Dalam paradigma Baru Manajemen Ritel Modern (Sujana, 2005) disebutkan bahwa penangan barang merupakan aktifitas utama dari operasional harian di toko, sebagai “show case” pembentuk citra toko dalam pandangan konsumen, atau sebagai cermin atau talak ukur dari keberhasilan keseluruhan proses merchandising dari paritel tersebut. Proses-proses merchandising pada toko minimarket, khususnya minimarket individual, antara lain meliputi (1) pemesanan barang, (2) penerimaan barang, (3) pengeluaran dan pemanjangan barang, (4) retur barang ke supplier, dan (5) pemusnahan barang.Untuk minimarket jaringan terdapat proses tambahan, yaitu (6) Penerimaaan dan pendistribusian barang digudang pusat (DC) dan (7) transfer barang antar toko.Perhatikan bagan arus berikut. Berikut ini akan kita kupas satu per satu dari proses–proses tersebut .Pedoman teknis pelaksanaannya dalam bentuk prosedur standar operasional (SOP) dapat anda temukan dalam CD Lampiran.
Ordering adalah aktifitas untuk mendatangkan barang melalui pemesanan kepada supplier dengan cara dan prosedur yang baku atau umum berlaku, yakni dengan membuat PO (purhase order) dan mengirimkan PO tersebut kepada supplier. Berdasarkan PO tersebut, supplier akan mengirimkan barang yang disertai dengan factor penjualan (invoice) dan surat jalan (delivery note). Dalam menjalankan proses ordering, beberapa prinsip yang harus dipegang adalah (1) kesesuaian dengan kebutuhan dan (2) pertanggung jawaban. Kesesuaian dengan kebutuhan berati bahwa kita hendaknya melakukan pesan dengan pemesanan berdasarkan estimasi jumlah pesanan dalam periode waktu tertentu (order judt what we need). Dengan kata lain, beberapa banyak barang yang kita butuhkan dan bukan karena permintaan supplier agar kita order sejumlah yang mereka minta. Pertanggung jawaban maksudnya adalah beberapapun jumlah barang yang kita order akan mempengaruhi besarnya nilai stok barang yang kita miliki yang pada akhirnya akan mempengaruhi financial perfomence. Kalau kita order terlalu sedikit, akan berakibat kekosongan barang (out of stok). Jadi, selalu ada implikasi atas keputusan jumlah order yang kita ambil. Seperti pepatah, ”cook what you eat, eat what you cook;” yang dalam konteks pembahasan kita, kalimat tersebut bisa diinterpretasikan sebagai, “order what you can sell what you order;” sederhananya, Don’t buy whaat won’t sell.
Receiving atau penerimaan barang merupakan aktifas yang mengikuti aktifitas andering dan delivery supplier. Aktifitas ini dilakukan dengan melalui pemeriksaan atas barang yang dikirim oleh supplier, yaitu dengan memeriksa dengan kesesuaian barang yang dipesan dengan yang terkirim, secara kuantitatif dan kualitatif,kesesuaian dengan dokumen pengiriman, dan kelengkapan dokumen pengirimannya. Pada saat mengirim barang, supplier diharuskan untuk membawa serta dokumen PO yang asli, surat jalan, dan atau factor penjualan. Karena masih adanya kemungkinan penyesuaian, seperti penolakan dan sebagainya yang berakibat dikoreksinya dokumen pengiriman (surat jalan dan atau faktor penjualan) maka faktor pajak atas barang yang dikirim biasanya baru diserahkan pada kemudian waktu. Pemeriksaan penerimaan barang secara kualitatif adalah memastikan bahwa kualitas barang yang diterima adalah layak jual, yaitu dalam keadaan tidak rusak (busuk, penyok, berkarat, berjamur, atau kemasan rusak) dan tidak kadaluarsa (expired). Sementara itu, pemeriksaaan secara kuantitatif adalah memastikan bahwa jumlah barang yang diterima secara fisik per unit barang sama dengan yang tertera pada dokumen pengiriman. Sujana (2005) menyebutkan bahwa proses penerimaan sangat penting karena dapat merupakan celah kebocoran besar bagi suatu entitas bisnis retail. Laporan pada situs Http://retailindustry.about.com/library (2002) mencatat angka kehilangan terbesar (69.4%) pada umumnya peritel merupakan kehilangan dari dalam (internal losses); di antaranya karena “kenakalan orang dalam” sekitar 46,0%, kesalahan administrasi sekitar 17,6% dan kenakalan supplier sekitar 5,8%. Oleh karena itu, proses penerimaan ini memerlukan pengawasan yang optimal, antara lain dengan prosedur penerimaan dan pemeriksaan penempatan petugas keamanan internal (security guard/loss prevention dept.) instalasi kamera pengawas (CCTV) dan sebagainya. Pada paritel yang sudah menerapkan system merchandise yang Integrated, penggunaan scanner dalam penerimaan barang (blind Receiving) kan sangat membantu untuk memastikan bahwa barang yang diterima akan bisa dijual dalam arti terdaftar secara akurat dan dipastikan dapat di-scan di mesin kasir.
Proses ini lebih merupakan kegiatan rutin harian yang dilakukan oleh pramuniaga. Dimulai dari pemeriksaan dan Pencatatan barang yang kosong di area penjualan penjualan toko Kemudian pramuniaga mengambil barang tercatat dari dalam gudang transit dan memajangnya pada rak yang bersangkutan.
Returning adalah aktifitas pengembalian barang kepada supplier Karena tidak layak jual (un-saleable) dengan kondisi yang biasanya diatur sesuai hasil negosiasi dengan supplier. Pada dasarnya returning adalah aktifitas pengembalian barang kepada supplier karena tidak layak jual (un-saleable) dengan kondisi yang biasanya diatur sesuai hasil negosiasi dengan supplier. Pada dasarnya returning memang bukan hal yang merugikan bagi paritel, bahkan untuk kondisi tertentu bisa meperbaiki keadaan misalnya overstock. Namun demikian, aktifitas returning yang terlalu besar jika di bandingkan dengan tingkat turn over barang bisa menunjukan ketidak efisienan dalam proses penanganan barang di toko. Selain itu juga, bisa merupakan indikasi bagi suatu item yang tidak laku, terutama untuk item barang baru (belum mempunyai bistirical sales-over estimate order ) dan big order untuk aktifitas promosi barang kurang laku.
Breakage atau bisa disebut juga wastage adalah kegiatan membuang atau memusnahkan barang karena kondisi tidak layak jual (un-salaeble ) dan tidak dapat diretur (un–returnble). Aktifitas ini jelas merupakan salah satu kerugian bagi paritel karena akan mengurangi groos profil margin. Dalam pelaporan keuangan bulanan (monthly financial bulletin), breakage ini biasanya termasuk dalam kategori known-loss (kerugian yang diketahui sumbernya) yang akan mengurangi nilai groos margin. Walaupun merupakan bagian dari kerugian operasional, proses breakage tetap harus dilakukan. Karena kalo tidak dilakukan sebagai breakage, barang rusak dan un-returnable tersebut pada akhirnya akan menghancurkan nilai keihilangan barang (sbrinkage/un-known loss). Seharusnya sbrinkage ini hanya di kategorikan untuk kerugian karena pencurian (stolen) atau administrative losses (human error), dan bukan karena barang yang seharusnya bisa di-breakage .
Partikel dengan banyak toko cabang (multi-chain retailer) memungkinkan untuk memiliki suatu gudang pusat (central Warehouse) dan atau melakukan kontrak dengan suatu perusahaan Jasa pergudangan untuk menjalankan suatu cross docking system. Keduanya merupakan suatu bentuk implementasi pemusatan distribusi (distribution center-DC) dengan memusatkan penerimaan dari beberapa supplier untuk beberapa toko dan kemudian melakukan drop-shipment ke masing-masing toko per container sesuai jadwal kirim. Tujuan dari kedua jenis pemusatan distribusi tersebut adalah untuk (1) memberikan benefit bagi supplier dengan melakukan efisiensi pengiriman hanya ke satu titik, (2) sebagai kompensasinya supplier memberikan suatu tambahan diskon pembelian atau suatu bentuk fees (sehingga bagi paritel tersebut,DC berfungsi juga sebagai profil center ), dan (3)memberikan jaminan kontinuitas ketersediaan stok barang karena adanya kapasitas pembelian yang cukup besar. Prinsip dan proses penerimaan barang di DC relatif sama dengan proses penerimaan yang dilakukan toko seperti sudah diterangkan pada poin 2 di atas. Bedanya adalah sesudah proses penerimaan harian per supplier selesai, DC masih meneruskan dengan aktifitas mepersiapkan proses pengiriman barang ke masing-masing toko sesuai dengan PO mereka masing-masing supplier.
Tujuannya dilakukanya proses ini adalah untuk mengatasi masalah dengan kondisi stok di suatu toko dalam multi-chain retailer. Masalah stok ini antara lain bisa berupa kekosongan (out-of-stock) dan atau overstock di suatu toko, sedangkan di toko lainnya tidak. Proses inter-store transfer dilakukan atas dasar nilai nett purchase (harga beli; tanpa ada penambahan suatu persentase sebagai margin keuntungan), kecuali distribution cost yang harus di tanggung oleh toko yang meminta atau dikirimi barang. Namu demikian, perlu pertimbangkan bahwa dalam penentuan nilai transfer antar toko ini hendaknya disesuaikan dengan ketentuan perpajakan setempat. Hal ini dikarenakan barang dalam inventori toko yang mentransfer adalah bernilai jual dengan PPN (include tax). Sementara itu, transaksi antar toko merupakan transaksi yang menambahkan nilai pada barang yang di transfer karena ada proses distribusi dan perlibatan nilai tenaga kerja. |