Solusi ketika di masyarakat ada dua atau lebih organisasi Islam yang berbeda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Saadi menuturkan, dalam menyikapi perbedaan pemahaman keagamaan yang ada di Indonesia, segala pihak harus mengedepankan rasa keikhlasan, kejujuran, dan kelapangan dada, dan saling memahami kapasitas serta posisi masing-masing. Dengan cara ini, diharapkan Ukhuwah Islamiyah umat Islam di Indonesia dapat tetap terjaga dengan baik.

Menurut Zainut, perbedaan pemahaman keagamaan yang masih berada dalam wilayah ijtihadi atau khilafiyah (majal al-ikhtilaf) harus bisa diterima dengan penuh toleransi (tasamuh) dan tidak perlu dipertentangkan serta merasa dirinya paling benar. ''Karena sesungguhnya, hakekat dari perbedaan pendapat itu adalah rahmat, sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW, 'Ikhtilafu ummati rahmatun', perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat,'' ujar Zainut kepada Republika.co.id.

Pernyataan Zainut ini menyikapi soal adanya gesekan antara salah satu anggota Ormas Islam dengan jamaah pengajian tertentu yang terjadi beberapa waktu lalu. Gesekan itu terjadi diduga kuat lantaran adanya perbedaan pandangan atau pemahaman keagamaan antara dua kelompok tersebut.

Lebih lanjut, Zainut mengungkapkan, sebenarnya MUI telah merumuskan Kode Etik Ukhuwah Islamiyah. Kode etik ini pun telah disepakati bersama Ormas-Ormas Islam. Kode Etik Ukhuwah Islamiyah ini mencakup sembilan poin. Salah satunya adalah tentang membina hubungan sesama Muslim yang dilandaskan rasa saling mencintai dan tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.

''Mendahulukan tabayun (klarifikasi) jika mendapatkan informasi negatif terkait pihak atau kelompok tertentu,'' kata Zainut.

Zainut menambahkan, Kode Etik Ukhuwah Islamiyah ini harus disosialisasikan dan diimplementasikan dalam pergaulan hidup di masyarakat, baik secara individu maupun berjamaah. Tidak hanya itu, Kode Etik Ukhuwah Islamiyah ini juga harus dijadikan pedoman bagi para pimpinan organisasi Islam, para dai, pemuka masyarakat, dan seluruh umat Islam di Indonesia.

''Sehingga dalam menyikapi perbedaan pendapat, khususnya masalah furu'iyah tetap mengedepankan keikhlasan, kejujuran, kelapangan dada, saling memahami kapasitas dan posisi masing-masing, dengan semangat menjunjung dan memperkokoh Ukhuwah Islamiyah,'' ujar Zainut.

Solusi ketika di masyarakat ada dua atau lebih organisasi Islam yang berbeda

Oleh: Wardani*

Realitas umat kita ini beragam, tidak hanya suku-sukunya, melainkan juga agama-agamanya. Bahkan, dalam satu agama pun ada keragaman. Dalam agama Islam, ada aliran-aliran: Asy’ariyah, Mu’tazilah, Khawarij, Syafi’ī, Mālikī, Hanafī, Hanbali, model pemahaman NU, Muhammadiyah, JIL, JIMM, Islam Kiri, Islam Kanan, Islam HMI, Islam PMII, dan sebagainya. Keragaman itu tampaknya sudah ada sejak masa perkembangan Islam. Betapa tidak, ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi sumber ajaran Islam juga terbuka untuk dipahami berbeda-beda. Bahkan, pernah dikatakan “al-Qur`ān hamalatun lil wujūh” (Kitab suci al-Qur’an mengandung beberapa aspek, sisi, macam pemaknaan yang berbeda). Begitu juga, hadits-hadits yang dijadikan penafsir al-Qur’an; sumbernya beragam dan cara memahaminya juga beragam. Apalagi, pada tingkat pemahaman para ulama sejak sahabat, tābi’ūn, tābi’ut tābi’īn, hingga generasi kita. Daya pemahaman berbeda yang diikuti dengan kondisi sosial-kemasyarakatan umatnya juga berbeda menjadikan kemasan pemahaman tentang Islam juga berbeda-beda. Di Indonesia, perbedaan cara memahami ajaran itu dikotakkan menjadi pemahaman organisasi keagamaan; NU dan Muhammadiyyah, LDII, tarekat-tarekat, dan sebagainya. Yang menjadi persoalan di sini adalah bahwa perbedaan tersebut bisa berpotensi menjadi ketegangan dan konflik. Kisah-kisah ketegangan NU-Muhammmadiyah antara keinginan memurnikan ajaran Islam dari khurafat dan bid’ah dengan keinginan melestarikan tradisi-tradisi keagamaan yang masih dianggap baik menjadi kisah-kisah lama yang tak asing di telinga kita.

Bagaimana Mengelola Perbedaan?

Jika perbedaan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan dan selalu ada dalam agama kita, lalu yang menjadi perhatikan kita adalah tinggal bagaimana mengelola perbedaan tersebut agar tidak terjadi ketegangan dan konflik?

Pertama, harus disadari dan dihayati bahwa perbedaan adalah kehendak Allah Swt. (sunnatullāh).

Perbedaan sebenarnya adalah kehendak Allah swt. Dalam QS. al-Mā`idah: 48, Allah swt. berfirman:

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. al-Mā`idah: 48).

Ini adalah sunnatullāh, hukum yang sengaja dikehendaki oleh Tuhan. Sebagai suatu sunnatullāh, tentu perbedaan tersebut akan selalu ada dalam agama dan dalam masyarakat. Mustahil mengandaikan suatu pemahaman yang seragam tentang agama. Selalu aja saja perbedaan. Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa Dia sebenarnya Mahakuasa menjadikan umat ini satu identitas (satu agama, satu pemahaman). Akan tetapi, hal itu tidak diinginkan-Nya, karena Dia ingin menguji umatnya dengan perbedaan tersebut, siapakah yang mampu menunjukkan kebajikan-kebajikan (al-khairāt). Apa yang bisa kita lakukan bagi kebaikan umat ini dan bagi semua manusia di tengah perbedaan itu?

Ayat di atas mengandung pengandaian “sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat”. Pengandaian seperti ini juga kita temukan dalam ayat lain: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu  memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yūnus: 99). Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan adalah kehendak Allah swt.

Jika perbedaan dalam kenyataannya adalah kehendak Tuhan, maka tentu obsesi untuk menyeragamkan pemahaman menjadi satu adalah mustahil dan melawan kehendak-Nya. Terhadap Rasulullah saw. sendiri dalam dakwahnya, Allah swt. memberi peringatan yang tegas sekali: “sesungguhnya kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai (pamannya sendiri). Melainkan Allah-lah yang memberi petunjuk orang yang Dia kehendaki” (innaka lā tahdī man ahbabta wa lākinnallāha yahdī man yasyā` [QS. al-Qashash: 56]).

Kedua, perlu ditumbuhkan pandangan bahwa pemahaman kita tentang ajaran meski bertolak dari cara yang kita anggap benar selalu ada kemungkinan salah. Sebaliknya, pemahaman orang lain yang berdasarkan pemahaman kita adalah salah selalu memiliki kemungkinan benar. “Kemungkinan benar” atau “kemungkinan salah” adalah upaya kita memberikan ruang bahwa upaya kita mencapai kebenaran tidak selalu menghasilkan yang benar. Hal itu karena banyak faktor, baik karena kekeliruan kita secara tidak sadar dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, atau karena cara yang kita gunakan untuk memahaminya juga kurang atau tidak tepat. Sikap seperti ini pernah dicontohkan oleh Imām asy-Syāfi’ī yang mengatakan: “Ijtihadku adalah benar, tapi mengandung kemungkinan keliru. Sedangkan ijtihad orang lain adalah keliru, tapi mengandung kemungkinan benar”. Sebagaimana ditulis oleh ‘Abdul Jalīl ‘Isā dalam bukunya, Ijtihādurrasūl (Ijtihad Rasul), tercatat beberapa ijtihad beliau yang keliru, sedangkan ijtihad sahabat lain benar, seperti dalam kasus tawanan perang. Jika Rasulullah saw. sendiri memiliki kemungkinan salah, maka kemungkinan yang sama sangat terbuka bagi kita untuk keliru.

Ketiga, mengemukakan pendapat harus dilandasi oleh niat yang tulus untuk mencari kebenaran dan ridha Allah swt. Tuhan adalah tujuan final dari segala usaha pencarian ilmu dan berpendapat. Konsistensi dengan tujuan ini dapat menyisihkan kepentingan-kepentingan sesaat, seperti mengemukakan pendapat hanya untuk mencari popularitas. Tujuan ini sering dibarengi oleh sikap emosional untuk membela pendapatnya secara membabi-buta. Jika popularitas atau kepentingan sesaat lain yang menjadi tujuan final, maka pendapat yang dikemukakan sering hanya membenarkan keadaan yang ada, yang dikenal dengan pendapat “asal bapak senang” atau bisa sebaliknya, “asal beda saja” (2 abs). Motivasi ini menjadi dasar munculnya sikap emosional dan sangat berbahaya bagi agama, karena menjadikan alasan-alasan agama melalui ayat-ayat al-Qur’an dan hadits untuk membenarkan keadaan politik yang ada (tauzīfuddīn fissiyāsah), misalnya. Yang menjadi target ketika itu adalah keridhaan manusia, bukan keridhaan tuhan, padahal keridhaan manusia adalah tujuan yang tak pernah tercapai. Kapan saja, kita mengemukakan kebenaran, selalu ada pencela. Perkataan asy-Syâfi’î sebagaimana dikutip oleh Ibn Khallikân dalam Wafayât al-A’yân wa Anbâ` Abnâ` az-Zamân menegaskan itu: “Redha manusia adalah tujuan yang tak akan tercapai. Oleh karena itu, perhatikanlah apa yang mengandung kebaikan bagi dirimu yang berhubungan dengan urusan dunia dan agamamu. Lalu, bersikaplah konsisten!” (Ridhannās gāyatun lā tudrak. Fanzur mā fīhi shalāhu nafsika fī amri dīnika wa dun-yāka, falzamhu). Orang yang tulus mengemukakan pendapat akan terbebas dari kepentingan, karena keridhaan manusia bukanlah yang dituju.

Para ulama adalah corong umat dalam menyampaikan kebenaran. Oleh karena itu, idealnya adalah bahwa mereka juga membela umat, bukan membela segelintir umat atau kelompok tertentu. Karena mereka adalah para “pewaris Nabi” (warasatul anbiyā`). Sedangkan, di tingkat bawah, masyarakat umum, konflik sering terjadi karena pembelaan berlebihan terhadap “kebenaran” ulama yang dipanutinya. Oleh karena itu, berpikirlah secara jernih bahwa umat Islam ini sebenarnya adalah satu, tidak boleh dikotakkan dalam aliran atau paham tertentu. Mereka tidak seharusnya menjadi berpecah-belah, saling sikut sesama muslim, hanya karena persoalan-persoalan furū’iyyah atau persoalan politik. Bukanlah perbedaan tersebut telah direstui oleh agama, sunnatullāh?

Keempat, dalam menghadapi perbedaan ini, hendaklah kita lebih banyak mencari persamaan-persamaan, bukan justeru mempertajam jurang perbedaan. Persoalan-persoalan khilāfiyyah, dari qunūt, rakaat tarawih, kebolehan talqīn mayyit di kubur, dst., hendaklah diletakkan sebagai objek kajian akademis yang cukup dibahas di sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, atau perguruan-perguruan tinggi. Kajian perbandingan memang diperlukan secara ilmiah. Namun, persoalan-persoalan khilāfiyyah tersebut hendaknya tidak menyeret kaum muslimin di masyarakat yang akhirnya menjadi sektarian (membela sekte/ kelompok sendiri). Perbedaan tersebut hendaknya “dikerucutkan” kepada kepentingan sosial umat dalam pengertian bahwa persoalan khilāfiyyah cukup dibahas secara akademis. Selanjutnya, kaum muslimin memiliki banyak persamaan-persamaan: mereka sama-sama menghadapi persoalan saudara-saudaranya yang masih berada di bawah garis kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dsb. Ini adalah titik-temu semua aliran-aliran Islam di masyarakat.

Kelima,  hilangkan prasangka-prasangka (prejudice) atau anggapan-anggapan negatif terhadap kelompok lain. Karena benih konflik adalah prasangka tersebut. Dalam al-Qur’an Allah swt melarang hal ini dengan firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri  dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah  yang buruk sesudah iman  dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Hujurāt: 11).

Ini adalah etika dalam bermasyarakat yang diwarnai oleh banyak perbedaan. Setiap orang atau seiap organisasi keagamaan punya cita-cita, pendapat, dan gerakan yang diidealkannya. Semua hal itu harus diapresiasi dan dihormati sebagai bagian dari sumbangannya terhadap Islam. Nahdhatul Ulama (NU) gerakannya lebih bercitra memadukan tradisi dan ide-ide baru yang dianggap baik dan tidak bertentangan sesuai dengan jargonnya “al-muhāfazatu ‘ālal qadīmishshālih wal ‘akhdzu bil jadīdil ashlah” (berpegang kepada setiap produk pemikiran yang meski lama, tapi masih dianggap baik serta tidak menutup kemungkinan mengadopsi yang baru yang dianggap justeru lebih baik). Sedangkan, Muhammadiyah lahir sebagai gerakan sosial keagamaan yang juga memiliki niat yang mulia, yaitu pemurnian ajaran. Masing-masing keduanya memiliki keprihatinan terhadap Islam. Antara apresiasi tradisi dengan pemurnian sering terjadi ketegangan. Hal ini terjadi karena salah satu di antara kedua “mengecilkan” (dalam bahasa al-Qur’an yaskhar, “mengolok-olok” atau merendahkan) peran yang lain. Mengapa tidak ditumbuhkan sikap “boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka” (jadi, ada relativitas)?. Boleh jadi mereka yang kita kritik, tuding, atau kita rendahkan justeru merekalah yang lebih baik. Jadi, kita harus mengembangkan etika gerakan. Ini di tingkat organisasi keagamaan. Sedangkan pada tingkat masyarakat penganutnya dari kalangan bawah (akar rumput; masyarakat biasa), biasanya ada kematuhan begitu saja terhadap apa yang menjadi orientasi organisasinya tanpa dibarengi keinginan membuka ruang bagi relativitas itu. Jika kita membela secara membabi-buta pandangan suatu organisasi keagamaan, pendapat seorang kiyai, atau bahkan pandangan mazhab, tanpa sedikit pun memberi ruang kemungkinan salah-benar itu sama saja dengan kita mendudukkan semua itu sebagai agama (yang tidak ada tawar-menawar, seperti bahwa “Allah swt adalah ada/ wujud” adalah keyakinan harga mati). Padahal, pemahaman terhadap agama tidaklah sama dengan agama itu sendiri.

Akhirnya, dengan itu semua, perbedaan bisa dikelola (dimanage) agar tidak menjadi konflik. Perbedaan yang diterima dengan lapang dada serta sikap-sikap seperti itu—in syā’ Allāh—membuahkan rahmat. Orang-orang dan organisasi-organsasi yang berbeda bisa duduk di forum-forum dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas kemanusiaan. Why not, wa kayfa lā, mengapa tidak? Buktikan bahwa dengan perbedaan tersebut, agama Islam ini tetap menjadi agama rahmatan lil ālamīn! Dan citra Islam di hadapan agama-agama lain terletak di tangan umat Islam sendiri.

*Profil Penulis

Dr. Wardani, M.Ag. adalah seorang dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari. Sekarang, beliau menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah (PUSLIT) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Antasari.