Siapa nama raja Majapahit yang memerintahkan membangun Candi Gayatri?

Sosok tokoh Gayatri ini banyak dikenal namun tidak banyak sumber sejarah yang mencatat nama maupun aktifitasnya. Gayatri dikenal sebagai salah satu putri Kertanegara raja Singhasari terakhir. Tidak banyak sumber yang menceritakan tentang biografinya ketika menjadi putri Singhasari.

Putri Kertanegara yang dikenal menjadi istri dari penguasa pertama Majapahit ada 4 orang, yaitu Sri Parameswari Tribuaneswari, Sri Mahadewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Gayatri.

Ada perbedaan menarik mengenai istri Wijaya. Pararaton dan Kidung mengisahkan hanya 2 putri saja yang menjadi istrinya sedangkan Prasasti Sukamrta (1296 M), Prasasti Balawi (1305 M), dan Nagarakretagama menyebutkan 4 istri Wijaya adalah putri Kertanegara.

Silsilah raja Singhasari dan Majapahit yang ternaung dalam pohon dinasti Girindra-rajasa wangsa dapat diperoleh melalui penuturan Nagarakartagama dan Prasasti Mula-Malurung (1255 M). Penemuan prasasti Mula-Malurung semakin memperjelas silsilah raja-raja Singhasari sebagai pendahulu raja-raja Majapahit.

Sumber lain selama ini hanya Pararaton dan Nagarakartagama. Informasi yang diberikan oleh prasasti Mula-Malurung banyak yang memperkuat atau bahkan memperjelas kisah dalam Pararaton, karena tidak semua hal kisah dalam Pararton tergambarkan dengan jelas dan justru beberapa menimbulkan pertanyaan.

Silsilah raja-raja Singhasari menunjukkan bahwa semua cabang dalam keluarga ini pernah memerintah dalam tahta Singhasari. Hal yang menarik bahwa politik perkawinan selain sebagai upaya konsolidasi dan meredam suksesi juga dapat berakibat berlawanan, yaitu penuntutan hak atas tahta. Sebagai contoh adalah tokoh Jayakatwang raja bawahan di Kadiri, ia adalah keturunan dari raja-raja Kadiri dari ayahnya yaitu Sastrajaya, dari pihak ibunya dia adalah keturunan Singhasari, karena ibunya adalah saudara perempuan Wisnuwardhana, jadi masih sepupu dengan Kretanagara. Selain itu ia adalah ipar sekaligus besan Kretanegara karena istrinya adalah saudara Kretanegara dan anaknya adalah menantu Kretanegara.

Sekarang yang menjadi pertanyaan siapakah calon yang dipersiapkan oleh Kertanegara sebagai penggantinya. Baik Pararaton, Nagarakartagama maupun Prasasti Mula-Malurung tidak memperlihatkan hal tersebut.

Jika Kretanegara tidak memiliki seorang putra mahkota maka putri-putrinyalah yang mewarisi tahta. Mungkin saja Wijaya yang keponakan Kertanegara dan mewarisi tahta dari jalur ayah dan kakeknya dianggap pantas menerima hak waris tersebut. Jika benar R. Wijaya awalnya hanya menikahi 2 putri Singhasari kemungkinan besar adalah si sulung Tribhuaneswari (yang mungkin mewarisi tahta) dan Gayatri (yang mungkin sudah diperistri dahulu jika meng- ingat ia yang diangkat sebagai Rajatpatni). Tetapi ini perlu penelaahan lebih lanjut.

Gayatri seorang Rajapatni

Gelar Rajapatni disematkan kepada Gayatri sungguh sebuah tanda tanya besar, seberapa penting kedudukannya dalam istana Majapahit. Rajapatni adalah gelar yang berarti istri utama raja, sekarang apa bedanya dengan prameswari yang disandang oleh Tribhuaneswari. Prameswari adalah kedudukan utama sebagai penghormatan istri utama yang tertua (usia) sedangkan Rajapatni justru mungkin sebagai bupati estri yaitu pemimpin para wanita utama di istana Majapahit, dan mungkin juga adalah istri kesayangan raja, jika mengingat kemungkinan ia adalah istri awal raja.

Model bupati estri ini masih nampak pada keraton-keraton di Jawa hingga sekarang, jabatan ini menempatkan yang bersangkutan semacam patih yang mengurus semua urusan dalam istana. Kedudukannya sangat terhormat, kuat dan menentukan.

Tahta atas Majapahit jatuh pada tangan Jayanegara putra Wijaya dengan Tribhuneswari (hal ini diperkuat oleh prasasti Sukamerta dan Balawi), karena Jayanegara tidak mempunyai anak, maka tahta jatuh pada adik tirinya, yaitu Tribhuwanadewi putri Gayatri.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Gayatri yang memperoleh hak atas tahta karena ungkapan mangkamangalya atau memerintah atas namanya ketika Tribhuwanadewi naik tahta. Pendapat tersebut menerangkan bahwa Gayatri sebagai istri utama raja pendahulu berhak atas tahta namun karena sudah menjadi bhiksuni Buddhis maka menyerahkan tahtanya pada sang putri, sehingga ia memerintah atas nama ibunya. Setelah sang ibu wafat, maka Tribhuwanadewi menyerahkan tahta pada anaknya sang Hayam Wuruk pada tahun 1350.

Dalam kasus Wijaya-Jayanegara, Boechari menentang pendapat tersebut karena tidak lazim tahta diberikan pada istrinya (Gayatri), biasanya jika seorang raja mangkat tanpa pengganti maka adiknyanyalah yang akan meneruskan tahtanya.

Gayatri dan Masa Akhirnya

Kehidupan dan peranan Gayatri dalam masa akhir hidupnya tidak banyak diberitakan baik oleh prasasti maupun naskah. Mungkin saja peranan beliau sangat besar seperti yang dicoba gambarkan Prof. Drake. Yang jelas ketika ia hidup, suaminya adalah raja Majapahit dan ia adalah Rajapatni, istri utama. Dari rahimnya lahir dua putri, Tribhuwanadewi yang menjadi raja dan adiknya Rajadewi Maharajasa, keduanya menurunkan raja-raja Majapahit dan mungkin orang-orang terkemuka nusantara hingga sekarang.

Tribhuwana dan adiknya serta cucu-cucunya, seperti Hayam Wuruk, Rajaduhitecwari (adik Hayam Wuruk), Paduka Sori (istri Hayam Wuruk, putri Rajadewi) serta adiknya Rajaduhintendudewi berada dalam asuhannya, mungkin juga Gajahmada muda, sebagaimana halnya yang coba direkonstruksi oleh Prof. Drake dalam buku Gayatri.

Setelah meninggal diberitakan bahwa Gayatri dibuatkan arca Prajnaparamita di Prajnaparamitapuri dan didharmakan di Bhayalangu. Apakah Prajnaparamitapuri sama dengan Bhayalangu perlu pemikiran lebih lanjut, karena kita perlu cermat membaca mwan taiki ri bhayalangӧ ngwanira san sri rajapatnin dinarma Kata mwan taiki yang diartikan kemudian lagi sekarang apakah tidak menunjukkan bahwa selain Prajnaparamitapuri ada juga Bhayalangu sebagai tempat pendharmaan Gayatri setelah beliau mangkat dan dilakukan upacara sraddha sebagai peringatan kematiannya.

Mengenai arca Prajnaparamita, Munandar (2003) mengasumsikan dengan bagus bahwa arca Prajnaparamita yang berasal dari kompleks Candi Singosari justru pas jika diidentikkan dengan sosok Gayatri. Sedangkan Sidomulyo meragukan dan hampir pasti menolak menyamakan sudharma haji Bhayalango dengan Candi Bhayalango di Tulungagung karena berdasarkan letak kedudukan Bhayalango dalam rute perjalanan Hayam Wuruk yang dikisahkan pada Nagarakretagama justru harus dicari di antara Bangil dan Pasuruan.

Bagaimana menurut anda ?