tirto.id - Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang tata cara pembuatannya telah diatur. Indonesia adalah negara hukum dan hukum ini mengikat kepada seluruh anggota masyarakat. Hukum menjadi alat dalam menciptakan ketertiban dan keasilan. Tanpa hukum, kehidupan bermasyarakat akan mengalami kekacauan. Hukum Indonesia diatur melalui perundang-undangan. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk siapa saja pihak yang terlibat telah diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011. Tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan proses pembuatannya sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan dan menjadi hukum tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Penyusunnya adalah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. MPR berhak mengubah dan menetapkan UUD ini sesuai pasal 3 ayat (1) UUD 1945. Saat ini telah dilakukan empat kali perubahan terhadap UUD 1945. Tata cara perubahannya diatur dalam pasal 37 UUD 1945 yang berbunyi: Pasal 37 (1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. 2. Ketetapan MPR Ketetapan MPR adalah putusan majelis yang memiliki kekuatan hukum mengikat kepada seluruh anggota majelis hingga ke setiap warga negara, lembaga masyarakat, dan lembaga negara yang tidak terikat oleh Ketetapan MPR. Dalam buku PPKN Kelas VIII (Kemdikbud 2014), kekuatan ini disebut mengikat ke dalam dan ke dalam Proses pembentukannya dimulai dengan pembentukan Panitia Ad Hoc. Tugasnya menyiapkan Rancangan Ketetapan-Ketetapan MPR untuk diajukan dan dibahas dalam Sidang Tahunan MPR. MPR akan menetapkannya dalam Sidang Tahunan MPR tersebut. 3. Undang-Undang (UU)atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pembentukan Undang-Undang (Perppu) Lembaga negara yang memiliki kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang adalah DPR. Sementara itu Rancangan Undang-Undang (RUU) bisa dibuat oleh DPR, DPD atau Presiden. Proses pembentukannya yaitu:
4. Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah (PP) yaitu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang. Tahapan penyusunannya adalah:
Penetapan Peraturan Presiden (Perpres) digunakan untuk menjalankan perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Proses pembentukannya berdarakan Pasal 55 UU No 12 Tahun 2011, yaitu:
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama gubernur. Tahapan proses pembuatannya adalah:
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota merupakan peraturan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama bupati/walikota. Proses pembentukan Perda yaitu:
Baca juga:
Baca juga
artikel terkait
UNDANG-UNDANG
atau
tulisan menarik lainnya
Ilham Choirul Anwar
Subscribe for updates Unsubscribe from updates
Peran Strategis Perancang Peraturan Perundang-Undangan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Keterlibatan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pada tanggal 12 Agustus 2011 yang lalu, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No.12/2011). UU N0. 12/2011 ini secara otomatis menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penerbitan UU No. 12/2011 ini merupakan pelaksanaan perintah Pasal 22 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga merupakan bentuk perhatian Pemerintah terhadap pembangunan hukum nasional. Pembentukan Undang-Undang ini didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan harus berdasarkan sistem hukum nasional. Melalui UU No. 12/2011 ini, diharapkan semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan memiliki pedoman khusus yang baku dan terstandardisasi dalam proses dan metode membentuk peraturan perundang-undangan secara terencana, terpadu, dan sistematis. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan sendiri di di dalam UU No. 12/2011 diartikan sebagai proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari tahapan perencanaan, persiapan, pengesahan, pengundangan, hingga penyebarluasan yang dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang disesuaikan dengan pedoman yang tertuang di dalam UU No. 12/2011. Dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan baik yang di laksanakan oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, maupun Dewan Perwakilan Daerah, diamanatkan untuk melibatkan Perancang Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 98 UU No. 12/2011, bahwa dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayaagunaan Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Dan Angka Kreditnya (Kepmen PAN No. 41/KEP/M.PAN/12/2000) yang dimaksud dengan Perancang Peraturan Perundang-Undangan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah. Dengan ditetapkanya keterlibatan perancang pada setiap tahap penyusunan peraturan perundang-undangan, dapat kita lihat bahwa peran Perancang Peraturan Perundang-undangan (legislative drafter) menjadi sangat strategis. Kebutuhan akan Perancang Peraturan Perundang-undangan semakin penting untuk menghindari permasalahan umum yang biasa terdapat dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Permasalahan tersebut antara lain adalah timbul multitafsir terhadap pasal atau ayat dalam suatu peraturan perundang-undangan, tidak memberikan pengaturan yang jelas sehingga masyarakat mempunyai pemahaman yang berbeda-beda, banyak jenis peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan yang lebih tinggi, terlalu banyak memberikan delegasi untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dan peraturan yang sudah ada sulit untuk diimplementasikan di lapangan. Tugas Pokok, Kewajiban dan Peran Perancang Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan (Kepmen PAN No. 41/KEP/M.PAN/12/2000) tugas pokok perancang peraturan perundang-undangan adalah menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundan-undangan dan instrumen hukum lainnya. Agar dapat menjalankan tugas pokoknya tersebut dengan baik sehingga diperoleh peraturan perundang-undangan yang baik, perancang peraturan perundang-undangan harus memahami dengan baik apa yang menjadi kewajiban dan perannya. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang perancang dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan antara lain:
Selain kewajiban, seorang perancang peraturan perundang-undangan juga dituntut untuk memahami dan melaksanakan perannya dengan baik. Peran Perancang Peraturan Perundang-undangan adalah:
Apabila kewajiban dan peran perancang tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal, maka tidak mungkin akan lahir suatu produk peraturan perundang-undangan yang baik, aspiratif dan responsif. Hal demikian tentu saja akan berdampak kurang baik bagi pembangunan hukum nasional. Untuk itu setiap perancang peraturan perundang-undangan harus memiliki pemahaman yang mendalam dan mengimplementasikan kewajiban dan peranya nya dalam menjalankan tugasnya sebagai perancang peraturan perundang-undangan. Kode Etik Perancang Peraturan Perundang-Undangan Selain kewajiban dan peran yang harus diimplementasikan dengan baik dalam menjalankian setiap tugasnya, terdapat satu hal lagi yang tidak kalah penting yang harus selalu diamalkan oleh Perancang peraturan perundang-undangan yaitu kode etik sebagai perancang peraturan perundang-undangan. Kode etik perancang secara umum dapat diartikan sebagai tata cara atau aturan yang menjadi standard kerja perancang peraturan perundang-undangan yang menggambarkan nilai-nilai profesionalisme dengan muatan utama yaitu itikad baik untuk memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Kode etik yang harus selalu dilaksanakan dan dipegang teguh oleh perancang peraturan perundang-undangan adalah hal-hal sebagai berikut:
Kita sepakat bahwa keberadaan kode etik perancang peraturan perundang-undangan ini adalah sesuatu yang urgen untuk diterapkan dan selalu dipegang teguh oleh perancang peraturan perundang-undangan, terlebih karena profesi ini menyangkut kepentingan orang banyak. Dengan tidak dilaksanakannya kode etik tersebut tentu akan berimplikasi kurang baik terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh perancang peratururan perundang-undangan. Kemungkinan peraturan perundangan-undangan yang dihasilkan tersebut tidak memberikan keadilan kepada masyarakat atau hanya mewakili kepentingan-kepentingan tertentu di dalam masyarakat, peraturan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat dilaksanakan. Dengan melihat kewajiban dan peran yang harus dilaksanakan oleh perancang terlihat bahwa perancang memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan yang baik. Perancang mempunyai peran yang sangat penting dalam merumuskan ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan. Tidak hanya substansinya yang harus diperhatikan tetapi juga teknis penulisannya. Namun harus selalu diingat bahwa peran ini melahirkan tanggung jawab yang besar bagi seorang perancang karena peraturan perundang-undangan hasil rancangan seorang perancang harus bisa dipertanggung jawabkan baik secara moral dan keilmuan. Jangan sampai nantinya peraturan tersebut membawa akibat hukum yang merugikan masyarakat, melukai perasaan keadilan dan menimbulkan ketidak pastian hukum dan pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung baik sebagian atau keseluruhan isi Pasal-Pasal peraturan perundang-undangan tersebut. Seperti halnya yang terjadi baru-baru ini terhadap Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Heriyanto selaku Tim Asisten Badan Pengawas Pemilu terhadap Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berbunyi: Mahkamah Konstitusi memutuskan konstitusional bersyarat Frasa ”… sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83…” dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) ) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selengkapnya harus dibaca, ‘Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah)’. Mahkamah berpendapat frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat (4) UU 32/2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan frasa tersebut salah merujuk pasal. Hal tersebut karena Pasal 83 UU 32/2004 bukan mengenai larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, melainkan mengatur mengenai dana kampanye. Adapun pasal yang mengatur tentang larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, adalah Pasal 80 UU 32/2004. Pada tataran praktek, adanya salah rujuk ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar rasa keadilan dalam masyarakat. Menurut data dari Badan Pengawas Pemilu, banyak keluhan dari Pengawas Pemilu di seluruh Indonesia tentang penerapan pasal tersebut. Banyak sekali pelanggaran yang dimaksud dalam Pasal 116 yang dilakukan oleh pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil dan Kepala Desa namun tidak dapat ditindaklanjuti oleh Panitia Pengawas karena selalu dimentahkan di Kepolisian. Kepolisian menganggap pelanggaran tersebut tidak dapat dipidanakan karena tidak memenuhi rumusan Pasal 116 yang salah rujuk. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seolah menjadi teguran bagi setiap orang yang terlibat dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan terlebih seorang perancang peraturan perundang-undangan untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan perannya dengan baik dan selalu berhati-hati dalam merancang sebuah peraturan perundang-undangan agar dikemudian hari tidak terjadi lagi pembatalan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. (Ditulis oleh, Wuri Virgayanti, S.H., Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat) Sumber
Page 2
Peran Strategis Perancang Peraturan Perundang-Undangan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Keterlibatan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pada tanggal 12 Agustus 2011 yang lalu, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No.12/2011). UU N0. 12/2011 ini secara otomatis menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penerbitan UU No. 12/2011 ini merupakan pelaksanaan perintah Pasal 22 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga merupakan bentuk perhatian Pemerintah terhadap pembangunan hukum nasional. Pembentukan Undang-Undang ini didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan harus berdasarkan sistem hukum nasional. Melalui UU No. 12/2011 ini, diharapkan semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan memiliki pedoman khusus yang baku dan terstandardisasi dalam proses dan metode membentuk peraturan perundang-undangan secara terencana, terpadu, dan sistematis. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan sendiri di di dalam UU No. 12/2011 diartikan sebagai proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari tahapan perencanaan, persiapan, pengesahan, pengundangan, hingga penyebarluasan yang dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang disesuaikan dengan pedoman yang tertuang di dalam UU No. 12/2011. Dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan baik yang di laksanakan oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, maupun Dewan Perwakilan Daerah, diamanatkan untuk melibatkan Perancang Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 98 UU No. 12/2011, bahwa dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayaagunaan Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Dan Angka Kreditnya (Kepmen PAN No. 41/KEP/M.PAN/12/2000) yang dimaksud dengan Perancang Peraturan Perundang-Undangan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah. Dengan ditetapkanya keterlibatan perancang pada setiap tahap penyusunan peraturan perundang-undangan, dapat kita lihat bahwa peran Perancang Peraturan Perundang-undangan (legislative drafter) menjadi sangat strategis. Kebutuhan akan Perancang Peraturan Perundang-undangan semakin penting untuk menghindari permasalahan umum yang biasa terdapat dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Permasalahan tersebut antara lain adalah timbul multitafsir terhadap pasal atau ayat dalam suatu peraturan perundang-undangan, tidak memberikan pengaturan yang jelas sehingga masyarakat mempunyai pemahaman yang berbeda-beda, banyak jenis peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan yang lebih tinggi, terlalu banyak memberikan delegasi untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dan peraturan yang sudah ada sulit untuk diimplementasikan di lapangan. Tugas Pokok, Kewajiban dan Peran Perancang Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan (Kepmen PAN No. 41/KEP/M.PAN/12/2000) tugas pokok perancang peraturan perundang-undangan adalah menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundan-undangan dan instrumen hukum lainnya. Agar dapat menjalankan tugas pokoknya tersebut dengan baik sehingga diperoleh peraturan perundang-undangan yang baik, perancang peraturan perundang-undangan harus memahami dengan baik apa yang menjadi kewajiban dan perannya. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang perancang dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan antara lain:
Selain kewajiban, seorang perancang peraturan perundang-undangan juga dituntut untuk memahami dan melaksanakan perannya dengan baik. Peran Perancang Peraturan Perundang-undangan adalah:
Apabila kewajiban dan peran perancang tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal, maka tidak mungkin akan lahir suatu produk peraturan perundang-undangan yang baik, aspiratif dan responsif. Hal demikian tentu saja akan berdampak kurang baik bagi pembangunan hukum nasional. Untuk itu setiap perancang peraturan perundang-undangan harus memiliki pemahaman yang mendalam dan mengimplementasikan kewajiban dan peranya nya dalam menjalankan tugasnya sebagai perancang peraturan perundang-undangan. Kode Etik Perancang Peraturan Perundang-Undangan Selain kewajiban dan peran yang harus diimplementasikan dengan baik dalam menjalankian setiap tugasnya, terdapat satu hal lagi yang tidak kalah penting yang harus selalu diamalkan oleh Perancang peraturan perundang-undangan yaitu kode etik sebagai perancang peraturan perundang-undangan. Kode etik perancang secara umum dapat diartikan sebagai tata cara atau aturan yang menjadi standard kerja perancang peraturan perundang-undangan yang menggambarkan nilai-nilai profesionalisme dengan muatan utama yaitu itikad baik untuk memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Kode etik yang harus selalu dilaksanakan dan dipegang teguh oleh perancang peraturan perundang-undangan adalah hal-hal sebagai berikut:
Kita sepakat bahwa keberadaan kode etik perancang peraturan perundang-undangan ini adalah sesuatu yang urgen untuk diterapkan dan selalu dipegang teguh oleh perancang peraturan perundang-undangan, terlebih karena profesi ini menyangkut kepentingan orang banyak. Dengan tidak dilaksanakannya kode etik tersebut tentu akan berimplikasi kurang baik terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh perancang peratururan perundang-undangan. Kemungkinan peraturan perundangan-undangan yang dihasilkan tersebut tidak memberikan keadilan kepada masyarakat atau hanya mewakili kepentingan-kepentingan tertentu di dalam masyarakat, peraturan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat dilaksanakan. Dengan melihat kewajiban dan peran yang harus dilaksanakan oleh perancang terlihat bahwa perancang memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan yang baik. Perancang mempunyai peran yang sangat penting dalam merumuskan ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan. Tidak hanya substansinya yang harus diperhatikan tetapi juga teknis penulisannya. Namun harus selalu diingat bahwa peran ini melahirkan tanggung jawab yang besar bagi seorang perancang karena peraturan perundang-undangan hasil rancangan seorang perancang harus bisa dipertanggung jawabkan baik secara moral dan keilmuan. Jangan sampai nantinya peraturan tersebut membawa akibat hukum yang merugikan masyarakat, melukai perasaan keadilan dan menimbulkan ketidak pastian hukum dan pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung baik sebagian atau keseluruhan isi Pasal-Pasal peraturan perundang-undangan tersebut. Seperti halnya yang terjadi baru-baru ini terhadap Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Heriyanto selaku Tim Asisten Badan Pengawas Pemilu terhadap Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berbunyi: Mahkamah Konstitusi memutuskan konstitusional bersyarat Frasa ”… sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83…” dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) ) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selengkapnya harus dibaca, ‘Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah)’. Mahkamah berpendapat frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat (4) UU 32/2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan frasa tersebut salah merujuk pasal. Hal tersebut karena Pasal 83 UU 32/2004 bukan mengenai larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, melainkan mengatur mengenai dana kampanye. Adapun pasal yang mengatur tentang larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, adalah Pasal 80 UU 32/2004. Pada tataran praktek, adanya salah rujuk ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar rasa keadilan dalam masyarakat. Menurut data dari Badan Pengawas Pemilu, banyak keluhan dari Pengawas Pemilu di seluruh Indonesia tentang penerapan pasal tersebut. Banyak sekali pelanggaran yang dimaksud dalam Pasal 116 yang dilakukan oleh pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil dan Kepala Desa namun tidak dapat ditindaklanjuti oleh Panitia Pengawas karena selalu dimentahkan di Kepolisian. Kepolisian menganggap pelanggaran tersebut tidak dapat dipidanakan karena tidak memenuhi rumusan Pasal 116 yang salah rujuk. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seolah menjadi teguran bagi setiap orang yang terlibat dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan terlebih seorang perancang peraturan perundang-undangan untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan perannya dengan baik dan selalu berhati-hati dalam merancang sebuah peraturan perundang-undangan agar dikemudian hari tidak terjadi lagi pembatalan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. (Ditulis oleh, Wuri Virgayanti, S.H., Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat) Sumber
|