Untuk mewujudkan kebijakan politik tersebut, cara yang dilakukan pemerintah yaitu

Indonesia adalah salah satu negara yang terjebak dalam status berpenghasilan menengah, bahkan sejak tahun 1960-an. Hal itu disebabkan oleh kegagalan negara berpenghasilan menengah untuk memiliki pertumbuhan produktivitas tenaga kerja yang lebih cepat melalui inovasi teknologi dan peningkatan industri dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi. Hal-hal seperti memprioritaskan penggunaan sumber daya yang terbatas, memfasilitasi inovasi teknologi, dan mendukung peningkatan industri dalam bentuk suatu kebijakan menjadi faktor yang sangat krusial bagi pemerintah negara berpenghasilan menengah untuk mengatasi masalah ini.

Oleh karena itu, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bekerja sama dengan Australian National University (ANU) Indonesia Project dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia pada hari Jumat (13/11) menyelenggarakan Kuliah Umum Bersama dengan tajuk "Kebijakan Industri untuk Keluar dari Perangkap Pendapatan Menengah: Pendekatan ekonomi struktural baru untuk Indonesia". Kuliah umum ini merupakan gabungan seri tahunan Mubyarto Public Policy Forum yang telah diselenggarakan sejak tahun 2017 untuk menghormati Almarhum Profesor Mubyarto, Pakar Ekonomi Kerakyatan Indonesia dari Universitas Gadjah Mada dan Sadli Lecture yang sudah diselenggarakan sejak tahun 2007 untuk menghormati Almarhum Profesor Mohammad Sadli, salah satu arsitek ekonomi Orde Baru dari Universitas Indonesia. Keduanya, Profesor Sadli maupun Profesor Mubyarto adalah ekonom yang telah berkontribusi besar bagi Indonesia, khususnya pada debat intelektual tentang kebijakan pembangunan Indonesia. Narasumber pada kuliah umum ini adalah Prof. Justin Yifu Lin dari Peking University, dan dua orang pembahas yaitu Dr. Muhammad Edhie Purnawan selaku Dosen dari FEB UGM dan Dr. Kiki Verico selaku Dosen FEB UI.

Dr. Kiki Verico menyampaikan masalah penting dalam program industrialisasi Indonesia, yaitu tentang keunggulan komparatif di berbagai sektor, rendahnya investasi dan sumber daya manusia, dan bagaimana peran pasar dan pemerintah dalam beradaptasi dengan ekonomi digital.

“Pemerintah sedang menghadapi dilema antara manakah yang perlu didahulukan, perbaikan sumber daya manusia atau pengembangan industri dan investasi?”, papar Dr. Verico.

Sementara Dr. M. Edhie Purnawan fokus tentang upaya penanganan Middle Income Trap di Indonesia. Ia mengatakan bahwa Middle Income Trap terjadi karena negara menjual lebih banyak dan menjadi semakin kaya, kemudian terjadi peningkatan pembayaran upah sehingga berimbas pada peningkatan biaya penjualan barang.

“Oleh karena itu, mereka kehilangan keunggulan kompetitif dan terjebak sehingga tidak mampu menjual lebih banyak dan menjadi lebih kaya”, kata Dr. Edhie.

Dr. Edhie menyampaikan bahwa menguji Indonesia merupakan suatu hal yang konstruktif. Sebab, Indonesia adalah bagian dari negara ekonomi berkembang yang paling menonjol dalam menentang kecenderungan Middle Income Trap. Ia menawarkan solusi agar lebih banyak industri yang bertransformasi digital, tidak online di kota, tetapi menuju desa yang menciptakan lebih banyak nilai pasar. Kemudian perlu juga untuk membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai Koridor Ekonomi Baru untuk memperkenalkan kota-kota baru.

Dr. Edhie mengatakan bahwa masalah stabilitas ekonomi dan stabilitas politik merupakan faktor yang perlu diperhatikan agar kebijakan industrialisasi di Indonesia dapat berhasil.

“Meskipun Middle Income Trap sulit untuk dilawan, bukan berarti tidak mungkin, dengan kita fokus pada human capital industri, dan peningkatan frontier technology, Middle Income Trap akan dapat diatasi lebih cepat”, papar Dr. Edhie.

Prof. Justin Yifu Lin menyampaikan bahwa kondisi Indonesia telah terperangkap dalam tingkat pendapatan menengah (middle income) sejak tahun 1960-an. Ia menampilkan data Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada awal 1960 yang hampir mirip dengan kelompok menengah bawah. Berdasarkan data tersebut, secara perlahan PDB per kapita Indonesia terbukti berhasil meningkat hingga pada tahun 1990-an mencapai 80% sampai 100% dari PDB per kapita rata-rata negara-negara berpendapatan menengah. Pada tahun 1997-1998, sesaat sebelum Krisis Keuangan melanda negara-negara di Asia, PDB per kapita Indonesia sedikit meningkat kembali (di atas 100%) dari rata-rata negara kelas menengah. Namun, sejak saat itu pula Indonesia seperti terperangkap di tingkat menengah bawah. Prof. Lin menyampaikan bahwa terdapat negara lain yang pada awal 1960-an memiliki situasi mirip dengan Indonesia, di antaranya seperti China, Korea, Malaysia, dan Singapura, dan saat ini mereka telah berhasil keluar dari kelompok menengah.

Ia menyampaikan solusi untuk menangani hal ini, yaitu dengan membuat perspektif pendekatan ekonomi struktural baru tentang alasan jebakan ekonomi dan cara menghindarinya dengan beberapa implikasinya bagi Indonesia. Pemberian predikat 'baru' adalah untuk membedakannya dengan pendekatan struktural 'lama' yang diterapkan setelah Perang Dunia II, yaitu pengembangan modal dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas pekerja.

Ia mengatakan bahwa ada enam langkah praktis yang dapat diterapkan, salah satunya adalah penguatan zona industri atau industrial parks. Langkah lainnya, yaitu memberikan insentif berupa subsidi, fasilitas pajak dan kredit, serta fasilitas untuk memperoleh mata uang asing bagi perusahaan pionir. Pendekatan baru ini menurutnya lebih realistis, sebab tidak ada negara yang berhasil keluar dari status pendapatan menengah tanpa diimbangi dengan kebijakan industri yang kuat. Salah satu kuncinya adalah menargetkan kebijakan industri pada sektor di mana negara memiliki sumber daya yang melimpah. Indonesia sendiri memiliki dua sumber daya melimpah, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia.

“Implikasinya, pemerintah Indonesia perlu berperan sebagai fasilitator dalam pasar yang efektif untuk memungkinkan inovasi teknologi dan peningkatan industri”, kata Lin.

“Indonesia juga harus mampu mempertahankan 7% atau lebih tingkat pertumbuhan setiap tahun selama 20 tahun dan menjadi negara berpenghasilan tinggi dengan dukungan kebijakan industri untuk meningkatkan diversifikasi industri negara”, tutupnya.

Sumber: Sony Budiarso/Leila Chanifah Zuhri

Mewujudkan stabilitas dalam pembangunan di awal pemerintahan Orde Baru bukan merupakan hal yang mudah karena banyak persoalan keamanan, ekonomi, politik yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya. Untuk itu, langkah pertama Presiden Suharto dalam menjalankan pemerintahan pada masa Orde Baru adalah dengan memperbaiki kondisi negara, terutama stabilitas politik.

Dalam pendekatan keamanan dan politik sipil, pemerintahan Orde Baru yang didukung oleh militer dan teknokrat mengambil langkah strategis agar dapat mewujudkan kestabilan keamanan nasional. Langkah yang dialakukan oleh pemerintah Orde baru, yakni:

  • menghancurkan kekuatan PKI dan pengikut Sukarno,
  • membubarkan partai yang menjadi oposisi dalam pemerintahan Orde Baru,
  • melahirkan konsep Dwifungsi ABRI yang memberi peran politik serta pemerintahan kepada ABRI, dan
  • pemerintah Orde Baru melakukan fusi atau penggabungan partai politik.

Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan oleh Presiden Suharto untuk menciptakan stabilitas keamanan dan politik sipil diwujudkan dengan cara membubarkan partai yang menjadi oposisi dalam pemerintahan.

Sehingga, jawaban yang benar adalah A.

Orde Baru merupakan masa pemerintahan Presiden Suharto di Indonesia dengan masa jabatan terlama, yakni 32 tahun tanpa pergantian kepemimpinan. Pada masa ini terjadi berbagai permasalahan sosial dan politik di Indonesia, salah satunya adalah peristiwa demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa yang menimbulkan kerusuhan dan jatuhnya korban. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan sosial dan politik yang ada dengan beberapa langkah, yaitu:

  • melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang-orang yang disinyalir terlibat dalam PKI baik langsung maupun tidak langsung,
  • menetapkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara demi terciptanya keseragaman pemahaman atau ideologi,
  • pemberantasan ideologi sayap kanan (agamis) dan sayap kiri (komunis) yang dianggap ekstrem yang akan menimbulkan perpecahan dan mempengaruhi stabilitas sosial masyarakat Indonesia, dan
  • penyederhanaan partai-partai di Indonesia yang dikelompokkan berdasarkan visi dan misinya.

Dengan demikian, upaya stabilisasi sosial dan politik masa Orde Baru dilakukan dengan melakukan penangkapan terhadap orang PKI, menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara, memberantas ideologi ekstrem, dan penyederhanaan partai.

Berikut ini kita akan membahas mengenai kebijakan pemerintah orde baru, kebijakan politik pada masa orde baru, kebijakan politik orde baru, stabilitas politik pada masa orde baru, pemilu orde baru, penyederhanaan partai politik pada masa orde baru, kehidupan politik pada masa orde baru, kebijakan pemerintah orde baru dalam bidang politik, partai politik pada masa orde baru.


Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.

Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan Ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966), Stabilitas ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966) Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. 

Diantara penyimpangan tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur). Sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut adalah agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi polkam, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (security approach), termasuk di dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah. 

Seiring dengan itu, dibentuk lembaga-lembaga stabilisasi seperti; Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970). 

Mengenai kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos-Oldefos dan “Poros Jakarta -Pnom Penh - Hanoi-Peking - Pyongyang” ke politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Tujuan dari politik luar negeri pun diarahkan untuk dapat dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat. 

Hal itu tampak dari pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4 April 1966, beliau menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. 

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada perluasan kerjasama ekonomi dan keuangan antara Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat, selama kerjasama itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.

Sebagai wujud nyata dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan Malaysia termasuk Singapura yang sempat terganggu akibat kebijakan konfrontasi Indonesia 1963-1966. Di samping itu, sejak 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1 Januari 1965, keluar dari lembaga tersebut. 

Langkah berikutnya, Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina membentuk organisasi kerjasama regional ASEAN (Association of South East Asian Nation) di Bangkok 8 Agustus 1967. Tujuan pembentukan ASEAN ini adalah untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.

Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:

  1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
  2. Menyusun dan merencanakan Repelita;
  3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
  4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
  5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.

Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah.

Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih mudah dikendalikan. 

Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar. Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971. 

Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970. 

Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: 

NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. 

Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150)

Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah permasalahan. 

Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol, melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila. 

Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP. 

Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR. (Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).

Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan pula konsep “massa mengambang”. Partai-partai dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan sampai pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya ketentuan agar pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar (monoloyalitas).

Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.

Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan penyokong Golkar adalah aparat pemerintah (pegawai negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Melalui kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih Golkar. Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para anggota keluarga dan pensiunan ABRI (Purnawirawan) banyak terlibat dan memberikan dukungan penuh kepada Golkar. 

Semua pegawai negeri sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan pegawai negeri sipil dan ABRI, Golkar dengan leluasa menjangkau masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan. Dari tingkatan masyarakat atas sampai bawah. Dari kota sampai pelosok desa.

Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta dengan baik. Apalagi pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan “Luber” (Langsung,

Umum, Bebas, dan Rahasia). 

Suara-suara ketidakpuasan dari masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan. Ketidakpuasan yang ada di masyarakat misalnya mengenai dibatasinya jumlah partai-partai politik dan pengerahan pegawai negeri sipil dan ABRI, serta anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar.

Selain melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan partai politik) di tingkat kecamatan dan desa (dimana partai-partai politik dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974.

Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Kritik-kritik mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah mulai terjadi sejak awal tahun 1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus Universitas Indonesia (Salemba), berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi menentang kenaikan harga bensin dan menuntut pemberantasan korupsi. 

Para mahasiswa juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan yang hanya menguntungkan kaum kaya. Pada akhir Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai merugikan rakyat. 

Ketika mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14 Januri 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemostrasi menyampaikan tuntutannya.

Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. 

Kemudian setelah Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tidak terkendali yang akhirnya berkembang menjadi huru-hara. 

Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang diantaranya dipenjara.

Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974 tentang petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan Dalam rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang, kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada bidang penalaran, seperti diskusi dan seminar.

Selain mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map idiologis, pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.

Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.

Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 

Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.

Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. 

Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab, dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi.

Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.