Jakarta - Pandemi COVID–19 memberikan pukulan yang besar bagi perekonomian negara, bahkan perekonomian Indonesia sampai mengalami resesi. Pemerintah pun berusaha keras mencari cara untuk memulihkan ekonomi Indonesia dan menjaganya. Salah satu alat yang yang digunakan oleh pemerintah adalah pajak. Pajak sendirinya merupakan sumber penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi pajak juga memiliki peranan yang penting dalam menjaga dan pemulihan ekonomi. “Pajak diharapkan bukan hanya berperan sebagai instrumen pembiayaan dalam APBN, namun Pajak harus dapat berperan besar dalam memberikan stimulus secara menyeluruh terhadap Pemulihan Ekonomi Nasional khususnya masa pandemi,” tutur Rofyanto Kurniawan selaku Direktur Penyusunan APBN Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan dalam membuka acara Perbincangan Santai Belajar dan Berdiskusi (PSBB). Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal mengatakan pajak memiliki peranan krusial dalam APBN dalam waktu beberapa tahun belakangan ini. Hal ini ini dapat dilihat dari kontribusi pajak yang terus meningkat terhadap penerimaan negara. Sayangnya, pada saat pandemi ini, aktivitas ekonomi yang terganggu menyebabkan penerimaan pajak mengalami kontraksi. Ia mengatakan pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan dan stimulus melalui perpajakan untuk menghindari mendalamnya kontraksi ekonomi. Beberapa kebijakan dan stimulus terkait dengan perpajakan antara lain yaitu pemberian insentif bagi pekerja di sektor yang terdampak langsung oleh pandemi melalui fasilitas pajak DTP PPh21, penurunan tarif PPh Badan, pembebasan PPh 22 Impor, pembebasan pajak impor alat kesehatan dan vaksin. Lewat berbagai kebijakan dan stimulus terkait perpajakan tersebut, dunia usaha diharapkan dapat kembali berjalan normal, iklim investasi kembali kondusif, kesejahteraan masyarakat meningkat, dan UMKM dapat berkembang. Insentif perpajakan yang dikeluarkan pemerintah pun sudah terbukti bermanfaat dan membantu lebih dari 460.000 Wajib Pajak. Yon mengatakan bahwa hal itu merupakan bukti pemerintah merespon pandemi dengan baik dari sisi ekonomi, dan juga menunjukkan peran pajak yang cukup sentral dalam pemulihan ekonomi di massa pandemi. Walaupun begitu, pemerintah tetap sadar bahwa reformasi perpajakan harus terus dilakukan. Indonesia sendiri masih mengalami tantangan dalam hal perpajakan seperti rendahnya tax ratio dan hambatan dalam menggali potensi perpajakan. Oleh karena itu pandemi ini diharapkan menjadi momentum untuk melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh seperti perluasan pengenaan cukai bagi produk-produk tertentu contohnya minuman manis dalam kemasan, pemberian insentif perpajakan bagi produk-produk ramah lingkungan, serta secara struktural sehingga kinerja perpajakan dan tax ratio dapat terus meningkat kedepannya. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Artidiatun Adji, memberikan pandangannya bahwa banyak negara lain yang juga meluncurkan kebijakan fiskal di masa pandemi khususnya di bidang perpajakan. Adaptasi terhadap kebijakan menjadi kunci sukses dan keberhasilan dari kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebagai wajib pajak, marilah kita mengapresiasi peran pajak yang telah membantu terhadap pemulihan ekonomi negara kita dan jadikan motivasi bagi kita untuk melakukan kewajiban kita, yaitu membayar pajak.
SIARAN PERS SINERGI MEMPERKUAT PEMULIHAN EKONOMI DAN MENJAGA STABILITAS SISTEM KEUANGAN Nomor: 1/KSSK/Pers/2022 Jakarta, 2 Februari 2022
Untuk mendukung kebutuhan penanganan kesehatan dan kemanusiaan dalam rangka penanganan dampak Covid-19, Pemerintah bersama BI melakukan bauran kebijakan fiskal dan moneter, antara lain melalui dukungan pembelian SBN oleh BI. Pada tahun 2021, realisasi pembelian SBN oleh BI mencapai Rp358,32 triliun yang terdiri dari pembelian SBN di pasar perdana melalui lelang Rp143,32 triliun dan private placement Rp215 triliun. Bauran tersebut dilakukan dengan tetap berkomitmen menjaga kredibilitas pasar SBN serta kesinambungan, baik di sisi APBN maupun neraca BI, agar pemulihan dapat terwujud secara berkesinambungan dalam jangka menengah panjang. BI menempuh kebijakan suku bunga rendah, stabilisasi nilai tukar Rupiah, dan injeksi likuiditas (quantitative easing), OJK mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan, serta LPS menetapkan tingkat bunga penjaminan yang rendah dan memberikan relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi penjaminan perbankan. Sinergi kebijakan di dalam KSSK juga ditujukan untuk mengupayakan terbentuknya tingkat suku bunga di sektor jasa keuangan yang lebih efisien. Dengan dukungan berbagai kebijakan tersebut, pemulihan ekonomi telah terjadi di semua sektor dan semakin merata, meskipun kecepatan pemulihannya masih sangat bergantung pada jenis aktivitas usaha dan dampak pandemi pada sektor terkait. Kebijakan yang diberikan untuk sektor tertentu seperti properti dan otomotif juga memberikan dampak yang positif bagi kedua sektor. Insentif PPN untuk perumahan yang diberikan Pemerintah, diperkuat dengan kebijakan BI yang melanjutkan pelonggaran rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit/pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100% untuk bank yang memenuhi NPL/NPF tertentu, serta pelonggaran aset tertimbang menurut risiko (ATMR), ketentuan tarif premi asuransi, dan uang muka perusahaan pembiayaan dari OJK mampu mendorong realisasi kredit properti hingga Rp465,55 triliun (Desember 2021). Untuk sektor otomotif, insentif PPnBM kendaraan bermotor dari Kemenkeu, yang dikolaborasikan dengan pelonggaran ATMR dan uang muka perusahaan pembiayaan oleh OJK serta pelonggaran uang muka kredit oleh BI turut mendorong realisasi kredit kendaraan bermotor hingga Rp97,45 triliun (Desember 2021). Capaian ini sejalan dengan peningkatan penjualan mobil di 2021 ke level 863,3 ribu dibandingkan penjualan 578,3 ribu pada 2021.
Pemerintah mengimplementasikan program penjaminan kredit dalam rangka memberikan keyakinan kepada perbankan untuk meningkatkan partisipasinya di dalam menjaga dan mendorong kinerja dunia usaha melalui penyaluran kredit. Program penjaminan kredit tersebut telah diimplementasikan sejak tahun 2020 dan dilakukan kalibrasi kriteria pada tahun 2021, terutama untuk penjaminan kredit korporasi. Kalibrasi tersebut mencakup pelonggaran kriteria pelaku usaha korporasi sehingga lebih akomodatif dan fleksibel untuk mencakup lebih banyak korporasi penerima fasilitas penjaminan. Selain itu, penyesuaian juga dilakukan agar kriteria penjaminan Pemerintah lebih sejalan terhadap perkembangan risiko yang dihadapi oleh penjamin, perbankan, dan pelaku usaha korporasi. Dalam rangka turut mendukung kinerja perbankan sekaligus mendorong intermediasi, Pemerintah melakukan penempatan dana di perbankan yang memberikan multiplier effect terhadap penyaluran kredit hingga Rp458,22 triliun bagi 5,49 juta debitur per 17 Desember 2021.
Pemerintah memberikan fasilitas kepabeanan untuk meningkatkan daya saing ekspor melalui pemberian insentif penangguhan Bea Masuk (BM) dan/atau tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) untuk Kawasan Berikat (KB) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Selain itu, melalui fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) diberikan insentif pembebasan atau pengembalian BM dan PDRI atas barang dan bahan yang diimpor untuk tujuan diolah, dirakit atau dipasang dan hasil produksinya untuk tujuan ekspor.
Dari sisi Pemerintah, Pemerintah memberikan insentif PPh Final UMKM DTP, subsidi bunga UMKM, serta program penjaminan kredit UMKM. Pada tahun 2021, insentif PPh Final UMKM DTP dimanfaatkan oleh 138.635 pelaku UMKM senilai Rp0,80 trilun. KUR disalurkan sebesar Rp284,9 triliun bagi 7,51 juta debitur. Tambahan subsidi bunga KUR dinikmati oleh 8,45 juta pelaku UMKM. Sementara itu, subsidi bunga non-KUR dimanfaatkan oleh 8,33 Juta pelaku UMKM. Adapun penjaminan kredit UMKM yang dilaksanakan sejak tahun 2020 telah menjamin total Rp53,41 triliun bagi 2,45 juta debitur.
Untuk tahun 2022, bauran kebijakan BI diarahkan untuk menjaga stabilitas dengan tetap mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional. Dalam hal ini, kebijakan moneter akan lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas, sekaligus untuk memitigasi dampak potensi risiko global dari normalisasi kebijakan di negara maju, khususnya Bank Sentral AS (The Fed), sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau diarahkan tetap untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. BI terus memperkuat kebijakan nilai tukar Rupiah untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan fundamental ekonomi dan mekanisme pasar. Selanjutnya, normalisasi kebijakan likuiditas dilakukan dengan tetap memastikan kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian SBN untuk pembiayaan APBN. Tahapan normalisasi likuiditas dilakukan dengan menaikkan GWM (Giro Wajib Minimum) Rupiah sebesar 300 bps untuk BUK (Bank Umum Konvensional), dan 150 bps untuk BUS (Bank Umum Syariah) dan UUS (Unit Usaha Syariah). Adapun normalisasi melalui GWM ini akan dilakukan secara bertahap pada bulan Maret, Juni, dan September 2022. Sementara itu, suku bunga kebijakan dipertahankan rendah sampai terdapat tanda-tanda awal kenaikan inflasi. Kebijakan makroprudensial akomodatif akan diperkuat untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas dan pembiayaan inklusif dalam rangka mengatasi scarring effect dan mendorong pemulihan pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga SSK, melalui berbagai langkah berikut:
Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran terus ditempuh BI guna mendorong integrasi ekonomi dan keuangan digital nasional yang akan mendorong permintaan domestik, khususnya dari sisi konsumsi rumah tangga, serta percepatan ekonomi dan keuangan yang inklusif dan efisien, melalui:
Pada tahun 2022, BI kembali memperkuat implementasi kebijakan RPIM terutama melalui pemenuhan komitmen bank terhadap target RPIM yang ditetapkan sesuai dengan keahlian dan model bisnis bank. Lebih lanjut, BI juga memberikan insentif bagi bank-bank yang menyalurkan kredit/pembiayaan inklusif dan/atau bank-bank yang memenuhi target RPIM berupa pengurangan kewajiban GWM harian.
Dengan berbagai dinamika global tersebut, ditambah kebutuhan untuk mulai melakukan exit strategy secara bertahap seiring tren pemulihan ekonomi domestik, tantangan di dalam perumusan kebijakan akan semakin tinggi. KSSK akan terus memperkuat koordinasi dan sinergi. Pada tahun 2022, kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang efektif akan menjadi kunci di dalam menghadapi dinamika global sekaligus menjadi bagian dari upaya mengimplementasikan exit strategy secara bertahap. Keselarasan kebijakan fiskal dan moneter tersebut akan diperkuat lebih lanjut melalui sinkronisasi dengan kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, dan penjaminan simpanan.
Untuk informasi lebih lanjut: |