Siapa yang menyebut orang papua monyet

JAKARTA – Kasus dugaan rasisme ada lagi. Kali ini, nama Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Yusuf Leonard Henuk yang disebut-sebut netizen di media sosial.

Setelah Kepolisian menangkap Ketua Relawan Jokowi-Amin, Ambroncius Nababan terkait ucapan rasis kepada Natalius Pigai, Prof Yusuf Henuk juga dianggap rasis.

Netizen mendesak agar Polisi menangkap Yusuf Henuk lantaran cuitannya yang dianggap rasis, juga terhadap Natalius Pigai dan warga Papua.

Prof Henuk pernah menulis cuitan pada tanggal 2 Januari 2021. Di cuitan itu, dia menyertakan foto seekor monyet yang sedang bercermin.

Melalui keterangan fotonya, Ptof Henuk meminta Natalius Pigai agar bercermin.

“Pace @NataliusPigai2 beta mau suruh ko pergi ke cermin lalu coba bertanya pada diri ko:”Memangnya @NataliusPigai2 punya kapasitas di negeri ini?”.Pasti ko berani buktikan ke @edo751945 dan membantah pernyataan @ruhutsitompul yang tentu dapat dianggap salah,” tulis Henuk pada waktu itu

Baca juga:

Waduh, Limbah Medis B3 Dibuang Sembarangan di TPS Ilegal Pantura Gebang

Tragis, Istri Meninggal Susul Suami yang Tewas Tabrakan di Pantura Indramayu

Henuk menulis cuitan itu untuk menyanggah pernyataan Pigai terkait Jenderal TNI Abdullah Mahmud Hendropriyono.

Siapa yang menyebut orang papua monyet

Sementara di cuitan lain, Henuk juga menyebut orang Papua bodoh. Dia menulis cuitan itu untuk menanggapi aktivis HAM Papua, Veronica Koman.

“Terbukti orang papua memang bodoh, orang Papua dianggap pintar seperti Natalius Pigai, oleh si Lucifer Veronica Koman, semua orang Papua dikuasai Lucifer/ iblis jadi merusak Iman Kristiani semua. Di manakah peran Gereja di Papua?” tulis Yusuf Henuk.

Siapa yang menyebut orang papua monyet

Profesor asal NTT ini jadi sorotan. Politikus Partai Demokrat, Abdullah Rasyid meminta Kepolisian agar tidak hanya mengusut Ambroncius Nababan terkait ujaran kebencian dan rasis. Namun juga menangkap Yusuf Henuk yang menyandingkan Pigai dengan foto monyet.

“Bukan si Nababan aja bang, ini ada @profYLH ngaku guru besar tapi rasis dan picik. Pak @DivHumas_Polri makhluk seperti ini perusak NKRI.
Pak @Nadiem_Makarim ini cacat bagi @Kemdikbud_RI,” tulis Abdullah Rasyid. (dal/fin)

Baca juga:

Sebelum Ramadan Atta dan Aurel MenikahAturan Baru untuk Penumpang Kereta Api Jarak Jauh, Wajib Disimak

Jakarta, CNN Indonesia --

Ratusan mahasiswa asal Papua dari Malang dan Surabaya, Jawa Timur, Selasa (18/8) menggelar aksi memperingati peristiwa rasialisme yang menimpa mereka setahun lalu.

Aksi tersebut digelar di Taman Apsari, seberang Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Akibatnya lalu lintas Jalan Gubernur Suryo pun sempat tersendat.

Pantauan CNNIndonesia.com, para mahasiswa membentangkan poster bertuliskan 'Memperingati 1 tahun Hari Kera, Kejadian Rasis', dan 'Hentikan diskriminasi rasialisme terhadap rakyat papua'.


"Jadi mahasiswa yang tergabung hari ini antara Malang dan Surabaya, untuk memperingati satu tahun rasisme yang terjadi di Surabaya, dan ini diperingati oleh seluruh rakyat Papua," kata Juru Bicara Aksi, Rudi Wonda.

Rudi mengenang kejadian rasialisme itu bermula saat munculnya dugaan perusakan bendera merah putih yang dibuang ke selokan Asrama Mahasiswa Papua Jalan Kalasan Surabaya oleh orang tidak bertanggung jawab.

Ia menyebut aksi itu adalah upaya provokasi massa untuk merisak Mahasiswa Papua. Kejadian itu lantas direspons oleh aparat gabungan dan ormas reaksioner dengan mengepung asrama mahasiswa Papua.

Sebanyak 43 mahasiswa di Asrama Mahasiswa Papua Jalan Kalasan Surabaya, dikepung, dipersekusi, dimaki dengan ucapan rasisme dan diancam oleh oknum TNI, aparat kepolisian, Satpol PP dan ormas reaksioner, 16 Agustus 2020.

"Intimidasi dan pengepungan itu, terjadi lebih dari 24 jam yang juga disertai dengan ujaran kebencian dan makian berupa 'monyet' terhadap 43 mahasiswa Papua," katanya.

Selama pengepungan berlangsung aparat keamanan menembakkan gas air mata beberapa kali ke dalam asrama. Hingga puncaknya 43 Mahasiswa Papua digelandang ke Mapolrestabes Surabaya.

"Kami diangkut dan ditahan di Polrestabes, namun sama sekali tidak ditemukan bukti maupun pelaku yang merusak bendera merah putih," kata dia.

Peristiwa itu lantas memicu pecahnya aksi unjuk rasa yang lebih besar di berbagai kota dan kabupaten, di Provinsi Papua dan Papua Barat. Mereka menuntut pelaku rasisme diadili.

Namun, kata dia, yang terjadi justru bukan keadilan bagi orang Papua, melainkan pembungkaman lewat diblokirnya akses internet, dikirimnya pasukan mitier ke Papua, hingga dikriminalisasinya sejumlah aktivis dengan tuduhan makar.

"Kami melihat di dalam negara RI sendiri melambangkan negaranya sebagai negara demokrasi, tapi proses dalam hukumnya tidak sesuai dengan apa yang diagungkan sebagai negara demokrasi," katanya.

Sementara itu pelaku ujaran rasialisme di Surabaya yang menjadi sumber peristiwa ini, yakni oknum aparatur sipil negara (ASN) Syamsul Arifin dan pimpinan ormas reaksioner Tri Susanti hanya dijatuhi hukuman 5 dan 7 bulan penjara. Sementara oknum TNI yang terlibat, tak jelas proses hukumnya hingga sekarang.

"Menurut kami sangat tidak adil sekali, karena walaupun pelaku sudah divonis tapi ada perbedaan yang lebih mengistimewakan pelaku, yang disebut seperti apa, memakai sistem apertheid," ucapnya.

Mahasiswa pun mendesak agar pemerintah mengusut tuntas pelanggaran HAM berat di Papua yang terjadi 1961 hingga sekarang. Mahasiswa Papua pun mendesak negara berhenti mengkriminalisasi aktivis dan pengacara HAM pembela Papua, termasuk Veronica Koman.

Pihak Rudi juga menuntut pemerintah untuk memberikan keterbukaan informasi dan memberikan akses terhadap jurnalis internasional di tanah Papua.

Mereka juga menuntut pemerintah menghentikan segala bentuk operasi militer yang tengah terjadi di tanah Papua, dan mendesak pemerintah memberikan hak menentukan nasib sendiri bagi Rakyat Papua.

(frd/ain)

[Gambas:Video CNN]

Membandingkan manusia dengan hewan itu problematik tapi sulit untuk tidak dilakukan. Kita memang hewan, tapi kita hewan yang yakin bahwa kita bukan sekadar hewan.

Saat kita menyamakan orang dengan makhluk lain akan muncul masalah, misalnya saat fans olahraga menyebut makian rasis, atau Donald Trump menyebut Presiden Suriah Bashar al-Assad seekor binatang, atau saat mahasiswa Papua diduga disebut monyet di Surabaya, Jawa Timur, belum lama ini.

Orang mengggunakan perbandingan dengan hewan untuk berbagai ekspresi, banyak di antaranya yang positif. Hewan yang imut dan kecil, misalnya, dipakai sebagai nama kesayangan untuk anak-anak atau kekasih.

Sementara itu, hewan yang memiliki nilai tertentu dijadikan simbol sifat manusia: orang yang berani disebut berhati singa; orang yang mahir menilai sesuatu disebut bermata elang. Orang-orang mengidentifikasikan diri dengan hewan yang menjadi lambang atau maskot klub-klub sepakbola.

Join 175,000 people who subscribe to free evidence-based news.

Metafora hewan lainnya lebih netral dan menjadi cara mudah menggambarkan karakter manusia. Menyebut orang domba artinya menyebut mereka gampang patuh; menyebut orang ayam atau tikus artinya menyebut mereka penakut atau malas. Menyebut orang sapi atau kodok berarti menyamakan bentuk fisik mereka—alih-alih sifat psikologis—mirip dengan hewan itu.

Perbandingan-perbandingan ini berbeda-beda dalam setiap budaya dan bahasa. Di Barat, burung hantu itu bijak, tapi di India burung hantu itu bodoh. Dalam bahasa Inggris, hiu digunakan untuk orang yang suka bohong dan rakus, tapi dalam bahasa Persia artinya laki-laki yang tidak punya atau hanya punya sedikit jenggot.

Banyak metafora hewan yang terang-terangan menghina—alih-alih menyamakan sifat tertentu. Menyebut orang babi, tikus, kera, monyet, anjing, belatung, atau lintah memiliki makna derogatif serta tudingan emosional dan moral yang keras.

Metafora yang menghina

Dalam sebuah penelitian, saya dan kolega saya menyelidiki makna yang disampaikan lewat rupa-rupa metafora hewan dan mempelajari apa yang menyebabkan metafora ini menjadi hinaan. Kami menemukan dua sebab yang cukup kuat.

Yang pertama, dan mungkin tidak mengejutkan, hewan-hewan yang dibenci seperti ular, lintah, dan tikus adalah metafor yang lebih mengandung unsur hinaan. Orang menggunakan metafor semacam ini pada orang lain bukan untuk menyebut bahwa orang tersebut mirip dengan hewan-hewan ini.

Akan tetapi, sebutan ini digunakan untuk menyampaikan rasa jijik terhadap hewan itu kepada orang yang dimaksud.

Kedua, kami menemukan bahwa orang sangat tidak terima dengan metafor hewan karena perbandingan itu memandang rendah mereka. Saat orang menyebut orang lain kera, monyet, atau anjing, mereka bukannya menyamakan orang tersebut dengan hewan yang dibenci seperti tikus atau ular.

Akan tetapi, sebutan ini menyampaikan makna bahwa orang tersebut dianggap lebih rendah derajatnya.

Singkatnya, metafor binatang yang menghina ada yang merendahkan dan ada juga yang menjijikkan.

Wajar bila dua jenis metafora ini hadir dalam konflik-konflik paling mengerikan dalam sejarah. Metafora kera yang merendahkan sering digunakan pada pribumi selama perang kolonial dan penaklukan. Metafora menjijikkan digunakan untuk mengggambarkan orang sebagai hama dan kecoak selama Holocaust dan genosida Rwanda.

Konsep kebinatangan

Walau hanya sedikit metafora hewan yang sangat menghina, sebagian besar memang dianggap negatif dalam konotasinya. Satu penelitian menemukan bahwa mayoritas metafor ini dianggap menghina—terutama yang ditujukan pada lelaki—dan satu penelitian lain menunjukkan bahwa metafora hewan mewakili sifat-sifat negatif.

Penelitian kami menunjukkan bahwa sifat negatif yang paling umum adalah buruk, kotor, dan bodoh. Intinya, ketika menyebut seseorang sebagai “binatang” dalam pengertian umum, kita menganggap sifat-sifat negatif ini ada pada mereka.

Manusia ialah makhluk yang bermoral, beradab, dan pintar; sedangkan hewan tidak.

Nyata, ada perdebatan bahwa metafora hewan mengungkapkan sebuah arti yang mendalam tentang hierarki. Dalam konsep kuno scala naturae atau rantai keberadaan, manusia berada satu tingkat di atas hewan; hewan lebih tinggi derajatnya dari tumbuhan dan bahan mineral. Kita berada dua tingkat di bawah Tuhan dan para malaikat.

Dalam hierarki ini manusia dianggap mempunyai kekuatan akal dan kendali diri yang unik, sedangkan hewan hanya punya insting yang tidak terkendali. Karena itu, memanggil seseorang sebagai hewan berarti menurunkan mereka ke tingkat keberadaan yang lebih rendah; mereka berada di suatu keadaan yang lebih primitif dan tidak memiliki sifat-sifat manusia.

Seandainya saja metafora dan konsep hierarki tentang manusia dan hewan hanyalah bagian dari keingintahuan belaka dan sudah menjadi sejarah. Sayangnya, banyak bukti bahwa hal-hal ini bertahan sampai sekarang.

Orang-orang dengan sadar untuk menggolongkan orang lain lebih rendah dan lebih primitif dari manusia; ini mengejutkan. Metafora hewan menyingkap kenyataan buas kita.

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris (dengan kontribusi dari Fahri Nur Muharom) dan sudah ditambahkan konteks Papua.

If so, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. With the latest scientific discoveries, thoughtful analysis on political issues and research-based life tips, each email is filled with articles that will inform you and often intrigue you.

Editor and General Manager

Find peace of mind, and the facts, with experts. Add evidence-based articles to your news digest. No uninformed commentariat. Just experts. 90,000 of them have written for us. They trust us. Give it a go.

If you found the article you just read to be insightful, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. Each newsletter has articles that will inform and intrigue you.

Komentari artikel ini