Yang tidak termasuk kedalam jembatan yang berada di dunia adalah


Page 2

ngi, lahirlah sepasang dewa pertama di alam semesta ini. Sepasang dewa pertama ini bernama Tuhamora'aangi Tuhamoraana'a berjenis lakilaki dan Burutiraoangi Burutiraoana'a berjenis perempuan. Keturunan sepasang dewa ini kemudian mendiami kesembilan lapis langit. Dalam menciptakan sesuatu ini Lowalangi mempergunakan udara dari beberapa warna sebagai bahan yang ia aduk dengan tongkat gaibnya yang disebut sihai 44), salah satu keturunan sepasang dewa pertama disebut yang kemudian menjadi raja di langit itu lapis pertama (pertama paling dekat dengan bumi) atau Tétéholi Ana'a adalah dewa yang bernama Sirao Uwu Zihönö atau Sirao Uwu Zato. Sirao ini mempunyai tiga orang isteri, dan dari ketiga orang isteri ini diperoleh masing-masing tiga orang anak laki-laki. Di antara kesembilan orang putra Sirao itu kemudian timbul pertengkaran untuk merebutkan singgasana pada waktu Sirao karena lanjut usia hendak mengundurkan diri. Untuk memecahkan persoalan ini kemudian Sirao mengadakan sayembara ketangkasan menari di atas mata sembilan tombak yang dipancangkan di muka istana. Sayembara ini dimenangkan oleh putranya yang bungsu bernama Luo Méwöna 45), dan oleh karenanya terpilih menjadi raja Tétéholi Ana'a menggantikan ayahnya. Untuk menenteramkan hati kedelapan putra-putranya yang lain, Sirao kemudian atas kehendak putra-putra itu sendiri

, menurunkan mereka (nidada/nifailo) ke Tanö Niha. Dan untuk mengawasi kakak-kakaknya itu Balugu Luo Méwöna juga me-nidada-kan ke bumi Nias putra sulungnya yang bernama Silögu di Hiambanua Onomondra, negeri Ulu Moro'o yang terletak di kecamatan Mandréhé sekarang Nias bagian Barat.

Dari kedelapan putra-putra Sirao itu empat orang dapat diturunkan dengan selamat sehingga dapat menjadi leluhur mado/gana orang Nias jaman sekarang. Dan mereka itu adalah : 1) Hiawalangi Sinada atau Hia yang diturunkan di Börönadu, kecamatan Gomo, Nias bagian Tengah, dan menjadi leluhur mado/gana Telaumbanua, Gulö, Mendrofa, Harefa dan lain-lain; 2) Gözö Hélahéla Danö, atau Gözö diturunkan di barat laut Hilimaziaya, kecamatan Lahéwa, Nias bagian Utara, dan menjadi leluhur mado/gana Baéha; 3) Daéli Bagambölangi atau Daéli yang diturunkan di Tölamaéra, negeri Idanoi dari kecamatan Gunung Sitoli, Nias bagian Timur dan menjadi leluhur mado/gana Géa, Daéli, Larosa dan lain-lain; 4) Hulu Börödanö atau Hulu, yang diturunkan di suatu tempat di Laéhuwa, kecamatan Alasa, di Nias bagian Barat laut dan menjadi leluhur mado/gana Ndruru, Bu'ulölö, Hulu dan lain-lain. Silögu putra sulung Luo Méwöna yang diturunkan di Nias bagian Barat menjadi leluhur mado/gana Zébua, Bawö, Zéga dan lain-lain. Putra-putra Sirao yang empat lainnya kurang berutung sehingga mengalami kecelakaan sehingga tidak dapat mendarat dengan wajar untuk menjadi leluhur manusia Nias, yaitu umpamanya Bauwadanö Hia (yaitu Latura Danö) 46) karena terlalu berat badannya sehingga waktu diturunkan terus menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar yang disebut Da'ö Zanaya Tanö Sisagörö, Da’ö Zanaya Tanö Sébolo. artinya dialah yang menjadi penadah bumi. Jika timbul perang, dan darah manusia yang merembes ke dalam bumi akan mengenakan pada tubuhnya, maka hal ini akan membuat ia marah dan menggoyang-goyangkan tubuhnya sehingga tim


Page 3

3. Menurut Schröder, waktu yang tepat dari kedatangan orang Belan

da (V.O.C.) yang pertama di Nias sukar diketahui, tetapi ada kemungkinan besar terjadi pada tahun 1669, karena pada tahun tersebut ada laporan dari David Davidson (tertanggal 23 Oktober 1669) bahwa V.O.C. mengirim satu squadron kapal-kapal ke Nias (Schröder, 1917;

hlm. 702 - 703). 4. Keturunan orang-orang Bugis ini bahkan menduduki salah satu ke

lompok pulau-pulau kecil di sebelah barat pulau Nias yang bernama Hinako, di mana mereka kemudian mengadakan perkawinan dengan penduduk asli sehingga keturunannya tidak merasa orang Bugis lagi, melainkan orang Nias asli. Menurut Schröder marga maruyang banyak berada di pulau-pulau Hinako adalah orang Nias keturunan

Bugis itu (Schröder, 1917 : hlm. 639 - 641). 5. Yaitu menurut Schröder pada tanggal 27 Nopember 1865 (Schrö

der, 1917 : hlm. 755). Jika hendak mendalam mengenai sejarah persebaran agama Kristen Protestan di Nias silahkan membaca karangan Th. Müller Krüger : Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta. Badan

Penerbit Kristen, 1959. 6. Schröder, 1917: hlm. 678. 7. Jumlah penduduk Nias menurut Sensus Penduduk 1961 adalah

314.829 (Sensus Penduduk 1961. Biro Pusat Statistik Kabinet Menteri Pertama, Jakarta 1962 : hlm. 10) Menurut Bagian Sensus dan Statistik Kabupaten Nias di Gunung Sitoli, jumlah penduduk Nias pada akhir tahun 1967 adalah 320.777. Menurut Kantor Urusan Agama Kabupaten Nias di Gunung Sitoli, jumlah penduduk Nias pada tahun 1967 adalah 354.588, sedangkan menurut P.R. Telaumbanua, ex Pd. Gubernur Sumatra Utara, jumlah penduduk Nias pada tahun 1967

adalah 366. 174 jiwa. Entah yang mana benar? 8. Laraga adalah nama suatu desa kira-kira 12 km dari kota Gunung

Sitoli arah ke selatan. 9. Selain pembagian berdasarkan perbedaan topografi, dan juga sar

jana-sarjana akhli Nias yang membagi Nias berdasarkan perbedaan kebudayaan, yaitu antara lain perbedaan arsitektur perumahan adat atau perbedaan logat bahasa. Suzuki misalnya membagi Nias menjadi tiga bagian, yaitu Nias bagian Utara, Tengah dan Selatan. Pembagian ini sebenarnya diambil olehnya dari pembagian Schröder (Suzuki, 1959 : hlm. iii - iv), Nias bagian Utara dari Suzuki itu adalah sama dengan Nias bagian Utara, Barat dan Timur dari karangan ini. Kebudayaan Nias bagian Selatan jika dibandingkan dengan kebudayaan dari Nias Utara, Barat, Timur, dan Tengah lebih asli, karena kurang/terlambat menerima pengaruh dari luar, yaitu dari pedagang-pedagang Sumatra dan para Zending dari Jerman (Suzuki,

1959: hlm. iii). 10. Kabupaten Nias selain terdiri dari pulau Nias ditambah lagi dengan

pulau kecil di sekitarnya seperti pulau Batu di selatan, pulau-pulau Hinako di sebelah Barat dan pulau-pulau Lafau, Senau dan lain-lain. Luas seluruh kabupaten Nias adalah 5030 km2 (Daely, 1953 : hlm. 1.).


Page 4

Kecamatan : Kuda : Sapi : Kerbau : Kambing : Babi
Gunung Sitoli: : 80

:

: 294 : 5.860 Gido

:
: 38 : 106 : 424

: 11.550 Idano Gawo

: 10 : 110 : 360 : 4.035 Teluk Dalam

: 55 :

: 278 : 13.087 Lahusa

: 140 :

: 625 : 68.000 Mandrehe

: 35 : 10.000 Alasa

: 165

: 7.000

22. Kementerian Penerangan R.I., 1953 : hlm. 483. 23. Telaumbanua, 1968 : hlm. 6.

24. Sewaktu riset di Nias penulis berama-sama denan Sdr. I.G.N. Arin-


ton, Drs. Sufwandi Mangkudilaga dan Ltn. (L) Fa'anö Daély telah
menyaksikan sebuah benda perunggu yang ditemukan seorang pen-
duduk di desa Bawosalo'o - Idanoi, kecamatan Gunung Sitoli, Nias bagian Timur. Benda tersebut berbentuk anvil (landasan untuk me- nempa besi) dengan panjang kira-kira 85 cm, berat kira-kira 60 kg.

dipenampang atasnya berukiran dua ekor tikus atau buaya yang


berkumis dan saling berhadap-hadapan. Benda tersebut pada waktu
itu berada di rumah Sdr. Lehemböwö Géa. Menurut keterangan Sdr.
tersebut benda itu diketemukan oleh seorang anak laki-laki di ba-
wah lereng tebing sungai Luaha Mbedaso (anak sungai Idanoi) se-
tinggi lima meter yang pada waktu itu sedang longsong. Penemuan
ini telah kami laporkan kepada Drs. Soeyono P.S. dari Dinas Purba-
kala P.D.K. di Jakarta, dengan pengharapan agar timbul minat pa-

da Dinas tersebut untuk mengadakan penggalian di Nias. 25. Telaumbanua, 1968 : hlm. 6. 26. Istilah Indonesianya adalah istilah Koentjaraningrat. Bacalah Koen

tjaraningrat : Beberapa pokok Antropologi Sosial. Jakarta 1967, Pe

nerbit Dian Rakyat, hlm. 116 - 121 27. Berat satu pao emas sama dengan berat uang perak Belanda (yang

bergambarkan kepala Ratu Wilhelmina), yaitu 10 gram. Uang perak Belanda ini di Nias sering dipergunakan sebagai anak batu timbang

an emas. 28. Penyajian ketiga dari babi ini berarti penghormatan yang sangat

tinggi di Nias. Tamu-tamu terhormat juga disajikan ketiga bagian babi tersebut. Waktu rombongan penulis berada di Nias juga telah be

berapa kali dihormati dengan adat tersebut. 29. Cara orang Nias menyembelih babi adalah dengan menikam pada

bagian jantungnya, dan tidak pernah dengan cara menggorok leher

nya. 30. Alisi adalah satuan ukuran asli Nias untuk mengukur lingkar dada

babi. Sistim ukuran asli Nias tersebut adalah aforé, yang khusus dipergunakan untuk mengukur babi, yaitu dengan cara mengukur bu


Page 5

kan dengan pandangan agama Kristen, nama Sihai lambat laun terdesak oleh Lowalangi (untuk lebih jelas bacalah Catatan No. 43 dari karangan ini). Bahan mitologi yang dipergunakan dalam karang

an ini penulis ambil dari karangan Fa’anö Daéli, 1964. 45. Menurut Suzuki Luo Mewöna adalah nama lain dari Lowalangi

(Suzuki, 1959 : hlm. 7). 46. Menurut Suzuki Bauwadanö Hia adalah nama lain dari Latura Da

nö (Suzuki, 1959 : hlm 7). 47. Schröder, 1947 : hlm. 59. 48. Untuk lebih mengetahui bacalah karangan Th. Müller-Krüger

(1959 : hlm. 204 - 206), dan bukunya Die grosse Reue auf Nias. Gü

tersloh, 1931. 49. Sebenarnya Denninger bukanlah pendeta Kristen pertama yang da

tang di Nias, karena menurut Schröder, penyiar agama Kristen pertama yang datang di Nias adalah dari misi Katolik Roma, tetapi malang baginya karena setibanya di sana ia segera meninggal dunia. Kejadian yang menyedihkan ini terjadi pada tahun 1854 (Schröder,

1917 : hlm. 755). 50. Tugas L.E. Denninger semula sebenarnya adalah menyebarkan aga

ma Kristen antara penduduk Dayak Kalimantan Selatan (termasuk juga Kalimantan Tengah dewasa ini), tetapi terpaksa pindah ke Sumatra karena di Kalimantan Selatan pada waktu itu telah timbul pemberontakan Pangeran Hidayat yang telah mengambil kurban beberapa orang kulit putih, termasuk juga rekan-rekan Denninger dari Zending R.M.G. (Rheinische Missions-Gesellschaft). Peristiwa ini memaksa mereka untuk sementara menunda maksud membawa agama Kristen kepada orang Dayak di Kalimantan dan mengalihkan perhatiannya ketanah Batak. Tetapi sewaktu Denninger tiba di Padang pada tahun 1862, isterinya jatuh sakit keras, sehingga ia terpaksa membatalkan niatnya untuk turut serta dengan kawan-kawannya ke pedalaman Tapanuli. Di Padang ia kemudian bertemu dengan orang-orang Nias yang sedang merantau di sana, sehingga timbulah niatnya untuk membawa agama Kristen kepada penduduk pulau Nias (Sumber : Müller Krüger, 1959 : hlm. 203 dan Schröder, 1917 :

hlm. 755) 51. Telaumbanua, 1968 : hlm. 6). 52. Pada akhir tahun 1968 I.K.I.P. tersebut sedang diperjuangkan un

tuk diakui sebagai I.K.I.P. Negeri Cabang I.K.I.P. Medan. 53. Swami isteri Thomson pulang ke negeri asalnya dalam tahun 1970,

diharapkan rumah sakit di Gunung Sitoli akan dipimpin oleh Dr. Hardi, yang akan kembali dari Jerman, dan Dr. Daély, orang Nias pertama yang menjadi dokter sudah bekerja di rumah sakit terse


Page 6

Proklamasi. Ini adalah satu 'tugas suci'. Intrik politik dan ambisi golongan atau pribadi boleh saja mencoba dan mengusahakan kegiatan politik sektaris, tapi apabila yang diancam adalah eksistensi negara, maka intrik dan kegiatan politik tersebut pasti akan ditumpas oleh bagian terbesar pimpinan Nasional dan didukung rakyat banyak demi menyelamatkan negara dan bangsa. Ini adalah satu 'achievement penting yang harus dilihat sebagai sumber inspirasi bagi generasi pembangunan yang akan datang. Dalam hal ini, apabila generasi 45 menghadapi musuh yang riil yaitu Belanda dan tantangan yang juga riil, yaitu kehilangan kemerdekaan, maka generasi sekarang menghadapi musuh yang abstrak, keterbelakangan dan kemiskinan dan ancamannya juga dianggap tidak seserius seperti periode 45-50. Inilah salahsatu perbedaan kadar, selain perbedaan dimensi waktu situasi, kondisi dll., yang membedakan pengertian semangat 45 dan semangat yang harus dan akan diwariskan kepada generasi yang akan melanjutkan perjuangan Angkatan 45.

Masih banyak bahan yang perlu dan bisa digali dalam masa perang kemerdekaan. Untuk sementara, berdasarkan bahan penelitian yang telah dilakukan dan tersedia, beberapa kesimpulan pokok tentang ciri-ciri periode 45-50 bagi pembinaan karakter bangsa dapat kiranya dirumuskan seperti berikut : 1. Jiwa dan semangat 45 adalah jiwa dan semangat yang tumbuh

dan berakar pada setiap patriot Indonesia. Tumbuhnya meluas kesegenap lingkungan masyarakat, horizontal maupun vertikal (di pelbagai daerah dan di pelbagai golongan, pimpinan maupun

massa). 2. Jiwa dan semangat itu adalah tekad untuk menegakkan dan mem

pertahankan kemerdekaan, dengan beaya apapun, termasuk nya

wa dan tanpa pamrih. 3. Jiwa dan semangat itu berhasil mengalahkan ambisi golongan,

ambisi pribadi maupun intrik politik yang tumbuh secara inhaeren dan naluriah pada setiap kelompok manusia, dimanapun di

dunia ini. 4. Jiwa dan semangat itu berhasil mengalahkan nafsu kolonial yang

mencoba merebut kembali kedaulatan bangsa Indonesia untuk

menentukan nasibnya sendiri. 5. Jiwa dan semangat itu berhasil mengantarkan negara Republik

Indonesia untuk mulai membangun dirinya sendiri setelah perang

kemerdekaan. Secara konkritnya, segenap potensi bangsa Indonesia waktu itu (tentunya tidak termasuk mereka yang memang sadar anti-Republik dan proBelanda) betul-betul telah bersatu hati, bertekad bulat, dan mengesampingkan segala macam ambisi dan kepentingan golongan, melawan ancaman musuh bersama dan mencapai tujuan bersama, mempertahankan kemerdekaan. Konsensus Nasional inilah, yang walaupun tidak dirumuskan dan tidak diindoktrinasikan secara sengaja, telah tumbuh dengan wajar dan naluriah. Kemerdekaan adalah yang harus dikejar dan diperoleh, bukan keunggulan satu golongan politik. Kemerdekaan adalah yang harus ditegakkan dan bukan panji-panji ideologi tertentu.


Page 7

Sayang sekali bahwa pergolakan politik maupun tantangan pasukan Belanda tidak memberi kesempatan kepada para pemikir dan pemimpin kita untuk menjabarkan lebih lanjut pola operasionil daripada ideologi negara tersebut, kedalam program dan peri kehidupan bangsa seharihari.

Pancasila sebagai sumber yang menjiwai keseluruhan susunan Undang Undang Dasar tahun 1945 sebetulnya telah merupakan jawaban yang ampuh dan tepat mengenai sistim kehidupan yang kita pilih sebagai bangsa. Tanpa menyebut kapitalisme atau komunisme, maka konstitusi kita telah memberikan beberapa pedoman tentang pola kehidupan ekonomi misalnya yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan. Sekarang ini, justru di dunia kapitalisme, maka serikat buruh sedang diberi kesempatan memiliki saham dan partisipasi dalam dewan direksi. Di Jerman Barat misalnya maka program 'Mitbestimmung', merupakan satu program yang sukses yang telah membawa masyarakat pekerja di Jerman menikmati haknya sebagai pemegang saham, dalam struktur masyarakat kapitalis. Di sana Serikat Buruh punya saham dan dana cukup kuat untuk menjamin pensiun, asuransi dan malah, mampu mempunyai surplus, yang kemudian ditanam sebagai modal dipelbagai unit ekonomi. Ini berarti, kapitalisme sedang memberikan tempat juga kepada pola sosialisme, untuk memberi kesempatan kepada buruh dan pegawai menikmati hasil pembangunan sistim kapitalis. Di negara Sosialis, sebaliknya suatu proses pemberian kebebasan yang lebih longgar telah diberikan kepada para manager perusahaan negara dalam menentukan sistim produksi, pemasaran dan ope. rasi daripada unit produksi milik negara. Dekonsentrasi ini perlu untuk memberikan perangsang kepada pegawai negeri tersebut dalam bersaing dengan produk internasional di pasaran dunia.

Para penyusun UUD 45 niscaya tidak pernah membayangkan secara ekstrem bahwa di kelak kemudian hari meletus peristiwa Malari, akibat kurang tepatnya penetrapan sistim ekonomi terbuka dengan konsekwensi jeleknya bagi kehidupan bangsa. Tapi, para penyusun tersebut memang belum pernah dan belum sempat menjabarkan sistim ekonomi yang bagaimana harus diambil oleh Indonesia. Penjabaran dari pasal 33 dan pembuktian praktis bahwa sistim koperasi adalah sistim yang effisien serta cukup effektif, belum sempat terlaksana.

Berbicara soal koperasi maka hampir setiap orang yang agak paham soal ekonomi sudah berani sinis untuk menyatakan bahwa dengan koperasi kita tidak akan bisa mengejar ketinggalan, apalagi bersaing dengan perusahaan asing raksasa. Banyak orang juga bisik-bisik kecewa karena tokoh proklamator kita Bung Hatta, walaupun disebut Bapak Koperasi belum bisa memberikan "contoh soal” unit koperasi yang sukses, baik dalam skala ekonomi maupun dalam ukuran loyalitas anggota dan peranannya yang effektif bagi pembangunan ekonomi Nasional.

Koperasi niscaya mempunyai hak hidup dan harus dibantu. Masalahnya adalah bagaimana menyehatkan koperasi dan membuang jauh-jauh image atau khayalan bahwa koperasi adalah sekedar "model arisan" yang tidak produktif, sekedar konsumtif. Di samping sikap mental para pengu


Page 8

Adalah merupakan sesuatu yang tragis, bila kita mendengar kutukan terhadap demokrasi ala Barat dan tindakan totaliter ala komunis, tapi justru dalam mekanisme Demokrasi Pancasila sendiri, sebagian tindakan tercela tersebut terpaksa dipakai entah sengaja atau tidak. Dalam hal ini, maka proses komunikasi dan akomodasi politik yang sering dikampanyekan sebagai Demokrasi Pancasila, menghendaki juga pedoman pelaksanaan yang praktis, perumusan yang positif dan aktif, program yang jelas, riil dan penuh inisiatif untuk menampung hasrat masyarakat untuk berpartisipasi. Motivasi, inilah kata kunci untuk menggerakkan keseluruhan mekanisme keikutsertaan rakyat dalam proses pembangunan Nasional, khususnya kesadaran politik akan perlunya mewujudkan Ketahanan Nasional demi menghadapi ancaman baru bagi negara Republik Indonesia, imperialisme ekonomi dan ancaman komunis.

Sama dan sebangun dengan penjabaran demokrasi politik dan demokrasi ekonomi menurut falsafah Pancasila, demikian pula segenap pola kehidupan bangsa di segala bidang yang lain. Sistim kesejahteraan sosial yang bagaimana yang dinantikan rakyat, yang sesuai dengan falsafah Pancasila, yang sekaligus bisa diterapkan di dalam kondisi dan situasi riil yang ada. Penjabaran ini meliputi pelbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Semuanya harus dirumuskan secara aktif, bukan sekedar negatif. Semuanya harus diperinci secara detail, bukan dengan garis besar yang berisi slogan muluk. Bahkan semuanya harus dibekali dengan program yang tepat untuk bisa dilaksanakan secara konkrit oleh semua fihak dan bukan sekedar sebagai bahan untuk hafalan atau jual tampang. Penjabaran Pancasila ini memang agak terlambat, sebab kita sudah 30 tahun merdeka. Akibatnya memang cukup membuat kita prihatin. Misalnya di bidang ekonomi kita ketinggalan agak jauh dibanding saudara saudara di Philipina dan Malaysia. Tapi barangkali, justru setelah berdebat 14 abad, justru kemudian terbukti bahwa kita masih punya senjata yang selama ini belum dimanfaatkan, yaitu Pancasila, yang perlu diasah dan ditempa sehingga siap digunakan.

Sumber Inspirasi

Sebagai penutup perkenankan penulis menyimpulkan bahwa perang kemerdekaan yang tidak pernah dialami oleh generasi yang sebaya dengan penulis, tetap harus merupakan sumber inspirasi bagi generasi pembangunan sekarang dan di masa datang. Perang kemerdekaan merupakan ujian pertama, apakah penduduk kepulauan ini mampu menempuh percobaan hebat dan tetap bersatu padu mempertahankan diri sebagai satu bangsa dan menegakkan kemerdekaannya. Jiwa dan semangat tanpa pamrih, rela berjuang sepenuh hati, inilah yang menjadi sumber utama keberhasilan bangsa Indonesia. Di samping tentu saja rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi perjuangan itu karena penjajahan memang tidak sesuai dengan martabat manusia.

Sumber sumber sejarah perang kemerdekaan masih sangat langka, ini harus digiatkan penulisan dan penyajiannya kepada masyarakat. Penulisan sejarah perang kemerdekaan harus obyektif dan tidak terlalu subyektif apalagi kalau dimaksud membenarkan tindakan politik segolongan saja. Pergolakan politik dan tantangan Belanda, perkembangan


Page 9

Beberapa tahun kemudian, terbitlah sambungan dari Asrâr-i Khûdi, yaitu Rumüz-i Bêkhûdi, rahasia-rahasia non-pribadi, yang melukiskan peranan seseorang Muslim dalam masyarakat Islam. Syair ini sekali lagi

disusun dalam bahasa Persia, dan seperti Asrâr-i Khûdî dan segala tulisap

an Iqbal dalam bahasa Persia yang lain, ia kemudian diterjemahkan ke

dalam bahasa Urdu. d)

Di samping itu, Iqbal meneruskan menulis puisi, dan pada tahun za dari 1922 diterbitkannya suatu kumpulan baru dengan judul Peyâm-i Mašriq. sudah Kumpulan ini dimaksudkan sebagai semacam "jawaban" atas West

östlicher Diwan, karya J.W. von Goethe yang tentunya sangat merangSa sang pemikiran Iqbal. Di sinilah kita temui suatu segi lain dalam pribaa di Iqbal

. Tentulah ia seorang yang sangat mencintai - dan mengerti - waumenti risan kebudayaan Islam yang hendak dihidupkan kembali, dan dalam

hal mengeritik kebudayaan Barat yang berarah ke materialisme dan naan esionalisme yang ideologis (tahun-tahun duapuluhan !), ia dapat meng

ikuti Afgânî dengan segala ketajamannya. Malah kritiknya terhadap eng agama-agama bukan Islam seperti Kristen dan Hindu kadang-kadang mation agak keras rasanya dan tentu anggapan-anggapannya terhadap mereka

tidak selalu sejalan dengan pemahaman penganut masing-masing agama muling itu akan diri sendiri. Tetapi lain dari Afgânî dan banyak pengikutnya,

rasa ketimuran Iqbal tidak pernah menyempit, dan ia cukup mendalami pengetahuannya akan tradisi filosofis Barat sehingga ia dapat membuka suatu "Gespräch" atau percakapan yang berarti dengan tokoh-tokoh yang

dipilihnya dan dijunjungnya tinggi, seperti mula-mula G.F.W. Hegel, un kemudian J.W. von Goethe, F. Nietzsche (yang filsafatnya mungkin de

ngan lebih menarik ditafsirkan Iqbal dari pada oleh banyak pemikir seen bangsanya), dan Henri Bergson, seorang filosof Perancis yang sempat

dikunjungi Iqbal tahun 1932, sesudah ia sudah lama memperlajari filsafatnya. Konsepsi Bergson akan élan vital manusia sudah tercermin dalam buku Iqbal yang terkenal yaitu The Reconstruction of Religious Thought in Islam, yang berdasarkan enam kuliah yang diungkapkan Iqbal pada tahun 1928/9 di beberapa universitas di India, dilengkapi kemudian dengan satu pasal yang berjudul : Apakah agama tetap mungkin?

Dalam tahun 1932 muncullah sebuah syair panjang yang baru yang 1 sekali lagi disusun dalam bahasa Persia dan pula mengikuti gaya al

Mathnawi oleh Rûmî, yaitu Jávidnâme (buku Jâvîd; Jâvîd adalah nama putera Iqbal). Buku ini sering dianggap sebagai buku Iqbal yang paling matang dan sempurna. Diilhami oleh uraian-uraian tentang mióraj nabi Muhammad, tetapi pula oleh Divina Commedia, karya Dante Alighieri (1265-1321), dan oleh "Prolog” dalam Faust (Goethe), ia melukiskan perjalanannya yang imaginatip (bayangan) melalui martabat-martabat surga. Seperti Muhammad dalam miérâjnya dibimbing oleh Jibrîl, seperti Dante pun, dalam karyanya, memilih pujangga Virgil sebagai pemimpin, demikian pula Iqbal ("’Zinderûd”) disertai seorang pembimbing, yaitu Jalâl ad-dîn Rûmî. Dalam percakapan-percakapan dengan para tokoh yang sempat ditemuinya, ia memperkembangkan pengertiannya mengenai hakekat manusia, sampai pada akhirnya ia dianugerahi untuk bercakap langsung dalam kehadiran Allah.


Page 10

Tapi samudraku topan membadai merangkum pelbagai zaman Laguku menggema kedunia lain dari mereka

Gentaku ini memanggil musafir lain turut berjalan. Iqbal rupanya ingat kepada ayat Qur'ân tentang penyair, yakni : ”Alam tarâ annahum kulli wâdin yahîmûn(tidakkah kau lihat mereka itu pecah menzarrah dalam setiap lembah dan ngarai) ? Yakni bahwa kebanyakan penyair itu oleh karena sifat dan fitratnya hendak merasai nikmat-sepoi, supaya sebagai kata mereka, dapat mendapati sendiri nilainilai baru, lalu mengasyiki segala cara dan rasa hidup. Bahwa untuk mengetahui, bagaimana kehidupan sihidung putih atau sirancak di lebuh juga. Demikian juga karena hendak mengetahui pelbagai macam hidup yang lain, mestilah mereka amat intensif dan dengan sungguh-sungguh merasai pelbagai kehidupan itu. Dan kemudian dapatlah mereka ciptakan sesuatu yang indah, yang berlainan sifatnya dari cara pengalaman mereka sendiri. Tegasnya bertentangan amal dan perkataan atau cita-cita mereka.

Berkenaan dengan ini Qur'ân Suci juga menerangkan :
Wa annahum yaf'alûna yaqûlûn Dan para penyair itu ti-
daklah berbuat apa yang mereka katakan.

Tetapi Iqbal juga mengakui bahwa penyair "yang pecah menzarrah disetiap lembah dan ngarai” itu, mungkin menjadi manusia yang jaya oleh karena berkat kehidupan mereka yang pekat itu, kepada taraf kehidupan yang lain; mereka pindah dari chaos kepada kosmos, dari kegelisahan kepada keindahan. Sikap hidup mereka yang tak mau dogmatis itu, dan tak pernah mau menyangka diri dan citanya "arrive" (sudah tiba disegala kebenaran), menyebabkan bagi sebagian penyair melompat lebih jauh lagi, yakni : sampai juga kepada sumber keindahan segala, kepada Tuhan yang menciptakan keindahan.

Maka lukisan Qur'ân tentang "para penyair yang pecah menzarrah di setiap lembah dan ngarai”, dituruti pula oleh ayat : Illâ llaqîna âmawa-'amalú ş-şâliḥâti wa-dakarû llâha katira

(melainkan mereka yang beriman dan berbuat kebajikan serta banyak-banyak ingat kepada Tuhan).

Dan Iqbal pun berpendapat, bahwa boleh setiap orang menikmati dan merasai pelbagai cita dan penumbuhan ilmu pengetahuan, asal saja dia beriman, beramal saleh dan banyak berdzikir.

Tapi istilah imân, 'amal şâliḥ, dan dikr (dzikir) ini amat diluaskan oleh Iqbal paham dan isinya. Berpuluh-puluh halaman digunakannya baik dalam prosa maupun puisi untuk meninjau hakikat dari iman, amal saleh dan dzikir ini. Ketiga konsepsi pikiran Islam ini, bagi Iqbal, memperkuat khûdî atau pribadinya, yang mempunyai dasar tahallaqû bi ahlâu qi llâh, ciptakanlah dalam dirimu sifat-sifat dan perbuatan Tuhan.

Yang amat menarik hati bagi kita ialah tanggapannya tentang iman itu. Ringkasnya ialah bahwa iman atau percaya itu, lebih-lebih iman kepada yang gaib bukanlah percaya kepada hal-hal yang tak dapat singgah di akal atau dipahami. Roh Quran menganjurkan kepada setiap manusia, supaya kepercayaan itu didasarkan atas akal dan budi.


Page 11

"Islam is not a departemental affair, it is neither mere thought, nor mere feeling, nor mere action; it is expression of the whole man. (Islam bukanlah hanya suatu urusan kementerian, bukan pula justru pikiran semata, bukan perasaan, bukan perbuatan atau laku; Is

lam ialah penjelmaan dari manusia dalam kesegalaannya). Berkata Iqbal lagi :

"Dalam Islam, sosial budaya, masyarakat iman, orang seorang dan pemerintah tak dapat diperlakukan sendiri-sendiri. Sebab berbagai aspek kehidupan manusia, sosial, agama, politik dan ekonomi tak dapat dipisahkan. Maka itulah sebabnya Qur'ân menganggap perlu menyatukan agama dengan etik politik dan budaya dalam suatu ayat wahyu saja. Dalam Islam, Alkhalik dengan khalikat, Pencipta dengan alam semesta ini, roh dan benda, agama dan negara semua organis satu bagi semua. Seorang Islam tak diijinkan menjauhi dunia ini bagi dunia rohani yang akan datang. Bagi Islam benda ialah roh, yang mengujudkan dirinya dalam ruang dan waktu”. (Pidato Iqbal sebagai ketua dari All India Muslim League, Allahabad 1930).

Demikianlah sejak tahun 1913, Iqbal menggaungkan kepada umat Islam di India dalam Asrar-i Khudi-nya, bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan khûdi atau diri pribadi diri sendiri. Setindak demi setindak cita khûdi itu dibulatkan dan disempurnakannya dan beberapa tahun kemudian diterbitkannya pula Rumuz-i Bekhudi (keajaiban meniadakan diri sendiri), di mana disinandungkannya dalam syair falsafah millat dan organisasi Islam.

Maka nyatalah bahwa orang Islam dan millatnya hayat atau perlu sekali kepada suatu susunan masyarakat akan mengembangkan kebudayaan dan mewujudkan cita Islam.

Dan apa konsepsi Iqbal tentang tata-tertib sosial atau masyarakat ?

Bagi Iqbal perkembangan khûdî atau pribadi itu bergantung pada fitrat ma ħaula, yakni masyarakat yang mengantero seseorang dan pada ideologi yang memberikan jiwa kepada seluruh struktur sosial. Jadi beberapa banyak faktor menggerakkan perkembangan pribadi dari individu itu, ringkasnya tenaga-tenaga fitri dan kebudayaan (natural and cultural forces) yang mendirikan wujud manusia sendiri.

Dan masyarakat yang ideal hanyalah dapat didasarkan pada asasasas kesamaan keadilan sosial dan ukuwwah insani (human brotherhood.) Tata sosial Islam sebagai kesatuan dunia berdasarkan prinsip Tauhid (kesatuan atau ke-Esa-an Ilahi).

Dan karena Iqbal di-ilhamkan oleh ajaran dan falsafah Islam, maka baginya yang terutama ialah "herverwerking" atau mengolah dan mengujutkan kembali sistim Islam itu pada dunia -zaman sekarang. Tak ada suatu umat atau bangsa yang bisa dan mau melupakan zaman silamnya. Apalagi berkenan dengan Umat Islam yang pernah mewujudkan kebudayaan yang kuat padu mulai dari pantai Tiongkok kepantai Spanyol.


Page 12

menyerahkan diri sepenuhnya kepada dan kerja-sama yang aktip dengan tenaga-tenaga alam.

Saudara mengetahui bahwa Iblis ini dalam suatu allegori dalam Qur'ân dilukiskan "tidak mau sujud kepada Adam”, yakni manusia yang maksudnya Iblis tidak mau menyerahkan tenaga dan kesanggupannya bagi manusia umumnya, sebab dia (iblis) terbuat dari api, sedangkan manusia dari tanah.

Anasir api dalam watak dan kebudayaan Barat, memang menjadikan orang-orang Barat aktif, giat dan bergerak di berbagai lapangan kemajuan. Mereka pesiar keseluruh bagian dunia; mereka gali bumi, mereka selami lautan dan mereka rebut angkasa yang luas. Mereka tafsirkan alam semesta ini; mereka tundukkan tenaga-tenaga alam bagi kepentingan sendiri. Tetapi samalah dengan Iblis dalam Qur'ân dan Bibel yang sekali-kali tidak rela membaktikan tenaga dan kecakapannya bagi manusia, sebab dia merasa lebih pandai dan tinggi dari Adam (yang hanya terbuat dari tanah), maka Baratpun yang kagum akan intelek, kenyataan, methodos dan idealnya sendiri, berabad-abad lamanya tidak mau menggunakan kecakapan dan sifat-sifatnya yang baik kepada semua manusia. Untunglah dewasa ini terasa ada kecondongan berbagai negara Barat mengulurkan tangan kepada negara-negara yang sedang berkembang. Dalam hal ini kita merasa tenaga-tenaga malaikatpun mulai bekerja di berbagai kalangan Barat. Dan Allah s.w.t. memang bersifat Rahman dan Taubat. Kebinasaan dunia yang bakal datang hanyalah mungkin jika insan benar-benar menjalankan agama dan menghayatinya.

Ya'juj Ma'juj, Gog dan Magog dalam Bibel, yang urat katanya ialah aj atau ajja, yakni api, ialah bangsa-bangsa Eropah Barat dan Eropah Timur, jadi bangsa-bangsa Anglo-Saxon dan Rusia yang membangunkan kebudayaan mesin dan tehnik, sehingga Tuhan bukan saja tinggal dalam mesin, tetapi Tuhanlah mesin, akan bersihantaman habis-habisan, sehingga sesudah lenyap, sirna mereka akan masing-masing bertanya : "Apakah kesalahan kita selamanya ini, padahal kita begitu pandainya ?

Dan pada waktu itulah Islam akan dapat memberikan tuntutan dan sinar cahaya kepada dunia yang habis ditopan-badai itu.

Sebaliknya pada Iqbal, anasir Iblis atau api itu tak boleh lenyap atau sirna sama sekali. Malah dalam syair Iqbal "Percakapan antara Iblis dan Jibril”, nyata sekali bahwa Iblis mengatakan kepada Malaikat (yang sudah berjanji kepada Tuhan akan menolong manusia di kehidupan dunia ini), bahwa darahnyalah yang telah mengalirkan darah manusia, musuh dan saingannya itu.

Yang "satanis” itu selalu mewujudkan diri dalam sejarah manusia. Yang satanis itu juga yang telah menimbulkan kemauan bebas dan kemajuan yang tak terbatas bagi manusia.

Tetapi yang "satanis” ini akhir-akhirnya bisa meniadakan segala nilai dan mengangkat dirinya sebagai Tuhan dan tuan dari alam semesta. Dia bisa menjadi penjelmaan modern dari Pharao, yang menyang


Page 13

Dalam Bab 1 pengarang berusaha untuk memahami masalah Cina dalam kaitannya dengan keberadaan golongan tersebut di kawasan Asia Tenggara dari segi historis-kulturil, mempelajari kedatangan mereka di wilayah itu akibat per. kembangan hubungan antara Cina dan negeri-negeri Asia Tenggara pada masa lampau. Terjadinya arus emigrasi orang-orang Cina dari negeri leluhurnya ke wilayah itu akhirnya menimbulkan apa yang disebut masalah Cina. Masalah itu memang sangat kompleks, yang meliputi segi-segi sosial, kulturil, ekonomi dan politis yang mengancam kelangsungan kehidupan penduduk pribumi di banyak negara dalam lingkungan Asia Tenggara ini.

Dalam Bab 2 tentang perkembangan perdagangan Asia-Eropa dan peranan Cina di Asia Tenggara, pengarang dengan baik menganalisakan situasi dunia pada abad ke duabelas yang banyak menimbulkan peristiwa-peristiwa dunia yang penting. Ada tiga catatan penting yang mengakibatkan perkembangan perdagangan Asia-Eropa yang harus ditempuh der.gan cara baru dan bertambah penting. nya peranan Cina di Asia Tenggara : (1) stagnasi jaluran perdagangan Asia Eropa melalui Timur Tengah, akibat berkobarnya perang Salib, (2) agresi militer ke benua Eropa dan Asia yang dilancarkan oleh Jenghis Khan, dan (3) konflik phisik antara pasukan Kubilai Khan dengan tentara Raden Wijaya di Jawa. Kejadian-kejadian itu semua mempengaruhi peranan urang-orang Cina di kawasan Asia Tenggara. Pada saat ini, di mana saja Cina perantau bermukim, mereka berusaha keras mempertahankan kebudayaan negeri leluhurnya sehingga menemui kesulitan untuk mengadaptasikan diri dengan situasi dan kondisi di mana mereka berada, memisalikan diri dengan masyarakat pribumi setempat. Namun di pihak lain, mereka memegang peranan penting dalam bidang keagamaan dan perdagangan.

Dalam Bab 3 yang memperbincangkan revolusi perdagangan dan masalah Cina, pengarang secara agak mendalam telah menjelaskan implikasi-implikasi da. ripada peristiwa-peristiwa dunia pada saat ini, yaitu abad ke-12, yang mempengaruhi kehidupan bangsa Asia Tenggara dalam rangka hubungannya dengan keberadaan orang-orang Cina. Dengan adanya revolusi perdagangan di Barat, maka mulai abad ke enambelas bangsa Barat masuk dan menguasai wilayah-wi. layah Asia Tenggara dengan mendirikan daerah-daerah jajahannya. Dalam rangka strategis ekonomi-politik itulah Belanda mendatangkan sejumlah besar orangorang Cina dari negeri Cina dan menempatkan mereka di pelbagai daerah di Indonesia. Cara-cara yang serupa juga diikuti oleh Spanyol di Pilipina, Inggris di Semenanjung Malaya sehingga timbullah apa yang disebut masalah Cina di daerah-daerah itu.

Selain itu pengarang juga mengutarakan sebab-musabab penerobosan orangorang Cina ke Asia Tenggara secara besar-besaran antara lain disebabkan adanya kekacauan-kekacauan dalam negeri Cina pada waktu itu, akibat politik eksploitasi dari negara-negara Barat. Peristiwa keluaran orang-orang Cina dari negerinya itu merupakan suatu perasaan tidak puas terhadap pemerintah Cina yang koruptip dan impotent pada saat itu (1600 - 1900).

Dalam Bab 4 yang membahas nasionalisme dan masalah Cina itu pengarang menjelaskan pertumbuhan kesadaran kehidupan politik Cina perantau di Asia Tenggara banyak dipengaruhi oleh perkembangan situasi politik dalam negeri Cina pada permulaan abad ke duapuluh, di mana rakyat Cina sedang hebatnya mengalami proses revolusi. Sekalipun orang-orang Cina perantau merasa dirinya "dibuang" oleh negerinya karena pemerintahan Manchu yang koruptip dan asing, namun mereka tetap mengarahkan orientasi politiknya kepada negeri leluhurnya.


Page 14

Semangat nasionalisme Cina telah membangkitkan mereka mendukung gerakan revolusi yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. Dan Tionghua Hwee Koan yang didirikan tahun 1900 di Batavia itu merupakan suatu bukti nyata daripada kesetiaan mereka pada negerinya.

Dalam Bab 5 pengarang berusaha menerangkan pemikiran politik dari go. longan Cina di republik ini yang didasarkan beberapa faktor penting antara lain : a) adanya hubungan batin antara Cina perantau dan negeri leivhurnya yang berdasarkan afiliasi kulturil, b) adanya prinsiplus Sanguinis yang menyebabkan ikatan-ikatan kebangsaan dan kewarganegaraan pada Cina perantau, dan c) adanya gerakan nasionalisme Cina di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen, yang memberi semangat berpolitik pada mereka. Kesemuanya faktor itu mengakibatkan terjadi gerakan politik dari golongan Cina di sini.

Namun justru karena itu, demikian dikatakan oleh pengarang dalam Bab itu, gerakan politik golongan WNI Keturunan Cina yang berusaha mencerminkan identitas ke-Indonesia-an menemuhi kesukaran. Partai.partai yang didirikan oleh golongan ini ternyata merasa sulit menempatkan diri dalam pergerakan nasional Indonesia.

Dalam Bab 6 pengarang mengupa: masalah Cina dalam masa gerakan kemerdekaan Indonesia. Perubahan-perubahan politik di republik ini menyebabkan masalah itu semakin peka dan kompleks. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh golongan Cina antara lain adalah niasalah kewarganegaraan, yang menimbulkan masalah keloyalitasan, Baperki dalam hubungan dan kerjasama dengan PKI yang menimbulkan kecurigaan olitik, peraturan PP. 10 dan akibat-akibatnya, ma. salah integrasi dan asimilasi. Proses perkembangan masalah-masalah yang disebut terakhir itu kemudian diuraikan lebih mendalam dalam Bab berikutnya. Putusnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan RRC (atau dibekukan hubungannya) pada tahun 1965 rupanya "membuat” masalah Cina agak reda.

perlu disebutkan faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka bersikap "bunglon" atau "opportunistis” dan seterusnya.

Suatu hal lagi yang semula saya harapkan pengarang juga seharusnya memberikan uraian sekitar peristiwa-peristiwa anti-Cina yang terjadi selama ini di Indonesia (misalnya 1740 di Batavia, 1928 di Jawa Tengah, 1946 di Tangerang, 1963 di Jawa Barat, 1967 di Kalimantan Barat dan sebagainya). Karena hal itu perlu diketahui. Peristiwa-peristiwa itu mengungkapkan perasaan frustasi sebagian rakyat Indonesia terhadap masalah Cina. Jadi, maksud saya agar supaya dalam memperbincangkan masalah itu perlu dilihat dari hubungan pribumi-non pribumi itu sendiri sehingga pengertian masalah Cina menjadi lebih objektip.

Dilihat dari seluruh pembicaraan buku ini, maka sayang sekali uraian mengenai masalah Cina pada masa penjajahan Belanda yang begitu lama waktunya (1602 - 1949) terlalu sedikit, pendek dan sepotong-sepotong. Dan catatan sekitar masa itupun diuraikan dalam judul yang agak meluas, yaitu dalam Bab 3 ”Re. volusi perdagangan dan masalah Cina di Asia Tenggara”. Bila kita hubungkan antara Bab 3 dan Bab 4 seolah-olah catatan-catatan penting yang justru harus dibeberkan itu terlepas ditengah-tengahnya.

Mengingat sifat buku ini maka ada baiknya kita sabar menunggu terbitnya suatu bacaan yang lebih luas dan lebih mendalam seperti yang "dijanjikan" oleh pengarang sendiri. Saya harap yang akan ditulis selanjutnya dapat lebih mengarahkan pada pokok-pokok masalah Cina yang kita hadapi bersama.

Sdr. Christianto Wibisono adalah salah seorang aktivis mahasiswa pada masa pergolakan di masa orde lama yang kemudian terkenal dengan nama "Angkatan 66”. Ia telah menulis sebuah buku kecil yang berjudul TRITURA (tiga tuntutan rakyat) yang berisi pengalaman-pengalaman serta pemahamannya mengenai aksi-aksi sosial pada tahun-tahun pergolakan itu. Sesudah itu ia pernah pula duduk sebagai redaktur di majalah mingguan TEMPO. Karangan yang dimuat di majalah PENINJAU nomor ini adalah karangan yang keluar sebagai juara ke II dalam Sayembara Mengarang Menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-30. Sdr. Yahya Wiriadinata M.Th. adalah asisten sekretaris pada LPSDGI. Ia pernah menuntut ilmu theologia di Trinity College, Singapura. Bidang penelitiannya sekarang adalah sekitar masalah-masalah masyarakat dan kebudayaan Indonesia, khususnya yang menyangkut masalah hubungan pribumi dan non-pribumi. Nn. A.L. Fransz SH sudah sebelum terbentuknya DGI ikut aktip dalam Gerakan Oikumene di Indonesia. Sesudah ia menyelesaikan tugasnya selaku Asisten Sekretaris DGI, ia turut aktip dalam "Proyek Survey Menyeluruh” tentang gereja-gereja di Indonesia, sebagai Koresponden Daerah Sulawesi. Salah satu hasil penelitiannya adalah laporan tentang Gereja Masehi Injili Halmahera yang dipersembahkan kepada pembaca PENINJAU dalam nomor ini. Dr. Olaf Schuma nn diperbantukan kepada DGI sejak tahun 1970 selaku tenaga ahli dalam bidang penelitian agama. Pembaca PENINJAU sudah mengenalnya dari pelbagai tinjauan buku dan karangan. Mohammad Roem SH pernah turut aktip dalam perjuangan untuk mencapai pengakuan resmi, termasuk dari bekas penjajah akan kemerdekaan Republik Indonesia, terutama dalam lapangan diplomatik. Sesudah tujuan itu tercapai, ia terus melayani tanah airnya antara lain selaku Menteri Luar Negeri. Pada tahun-tahun akhir-akhir ini ia pula menyumbangkan banyak pikirannya dalam bidang keagamaan. Laksma Drs. H. Bahrum Rangkuti Sekretaris Jenderal di Departemen Agama RI, telah dikenal baik oleh para pembaca PENINJAU ini dari beberapa karangannya yang telah dimuat dalam majalah ini. Ia terkenal selaku salah seorang Indonesia yang paling memperdalam pengertiannya dalam alam pikiran Sir Muhammad Iqbal. Dr. James Danandjaja adalah seorang anthropolog Indonesia yang ternama. Ia sedang mengajar pada Universitas Indonesia.

ALAMAT-ALAMAT PARA PENGARANG Nn. A.L. Fransz SH, LPS - DGI, Jl. Salemba Raya 10, Jakarta - Pusat; Dr. Olaf Schumann, LPS - DGI, JI. Salemba Raya 10, Jakarta - Pusat;

Drs. James Danandjaja, d/a Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI. Ra-


wamangun, Jakarta - Timur; Sdr. Christianto Wibisono d/a Majalah Tem- po, Jl. Senen Raya 83, Jakarta; Mohammad Roem SH, Jl. Cik Ditiro 58, Jakarta; Laksma Drs. H. Bahrum Rangkuti, Sekjen Departemen Agama RI, Jalan Thamrin 6, Jakarta - Pusat; Sdr. Yahya Wiriadinata M.Th., LPS- DGI, Jl. Salemba Raya 10, Jakarta - Pusat.

MAJALAH LEMBAGA PENELITIAN DAN STUDI - DGI.

Majalah PENINJAU diterbitkan empat kali setahun oleh Lembaga Penelitian dan Studi · Dewan Gereja-gereja di Indonesia untuk kalangan sendiri, Maksud penerbitan ini ialah melaporkan hasil pekerjaan LPS - DGI serta merangsang per. lukaran pikiran mengenai soal-soal yang digarap dalam bidang-bidang kemasyarakatan, kebudayaan dan keagamaan di sekitar kehidupan Gereja di Indonesia. Redaksi menyambut baik tanggapan dari para pembaca. Siapa yang hendak menyumbang pikirannya atau hasil penelitiannya diundang menghubungi :

Buku-buku yang diminta untuk dibicarakan dalam majalah PENINJAU, harap dikirim dua eksemplar kepada alamat pos LPS - DGI.

Memahami Perkembangan Masyarakat dari Sudut Kebudayaan. Oleh F. Ukur Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan. Oleh J.L.Ch, Abineno Panggilan Untuk Pembebasan dan Persatuan Dalam Gereja, Masya-

rakat dan Dunia. Oleh T.B. Simatupang

Laporan Umum Badan Pekerja Lengkap Sidang Raya Kedelapan De.

wan Gereja-gereja di Indonesia. Oleh S.A.E. Nababan


Tinjauan Buku · buku
liimpunan : Undung-undang & Peraturan Mengenai Masalah Cina di
Indonesia (Yahya Wiriadinata)
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Olaf Schumann)


Page 15

I. POLA DASAR KEBUDAYAAN INDONESIA DAN PERKEM

BANGANNYA.

1. Indonesia telah mengalami banyak ragam perkembangan kulturil, ja

uh sebelum terjadi perjumpaan dengan kebudayaan Barat modern. Kebudayaan rohani secara intens dipengaruhi oleh agama-agama besar, seperti agama Hindu, Budha, Islam dan kemudian Kristen. Namun sebelum adanya pengaruh agama-agama tersebut, sudah ada pola-pola dasar kebudayaan asli Indonesia, yang erat berkait dengan

landasan materiil masyarakat. 2. Ada dua pola dasar yang dapat dianggap sebagai tumpuan kebudayaan Indonesia asli, yang berlandaskan sistim pertanian 1)

(a) yang bertumpu pada sistim perladangan

(b) yang bertumpu pada sistim persawahan/irigasi (a) Di daerah-daerah di mana sistim perladangan dipakai selaku cara

bercocok tanam dan berekonomi, maka masyarakatnya hidup dalam pengelompokan sosial yang umumnya didasari oleh garis-garis genealogis. Kebudayaan yang berkembang di sana, seperti yang nampak dalam seni anyam, seni ukir dan pahat, seni tari, nyanyi dan musik, pada umumnya menampakkan sifat "kebudayaan populer”. Suatu kebudayaan yang dihayati dan digemari dan menjadi ekspresi seluruh rakyat. Contoh yang jelas nampak di jaman sekarang ini : tarian pergaulan, tarian santai dan lain-lain, demikian juga nyanyian-nyanyian daerah yang menjadi populer di seluruh masyarakat, umumnya berasal dari daerah-daerah yang dulunya mempergunakan sistim perladangan. dulunya mempergunakan sistim perladangan.

Masyarakatnya lebih mobil, sifat-sifat perantau dan pengembara sangat kuat, dan sebab itu mereka tidak begitu sempat membentuk suatu masyarakat di mana penduduknya memadat. Sikap terbuka terhadap situasi-situasi baru lebih terasa. Kepemimpinan di kalangan kelompok masyarakat demikian ini lebih terarah kepada kemampuan, ketrampilan dan keperwiraan se

seorang anggota masyarakat. Sifatnya agak lebih demokratis. (b) Di daerah-daerah yang mempergunakan sistim irigasi menampak

kan gambaran yang berbeda. Khususnya di daerah-daerah persawahan yang luas, di mana hasil pertanian itu lebih dari cukup, maka surplusnya dapat disuplai untuk memberikan kemungkinan memelihara atau membiayai suatu pemerintahan yang tetap dengan aparat-aparat birokratisnya. Lebih dari itu kebudayaan sawah sebagai suatu penggunaan tanah yang intensip, mengakibatkan menetap dan memadatnya penduduk di daerah-daerah yang diusahakan. Daerah-daerah berpenduduk tetap dan padat itu memungkinkan adanya pusat administrasi yang mantap dengan semua perlengkapannya, termasuk pasukan keamanannya.


Page 16

bahasa, kini tengah menghayati proses identitas sebagai satu bangsa
dengan satu bahasa.
6. Di tengah-tengah pergeseran-pergeseran di dalam masyarakat seba-

gai akibat pertemuan kebudayaan yang lama dengan yang baru, yang
tradisionil dan yang modern, kita juga mengalami krisis-krisis kebu-
dayaan. Sehubungan dengan itu, ada beberapa unsur yang patut kita catat :

a. membanjirnya arus turisme di tahun-tahun belakangan ini dan kon-


trak-kontrak yang erat dan berlangsung lama membawa pengaruh-
pengaruh tertentu dalam kehidupan kulturil bangsa. Kita lihat mi-
salnya kehidupan dunia seni (seperti seni pahat, ukir, lukis, tari
dan musik) di daerah tertentu seperti di Bali semakin menurun kwa-
litasnya, akibat pengaruh kepariwisataan yang melanda Bali. Kar- ya-karya seni seperti patung dan sebagainya, bukan lagi dicipta,

tetapi seakan-akan dicetak begitu saja dengan mesin. Dan tragis-


nya mesin pencetak ini adalah seniman-seniman miskin, yang hi-
dupnya tergantung pada pemilik "art shop". Karya-karya seni yang
dihasilkan oleh keadaan seperti itu, tentunya kalaupun mutunya
tidak menurun, tapi paling tidak kita tidak melihat adanya per-
kembangan baru. Mereka hanya diminta mengerjakan patung-pa-
tung, lukisan atau ukiran sesuai dengan pesanan atau selera para
pembeli dengan ongkos yang sangat rendah, bila dibandingkan de-
ngan harga yang dijual oleh para pemilik toko. Dengan demikian,
unsur kreasi dikebiri secara lambat. Hampir sama halnya dengan
seni tari dan tetabuhan. Ada kelompok-kelompok penari yang di- haruskan menari beberapa kali sehari, demi memenuhi permintaan para wisatawan, atau para sponsor, travel-berau, dan lain seba-

gainya. b. Semakin ramainya orang-orang asing menetap di Indonesia ini,

baik sebagai perwakilan diplomatik, dagang, para ahli di tambah pula dengan meningkatnya penanaman modal asing semakin diperkenalkan pula tingkat dan pola konsumsi asing mereka kepada masyarakat kita.

Yang membuat parah, ialah bahwa tingkat dan pola konsumsi itu dipropagandakan lewat iklan-iklan menyolok, baik di TV, di layar putih, surat kabar, radio komersil, majalah, yang semuanya mampu mencapai masyarakat luas. Akibatnya ialah bangkitnya harapan-harapan yang tidak akan dapat terkabul dan sikap serta gaya hidup yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Yang lebih menyedihkan barangkali, bahwa hal-hal ini dapat mematikan atau

membekukan kreatipitas kebudayaan sendiri. c. Para pragmatis dan cendekiawan, para teknokrat dan elite yang

memimpin umumnya mempunyai kecenderungan untuk mengutamakan secara mutlak segi logika, praktis, cepat dan efesiensi, dengan mengesampingkan sengaja atau tidak sengaja - dimensi religius. Akibatnya masyarakat terombang-ambing antara eksploitasi komersiil, nilai-nilai dan kelalaian atas nilai-nilai itu. Sedangkan di pihak lain kita melihat kecenderungan ke arah institusionalisme yang ketat dari agama, yang juga memperparah keadaan,


Page 17

Bila pembangunan itu dapat dilihat selaku proses kebudayaan, maka di masa-masa mendatang akan dapat ditemukan model alternatip, yang dapat mencakup unsur-unsur hakiki, seperti :

pola-pola nilai tradisionil yang sudah ada;
kemungkinan yang lebih besar bagi partisipasi rakyat sebanyak- banyaknya, terutama kaum tani, buruh, pemuda, wanita;

memperkecil sebanyak mungkin penderitaan manusia selama ma-


sa transisi atau masa pergantian sosial yang pesat dan cepat;
menghilangkan, mengerem atau membatasi napsu mengejar nilai-
nilai yang berorientasi pada konsumsi seperti yang sekarang tera-
sa gejalanya.

Perlu dicatat, bahwa dalam proses penghayatan pembangunan di Indonesia ini kita menemukan tiga (3) dimensi kesadaran yang berbeda atau yang berlainan : a. dimensi pembangunan ekonomi dan

pertumbuhan GNP; b. dimensi keadilan sosial dan pembagi-

an kekayaan materiil yang merata; c. dimensi pengidentipikasian perorang-

an, kebebasan manusia dan kesejahte

raan rohani. Ketiga dimensi tersebut tidak mungkin dipertentangkan, tetapi harus diberi arti yang sama penting, seimbang dan sejajar.

Pembangunan bisa berjalan dengan lancar dan cepat, bila sikap mental masyarakat yang terbuka ikut mendukungnya. Sikap atau kebiasaan berhemat, kesediaan menginvestasikan uang pada hal-hal yang produktip dan tidak menghabiskannya pada hal-hal yang konsumptip, kebiasaan menabung, kreatipitas anggota masyarakat untuk alat-alat produksi yang baru mencari atau menciptakan lapangan kerja baru, mengolah kekayaan alam yang tersedia dan lain sebagainya, semuanya ini terjalin dalam kebudayaan masyarakat.

Sebab itu yang harus dicari ialah suatu peradaban baru, suatu kebudayaan nasional, yang tujuannya bukanlah perkembangan serta keberlimpahan yang berlipat ganda terus menerus, melainkan pemberian kerja yang terhormat, pencukupan materiil yang terbesar merata, jaminan rasa kebebasan dan kesejahteraan rohani. Suatu peradaban yang tidak menghamburkan sumber-sumber alam, dan yang mampu mengatur hubungan yang baru dengan teknologi dan dengan

alam lingkungannya. (2) Kebhinekaan kebudayaan dalam rangka kehidupan nasional

Kita patut berbangga bahwa negara kita ini memiliki kebhinekaan kebudayaan. Tetapi di dalam kenyataan ini, disadari bahwa tidak semua suku bangsa/daerah memperkembangkan kebudayaannya secara progresip. Terhadap kenyataan ini perlu kita prihatin. Yang perlu dipertimbangkan ialah bahwa kenyataan tadi adalah akibat perkembangan kemajuan yang belum merata. Beberapa daerah ter


Page 18

pi melalui suatu proses transformasi. Pada hakekatnya hal ini tidaklah sesuatu yang baru bagi bangsa kita, karena dari dulu hal itu telah kita lakukan, di mana unsur kebudayaan luar diserap ke dalam kebudayaan bangsa. Kita melihat umpamanya dongeng-dongeng Hindu terdapat dalam kesenian Jawa, Bali dan Sunda, lagu-lagu Arab dalam nyanyian Melayu dan Minangkabau, teknik seni suara Eropah dalam gaya nyanyian Batak, Ambon dan lain sebagainya.

Yang kita cari ialah "etik kebudayaan” yang baru demi kelanggengan hidup masyarakat dalam wilayah kebudayaan Indonesia yang tunggal.

Sehubungan dengan ini kita beruntung, karena kita telah memiliki suatu landasan bersama sebagai bangsa, yakni Pancasila. Dan Pancasila harus dapat pula dilihat sebagai falsafah kebudayaa n. Dari sini kita dapat memperkembangkan atau menggali etika kebudayaan.

Dalam usaha kita mencari etika kebudayaan yang baru ini, ada beberapa unsur, segi ataupun aspek yang perlu kita perhatikan : a) Ia hendaknya mencerminkan rasa solidaritas sosial yang prihatin,

yang dapat menumbuhkan rasa setiakawan yang akrab di antara seluruh rakyat bangsa Indonesia. Sehubungan dengan ini maka unsur nasionalisme hendaknya memperoleh tempat yang wajar, yang serentak mampu memperkembangkan segi humanisme yang

universil. b) Penggarapan etika kebudayaan yang baru, mengajak kita berpi

kir ke arah yang baru. Artinya tidak hanya di bidang filosofis saja, tetapi menyangkut hal-hal yang khusus, mengenai nilai operasionil dan fungsionil yang akan memperkuat kapasitas manusia Indonesia dalam pendayaciptaannya. Di sini dirasakan kebutuhan yang mendesak untuk memperoleh suatu penglihatan (visi) yang lebih tajam, lebih tinggi dan pengertian yang segar mengenai makna hidup dan maut bagi manusia; suatu pandangan yang luas yang memberi tempat yang layak bagi pencaharian dan pengolahan pengalaman rohaniah di satu pihak dan usaha penemu

an bentuk-bentuk baru dalam penataan masyarakat. c) Dengan pengakuan bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari umat

yang beragama, maka kebudayaan dapat dilihat selaku sesuatu yang hakiki untuk melaksanakan kehendak Tuhan oleh manusia dalam pengabdian selaku umat beragama. Di sini diartikan bahwa kebudayaan adalah perjoangan manusia untuk melaksanakan kehendak Tuhan dengan jalan memperbaiki kondisi-kondisi hidup manusia itu baik lahiriah maupun batiniah. Bertolak dari landasan ini, kita diwajibkan mengabdi kepada Tuhan dan serentak mengabdi kepada sesama manusia. Mengabdi kepada Tuhan saja dan tidak mengabdi kepada manusia, adalah kemunafikan; mengabdi kepada manusia saja dan tidak kepada Tuhan, adalah kebuntuan

dan pengabdian yang tanpa arah. d) Ia hendaknya mampu mengajak bangsa kita untuk menjadi lebih


Page 19

ruh dunia. Atau seperti yang dikatakan oleh ”Deutero-Yesaya", su-
paya mereka menegakkan atau melakukan lagi keadilan : "Aku ini, Tuhan, telah memanggil kamu dalam keadilan, telah megang tanganmu dan memeliharamu, dan membuat kamu menja-

di perjanjian bagi umat manusia dan terang bagi bangsa-bangsa,


supaya kamu membuka mata-mata yang buta, mengeluarkan orang-
orang hukuman dari tahanan dan membebaskan orang-orang yang

duduk dalam kegelapan penjara" (42 : 6 - 7).
Dari uraian yang singkat di atas nyata, bahwa pembebasan Israel dari
Mesir adalah pertama-tama "pembebasan sosial-politis". Maksud Tuhan
Allah dengan pembebasan itu, seperti yang telah kita katakan tadi, bu-
kan saja untuk mengakhiri penindasan dan penderitaan umatNya di Me-
sir, tetapi juga untuk memberikan kepadanya suatu masa depan yang
lebih baik : suatu masa depan di suatu "tanah yang baik dan luas, yang
berlimpah-limpah dengan susu dan madu” (Kel 3:8). Tanah itu harus
mereka olah (= "bangun") menjadi suatu masyarakat yang adil, yang be- bas dari penindasan dan penderitaan.

Dalam kesaksian penulis-penulis Kitab Suci tentang proses ini "soal-soal rohani" atau "religius” tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang istimewa dan yang karena itu berdiri sendiri. Soal-soal itu erat terjalin dengan soal-soal yang lain, khususnya dengan soal-soal sosial dan politis, dan merupakan isi atau inti yang sesungguhnya dari

kesaksian mereka. Soal-soal itu adalah kriterium dari situasi, di mana Israel hidup - dari kebaikan dan keburukan, dari keadilan dan ketidak-adilan, dari kebebasan dan perbudakan — dan merupakan dasar yang memberikan arah kepada hidup dan pekerjaan mereka. Tuhan Allah membebaskan Israel dalam arti sosial dan politis untuk menjadikannya "suatu bangsa yang kudus" : "Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan terhadap orang-orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepadaKu. Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firmanKu dan berpegang pada PerjanjianKu, maka kamu akan menjadi milikku di antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagiKu "kerajaan Imam dan bangsa yang kudus" (Kel 19 : 4-6). Allah Keluaran (= Allah Exodus) adalah Allah sejarah, Allah dari pembebasan. Ia, seperti yang berulang-ulang kita baca dalam Kitab Suci, adalah Penebus Israel dalam arti yang seluas-luasnya (bnd juga Yes 43 : 14; 47:4 Yer 50: 34) dengan maksud untuk menjadikannya alat dalam karya pembebasanNya.

Maksud atau tujuan karya pembebasan Allah, seperti yang telah kita dengar tadi, ialah keselamatan atau syalom. Tetapi keselamatan (= syalom) itu, menurut kesaksian Kitab Suci, tidak bisa ada tanpa keadilan : "Di mana ada keadilan, di situ akan tumbuh damai-sejahtera (= syalom). Dan buah keadilan ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya (Yes 32:17; bnd Maz 85).


Page 20

mereka, bukanlah ibadah kultis, tetapi ibadah diakonis: "Puasa yang Aku kehendaki ialah ini, yaitu supaya kamu melepaskan tali-tali kuk .... memerdekakan orang yang terbelenggu dan

... memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tidak mempunyai rumah" (Yes 58:6-7).

Itulah yang Allah kehendaki. Dan itulah, menurut para nabi, ibadah yang benar. Kalau ibadah ini kita rayakan artinya: kalau kita berpuasa dengan jalan melayani orang-orang yang miskin dan yang lemah Allah berjanji, bahwa Ia akan bersama-sama dengan kita: la akan mendengar permohonan kita dan akan berkenan kepada kita (Yes 58:9-11). Dan kalau kita, sama seperti Israel masih juga lebih mengutamakan ibadah yang kultis-rituil, Hosea akan sekali lagi mengingatkan kita, bahwa Allah "lebih menyukai kasih-setia daripada korban sembelihan" (6:6).

Saudara-saudara! Pikiran-pikiran ini kita temui juga dalam Perjanjian Baru, tetapi dalam bentuk yang lebih tajam dan lebih "revolusioner". Kalau dalam Perjanjian Lama para nabi masih menghubungkan puasa dengan pelayanan diakonia dan sosial, dalam Perjanjian Baru puasa tidak diakui lagi oleh Tuhan Yesus. Dalam diskusiNya dengan murid-murid Yohanes Pembaptis dan orang-orang Farisi, Ia menjelaskan dengan memakai kiasan "penambalan kain yang belum susut pada baju yang tua" dan "pengisian anggur yang baru ke dalam kantong yang tua” (Mrk 2:18 dyb) – bahwa puasa termasuk pada waktu yang lama: waktu kenantian. Waktu itu sekarang sedang berlalu, diganti oleh waktu kegenapan: waktu Kerajaan Allah. Dalam waktu ini berlaku suatu "orde” atau tata baru, yang bukan hanya bersifat lahiriah, tetapi yang benar-benar menempatkan manusia dalam suatu relasi baru dengan Tuhan Allah. Manusia yang berada dalam relasi baru ini hidup dari "keadilan" Allah (Mat 5:6), yang tidak diperoleh dengan persembahan korban, puasa dan pelayanan-pelayanan kultis yang lain. Keadilan itu adalah pemberian Allah kepada manusia oleh Yesus Kristus, yang mengorbankan diriNya menjadi harga-tebusan bagi semua orang (Mrk 10:45).

"Karena itu -- karena oleh korbanNya tirai Bait-Allah tercarik dari atas sampai kebawah (Mat 27:51 par) bagi Jemaat tidak ada "ruang kultis" lain lagi daripada salib, tidak ada "kultus" lain lagi daripada kematianNya, tidak ada "imamat” lain lagi daripada imamat yang digenapi di dalam Dia. Ia yang mengadakan "ciptaan baru”. Sesuai dengan itu sekarang bagi Allah tidak ada perbedaan lagi antara "yang-suci" dan "yang-tidak-suci" .... Tembok pemisah, yang didirikan oleh kultus Perjanjian Lama, sekarang dirobohkan oleh Kristus", demikian Weber.

Karena itu ibadah tidak boleh dikurung lagi di dalam "tempat-tempat suci” yang tertutup. Ruang ibadah ialah dunia ini. Di situlah ia harus dirayakan, bukan saja pada hari Minggu, tetapi terutama pada hari Senen sampai dengan hari Sabtu. Itu yang rasul Paulus maksudkan dengan "ibadah yang sejati" dalam suratnya kepada Jemaat di Roma (12:1),


Page 21

sejahtera di seluruh dunia, bukan saja antara manusia dengan manusia, tetapi juga antara manusia dengan makhluk-makhluk yang lain (Yes 11:6 dyb).

Tetapi, seperti kita tahu, Israel tidak setia kepada tugas dan panggilannya. Berulang-ulang kita membaca dalam Perjanjian Lama, bahwa Israel murtad dan "menjual" dirinya kepada bangsa-bangsa dan ilahilah asing. Sungguhpun demikian Allah tetap setia kepada PerjanjianNya. Ia tiap-tiap kali membebaskan Israel kembali dari perbudakannya dan memberikan kepadanya kesempatan (= kemungkinan) baru. Semuanya ini Allah buat, bukan saja karena keselamatan Israel, tetapi terutama – seperti yang telah kita sebut di atas — karena panggilannya untuk menjadi "berkat bagi semua kaum (Kej 12:3), "terang bagi bangsabangsa lain" (Yes 42:6; 49:6; 52:10) dan "imam-imam Allah" (Kel 19:6) untuk melayani seluruh dunia. Dan ketika semuanya ini tidak menolong dan Israel tetap tidak taat kepada tugas dan panggilannya, Allah akhirnya mengutus AnakNya, Yesus Kristus, ke dunia. Dalam Dia - dalam perkataan dan perbuatan, atau lebih kongkrit : dalam korban pendamaianNya (2 Kor 5:19) — nampak dengan jelas maksud Allah dengan Israel dan dunia.

Tetapi Yesus Kristus tidak tinggal sendiri. Ia memanggil dan "mengumpulkan” duabelas murid, sesuai dengan jumlah suku-suku Israel, yang oleh separuh orang dihubungkan dengan keduabelas bangsa legendaris

yang mendiami bumi ini. Kepada murid-muridNya dan kepada Jemaat-jemaat, yang lahir sebagai buah pekerjaan mereka la berikan, selain daripada suatu "hukum baru" untuk hidup-persekutuan mereka, juga tugas, supaya mereka, di tempat mereka masing-masing, hidup dan berfungsi sebagai garam dan terang dunia (Mat 5:13 dyb). Kemudian, sebelum ia meninggalkan murid-muridNya dan masuk ke dalam kemuliaan BapaNya, Ia berjanji kepada mereka, bahwa Ia, oleh RohNya, akan tetap hadir di tengah-tengah mereka dan akan menyertai mereka dalam penunaian tugas yang la percayakan kepada mereka. Sejak itu, dari abad ke abad, persekutuan ini sebagai "persekutuan yang diutus”, berada di dunia, serta bersaksi dan melayani, sering dalam kelemahan, karena ketidak-setiaan anggota-anggotanya, tetapi selalu dalam keyakinan yang kokoh, bahwa Allah sendiri, yang telah memulai pekerjaan itu di dunia ini akan melanjutkannya sampai pada akhirnya (Fil 1:6).

Kedua : Gereja dalam pekerjaan pembebasan dan pemersatuan Allah. Dalam laporan-laporan dan bahan-bahan lain, yang telah disampaikan oleh Badan Pekerja Lengkap DGI kepada kita, pokok ini telah dibahas dari berbagai-bagai sudut, dan dalam sub-tema "Panggilan untuk pembebasan dan persatuan dalam gereja, masyarakat dan dunia”, ia akan dibahas lagi secara terperinci oleh Dr. Simatupang. Sungguhpun demikian, karena ia, menurut pendapat saya, merupakan bagian yang integral dari ceramah ini, saya ingin mengemukakan di sini beberapa hal tentangnya dengan singkat.

1. Menurut kesaksian Kitab Suci, baik Perjanjian Lama, maupun Perjanjian Baru, seperti yang nyata dari uraian di atas, subyek pekerja


Page 22

ta telah menjadi kenyataan, telah berlaku. Kenyataan pada waktu itu ialah bahwa pasukan-pasukan Jepang masih hadir di mana-mana dan kemudian tiba lagi pasukan-pasukan Inggeris dan pasukan-pasukan Belanda. Namun mereka yang yakin akan kebenaran Proklamasi Kemerdekaan melihat pasukan-pasukan Jepang, Inggeris dan Belanda itu sebagai "kuasa-kuasa lama" yang telah lewat jaman berlakunya. Tugas mereka yang yakin akan kebenaran Proklamasi Kemerdekaan ialah "memberlakukan" pembebasan dan persatuan yang telah "berlaku" itu. Ini mereka jalankan melalui pembentukan aparatur negara yang merdeka, termasuk pembentukan angkatan bersenjata dan selanjutnya melalui perjuangan untuk melawan dan melenyapkan kuasa-kuasa lama tadi. Akhirnya kemerdekaan kita diakui oleh dunia. Sekali lagi ini hanya sekedar kiasan saja, untuk menjelaskan kepada diri kita sendiri, bahwa kepercayaan mengenai Kerajaan Allah yang telah datang, mengenai pembebasan dan pemersatuan yang telah "berlaku” serta panggilan untuk "memberlakukan"nya sambil menunggu penggenapannya yang penuh, bukanlah rumus yang abstrak dan kabur. Panggilan untuk pembebasan dan persatuan dalam gereja, masyarakat dan dunia, seperti dicantumkan dalam sub-tema Sidang Raya kita ini, adalah panggilan yang kongkrit.

Seperti dikatakan oleh konsultasi mengenai komunikasi massa yang kita kutip tadi maka Allah yang Mahaesa telah mengkomunikasikan diriNya dalam Kristus di tengah-tengah dunia untuk membebaskan dan mempersatukan umat manusia. Tema kita mengungkapkan hal ini dalam kata-kata : Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan. Ini merupakan pengakuan kepercayaan kita dihadapan dunia. Sekaligus ini merupakan pengakuan dosa, sebab kita sadar bahwa sering kita mengabaikan, menolak atau menentang karya pembebasan dan pemersatuan Kristus itu. Pengakuan kepercayaan ini juga merupakan sumber pengharapan kita, sebab dengan segala ketidaksetiaan kita, dengan segala usaha untuk menentangnya, namun rencana dan janji Allah pasti akan digenapkan. Oleh sebab itu juga di tengah-tengah kesulitan dan penderitaan tetap ada pengharapan. Dalam hubungan ini kita sebut tema untuk Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Asia yang akan diadakan pada bulan Juni 1977 di Manila. Tema itu berbunyi "Yesus Kristus dalam penderitaan dan pengharapan Asia". Tema ini mengingatkan kita bahwa pembebasan dan persatuan dalam Kristus harus difahami dalam terang penderitaan, kematian dan kebangkitanNya. Baiklah kesempatan ini saya pergunakan untuk mengajak Gerejagereja kita mengambil bagian penuh dalam persiapan-persiapan menjelang Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Asia yang akan datang itu.

Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan. Kepercayaan itulah yang menjadi titik-tolak bagi kita dalam melihat perkembangan dalam masyarakat kita dan dunia umumnya. Kepercayaan itulah yang menjadi dasar panggilan bagi kita untuk berpartisipa


Page 23

telah kita terima rumus bahwa dalam terang Kerajaan Allah yang telah datang dan sedang dinantikan penggenapannya itu maka kita berpartisipasi dalam perkembangan masyarakat secara positif, kreatif, tetapi juga secara kritis dan realistis.

Tujuan partisipasi kita dalam perkembangan masyarakat itu ialah agar dalam masyarakat itu terdapat kebebasan, keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan persatuan bagi semua warga-negara bahkan bagi seluruh penduduk. Semuanya ini kita lihat sebagai hal-hal yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dunia ini. Dunia itu dalam hal ini Negara dan masyarakat kita yang berpedoman kepada Pancasila, sedang membangun untuk menegakkan kebebasan, keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan persatuan. Semua warga negara dengan bertolak dari kepercayaan dan keyakinannya masing-masing berpartisipasi atas dasar hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam pembangunan itu.

Dalam negara Pancasila maka Agama-agama dan kepercayaankepercayaan tidak hanya boleh, tetapi diharapkan dan diajak untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Ini adalah kesempatan bagi Agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan itu untuk membuktikan ketidak benaran dalil-dalil yang mengatakan bahwa Agamaagama adalah candu bagi rakyat. Atau bahwa Agama-agama merupakan faktor penghambat dalam kemajuan masyarakat. Ucapan Presiden Soeharto beberapa waktu yang lalu bahwa masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang sosialistis religius dapat kita lihat sebagai ajakan kepada Agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan untuk bersama-sama mengembangkan nilai-nilai moral atau etos bagi perkembangan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini maka dimensi spirituil merupakan dorongan bagi pembangunan materiil. Yang kita perlukan bukanlah spiritualitas yang terpisah dari pembangunan materiil, tetapi spiritualitas yang meresapi dan mengangkat makna serta nilai pembangunan materiil itu. Dalam rangka tanggung jawab bersama untuk membangun masa depan bersama sebagai pengamalan Pancasila inilah kita mengambil bagian penuh dalam mengembangkan percakapan, kerjasama dan kerukunan antara para warga negara yang menganut Agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang berlain-lainan atas dasar kebebasan yang bertanggung jawab.

Tujuan partisipasi dalam pembangunan dan demikian juga dalam percakapan dan kerjasama tadi mencakup hidup manusia seutuhnya dan perkembangan seluruh masyarakat. Itu tidak berarti bahwa Gereja menjadi badan politik, atau menjadi lembaga ekonomi-sosial. Gereja adalah Gereja. Dalam melaksanakan tugas panggilannya sebagai Gerejalah dia berpartisipasi agar dalam hidup manusia dan dalam hidup masyarakat terdapat kebebasan, keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan persatuan, sebab Tuhan menghendaki hal-hal itu bagi hidup manusia dan masyarakat.

Dengan cara bagaimanakah partisipasi itu dilaksanakan? Dalam hal ini dapat kita catat tiga hal,


Page 24

logi yang mengancam generasi sekarang dan generasi mendatang (3) penyalahgunaan kekuasaan dan perjuangan dari mereka yang tanpa kuasa (4) persoalan-persoalan masyarakat makmur yang terus bertumbuh serta akibatnya terhadap bagian yang lain dari umat manusia. Tentu dapat lagi kita sebut ketakutan terhadap perang nuklir, masalah enersi, semakin menipisnya sumber-sumber daya alam, dan seterusnya.

Berhubung dengan analisa tadi, maka Sidang Raya V DGD berpedapat bahwa diperlukan transisi ke arah suatu masyarakat global yang lestari dan adil. Ini berarti suatu transformasi, suatu "pertobatan” dari struktur-struktur dan nilai-nilai yang sekarang ini menguasai hidup manusia dan masyarakat, tidak saja di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara sedang berkembang. Dapatkah transisi dan transformasi itu terlaksana tanpa melalui konfrontasi dan katastrofe-katastrofe ? UNCTAD IV (Nairobi 1976) kita lihat sebagai salah satu langkah dalam usaha-usaha untuk melaksanakan transisi dan transformasi itu melalui percakapan antara semua pihak. Inilah sebabnya mengapa kepada bab ini kita berikan judul tambahan : Nairobi (Sidang Raya V DGD, 1975) dan Nairobi (UNCTAD IV, 1976). Kita ketahui bahwa masalah harga bahan-bahan mentah merupakan salah satu acara pokok di UNCTAD IV. Memang keterlaluan juga bahwa dalam tahun 1960 Malaysia (dan juga Indonesia) dapat membeli 15 traktor dari Inggeris dengan mengekspor 25 ton karet sedangkan dalam tahun 1976 hanya 2 traktor saja yang dapat diperoleh dengan 25 ton karet. UNCTAD juga membicarakan beban hutang. Selain dari pertanyaan apakah hutang itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh negara-negara sedang berkembang, maka ada tempat bagi pertimbangan mengenai prinsip "pembebasan" dari hutang, seperti juga terdapat dalam Perjanjian Lama.


Page 25

(1) Membahas dan memperdalam hidup gerejani dalam

persekutuan, kebaktian, kesaksian dan pelayanan de

ngan bersama-sama menelaah Firman Allah (2) Membahas keadaan dan tanggungjawab bersama Ge

reja-gereja di Indonesia, dan menyusun AD, ART, haluan serta kebijaksanaan umum dari rencana kerja

DGI (3) Menerima pertanggungjawaban BPL dan bahan-ba

han DGI lainnya (4) Membentuk Badan Pekerja Lengkap (BPL) untuk ma

sa 4 (empat) tahun.

Pertanggungjawaban Badan Pekerja Lengkap ke Sidang Raya telah disusun dalam buku DARI SIANTAR KE SALATIGA. Pembahasan laporan ini akan diadakan di sidang-sidang seksi, dan bahanbahan pendukung akan disediakan. Yang baru sejak keputusan Sidang Raya Siantar adalah bahwa Sidang Raya gaya baru ini akan lebih dimungkinkan menggarap tugas-tugasnya secara seimbang, dan dapat menggariskan "haluan serta kebijaksanaan umum rencana kerja" untuk masa kerja berikut, sebagai pegangan bagi Badan Pekerja Lengkap. Sedang hal-hal yang terperinci telah dan akan ditangani BPL setiap kali dia bersidang. Dalam menilai laporan Badan Pekerja Lengkap, Sidang Raya mempunyai tiga ukuran yang erat berhubungan satu dengan yang lain : (a) Haluan serta kebijaksanaan umum rencana kerja, sebagaima

na dirumuskan Sidang Raya Siantar dalam keputusan-keputusannya. Sampai di manakah BPL dapat atau tidak dapat melaksanakan keputusan-keputusan tersebut, dan hal-hal baru manakah yang timbul selama masa kerja yang silam, dan bagai

mana BPL menghadapinya. (b) Sampai di manakah tema dan sub-tema Sidang Raya Siantar

DISURUH KE DALAM DUNIA - Tugas Kita Dalam Negara Pancasila Yang Membangun - mengilhami kegiatan-kegiatan kita, dan menjadi pegangan bersama baik bagi badan-badan perleng

kapan DGI maupun bagi Gereja-gereja Anggota. (c) Sampai di manakah kegiatan-kegiatan (pemikiran, prakarsa, pe

kerjaan) dalam masa kerja yang lalu berada dalam rangka usaha-usaha mencapai tujuan PEMBENTUKAN GEREJA KRISTEN YANG ESA DI INDONESIA, sesuai dengan Anggaran Da

Oleh sebab itu, baik laporan umum ini maupun laporan keuangan akan mencoba menyoroti laporan BPL tersebut dengan menonjolkan masalah-masalah yang kita hadapi bersama di waktu yang lalu dan sekarang, dan merenungkan arah ke mana perahu oikoumene kita berlayar di masa kerja mendatang.


Page 26

kandang sendiri, menyelamatkan jiwa memasukkannya ke dalam kandang, dan melakukan kebajikan tradisionil dalam bentuk memberi sedekah, menolong orang sakit, dan menampung yatim-piatu. Perbandingan pemeliharaan diri ini dalam bentuk kebutuhan organisasi dan lembaga dengan "pelayanan ke luar” adalah bagaikan perbandingan antara yang dibutuhkan orang kaya dalam perumpamaan Yesus di Lukas 16, dengan sisa-sisa yang jatuh dari mejanya untuk Lazarus. Tantangan yang dihadapi di sini adalah sampai dimana Gereja terbuka untuk bertumbuh dalam kedewasaan iman, dengan setiap kali bersedia mempertanggungjawabkan kepada Firman Tuhan pemahaman yang dianutnya. Kesadaran untuk perlunya bertumbuh ke kedewasaan iman yang penuh, keterbukaan untuk mendengar panggilan Tuhan sekarang dan di sini melalui Firmannya dalam Alkitab dengan bimbingan Rohulkudus - hal-hal inilah diharapkan dapat diilhami, didorong dan di mana perlu diprakarsai dalam usaha kita bersama dalam pendidikan dan pembinaan war

ga gereja. b) Suatu sikap lain adalah sikap yang masih ragu-ragu. Keprihatin

an timbul di sini disebabkan oleh kekuatiran kehilangan keseimbangan dan oleh keterbatasan kemampuan. Oleh sebab itu segi kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan masih dianggap sebagai "buntut” yang pada hakekatnya tidak merupakan bagian inti dari Injil. Memang tak dapat disangkal bahwa cobaan menjadikan Injil hanya sebagai "berita kesukaan dalam pelayanan masyarakat” melulu, selalu ada. Di beberapa negara dapat diamati adanya aliran yang sedemikian rupa, sehingga pemberitaan mengenai pengampunan dosa untuk pertobatan sama sekali tidak mendapat tempat. Akan tetapi, Gereja tidak terpanggil untuk taat dalam ruangan sendiri saja. Gereja terpanggil untuk taat dan setia di tengah perubahan dan pergolakan dunia ini. Lebih jelas lagi, ketaatan dan kesetiaan Gereja terhadap Tuhannya akan nampak pada saat Gereja itu menentukan sikapnya dan mengangkat suaranya serta melaksanakan kasihnya di tengah ketidak-adilan, penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, dan penderitaan, di tengah perubahan-perubahan yang cepat dan pergolakan yang besar. Sebagai Gereja yang ditempatkan Tuhan di tengah-tengah bangsa kita yang masih berjuang menghadapi kemiskinan, berita kesukaan di tengah kemiskinan ini adalah pemberitaan tentang Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit, agar yang miskin, terbelakang, menderita dan tertindas menikmati berita kesukaan dalam bentuk pengampunan serta dalam bentuk pangan, sandang, papan dan lapangan kerja. Terhadap mereka yang terlalu mengandalkan bahwa mereka beriman, tapi tidak perduli akan keadaan bobrok di sekitarnya, rasul Yakobus mengingatkan bahwa iman tanpa perbuatan kongkrit, adalah mati (2:17). Dalam sikap keragu-raguan seperti itu kita semua terpanggil untuk saling meneguhkan dan saling menolong agar arak-arakan itu jangan kececer di jalan,