Waktu berjalan terus. Tujuh belas tahun sudah Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diterbitkan, berarti sudah dwi windu lebih UUPK ini dijadikan acuan hukum bagi permasalahan konsumen. Pertanyaannya, efektifkah UUPK? Show
Sementara itu, sudah 43 tahun pula istilah konsumen dikumandangkan di negeri ini. Terhitung sejak didirikannya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 11 Mei 1973 oleh mereka yang peduli dengan produk dalam negeri, termasuk kualitasnya. Apa yang dicapai setelah sekian lama YLKI berdiri? Persoalan konsumen ternyata tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu, bahkan terasa makin kompleks. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, pengetahuan, teknologi, juga politik; jelas menimbulkan perubahan dalam pola, jenis, dan bobot permasalahan dan keluhan konsumen. Bicara efektivitas keberadaan UUPK, dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya, apakah pasal-pasal dalam undang-undang ini benar-benar dapat dimanfaatkan oleh konsumen untuk melindungi dirinya? Juga, apakah kelembagaan yang diamanatkan oleh UUPK telah terbentuk dan berfungsi dengan benar. Kemudian, apakah para pelaku usaha juga mengindahkan, atau menggunakan UUPK ini sebagai rujukan perilaku perusahaannya. Dan seabreg pertanyaan yang bisa kita lontarkan. Menjawab pertanyaan pertama, YLKI memang selalu menggunakan pasal-pasal yang tercantum dalam UUPK untuk menindaklanjuti permasalahan dan pengaduan konsumen. Selain itu, berbagai isu yang muncul di masyarakat pun selalu dapat dikaitkan dengan UUPK. Sebut saja, layanan kesehatan, jasa perbankan, hak atas energi dan sebagainya. Memang, isu kenaikan harga dan kelangkaan bahan pangan pokok tidak termasuk dalam kerangka UUPK. Karena, UUPK hanya mengurusi hubungan transaksional konsumen dengan pelaku usaha. Artinya, hanya berlaku apabila konsumen menghadapi masalah pada saat dan setelah membeli dan menggunakan barang atau jasa tertentu. Demikian juga soal kebijakan energi serta kelangkaan energi yang terjadi di negeri ini, yang jelas-jelas menyusahkan masyarakat. Meski YLKI selalu angkat bicara memperjuangkan kepentingan masyarakat – dengan selalu mengingatkan tanggung jawab negara akan jaminan ketersediaan dan keterjangkauan, sulit untuk menuntut atau menyeret institusi tertentu ke ranah hukum. LEMBAGA KONSUMEN Terkait kelembagaan, UUPK mengamanatkan tidak kurang dari tiga macam kelembagaan yang dapat berperan dalam perlindungan konsumen. Pertama, tentu saja organisasi konsumen, yang dalam UUPK disebut sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Kenapa perlu untuk disebutkan pertama? Karena jauh sebelum UUPK ini disahkan, organisasi konsumen sudah terbentuk terlebih dahulu. YLKI yang berlokasi di Jakarta, merupakan organisasi yang pertama, selanjutnya diikuti dengan organisasi konsumen lain di berbagai daerah, seperti: Yogyakarta, Medan, Makassar, Bandung, Surabaya dan kota lainnya. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, YLKI merupakan penggagas dan membidani lahirnya UUPK. Tidak tanggung-tanggung, gagasan ini secara historis telah mulai disuarakan sejak 1975-an. Sebelum UUPK disahkan, paling tidak baru ada sekitar belasan organisasi konsumen di Indonesia. Namun setelah UUPK – yang mendorong dibentuknya LPKSM di daerah tingkat II (kabupaten/kota), saat ini sudah hampir 300-an LPKSM yang tercatat di Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan RI. Tentu saja dari 300-an LPKSM ini masih perlu dilihat kembali berapa yang masih aktif dan berapa yang sudah “menghilang”. Kedua, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Badan ini seharusnya menjadi institusi independen yang paling tinggi dan bergengsi dalam bidang perlindungan konsumen. Bertanggung jawab langsung pada Presiden, BPKN berperan dalam menentukan arah dan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia. Kenyataannya, belum cukup terlihat hasil nyata sepak terjangnya bagi perlindungan konsumen Indonesia. Hal ini disebabkan kewenangannya yang sebatas memberi saran dan pertimbangan pada pemerintah. Dan, ketiga, adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Institusi ini juga didorong untuk dibentuk di daerah tingkat II (kabupaten/kota), sebagai alternatif tempat penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Badan ini seharusnya mempunyai kewenangan cukup untuk menghasilkan keputusan final bagi konsumen, dan pelaku usaha wajib melaksanakan putusan yang telah ditetapkan. Kenyataannya, BPSK ternyata tidak kuasa memaksa pelaku usaha yang bermasalah untuk datang memenuhi panggilan. Dan putusan BPSK pun tidak otomatis berkekuatan hukum tetap. Tetap saja harus disahkan terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri setempat.
Perkembangan terbaru, saat ini ada kegalauan nasib BPSK dan perlindungan konsumen di daerah. Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan perlindungan konsumen ada di tingkat Provinsi. Jika BPSK ditarik ke Provinsi, makin jauh saja akses konsumen untuk upaya penyelesaian masalahnya. Selain ketiga lembaga yang diamanatkan UUPK ini, YLKI melihat ada bentuk lain yang patut didorong dan diperjuangkan. Kelembagaan ini bisa ada dalam institusi pemerintah, namun dapat pula dibangun oleh pelaku usaha. Yang pasti, kelembagaan ini mengakomodasikan perlindungan konsumen. Lepas dari efektivitas kelembagaan yang terbentuk, ada beberapa model yang telah ada. Pertama, inisiatif dalam institusi pemerintahan. Contoh yang ada adalah dibentuknya Sub Direktorat Perlindungan Konsumen di bawah Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di masa Direktur Jenderal LPE dipimpin oleh Luluk Sumiarso, berinisiatif membentuk subdirektorat ini untuk menampung dan membantu menyelesaikan persoalan konsumen terkait listrik. Bagi konsumen, dibentuknya unit ini menunjukkan pengakuan bahwa pemerintah harus pula memikirkan sisi konsumen, tidak hanya mengurusi penyedia jasa ketenagalistrikan. Keberadaan unit ini sedikit banyak meringankan tugas YLKI. Apabila PT PLN, sebagai satu-satunya penyedia listrik, membandel, unit ini dalam kapasitasnya sebagai regulator, dapat ikut “menjewernya”. Pada institusi pemerintah yang lain, dalam beberapa tahun terakhir ada perkembangan dalam bentuk yang sedikit berbeda. Bukan dalam bentuk unit perlindungan kosnumen, tetapi membangun akses informasi dan pengaduan malalui call center atau website seperti pada Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, dan lainnya. Meski tentu saja efektivitasnya masih perlu diuji. Contoh lain adalah yang dibentuk atas inisiatif pelaku usaha. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), merupakan tempat penyelesaian sengketa asuransi alternatif bagi konsumen. Lembaga ini dibentuk oleh Asosiasi Asuransi Indonesia yang notabene perkumpulan perusahaan asuransi yang beroperasi di Indonesia. Karena regulasi mengharuskan seluruh perusahaan asuransi menjadi anggota asosiasi, badan mediasi otomatis punya kuasa untuk memanggil perusahaan asuransi yang bermasalah dan dikeluhkan konsumen. Otoritas Jasa Keuangan yang membawahi sektor keuangan memberikan perhatian cukup baik untuk perlindungan konsumen. Selain memiliki bidang khusus edukasi dan perlindungan konsumen dan call center sendiri, juga mendorong adanya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di sektor jasa keuangan. Saat ini, selain BMAI untuk perasuransian, telah ada lembaga sejenis untuk perbankan dan penjaminan. Tampaknya, salah satu tugas YLKI memang mendorong adanya berbagai tempat pengaduan bagi konsumen yang menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan permasalahan pada saat menggunakan dan memanfaatkan suatu barang atau jasa. Termasuk di lingkungan pelaku usaha, YLKI sangat menghargai pelaku usaha yang meskipun tidak diwajibkan secara regulasi, berani menyediakan nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh konsumen. Asal, nomor ini benar-benar didedikasikan untuk melayani dan menyelesaikan masalah konsumen, tidak sekedar tempat untuk “menampung” keluhan tanpa jaminan penyelesaian yang jelas. Sekarang, tinggal bagaimana konsumen memanfaatkan tempat-tempat pengaduan yang sudah ada. Sikap pro aktif konsumen memanfaatkan akses ini akan mendorong pelaku usaha dan pemerintah untuk selalu berupaya memperbaiki kualitas produk serta kinerjanya.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindugan Konsumen diatur dengan UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen adalah Konsumen Akhir. Hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian Konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir. 5 Asas Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:
UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disahkan Presiden BJ Habibie pada tanggal 20 April 2019 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 April 2019 oleh Mensesneg Akbar Tanjung. Agar Setiap orang mengetahuinya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Undang-UndangNomor 8 tahun 1999tentangPerlindungan KonsumenPertimbangan dalam UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
Dasar HukumDasar hukum UU 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Penjelasan Umum UU Perlindungan KonsumenPembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keingingan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan mencegah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI. Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Isi UU Perlindungan KonsumenIsi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut (bukan format asli): UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMENDalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
BAB IIASAS DAN TUJUANPasal 2Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Pasal 3Perlindungan konsumen bertujuan:
Hak Konsumen adalah:
Pasal 5Kewajiban konsumen adalah:
Bagian KeduaHak dan Kewajiban Pelaku UsahaPasal 6Hak pelaku usaha adalah:
Pasal 7Kewajiban pelaku usaha adalah:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
Pasal 11Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
Pasal 12Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pasal 13
Pasal 14Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang masuk:
Pasal 15Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Pasal 16Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
Pasal 17
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pasal 21
Pasal 22Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Pasal 23Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 aya t(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Pasal 27Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
Pasal 28Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 32Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 33Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Pasal 34
Bagian KeduaSusunan Organisasi dan KeanggotaanPasal 35
Pasal 36Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
Pasal 37Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
Pasal 38Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 42Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Bagian KetigaPenyelesaian Sengketa Melalui PengadilanPasal 48Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45. BAB XIBADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMENPasal 49
Pasal 50Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas:
Pasal 51
Pasal 52Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
Pasal 53Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri. Pasal 54
Pasal 55Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Pasal 56
Pasal 57Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Pasal 58
BAB XIIPENYIDIKANPasal 59
BAB XIIISANKSIBagian PertamaSanksi AdministratifPasal 60
Bagian KeduaSanksi PidanaPasal 61Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62
Pasal 63Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:
BAB XIVKETENTUAN PERALIHANPasal 64Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. BAB XVKETENTUAN PENUTUPPasal 65Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Demikianlah isi tentang Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 8 tahun 1999tentangPerlindungan Konsumen |