Upacara ngaben tidak dapat dilaksanakan sebab waktu karena

KOMPAS.com - Ngaben adalah upacara prosesi pembakaran mayat atau kremasi yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali.

Upacara Ngaben juga dikenal sebagai Pitra Yadyna, Pelebon, atau upacara kremasi.

Ngaben sendiri dilakukan untuk melepaskan jiwa orang yang sudah meninggal dunia agar dapat memasuki alam atas di mana ia dapat menunggu untuk dilahirkan kembali atau reinkarnasi.

Baca juga: Puputan Margarana, Pertempuran Rakyat Bali Mengusir Belanda

Asal Usul

Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada juga yang mengatakan Ngaben berasal dari kata ngabu yang berarti menjadi abu.

Menurut keyakinan umat Hindu di Bali, manusia terdiri dari badan kasar, badan halus, dan karma.

Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa).

Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakkan oleh atma (roh).

Ketika manusia meninggal, yang mati hanya badan kasarnya saja, sedangkan atma nya tidak.

Bagi masyarakat Bali, Ngaben merupakan peristiwa yang sangat penting, karena dengan pengabenan, keluarga dapat membebaskan arwah orang yang telah meninggal dari ikatan-ikatan duniawi menuju surga dan menunggu reinkarnasi.

Baca juga: Puputan Margarana, Pertempuran Rakyat Bali Mengusir Belanda

Tujuan Ngaben

Upacara Ngaben memiliki makna dan tujuan sebagai berikut:

  1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
  2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka.
  3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.

Baca juga: Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali

Proses upacara Ngaben berlangsung cukup panjang.

Dimulai dengan Ngulapin, yaitu pihak keluarga melakukan ritual permohonan izin dan restu kepada Dewi Surga yang merupakan sakti dari Dewa Siwa.

Ngulapin dilakukan di Pura Dalem.

Setelah itu, dilakukan upacara Meseh Lawang yang bertujuan untuk memulihkan cacat atau kerusakan jenazah yang dilakukan secara simbolis.

Upacara Meseh Lawang ini dilakukan di catus pata atau di bibir kuburan.

Berikutnya adalah upacara Mesiram atau Mabersih, yaitu memandikan jenazah yang terkadang hanya berupa tulang belulang, dilakukan di rumah duka atau kuburan.

Tahap a adalah upacara Ngaskara, yaitu upacara penyucian jiwa tahap awal. Dilanjutkan dengan Nerpana yaitu upacara persembahan sesajen ata bebanten kepada jiwa yang telah meninggal.

Puncak dari prosesi Ngaben adalah Ngeseng Sawa, yaitu pembakaran jenazah yang dilakukan di setra atau kuburan.

Jenazah yang akan dibakar diletakkan di dalam sebuah replika lembu yang disebut Petulangan.

Petulangan adalah tempat membakar jenazah yang berfungsi sebagai pengantar roh kea lam roh sesuai dengan hasil perbuatannya di dunia.

Usai jasad dibakar, dilakukan upacara Nuduk Galih, di mana keluarga mengumpulkan sisa-sisa tulang (abu) jenazah setelah pembakaran.

Prosesi terakhir adalah Nganyut, yaitu menghanyutkan abu jenazah ke laut, sebagai simbolis pengembalian unsur air dan bersatunya kembali sang jiwa dengan alam.

Baca juga: Senjata Tradisional Kandik Bali

Macam-macam Ngaben

Ngaben terdiri dari lima jenis:

Ngaben Sawa Wedana

Sawa Wedana adalah upacara Ngaben yang melibatkan jenazah yang masih utuh, tanpa dikubur lebih dulu.

Upacara ini biasanya dilakukan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut.

Ngaben Asti Wedana

Asti Wedana adalah upacara Ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur.

Upacara ini juga diikuti dengan upacara Ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa.

Prosesi ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat.

Swasta

Swasta adalah upacara Ngaben tanpa memperlihatkan jenazah maupun kerangka mayat.

Hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dan sebagainya.

Pada upacara ini, jasad biasanya disimbolkan dengan kayu cendana yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.

Ngelungah

Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.

Warak Kruron

Warak Kruron merupakan upacara yang dilakukan untuk bayi.

Biasanya, upacara ini dilakukan secara massal untuk meringankan biaya tanpa mengurangi makna upacara.

Referensi:

  • Haviland, William A, Harald EL Prins, dan Bunny McBride. (2010). Cultural Anthropology: The Human Challenge. Cengage.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

masa pertama Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman dari dalam maupun dari luar negeri berlangsung dari tahun 1945 hingga​

7. Sebutkan nilai-nilai yang mencerminkan sila kelima Pancasila! Jawab: ​

tolong ya kaaterimakasii <3​

sebutkan 5 contoh hasil peningalan masa sejara awal kelahiran pancasila​

masa penjajahan jepang di Indonesia jelaskan secara singkat​

solusi untuk masalah lembaga yudikatif di bawah ini-banyak kasus penyuapan-sulit menangani kasus korup Karan melibatkan banyak pihak-hukum kurang tega … s untuk para korup-ketimpangan hukum antara masyarakat dan aparat negara​

contoh aksi nyata berekreasi dan berteknologi untuk membangun NKRI​

cari dan bacalah artikel mengenai kegiatan yang dapat mempererat persatuan didalam masyarakat!plis bantu jawab soal nya besok mau di kumpul:(​

d. dr. Radjiman Wedyo 11 Maret wablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan benar! Kapan sidang pertama BPUPKI berlangsung? Jawab: ....... Apa age … nda BPUPKI setelah terbentuk? Jawab: ..... Jelaskan tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia! Jawab: ...... Jelaskan alasan Rengasdengklok dijadikan tempat untuk m Hatta! Jawab: Sebutkan rumusan dasar negara sesuai Piagam Jakarta! Panitia Persiapan BPUPKI ​

Cari kasus prilaku yg bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan berilah solusi dari kasus tersebutsetiap siswa  mengerjakan 2 sila ( bebas sila yg … mana saja) 2 kasus dan 2 solusi​

Upacara ngaben tidak dapat dilaksanakan sebab waktu karena

Upacara Ngaben di Ubud

Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali dan tergolong sebagai upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur).[1]

Bentuk

Upacara Ngaben terdiri dari 5 jenis:

Ngaben Sawa Wedana

Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.

Ngaben Asti Wedana

Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi (Menitipkan di Ibu Pertiwi).

Swasta

Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti: meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.

Ngelungah

Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.

Warak Kruron

Warak Kruron adalah upacara untuk bayi.

Tujuan

Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut:

  1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
  2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka.
  3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.

Rangkaian upacara

Ngulapin

Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.

Nyiramin/Ngemandusin

Upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugerahi badan yang lengkap (tidak cacat).

Ngajum Kajang

Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.

Ngaskara

Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.

Mameras

Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.

Papegatan

Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus. Makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.

Pakiriman Ngutang

Di laksanakan setelah upacara papegatan yang dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara "Baleganjur" (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.

Ngeseng

Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, Tulang-tulang hasil pembakaran kemudian dikumpulkan dan dirangkai sesuai posisi tulang belulang itu sendiri pada tubuh saat masih utuh. Rangkaian dilakukan sedapatnya tulang yang terkumpul, tidak harus lengkap. Rangkaian tulang belulang itu diupacarai kemudian digilas dan dimasukkan ke dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya. Sisa tulang lainnya yang bercampur arang kayu dan sulit dikumpulkan dibungkus kain kafan.

Nganyud

Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.

Makelud/Ngaroras

Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Dalam bahasa Bali, 12 adalah roras. Makna upacara makelud/ngaroras ini adalah melepaskan Ekadasa Indrya (sebelas indria) dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Setiap hari dilepas 1 indria hingga hari ke-11. Di hari ke-12 dilakukan upacara penyucian. Mengenai Ekadasa Indrya dapat dibaca pada Manawa Dharma Sastra.

Ngaben massal

Upacara ngaben tidak dapat dilaksanakan sebab waktu karena

Prosesi Ngaben masal

Ngaben massal merupakan proses ngaben yang dilakukan oleh lebih dari satu pihak, bisa satu klan, satu desa, atau lingkup yang lebih luas, cara ini dianggap lebih efisien dan ekonomis, karena pihak yang terlibat tidak hanya satu lingkup keluarga, dengan asumsi semakin ramai yang mengikuti semakin murah biaya yang dikeluarkan[2]

Lihat juga

  • Tiwah

Referensi

  1. ^ William A. Haviland; Harald E. L. Prins; Bunny McBride; et al. (2010). Cultural Anthropology: The Human Challenge. Cengage. hlm. 310. ISBN 0-495-81082-7. 
  2. ^ Esti Utami, Mengintip Tradisi Ngaben Massal di Bali, diakses tanggal 1 Mei 2019  Parameter |created= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ngaben&oldid=20837014"