Citra Allah atau gambar Allah (bahasa Ibrani: צֶלֶם אֱלֹהִים, Tselem Elohim; bahasa Latin: Imago Dei) adalah konsep dan doktrin teologis di dalam agama Yahudi[1] maupun agama Kristen. Konsep ini merupakan salah satu aspek asasi dari pemahaman Yahudi dan Kristen tentang hakikat manusia, bersumber dari nas Kejadian 1:26-27 yang menyatakan bahwa umat manusia (laki-laki maupun perempuan) diciptakan menurut citra dan rupa Allah. Makna yang sesungguhnya dari frasa tersebut sudah ribuan tahun diperdebatkan, tetapi gagasan pokoknya adalah umat manusia menyerupai Allah dan merepresentasikan Allah.
Sejalan dengan tradisi Yahudi, sarjana-sarjana seperti Saadia Gaon dan Filo mengemukakan bahwa "dijadikan menurut citra Allah" bukan berarti Allah memiliki tampilan-tampilan yang serupa dengan manusia melainkan justru sebaliknya, pernyataan tersebut adalah bahasa kiasan yang dipakai untuk mengungkapkan gagasan bahwa Allah mengaruniakan kehormatan istimewa kepada umat manusia, yakni kehormatan yang tidak dikaruniakan-Nya kepada semua ciptaan lain.
Riwayat penafsiran citra Allah melingkupi tiga alur pemahaman. Pandangan substantif menempatkan citra Allah di dalam karakterisik-karakteristik yang sama-sama dimiliki Allah dan umat manusia, misalnya rasionalitas atau moralitas. Pemahaman relasional berpandangan bahwa citra Allah terdapat di dalam hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia satu sama lain. Pandangan fungsional menafsirkan citra Allah sebagai suatu peran atau fungsi yang dengannya umat manusia bertindak mewakili Allah dengan maksud merepresentasikan Allah di dalam tatanan penciptaan. Ketiga pandangan tersebut tidak saling menyanggah dengan sengit, dan masing-masing dapat menyuguhkan tinjauan mendalam tentang bagaimana umat manusia serupa dengan Allah.
Doktrin citra Allah menyediakan pijakan penting bagi perkembangan hak-hak asasi manusia dan kemuliaan martabat tiap-tiap nyawa manusia tanpa pandang golongan, ras, gender, maupun keterbatasan. Doktrin ini juga berkaitan dengan wacana seputar tubuh manusia.
Frasa "gambar Allah" terdapat pada tiga nas Alkitab Ibrani, ketiga-ketiganya termaktub di dalam Kitab Kejadian:
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar (b'tsalmeinu) dan rupa Kita (kid'muteinu), supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." — Kejadian 1:26-28 Inilah daftar keturunan Adam. Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama "Manusia" kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan. Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya. — Kejadian 5:1-3 Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya (tselem) sendiri. — Kejadian 9:6 Apokrifa/deuterokanonikaDi dalam apokrifa atau deuterokanonika, terdapat tiga nas yang jelas-jelas menggunakan istilah "gambar" untuk menyifatkan umat manusia.
Perjanjian BaruPerjanjian Baru memahami Kristus sebagai citra Allah, dan umat manusia sebagai citra Allah sekaligus citra Kristus.
Tafsir AlkitabiahCitra versus RupaPara teolog sudah berusaha menelaah perbedaan konsep "citra Allah" dan konsep "rupa Allah" di dalam kodrat manusia. Origenes misalnya menganggap citra Allah sebagai sesuatu yang dikaruniakan pada waktu penciptaan, dan rupa Allah sebagai sesuatu yang dikaruniakan kepada seseorang kemudian hari. Meskipun "citra dan rupa" adalah salah satu contoh keistimewaan bahasa Ibrani, yang gemar mengungkapkan satu gagasan dengan menggunakan dua kata berlainan, muncul pandangan bahwa "citra dan rupa" adalah dua hal terpisah. Citra adalah keserupaan alami manusia dengan Allah, yakni keberdayaan untuk menalar dan berkehendak, sementara rupa adalah suatu donum superadditum, anugerah tambahan kepada fitrah manusia. Rupa terdiri atas kualitas-kualitas moral Allah, sementara gambar mencakup sifat-sifat hakiki Allah. Saat jatuh ke dalam dosa, Adam kehilangan rupa Allah, tetapi masih memiliki citra Allah. Umat manusia selaku manusia tetap paripurna, tetapi fitrah baik dan sucinya sudah tercemar.[2] Citra Allah serupa tetapi sekaligus tidak sama dengan rupa Allah. Citra Allah hanya menyiratkan bahwa umat manusia dijadikan menurut citra Allah, sementara rupa Allah adalah sifat hakiki rohani dari kualitas-kualitas moral Allah.[2] Bagaimanapun juga, pembedaan "citra" dari "rupa" yang berasal dari Abad Pertengahan itu sudah banyak ditinggalkan para mufasir modern. Menurut C. John Collins, "sejak sekitar zaman Reformasi, sarjana-sarjana sudah mengakui bahwa hal ini [pembedaan citra dari rupa] tidak selaras dengan nas itu sendiri. Pertama-tama, tidak ada kata "dan" yang menghubungkan "menurut gambar" dengan "rupa Kita." Yang kedua, di dalam Kejadian 1:27 hanya tertulis "menurut gambar Allah"; dan yang terakhir, di dalam Kejadian 5:1, Allah menjadikan manusia "menurut rupa Allah." Penjelasan terbaik untuk semua data ini adalah "menurut gambar" dan "menurut rupa" merujuk kepada hal yang sama, keduanya saling memperjelas."[3] Sifat khusus citraNas-nas utama Alkitab tidak memaparkan cara-cara khusus untuk mengenali citra Allah di dalam diri manusia. Nas-nas tersebut tidak berbicara tentang rasionalitas, moralitas, emosi, kehendak bebas, bahasa, maupun pernyataan-pernyataan serupa lainnya. Kata "citra" dan kata "rupa" hanya mengandung makna dasar bahwa umat manusia menyerupai Allah dan merepresentasikan Allah. "Penjelasan semacam itu tidaklah diperlukan, bukan hanya karena istilah-istilah tersebut memiliki arti yang jelas, melainkan juga karena tidak ada daftar semacam itu yang dapat menjelaskan pokok bahasan ini dengan tepat: nas tersebut hanya menandaskan bahwa manusia menyerupai Allah, dan nas-nas Kitab Suci selebihnya menyajikan lebih banyak perincian untuk memperjelas penandasan ini."[4] Cara-cara berlainan yang dipakai untuk menyelami gagasan citra Allah tersaji di dalam uraian tentang pemahaman substantif, relasional, dan fungsional terhadap citra Allah di bawah. Keserupaan progresifUmat Kristen purba mengakui bahwa citra Allah sudah rusak akibat dosa.[5] Meskipun demikian, nas Kejadian 9 meneguhkan bahwa citra Allah tidak dibinasakan dosa, karena citra Allah tetap ada di dalam diri manusia sesudah kejatuhan manusia pertama maupun selepas air bah. Tanpa mengkompromikan komitmen terhadap kemuliaan martabat manusia sebagai makhluk yang dijadikan menurut citra Allah, nas-nas Alkitab mengarahkan orang kepada gagasan bahwa citra Allah dapat dikembangkan dan dimatangkan. Tugas dari manusia sebagai citra Allah selain berkuasa, juga mengusahakan agar seluruh ciptaan memuliakan Allah.[6] Keberadaan manusia sebagai citra Allah merupakan sebuah anugerah sekaligus tugas bagi setiap manusia.[6] Di dalam ajaran Kristen, citra Allah dibedakan menjadi:[7]
Ajaran citra Allah dalam doktrin Kristen berkaitan dengan kejatuhan umat manusia.[8] Sejak kejatuhan manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, citra Allah menjadi rusak, tetapi hal citra itu dikembalikan lagi hanya melalui keselamatan oleh Yesus Kristus.[8] Beberapa tokoh yang memegang ajaran ini antara lain Calvin, Bruner, John Baillie, Bavinck, dan Berkouwer.[8]
|