Siapa yang menjemput jendral Sudirman untuk kembali ke jogja

Siapa yang menjemput jendral Sudirman untuk kembali ke jogja

Oleh Hamzah Afifi

Sejarahone.id – Menurut Jenderal Soedirman untuk lebih mengetahui situasi yang sebenarnya terhadap perkembangan Republik Indonesia, maka satu-satunya jalan yang terbaik adalah dengan mendekati kota Yogyakarta. Perintah dan komunikasi akan berjalan lebih lancar dan moril para prajurit, pejuang dan rakyat akan lebih tinggi. Demikian pula dalam mengambil suatu keputusan akan lebih mudah dan cepat. Ekses yang terjadi dengan mudah dapat diatasi.

Perjalanan terbaik ke ibukota Republik itu adalah melalui Tirtomoyo, walaupun di daerah ini terdapat banyak pasukan Digdo PKI yang tidak dapat dipandang sebelah mata walau sudah memihak pada Rl dan taat pada Jenderal Soedirman.

Menghadapi situasi demikian Jenderal Soedirman sangat beruntung, karena peleton CPM pengawalnya dari kesatuan Sukotjo cukup kuat. Sunggu berat menghadapi kenyataan ini karena rombongan harus singgah dan bermalam di Tirtomoyo, walaupun berdekatan dengan markas PKI Digdo.

Setelah menginap satu malam di Tirtomoyo, tanggal 2 Juli 1949 rombongan melanjutkan perjalanan menuju ke Eromoko, kurang lebih 2 kilometer jaraknya dari pos Belanda. Perjalanan dilakukan pada malam hari sebelum subuh dan diteruskan ke desa Krejo, Kecamatan Ponjong. Rombongan menginap semalam lagi dan esok harinya Pak Soeharto datang menghadap Jenderal Soedirman (8 Juli 1949).

Di dalam pertemuan antara Jenderal Soedirman dan Soeharto sempat dibicarakan situasi politik dan militer di sekitar kota Yogyakarta. Sebenarnya masih ada 3 persoalan yang dihadapi Jenderal Soedirman sebelum beliau masuk kota, antara lain:

1. Jenderal Soedirman harus masuk dan tinggal secara aman di Yogyakarta, jadi harus dipastikan dulu apakah Belanda sebenarnya masih tetap berkeinginan melancarkan operasi militernya ke III sebagai usul para penguasa Belanda. Jadi kekhawatiran Jenderal Soedirman mengenai kemungkinan Belanda masih mau menyerang Indonesia lagi ternyata benar. Tidak jadinya Belanda melancarkan gerakan ketiga ini adalah karena kondisi TNI yang makin kuat dan juga karena kedudukan politik yang berubah di pihak Belanda yang lebih realistis melihat keadaan Indonesia.

2. Penyelesaian pertikaian Indonesia Belanda, melalui perundingan yang tidak meremehkan status TNI.

3. Bagaimana cara menjalankan gencatan senjata, karena TNI tidak lagi bertempur dengan garis pertahanan, melainkan bersifat gerilya. Setelah Jenderal Soedirman mendapatkan beberapa informasi dan kepastian dari Soeharto, maka rombongan berangkat dari Ponjong pada pagi hari tanggal 9 Juli 1949.

Pak Harto panggilan akrab Soeharto sendiri pagi itu juga langsung menuju Yogyakarta mendahului rombongan guna mempersiapkan suatu parade akbar untuk menyambut kedatangan kembaIi Jenderal Soedirman ke Yogyakarta yang direncanakan akan dilaksanakan di lapangan Alun-alun Lor, depan Sitihinggil Keraton Jogya pada sore hari itu.

Sedangkan Pak Simatupang dan Pak Suhardjo Hardjowardjojo pada pagi harinya, tanggal 10 Juli 1949 datang untuk menjemput Jenderal Soedirman dengan sebuah kendaraan sedan dan Jeep Land Rover di jembatan kali Opak. Untuk para pengawalnya hanya dapat disediakan satu atau dua kendaraan pick-up, karena sudah tidak ada kendaraan lainnya. Sebagian lagi harus naik truck atau berjalan kaki.

Pembicaraan di dalam mobil antara Jenderal Soedirman, Simatupang dan Suhardjo sangat serius. Kemungkinan adalah usulan agar Jenderal Soedirman dapat pergi ke Gedung Agung dulu untuk bertemu khusus dengan Presiden dan Wakil Presiden.

Pertemuan ini penting karena akan menangkal perkiraan dan perhitungan Belanda yang mengharapkan akan terjadi suatu pertentangan hebat antara mereka yang bergerilya dan mereka-mereka yang mau ditawan oleh Belanda pada waktu Yogyakarta diduduki pada awal perang Kemerdekaan pertama.

Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman menerima dengan baik saran-saran yang disampaikan Simatupang dan Suhardjo Hardjowardjojo, yaitu beliau tidak akan langsung pergi ke lapangan untuk menyaksikan parade, tetapi terlebih dahulu akan mengadakan pertemuan dengan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung Agung Yogya. Bertemu Bung Karno dan Bung Hatta, dinilai sebagai saat yang paling bersejarah dan merupakan kejadian yang sangat penting.

Ini menunjukkan kepada dunia luar dan dalam negeri, bahwa antara mereka yang bergerilya dan yang bersedia untuk ditawan oleh Belanda adalah tetap sebagai pejuang bangsa yang bersatu. Lebih-lebih dengan diadakannya parade penyambutan yang dipimpin oleh Soeharto, maka perhitungan dan politik perpecahan di Indonesia rekayasa Belanda secara implisit sudah menguap ke udara, walaupun secara intern belumlah dapat dianggap tuntas selama persetujuan Rum royen belum dirubah, yaitu pengakuan TNI sebagai satu-satunya kekuatan tentara dari negara RI.

Keadaan ini bukanlah hanya persoalan kehormatan TNI saja, melainkan di dalamnya juga terkait martabat dan kedaulatan negara RI. Sebab pengakuan atas sebauh negara secara otomatis juga harus pula mengakui keberadaan Angkatan Bersenjatanya.

 Kembalinya Jendral Sudirman ke Yogyakarta

Tempo 24 Maret 1973. 

Pada tanggal 7 juli 1949,
Rosihan Anwar sebagai reporter bersama pak Letkol Suharto sebagai perwira TNI pergi menjemput pak Dirman. 

Maguwo, lapangan terbang Yoryakarta, pagi tanggal 6 Juli 1949 rnenantikan sebuah pesawat DC-3 yang membawa Bung Karno dan Bung Hatta dari pulau Bangka. Pada tanggal 30 Juni 1949 tentara Belanda mengosongkan Yogyakarta, pemerintah Republik Indonesia dipulihkan di kota Yogyakarta ini. Berakhirlah pembuangan Sukarno-Hatta semenjak mereka ditawan Belanda pada aksi polisionil kedua tanggal 18 Desember 1948. Sultan Hamengku Buwono IX yang tidak pernah mau kerjasama dengan Belanda dan memimpin perjuangan dari dalam Kraton berada di antara rombongan penyambut, di Maguwo.
Sebagai reporter, walaupun jabatan ialah pemimpin redaksi harian “Pedoman” Rosihan Anwar juga ada di situ melaporkan kejadian bersejarah kembalinya Dwitunggal ke Yogya.

Sri Sulan hamengku Buwono IX bertanya kepada Rosihan Anwar, sambil berdiri menunggu pesawat akan mendarat: “Jadikah kau besok pergi ke Pak Dirman?”. Rosihan Anwar mengangguk. “Mudah-mudahan berhasil”, kata Sultan Hamengku Buwono IX. Jenderal Sudirman, Panglima Besar TNI, yang memimpin perang gerilya dilaporkan tidak menyetujui garis kebijaksanaan politik pemimpin-pemimpin Republik yang ada di Bangka, Persetujuan Roem-Van Royen yang diterima tanggal 7 Mei 1949, “tracee-Bangka” yang digariskan oleh Sukarno yang pokoknya ialah menghentikan perang gerilya dan bersedia turut dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag guna merundingkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak seluruhnya dapat diterima oleh Jenderal Sudirman. Maka guna menghindarkan kesan terdapat perpecahan pendirian di pucuk pimpinan Republik, Jenderal Sudirman harus dibawa kembali ke Yogyakarta.

Letnan Kolonel Suharto, yang memimpin Serangan Umum tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta sehingga membuat Belanda gelagapan dan efeknya terasa sampai di ruangan Dewan Keamanan PBB, diserahi tugas menjemput Jenderal Sudirman dari daerah gerilya yang waktu itu belum termasuk wilayah kekuasaan Republik. Pagi-pagi sekali tanggal 7 Juli 1949 dekat Malioboro wartawan foto “Ipphos” almarhum Frans Sumardjo Mendur memperkenalkan Rosihan Anwar kepada Letnan Kolonel Suharto, ia berpakaian seragam putih dan menyetir sendiri sebuah Landrover. Rosihan Anwar sebelumnya tidak kenal dengan Suharto, dan Rosihan Anwar kira bahwa Letkol Suharto pun tidak pernah membaca tulisan-tulisan Rosihan Anwar.

Lepas Wonosari mereka bertiga tidak bisa lagi pakai jeep. Harus naik sepeda dan “latihan menggenjot” ini berlangsung sepanjang hari. Rosihan Anwar tidak tahu tempat mana yang hendak ditujukan bila `gerangan akan sampai. Yang di kerjakan hanya mengayuh kereta angin melewati daerah gunung Kendeng yang tandus dan tidak banyak penduduknya. Bertiga kami beriringan, Suharto di depan, Rosihan Anwar ditengah, kemudian Frans Sumardjo Mendur. Selama perjalanan sejak dari Yogya, Suharto tidak banyak berbicara. Ia jelas bukan orang yang suka pada “small talk” atau ngobrol. Kata-katanya hemat, sekali. “Mari minum Began”, ia mempersilahkan Rosihan Anwar minum air, kelapa muda, ketika kami berhenti sebentar. Senjakala sudah meliputi daerah yang kami lalui, namun kami masih terus genjot sepeda. Baru kira-kira pukul 9 malam, setelah sepeda ditinggalkan, dan di lanjutkan dengan berjalan kaki, kami tiba di pinggir sebuah desa dan di situ dihadang oleh pasukan pengawal terdepan Pak Dirman. Sudah sampai rupanya.

Jendral Sudirman dalam pakaian dan ikut kepala hitam, ketika menerima Rosihan Anwar malam itu juga ditempat penginapannya yaitu rumah Lurah dengan spontan berkata: “Saudara Rosihan dan wartawan Republik yang pertama saya ketemu, sudah masa bergerilya ini”, Sebelum saya dipersilahkan masuk oleh ajudannya yakni Kapten Supardjo Roestam, Pak Dirman terlebih dahulu menerima Suharto. Rosihan Anwar taksir tentu di situ Suharto sudah melaporkan tentang maksud kedatangannya dan menyampaikan pecan Sri Sultan, Ketika Rosihan Anwar minta interview dari Pak Dirman, dia berkata: “Besok pagi saja, sekarang istirahat dulu”.

Siapa yang menjemput jendral Sudirman untuk kembali ke jogja


Yang di dalam foto kemungkinan besar Jendral Sudirman, Letkol Suharto, Soepardjo Roestam
Yang memotret Frans Sumardjo Mendur

Primeur berita yang Rosihan Anwar peroleh itu tentulah dengan segera harus dikirim ke suratkabar. Orang-orang Belanda di Jakarta akan sangat menaruh perhatian kepada wawancara Rosihan Anwar dengan Jenderal Sudirman. Tetapi juga Sultan Yogya, Kolonel T.B. Simatupang dan lain-lain menunggu bagaimana hasil “mission” Letnan Kolonel Suharto. Maka selesai interview Rosihan Anwar putuskan segera kembali, jadi tidak bersarpa dengan Pak Dirman yang harus ditandu untuk menuju ke Yogyakarta. Sebelum meninggalkan desa Pak Dirman bergambar bersama-sama kami semua. Rosihan Anwar ingat waktu itu ada Kapten Tjokropranolo, ada Letnan Kolonel Suadi ada Dr Irsan, ada Heru, ada Muhammad, dan lain-lain.

Siapa yang menjemput jendral Sudirman untuk kembali ke jogja

Sebelum meninggalkan desa Jendral Sudirman bergambar bersama-sama Letkol Suharto, Rosihan Anwar, Kapten Tjokropranolo, Letnan Kolonel Suadi, Dr Irsan, Heru, Muhammad, dan lain-lain.

Yang memotret Frans Sumardjo Mendur

Itulah foto Frans Mendur yang 20 tahun kemudian di muat dalam buku O.G. Roeder “The Smiling General dengan keterangan teks: “In the jungles near Yogyakarta, June 1949 – General Sudirman, Lt. Colonel Soeharto, and other commanders. Seated in front was Rosihan Anwar”. Menurut Rosihan Anwar Roeder membuat kesalahan di sini, sebab waktunya bukanlah Juni 1949, melainkan tanggal 8 Juli 1949.

Dengan pesawat UNCI (United Nations Commission for Indonesia) Rosihan Anwar kirimkan berita wawancara dengan Pak Dirman ke redaksi ‘Pedoman’ waktu itu di Senin, Jakarta. Kepada Sultan Rosihan Anwar laporkan, semua beres, Pak Dirman sedang dalam perjalanan kembali ke Yogya. Mr Sjafruddin Prawiranegara kepala PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) sudah dari Sumatera. 

Siapa yang menjemput jendral Sudirman untuk kembali ke jogja

Jendral Sudirman di aloon-aloon utara Yogyakarta sekembalinya dari gerilya

Yang memotret Frans Sumardjo Mendur

Pak Dirman dengan, diiringi oleh Letnan Kolonel Suharto dalam suasana meriah gembira bercampur terharu memasuki Yogya. Rosihan menyaksikannya memeriksa di aloon-aloon pasukan-pasukan yang menghormati kembalinya Panglima Besar mereka.


Page 2