Tokoh musik kontemporer yang menjadi pengajar di indonesia adalah …

Tokoh musik kontemporer yang menjadi pengajar di indonesia adalah …

Mengenal 8 Tokoh Musik Kontemporer di Indonesia – Singkatnya, “kontemporer” berarti “sekarang”. Musik kontemporer adalah musik yang belum pernah diciptakan sebelumnya. Musik yang dinyanyikan sebenarnya mengajak masyarakat untuk tidak terbatas pada standar musik yang dijual di pasaran.

Tokoh musik kontemporer yang menjadi pengajar di indonesia adalah …
Sumber : gasbanter.com

w00tstock – Meskipun kemunculan jenis musik ini berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, namun tampaknya masih kalah bersaing dengan musik tradisional karena dianggap bertentangan dengan bentuk musik industrial atau populer.

Keadaan ini sangat berbeda dengan di luar negeri yang sebenarnya memiliki kapasitas penjualan yang tinggi di beberapa negara maju. Banyak musisi atau grup musik kontemporer Indonesia yang dikenal luas di luar negeri bahkan menjadi pengisi acara sering berpartisipasi dalam festival musik kontemporer internasional.

Di sini, kami memperkenalkan banyak tokoh musik kontemporer Indonesia yang mendemonstrasikan musik eksentrik jenis baru.

 Baca Juga : Fakta Menarik Konser dan Festival Musik Setelah Pandemi Covid-19

1. Slamet Abdul Sjukur

Nama lahir : Soekandar Alias : Slamet Abdul Sjukur Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 30 Juni 1935 Wafat : Surabaya, 24 Maret 2015

Profesi : Komponis

Slamet adalah seorang komposer Indonesia dan salah satu pelopor musik kontemporer Indonesia. Ia juga pandai memadukan materi yang sederhana dan minimal ke dalam musik, sehingga ia disebut sebagai komposer minimax.

Suara sederhana: gemerisik angin, gesekan dedaunan, gemerisik air, suara sapuan sapu di jalan, suara telapak tangan menutup ketiak, dan percakapan orang-orang di sekitar Anda semua bisa dimanfaatkan oleh Slamet. untuk mengeksplorasi musik dan membuat karya orang Luar biasa unik.

Slamet telah menjalani penelitian jangka panjang dan memiliki pengalaman dalam mengatasi keterbatasan, ini merupakan tantangan kreatif. Dia menggunakan suara hidungnya untuk paduan suara. Bahkan ia juga menciptakan musik untuk 200 anak pemulung yang bernyanyi sambil memainkan alat musik bambu kecil.

Ketika Slamet belajar musik di Paris, semangat bermusiknya yang gila dimulai. Dengan dukungan beasiswa dari Kedutaan Besar Perancis di Jakarta, Albert Russell Foundation (komposer Perancis) melanjutkan penelitiannya selama 14 tahun.

Atas permintaan gurunya Sumaryo L.E. dan Sukahardjana, Slamet kembali ke Indonesia dan bekerja di IKJ. Karirnya mengajar teori dan komposisi musik di IKJ berlanjut hingga menjadi dekan. Namun, idenya menentang tren terkait musik tidak bisa diterima oleh pemerintah Orde Baru, sehingga dia dipecat.

Selain di IKJ, Slamet juga mengajar di program pascasarjana STSI Surakarta (sekarang ISI Surakarta) tahun 2000. Ia juga pernah mengajar sebentar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Karya Slamet lebih populer di luar negeri daripada di dalam negeri. Misalnya “Ketut Opium”, “String Quartet I”, “Silence”, “Point Cotre”, “Parentheses I-II-III-IV-V-VI”, “Jakarta 450” dan “Daun Pulus”. Dari sekian banyak karya, hanya “Daun Pulus” yang terkenal di Indonesia.

2. Harry Roesli

Nama lahir : Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli Tempat, tanggal lahir : Bandung, 10 September 1951 Wafat : Jakarta, 11 Desember 2004 (53 tahun)

Profesi : Musisi, budayawan

Harry Roesli bukan hanya seorang musisi, tetapi juga seorang guru, artis, dan pendidik musisi Bandung, dan kemudian berkembang menjadi artis yang berkualitas. Ia juga cucu dari penyair besar Indonesia Marah Roesli yang dikenal dengan romantisme Siti Nurbaya.

Tahun 1970-an merupakan tahun pertama namanya disejajarkan dengan Albert Warnerin, Indra Riwai dan Ivan Rahman dalam grup musiknya “Harry Rosley’s Gang”. Dengan album pertamanya “Philosophy Gang” (Philosophy Gang) (1971), itu menimbulkan sensasi di kancah musik Indonesia tanpa penundaan.

Selain pandai bermain gitar, Harry juga pandai memadukan gong, gamelan, kendang, botol, toples bekas dan kliningan untuk membuat alat musik yang serasi. Dengan lirik yang metaforis, lirik tersebut keren dan penuh kritik sosial secara langsung dan tepat.

Setelah keluar dari ITB, Harry memilih belajar musik di Akademi Seni Jakarta dan terus mendapat beasiswa dari Rotterdam Conservatory of Music di Belanda.

Berawal dari kehidupan yang bergengsi, ia menggunakan musik untuk menjustifikasi keadilan dan merevitalisasi para pengamen di Bandung. Setelah memperoleh gelar PhD, ia aktif mengajar di jurusan musik dan seni beberapa universitas di Bandung, seperti Universitas Pendidikan Indonesia dan Universitas Pasundan di Bandung.

3. Djaduk Ferianto

Nama panjang: Gregorius Djaduk Ferianto Nama panggilan: Djaduk Ferianto Pekerjaan: Seniman

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 19 Juli 1964

Djaduk adalah seorang aktor dan artis musik Indonesia dari Yogyakarta. Putra dari koreografer dan pelukis senior Indonesia Bagong Kussudiardja. Setelah menempuh pendidikan di Tamansiswa, ia melanjutkan studi seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI), meski pada akhirnya ia tidak menyelesaikan studinya.

Ia ikut mendirikan kelompok seni Kua Etnika bersama saudara-saudaranya Butet Kertaradjasa dan Purwanto untuk mempelajari musik rakyat modern. Ia juga menggeluti musik keroncong dengan membentuk Orkes Sinten Remen.

Sejak 1979, Djaduk mendapat diskriminasi dalam karir seninya karena mereka membedakan antara perusahaan rekaman lokal dan nasional. Ia baru bisa memasuki industri dalam negeri pada ajang “RCTI Dua Warna” 1996. Karena itu, ketika mendapat banyak pekerjaan di tingkat nasional, dia tetaplah seorang lokal.

Berkat kreativitasnya, Ikatan Jurnalis Indonesia menganugerahinya penghargaan “Musisi Kreatif”. Dia juga memenangkan “Penghargaan Musik Humor Nasional” dan tempat pertama dalam banyak penghargaan lainnya.

Pada tahun 2007, Djaduk menggelar konser jazz bersama Kua Etnika, Wartajazz.com, Paningron dan artis lain yang disebut “Ngayogjazz”, yang berlangsung sukses. Terakhir, acara yang bertujuan mendekatkan musik jazz dengan masyarakat menjadi agenda tahunan Yogyakarta.

4. I Nyoman Windha

Nama : I Nyoman Windha Tempat, tanggal lahir : Gianyar, Bali, 13 juli 1956 Pendidikan : STSI Denpasar

Profesi : Seniman, budayawan

Dengan berbagai adat istiadat, ritual dan ritual yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kesenian daerah, dapat dikatakan bahwa orang Bali pada dasarnya adalah seniman. Dalam komunitas seperti itu, lahirlah I Nyoman Windha (I Nyoman Windha).

Seperti orang Bali pada umumnya, Nyoman Windha akrab dengan suara gelandangan, tembang yang semarak, tarian yang dinamis, dan keragaman suara. Dia pandai bermain gangster sejak dia masih kecil.

Saat Nyoman bersekolah di sekolah seni, bakat musiknya semakin membesar. Ia mulai belajar di Konservatorium Musik Karawitan di Denpasar pada usia 17 tahun. Tahun 1976 melanjutkan studinya di Jurusan Musik Institut Tari Denpasar (ASTI). Pada tahun 2005, ia menyelesaikan studinya di program Master of Music di Mills College di California.

Penampilan pertamanya sebagai komposer dimulai pada Pekan Penggubah Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1983. Pada tahun 1998, untuk kedua kalinya ia diundang mengikuti forum bergengsi ini. Forum tersebut saat itu dianggap sebagai pintu gerbang karir komposer muda kontemporer Indonesia. Padahal, Harry Roesli dan Djaduk Ferianto adalah alumni forum tersebut.

Dalam industri musik Bali saat ini, Nyoman Windha menempati posisi terpenting. Sebagai pengisi acara, komposer dan pengajar musik di Bali, ia berulang kali tampil, mengajar, dan berkolaborasi dengan seniman dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Australia.

Puluhan karyanya telah direkam oleh berbagai perusahaan rekaman studio musik, antara lain: Sangkep, Palapa I dan Palapa II, Bali Age, Gita Nusantara, Gereching Kawulu, Gora Merdawa Cendra Wasih, Gadung Kasturi, Jagad Anyar, Gita Winangun, Sinom Lawe dan lebih.

Dalam usia 63 tahun, I Nyoman Windha masih aktif mengajar seni musik dan komposisi di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

5. Aloysius Suwardi

Nama : Aloysius Suwardi Tempat, tanggal lahir : Sukoharjo, 21 Juni 1951

Profesi : Musikus

Al adalah nama panggilan Aloysius Suwardi dan dikenal sebagai musisi Surat Thani Indonesia. Ia adalah seorang ahli di bidang etnomusikologi, khususnya Gamelan. Ia telah menggubah banyak karya musik tradisional, yang dipamerkan secara luas di dalam dan luar negeri.

Al mulai belajar seni musik Jawa dan Bali di Konservatorium Karawitan Surakarta. Setelah itu, ia melanjutkan studi ke Surakata di Institut Seni Karawetan (ASKI) di Indonesia. Di ASKI, ia bertemu banyak mentor, guru, dan seniman yang kemudian membentuk karakternya.

Pertemuan dengan seniman Sardono W. Kusumo pada tahun 1974 yang mengajaknya mengikuti perjalanan seni rupa kontemporer ke Paris, menjadi titik tolak perspektif baru di bidang penciptaan seni kontemporer. Sejak saat itu, ia tak pernah mangkir dari berbagai negara untuk mengikuti festival seni rupa kontemporer internasional.

Dalam konteks musik kontemporer yang bersumber dari tradisi nusantara, Al dianggap ahli memperbaiki dan memodifikasi alat musik gamelan lama dan baru. Dia menggunakan bahan sehari-hari seperti bambu, batu, air, logam dan benda bekas untuk membuat alat musik untuk xylophone dan gender makro.

Sebagai seniman dan pendidik, Aloysisus Suwardi kini mengajar mata kuliah komposisi, organologi, sanggar musik dan etnomusikologi di Surakata di Institut Seni Indonesia (ISI).

6. Royke (Media Perkusi)

Royke adalah musisi yang mengkhususkan diri dalam mengeksplorasi musik kontemporer dengan instrumen perkusi dan akustik. Musik Royk jauh dari futuristik. Dia memainkan musik klasik pada drum, drum akustik dan senar gitar.

Royke menggubah karya klasik yang terdengar “cemberut” dalam lagu-lagunya. Namun nyatanya, karya semacam ini memiliki kedalaman rasa yang berbeda. Cita rasa yang coba saya gambarkan lebih seperti bentuk karya nasional. Hal ini tentunya tidak lepas dari situasi budaya Indonesia yang sangat erat kaitannya dengan nuansa tradisional.

Menurut Royke, tidak ada salahnya bermusik. Semua musik bersumber dari pengolahan ide atau konsep, dan jika digali tidak akan habis, apalagi jika diperoleh bentuk-bentuk baru atau rasa lain.

Musik merupakan hal yang universal, terutama untuk menyampaikan pesan pencipta musik kepada masyarakat. Yang penting musik harus kreatif, karena kreativitas adalah awal yang tidak akan pernah terputus.

Lebih lanjut Royk mengatakan, keberadaan musik kontemporer bukan untuk menyaingi musik tradisional, melainkan untuk mengimbangi status tersebut. Oleh karena itu, musik kontemporer tepat untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas.

Royk juga berharap masyarakat segera belajar memahami seni dan batasan-batasan abstraknya. Karya musik kontemporer mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat awam, namun bukan tidak mungkin karya dengan kreativitas yang baik menjadi karya yang menarik dan digemari oleh masyarakat.

7. Paul Goetama

Nama : Paul Gutama Soegijo Lahir : Yogyakarta, 29 Januari 1934

Wafat : Jerman, 8 Januari 2019

Paul memulai karirnya sebagai komposer musik kontemporer sambil belajar komposisi di Jerman selama dua tahun. Sebelum pindah ke Jerman, ia belajar instrumen biola di Amsterdam Conservatory of Music di Belanda. Ia juga mempelajari teori musik dan menjadikan kedua tema ini sebagai bidang utamanya.

Paul dan bandnya Banjar Gruppe (Banjar Gruppe) memainkan banyak musik avant-garde dan bentuk-bentuk musik baru dengan latar gamelan. Untuk menemukan cara membangun melodi dan seterusnya, dia mulai belajar musik selama 15 tahun setelah dia “tenggelam” dalam musik Barat di sekolah formal.

Selain menggubah karya musik Barat kontemporer, Paul juga menghasilkan beberapa karya yang berbeda dengan gamelan atau musik non-Barat. Dalam kurun waktu tertentu, ia memberinya nama “Musik Leluhur Baru”.

Setelah itu, Paul melanjutkan prestasinya dengan menggubah musik untuk musisi solo. Hal itu ia tunjukkan dengan karyanya “Gefuehlsstau” atau “Timbunan Rasa”, yang ia perkenalkan secara pribadi pada pesta pembukaan pameran seni G. Sidharta Soegijo yang digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 2002.

  Baca Juga : Fakta Unik Bekerja di Event Organizer

8. Jomped

Secara khusus, musik kontemporer Jomped menampilkan komposisi musik dari proses kreatifnya dan proses pencariannya saat menjelajahi media komputer. Musik yang tidak biasa ini lebih merupakan bentuk musik elektronik yang dipadukan dengan efek pencahayaan sehingga menimbulkan nuansa.

Untuk membuat musik menjadi hidup, Jomped juga menambahkan beberapa software khusus untuk membuat suara yang diinginkannya. Misalnya suara senjata laser di film yang akan ditembakkan dan suara drum elektrik pada pengaturan ritme atau ritme yang diinginkan.

Menurut Jomped, musik kontemporer sepertinya sulit dicerna. Namun nyatanya, pada jenis musik ini nilai suaranya sedikit berbeda. Jenis musik ini memang terlihat aneh, tetapi jika ingin merasakannya, Anda bisa menemukan banyak rasa lainnya.