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (Luqman: 2)

  1. Sebagai furqon (pembeda antara yang baik dengan yang buruk; yang halal dengan yang haram; yang salah dengan benar; yang indah dengan jelek; yang dapat dilakukan dengan yang terlarang untuk dilakukan). Fungsi aL-qur’an sebagai alat pemisah terdapat dalam tujuh ayat al-Qur’an, salah satunya:

شَهْرُرَمَضَانَ اّلذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ اْلهُدَى واْلفُرْقَانِ

Bulan ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (al-Baqarah: 185)

  1. Sebagai mau’izhah (pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat). Fungsi mau’izhah ini terdapat setidaknya dalam lima ayat al-Qur’an, salah satunya:

وَكَتَبْنَالَهُ فِيْ اْلأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍمَوْعِظَةً

Dan telah kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu. (al-A’raf: 145)

  1. Sebagai busyra (berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan sesama manusia). Fungsi busyra itu terdapat sekitar delapan ayat al-Qur’an, seperti pada surat al-Naml:1-2

طس﴿١﴾تِلْكَ آَيَاتُ اْلقُرْآنِ وَكِتَابٌ مُبِيْنٌ هُدًى وَبُثْرًى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Tha-Syin. (Surat) ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an, dan ayat-ayat Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.

  1. Sebagai tibyan atau mubin (penjelasan atau yang menjelaskan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah). Contoh fungsinya sebagai tibyan dalam surat an-Nahl: 89

وَنَزَّلْنَاعَلَيْكَ اْلكِتَابَ تِيْبَانًالِكُلِّ شَيْءٍ

Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.

Sedangkan contohnya sebagai mubin terdapat dalm surat al-Naml: 1-2

  1. Sebagai mushaddiq (pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya). Seperti dalam surat ali Imran: 3

نَزَّلَ عَلَيْكَ اْلكِتَابَ بِاْلحَقِّ مُصَدِّقًالِّمَابَيْنَ يَدَيْهِ

Dia menurunkan al-kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya: membenarkan kitab yang telah di turunkan sebelumnya…

  1. Sebagai nur (cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan). Seperti pada surat al-Maidah: 46

فِيْهِ هُدًى وَنُوْرٌوَمُصَدِّقًالِّمَابَيْنَ يَدَيْهِ

Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab sebelumnya…

  1. Sebagai tafsil (memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki Allah). Seperti dalam surat Yusuf: 111:

وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ

Al-Qur’an itu bukan cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu…

  1. Sebagai syifa’u al-shudur (obat bagi rohani yang sakit). Seperti dituliskan dalam surat al-Isra: 82

وَنُنَزِّلُ مِنَ اْلقُرْآنِ مَا هُوَشِفَاءٌوَرَحْمَةٌ لِلٔمُؤْمِنِيْنَ

Dan kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

  1. Sebagai hakim (sumber kebijaksanaan). Sebagaimana dalam surat luqman: 2

تِلْكَ آٰيٰاتُ اْلكِتَابِ اْلحَكِيْمِ

Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah.

2. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Menurut Ulama Imam Mazhab

  1. Pandangan Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Namun, Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madharat.

2. Pandangan Imam Malik

Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk, karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan kupenggal leher orang itu.”

Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Maka tidak heran kalau kitabnya, Al-Muwathha dan Al Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Dan Imam Malik mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.

3. Pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa al-Quran tidak bisa dilepaskan dari as-Sunnah, karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali. Sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat al-Qur’an dengan Sunnah, perlu di pahami bahwa kedudukan as-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT. Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam shalat, nikah dan ibadah lainnya. Beliau mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari al-Qur’an.

4. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal

Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang tidak akan berubah sepanjang masa. Al-Qur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, di samping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama islam. Seperti halnya Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan al-Qur’an dahulu atau as-Sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.[3]

3. Penjelasan Al-Qur’an terhadap Hukum

Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi kejelasannya artinya ada dua macam, yaitu:

  1. Ayat muhkam: ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
  2. Ayat mutasyabih: ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.[4]

Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:

  1. Secara Juz’I (terperinci), al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan Sunnahnya.
  2. Secara Kulli (global), penjelasan aL-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaanya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya.
  3. Secara Isyarah, al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Di samping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud.[5]

5. Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an

Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibedakan menjadi tiga macam:

  1. Hukum-hukum yang bertalian dengan I’tiqad yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya.
  2. Hukum-hukum yang bertalian dengan akhlak yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat.
  3. Hukum-hukum yang bertalian dengan Amaliyah yaitu hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum amaliyah secara garis besar terbagi dua:
  4. Hukum ‘ibadah dalam arti khusus, hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan Allah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
  5. Hukum mu’amalah dalam arti umum, hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya, seperti jual beli, kawin, dan pembunuhan. Bentuk hukum muamalah ada beberapa macam, yaitu:
  6. Hukum mu’amalat dalam arti khusus, hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut kebutuhan akan harta bagi keperluan hidupnya. Contoh: jual beli, sewa menyawa, pinjam meminjam. Contoh ayat: Allah berfirman dalam surat al-Qasas: 26-27

قَالَتْ إِحْدٰهُمَايٰۤاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَمَنِ اسْتَأْجَرْتَ اْلقَوِىُّ اْلَأَمِيْنُ۰قَلَ إِنِّيْۤ أُرِيْدُأَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيْ هٰتَيْنِ عَلَۤى أَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًافَمِنْ عِنْدِكَ وَمَۤاأُرِيْدُأَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِيْۤ إِنْشَاۤءَاللّٰهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik”.

  1. Hukum munakahat, hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut kebutuhan akan penyaluran nafsu syahwat secara sah dan yang berkaitan dengan itu. Contoh: kawin, cerai, rujuk dan pengasuhan atas anak yang dilahirkan. Contoh ayat: Allah berfiman dalam QS. al-Baqarah: 236

لَاجُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَمَالَمْ تَمَسُّوْ هُنَّ اَوْتَفْرِضُوْالَهُنَّ فَرِيْضَةً وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى اْلمُوْسِعِ قَدَرَهُ وَعَلَى اْلمُقْتِرِقَدَرُهُ مَتَاعًابَاْلمَعْرُوْفِ حَقًّاعَلَى اْلمُحْسِنِيْنَ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

  1. Hukum mawarits atau wasiat, hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut perpindahan harta yang tersebab oleh adanya kematian. Contoh ayat: Allah berfiman dalam QS an-Nisa’:11

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْۤ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِمِثْلُ حَطِّ اْلاُنْثَيَيْنِ فَاِنْ كُنَّ نِسَآءًفَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَامَاتَرَكَ وَاِنْ كَانَتْ وَاهِدَةًفَلَهَاالنِصْفُ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاهِدٍمِّنْهُمَاالسُّدُسُ مِمّاتَرَكَ اِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُ وَلَدٌوَّوَرِسَهُۤ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ فَانْ كَانَ لَهُۤ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِوَصِيَّةٍيُّوْصِيْ بِهَآاَوْدَيْنٍ اٰبَآؤُكُمْ وَاَبْنَآؤُكُمْ لاَتَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهُ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًاحَكِيْمًا

  1. Hukum Jinayah atau pidana, hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain yang menyangkut dengan usaha pencegahan terjadinya kejahatan atas harta, maupun kejahatan penyaluran nafsu syahwat atau menyangkut kejahatan dan sanksi bagi pelanggarnya. Contoh: pencurian, pembunuhan, dan perzinahan. Contoh ayat: Allah berfiman dalam QS al-Baqarah: 178

يٰۤاَيُّهَاالَّذِيْنَااٰمَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ اْلقِصَاصُ فِى اْلقَتْلٰى اْلحُرُّبِاْلحُرِّوَاْلعَبْدُبِاْلعَبْدِوَاْلنْثٰى بِاْلعُنْثٰى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ اَحِيْهِ شَيْءٌفَاتِّبَاعٌ باْلمَعْرُوْفِ وَاَدۤاءٌاِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ دٰلِكَ

  1. Hukum murafa’at atau qadha atau acara, hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan usaha penyelesaian akibat tindak kejahatan di pengadilan. Contoh: kesaksian, gugatan, dan pembuktian di pengadilan. Contoh ayat: Allah berfirman dalam QS. an-Nisaa’: 135

يٰۤاَيُّهَاالَّذِيْنَ اٰمَنُوْاكُوْنُوْاقَوَّامِيْنَ بِاْلقِسْطِ شُهَدَآءَلِلّٰهِ وَلَوْعَلىٰۤ اَنْفُسِكُمْ اَوِالْوَالِدَيْنِ وَاْلاَقْرَبِيْنَ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّااَوْفَقِيْرًافَاللّٰهُ  اَوْلىٰ بِهِمَا فَلاَتَتَّبِعُواالْهَوٰۤى اَنْ تَعْدِلُوْا وَاِنْ تَلْوُۤااَوْتُعْرِضُوْافَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

  1. Hukum dusturiyah atau tata negara, hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Contoh: ulil amri, khalifah, baitul mal. Contoh ayat: Allah berfirman dalam QS al- A’raf: 142

وَوٰعَدْنَامُوْسٰى ثَلٰثِيْنَ لَيْلَةًوَّاَتْمَمْنٰهَابِعَشْرٍفَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهِۤ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوْسٰى لِاَخِيْهِ هٰرُوْنَ اخْلُفْنِيْ فِيْ قَوْمِيْ وَاَصْلِحْ وَلَاتَتَّبِعْ سبِيْلَ الْمُفْسِدِيْنَ

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”.

  1. Hukum dualiyah atau antar negara atau internasional, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam suatu negara dengan manusia di negara lain, dalam keadaan damai dan keadaan perang. Contoh: tawanan, ekstradisi, perjanjian. Contoh ayat: Allah berfirman dalam QS. Muhammad: 4

فَاِذَالَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْافَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتّٰۤى اِذَۤااَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَثُدُّواالْوَثَاقَ فَاِمَّا مَنًّابَعْدُوَاِمَّافِدَۤاءًحَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا ذٰلِكَ وَلَوْيَشَۤاءُاللّٰهُ لَانْتَصَرَمِنْهُمْ وَلَٰكِنْ لِّيَبْلُوَاْبَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْافِيْ سَبيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يَّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian makalah di atas dapat disimpulkan bahwa:

  1. Pengertian dan fungsi al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi setelahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf; dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Naas.

Fungsi al-Qur’an yaitu sebagai huda, sebagai rahmat, sebagai furqon, sebagai mau’izhah, sebagai busyra, sebagai tibyan atau mubin, sebagai mushaddiq, sebagai nur, sebagai tafsil, sebagai syifa’u al-shudur, dan sebagai hakim.

  1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Menurut Ulama Imam Mazhab

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa al-Quran itu mencakup maknanya saja. Imam Malik, hakikat al-Quran menentang orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar. Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan tidak bisa dilepaskan dari as-Sunnah. Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang tidak akan berubah sepanjang masa.

  1. Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi kejelasannya artinya ada dua macam, yaitu ayat muhkam dan ayat mutasyabih sedangkan dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu secara juz’i (terperinci), secara kulli (global), dan secara isyarah.
  2. Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibedakan menjadi tiga macam: hukum-hukum yang bertalian dengan I’tiqad, hukum-hukum yang bertalian dengan akhlak, hukum-hukum yang bertalian dengan amaliyah.

DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.

Salam, Zarkasji Abdul, Oman Fathurrohman SW. 1994. Pengantar Ilmu      Fiqh Usul Fiqh I. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid I. Ciputat: Logos

[1] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, cet. Ke-1 (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 17.

[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, cet. ke-1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 47.

[3] Rahcmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, cet. ke-4, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 54.

[4] Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 68.

[5] Ibid., hlm. 70.