Sejarah gerakan Anti korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa

Selasa, 26 April 2022 | 11:11 WIB

Sejarah gerakan Anti korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa

Pemahaman dan kesadaran tentang bahaya tindak pidana korupsi harus ditanamkan sejak dini. Universitas Negeri Semarang (UNNES) sebagai perguruan tinggi pencetak lulusan terbaik juga harus menjadi yang terdepan untuk menggiatkan hal tersebut.

Seperti yang dilakukan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH UNNES) yang menggelar Webinar Mahasiswa Pelopor Gerakan Anti Korupsi.

Webinar ini merupakan salah satu output dari mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi Fakultas Hukum UNNES sebagai salah satu upaya meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam mempelopori gerakan anti korupsi baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan kampus.

Webinar Mahasiswa Pelopor Gerakan Anti Korupsi diselenggarakan oleh kelompok kecil bernama GEBRAK (Gerakan Berantas Korupsi) yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting.

Acara ini dihadiri oleh 26 peserta yang merupakan mahasiswa UNNES dari berbagai prodi yang berbeda. Webinar ini mengusung Tema “Mahasiswa Pelopor Gerakan Anti Korupsi” dengan harapan peserta dapat mendapatkan ilmu dan pengalaman terkait peran mahasiswa dalam memberantas korupsi yang dapat diterapkan sehari-hari.

Selain itu, webinar ini juga diharapkan bisa memunculkan berbagai gerakan kreatif dan inovatif terkait edukasi Pendidikan Anti korupsi dari mahasiswa. Acara ini berlangsung selama 1 jam dan diawali dengan sambutan dari dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi yaitu Ridwan Arifin SH LLM.

Sementara itu, Rektor UNNES Prof Dr Fathur Rokhman MHum menyambut baik dan mengapresiasi kegiatan webinar Mahasiswa Pelopor Gerakan Anti Korupsi.

Prof Fathur mengatakan sudah semestinya UNNES menjadi pelopor gerakan antikorupsi di Indonesia dan ikut andil dalam menciptakan perguruan tinggi yang berintegritas, transparan, dan bebas dari korupsi.

“Apalagi dengan keberhasilan UNNES meraih ZI WBK 11 kali berturut dan didukung sumber daya manusia yang unggul dan berintegritas untuk mencegah terjadinya korupsi. Selain itu juga Fakultas Teknik juga mendapat sebuah pengakuan nasional atas kinerja tata kelola universitas berbais Good Governance University dengan penerapan Zona Integritas yang bersih melayani dan terbebas dari korupsi,” jelas Prof Fathur.

Dekan FH UNNES Dr Rodiyah SPd SH MSi menyampaikan acara Webinar Mahasiswa Pelopor Gerakan Anti Korupsi diharapkan muncul inovasi gerakan-gerakan edukasi pencegahan anti korupsi dalam berbagai sektor dan inovasi,” jelasnya.

Acara kemudian dilanjutkan Sesi Pembicara yang disampaikan oleh Ade Yuli Rahmawati dengan materi “Peran Mahasiswa Dalam Pemberantasan Korupsi”.


Oleh: Iwan Irawan

Sejarah gerakan Anti korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa
Penulis adalah Pengajar CB pada Universitas Bina Nusantara, Jakarta

Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary menjabarkan korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain. Mengkorup adalah merusak, menyelewengkan (menggelapkan) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerjanya. Berarti Mengkorupsi adalah menyelewengkan atau menggelapkan (uang dan sebagainya). Berbagai penelitian maupun studi komprehensif soal dampak korupsi terhadap ekonomi dan juga masyarakat luas telah banyak dilakukan hingga saat ini. Korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi operasi bisnis, lapangan kerja, dan investasi. Korupsi juga mengurangi pendapatan pajak dan efektivitas berbagai program bantuan keuangan. Tingginya tingkat korupsi pada masyarakat luas berdampak pada menurunnya kepercayaan terhadap hukum dan supremasi hukum, pendidikan dan akibatnya kualitas hidup, seperti akses ke infrastruktur hingga perawatan kesehatan. Salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu Gerakan Anti-korupsi di masyarakat. Gerakan Anti

Korupsi adalah suatu gerakan jangka panjang yang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dalam konteks inilah peran mahasiswa sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat sangat diharapkan.

Untuk dapat berperan secara optimal dalam pemberantasan korupsi adalah pembenahan terhadap diri dan kampusnya. Dimana mahasiswa harus mendemonstrasikan bahwa diri dan kampusnya harus bersih dan jauh dari perbuatan korupsi. Upaya pemberantasan korupsi dimulai dari awal masuk perkuliahan. Masa ini merupakan masa penerimaan mahasiswa, dimana mahasiswa diharapkan mengkritisi kebijakan internal kampus dan sekaligus melakukan pressure kepada pemerintah agar undang-undang yang mengatur pendidikan tidak memberikan peluang terjadinya korupsi. Selanjutnya pada proses perkuliahan. Pada masa ini, perlu penekanan terhadap moralitas mahasiswa dalam berkompetisi untuk memperoleh nilai yang setinggi-tingginya, tanpa melalui cara-cara yang curang. Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan membentengi diri dari rasa malas belajar. Pada tahap akhir perkuliahan, dimana mahasiswa memperoleh gelar kesarjanaan sebagai tanda akhir proses belajar secara formal. Mahasiswa harus memahami bahwa gelar kesarjanaan yang diemban memiliki konsekuensi berupa tanggung jawab moral sehingga perlu dihindari upaya-upaya melalui jalan pintas.

Dalam masyarakat peram mahasiswa adalah sebagai kontrol sosial, mahasiswa dapat melakukan peran preventif terhadap korupsi dengan membantu masyarakat dalam mewujudkan ketentuan dan peraturan yang adil dan berpihak pada rakyat banyak, sekaligus mengkritisi peraturan yang tidak adil dan tidak berpihak pada masyarakat. Mahasiswa juga dapat melakukan peran edukatif dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat baik pada saat melakukan kuliah kerja lapangan mengenai masalah korupsi dan mendorong masyarakat berani melaporkan adanya korupsi yang ditemuinya pada pihak yang berwenang. Selain itu, mahasiswa juga dapat melakukan strategi investigatif dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi serta melakukan tekanan kepada apparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Reference

Risbiyantoro, M. (2005). PERANAN MAHASISWA DALAM MEMERANGI KORUPSI. Retrieved February 08, 2021, from http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/Gambar/PDF/peranan_mahasiswa.pdf

Trionovani, E. (2016). Pengetahuan Budaya Anti Korupsi. Retrieved February 09, 2021, from http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/PBAKKomprehensif.pdf

Putri, A. (2019, December 11). Korupsi: PENGERTIAN, Penyebab DAN DAMPAKNYA Halaman all. Retrieved February 09, 2021, from https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/11/185540869/korupsi-pengertianpenyebab-dan-dampaknya?page=all

You're Reading a Free Preview
Pages 8 to 19 are not shown in this preview.

You're Reading a Free Preview
Pages 24 to 29 are not shown in this preview.

Sejarah gerakan Anti korupsi yang dilakukan oleh mahasiswa

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Dari Masa Revolusi Kemerdekaan hingga Orde Lama

Konsolidasi dan aksi mahasiswa serta masyarakat sipil di penghujung tahun 2019 dengan tagar #ReformasiDikorupsi tidak dibayangkan akan terjadi sebesar itu. Kebanyakan karena skeptimisme yang melingkupi generasi milenial yang apolitis dan asyik dengan gawai sembari rebahan dan sering bersikap “santuy”. Namun ketika puncak demonstrasi puluhan ribu mahasiswa terjadi pada tanggal 24 September 2019 di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berbagai daerah di Indonesia, banyak yang mengingatkan kembali mengenai sejarah gerakan mahasiswa, terutama yang teranyarnya sebelumnya: Reformasi 1998. Tulisan ini akan mengurai kembali konsistensi (sejarah) mahasiswa dalam mengawal isu pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan jabatan elit, kemudian mengaitkannya dengan analisis konsolidasi mahasiswa yang terjadi pada tahun 2019. Gambaran sejarah akan dihubungkan dengan kesamaan antara berbagai momen-momen penting dan potensi yang mungkin dibangun di masa yang akan datang.

Dalam sejarah Indonesia, harus diakui bahwa mahasiswa (beserta masyarakat sipil) selalu menjadi elemen pendobrak status quo dengan mobilisasi dan aksi yang menuntut pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tekanan dan tuntutan massa itulah yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong dilakukannya pembenahan-pembenahan teknoratis oleh pemerintah dan birokrasi. Beberapa tokoh mahasiswa pun menjadi teknokrat di kemudian hari dan turut merancang perbaikan sistem ketika didapuk turut serta dalam pemerintahan.

Salah satu aksi mahasiswa yang paling besar, bahkan menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade adalah Reformasi 1998. “Akhiri KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)!” menjadi salah satu tuntutan paling penting saat itu (Lane, 2008, h. 175; Setiyono dan McLeod, 2010). Dalam beberapa masa sebelum itu, tuntutan mahasiswa yang mengkritisi perilaku korup dan penyalahgunaan kekuasaan elit juga sudah terjadi (Budiman, 2006; Lane, 2008; Aspinall, 2012; Juwono, 2018, dll). Aksi dan konsolidasi besar yang kembali dilakukan mahasiswa (serta masyarakat sipil) teranyar terjadi pada September 2019 dengan salah satu tuntutan untuk membatalkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap akan melemahkan ruh dan praktik pemberantasan korupsi dari berbagai sisi.

Dilatarbelakangi oleh selalu relevannya isu antikorupsi bagi aksi mahasiswa, tulisan ini mencoba merunut kembali sejarah aksi mahasiswa dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Diharapkan dengan demikian, sejarah tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi konsolidasi gerakan mahasiswa untuk tetap menyuarakan isu antikorupsi di tengah berbagai tantangan yang melingkupinya, selain juga menjadi pengingat bagi para penyelenggara negara dan penegak hukum, termasuk lembaga pemberantasan korupsi agar cita-cita reformasi tidak kandas melalui kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat umum. Bagi masyarakat secara umum, artikel ini berupaya menggambarkan bahwa mahasiswa masih bisa menjadi harapan, terutama jika suaranya berkaitan dengan pembelaan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenang.

Tulisan ini mengandalkan studi kepustakaan sejarah untuk mendeskripsikan secara kronologis berbagai momentum penting yang dilakoni oleh mahasiswa, mulai dari masa sebelum kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga pasca-Reformasi. Kemudian, analisis akan dilakukan terhadap berbagai kesamaan dan tantangan dari peristiwa sejarah dan potensi yang mungkin dibangun di masa yang akan datang.

Aspek keterbaruan yang coba penulis sampaikan dalam artikel ini adalah fokus mengupas sejarah aksi mahasiswa dalam isu pemberantasan korupsi. Lane (2008) dan Aspinall (2012) telah menyinggung masalah ini secara umum, namun tema besarnya adalah gerakan mahasiswa dengan antikorupsi menjadi bagian dari beberapa aksi yang disinggung. Sementara Juwono (2018) membahas sejarah pemberantasan korupsi secara umum, dan memasukkan mahasiswa sebagai bagian yang berperan di dalamnya. Sedangkan Setiyono dan McLeod (2010) berfokus pada gerakan masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi. Aspek keterbaruan lain yang disampaikan adalah aktualitas aksi yang dilakukan mahasiswa jelang akhir tahun 2019 dengan bersumber pada khazanah faktual berupa berita media, atau artikel populer yang penulis anggap kredibel dikarenakan penulis belum menemukan artikel dalam format ilmiah dalam pembahasan serupa.

Tulisan ini mendefinisikan “aksi” dan “gerakan” mahasiswa secara fleksibel sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga mendefinisikan aksi adalah gerakan. Yang dimaksud dari keduanya yang disebutkan bergantian dalam artikel adalah kegiatan-kegiatan mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya terhadap kebijakan politik dan publik di luar forum-forum intrakulikuler mereka, seperti di antaranya melalui demonstrasi (sering disebut juga sebagai “aksi”), tulisan, forum diskusi, atau aksi teatrikal.

Tentu bukan hanya mahasiswa yang terlibat dalam isu antikorupsi. Elemen masyarakat sipil tidak kalah pentingnya dalam mengawal pemberantasan korupsi. Begitupun para ahli, praktisi dan teknokrat yang merancang dan mewarnai arah pemberantasan korupsi, termasuk membidani lembaga antikorupsi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Hanya saja, karena alasan pembatasan tema, artikel ini berfokus kepada mahasiswa tanpa mengecilkan peran elemen lain.

Sebagai disclaimer, posisi penulis dalam isu yang disampaikan termasuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, dan selama ini terlibat dalam kegiatan-kegiatan pencegahan korupsi. Dalam beberapa kasus terdahulu yang berkaitan dengan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penulis dalam posisi mendukung KPK. Namun demikian, pendapat-pendapat pribadi dalam tulisan ini tidaklah mewakili lembaga atau institusi manapun.

Masa Revolusi Kemerdekaan

Kaum muda terpelajar selalu disebut dalam momen penting perjalanan republik, bahkan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Peran kalangan terpelajar dalam gerakan nasionalisme yang dapat dilacak antara lain Boedi Oetomo yang menurut Kahin (2013) didirikan pada Oktober 1908 (sedangkan Ricklefs, 1993, menyebutkan pendiriannya pada Mei 1908). Kahin (2013, h. 92) mengutip (L.M. Sitorus, 1947, h. 10-11) menjelaskan bahwa Raden Soetomo dan Raden Goenawan Mangoenkusumo (juga Suraja sebagaimana ditambahkan oleh Vlekke, 2016, h.325) adalah siswa ilmu kedokteran Batavia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen – Stovia) yang diasuh oleh seorang pensiunan dokter Jawa -- Mas Wahidin Soediro Hoesodo -- dalam menjalankan Boedi Oetomo. Mereka mengupayakan pengembangan pendidikan tradisional maupun barat, memajukan pertanian, industri serta perdagangan di kalangan orang Jawa dan Madura, serta memajukan “segala hal yang dapat memberikan jaminan kepada mereka sebuah hidup sebagai orang terhormat”. Hanya saja, pemimpin-pemimpin awal organisasi ini adalah kalangan tertinggi bangsawan Jawa yang konservatif, walaupun peserta-peserta yang hadir di pertemuan awal juga meliputi representasi Stovia, Osvia (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren – Sekolah Calon Pegawai Negeri Sipil), sekolah pendidikan guru, sekolah pertanian, dan sekolah kedokteran hewan juga (Ricklefs, 1993).

Pada tahun 1911 (menurut Ricklefs, 1993, h.171, atau pada Desember 1912 menurut Kahin, 2013, h.99), pergerakan dalam bentuk partai politik dimulai oleh seorang keturunan Indo-Eropa E. F. E. Douwes Dekker (dikenal juga sebagai Setiabuddhi) yang mendirikan Nationale Indische Partij (Partai Hindia Belanda). Dua terpelajar lainnya yang turut bergabung antara lain Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soeryaningrat (dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara). Namun demikian, Belanda tidak mengakui organisasi tersebut dan tiga orang tokoh itu dibuang ke Belanda pada 1913, akan tetapi tetap melanjutkan aktivitas politiknya.

Ingleson (2018) menjelaskan peran perhimpunan mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada tahun 1908, mereka berhimpun dalam organisasi yang dinamakan Indische Vereeniging (IV atau Perhimpunan Hindia). Di antara mereka terdapat Sutomo, Hatta, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Budiarto, Iwa Kusumasumatri, Iskaq Tjokrohadisurjo. Setelah kedatangan tokoh Partai Hindia Belanda yang diusir dari Indonesia, terutama Soewardi, Perhimpunan juga menerbitkan jurnal yang dinamai Hindia Poetra. Ketiga tokoh Nationalische Indische Partij tersebut mewarnai konsep pembebasan “Indie los van Nederland” (Hindia yang bebas dari Belanda) yang mendorong pembentukan sebuah negara yang dikuasai oleh rakyatnya sendiri. Pada tahun 1917, istilah “Indische” (Hindia) juga mulai digantikan dengan “Indonesische” (Indonesia) ketika federasi yang terdiri dari IV, Chung Hwa Hui (organisasi mahasiswa Indonesia-Cina) serta perhimpunan mahasiswa Indo-Eropa dan Belanda dibentuk dengan nama Indonesische Verbond van Studeerenden (Persatuan Mahasiswa Indonesia). Pada 1924, IV berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) dan jurnalnya menjadi Indonesia Merdeka (Ingleson, 2018). Menurut Kahin (2013, h.122),

Gagasan dan kebijakan PI memainkan peranan yang dominan dalam perkembangan nasionalisme di Indonesia. Mayoritas pemimpin tertinggi dari kalangan nasionalis setelah 1927 adalah mereka yang pernah aktif dalam PI di Negeri Belanda.”

Inisiatif untuk membangun kesadaran politik di kalangan terpelajar di Indonesia dilakukan para mahasiswa yang kembali dari Belanda dengan mendirikan kelompok-kelompok studi. Di Surabaya, Bandung dan Jakarta berdiri klub-klub nasionalis dengan agenda berdiskusi dengan tokoh politik dan tokoh mahasiswa muda Indonesia selain mewarnai narasi nasionalisme melalui tulisan (Ingleson; 2018, Kahin, 2013; Vleke, 2016).

Salah satu tonggak pertemuan pemuda terpelajar terjadi pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Dalam kongres yang terkenal dengan Sumpah Pemuda tersebut, para pemuda menyetujui arah persatuan dengan pengakuan satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia dan satu bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Ini merupakan upaya mengumpulkan pikiran-pikiran politik dan budaya dari para pemuda ke arah persatuan (Ricklefs, 1993). Pada periode ini istilah “antikorupsi” belum terdengar karena memang satu gagasan kolektif dari pergerakan nasional adalah menuju kemerdekaan Indonesia yang berdaulat penuh.

Walaupun menjadi tokoh-tokoh penting dalam masa ini, Aspinall (2012) menyatakan bahwa jumlah mahasiswa dari perguruan tinggi tersebut tidaklah signifikan dalam kelompok revolusi kemerdekaan jika dibandingkan dengan pelajar, santri, serta kebanyakan kaum muda secara umum. Termasuk dua dekade pascakemerdekaan, sangat sedikit yang melihat peran mahasiswa sebagai kelompok politik yang memiliki satu ide kolektif. Dalam masa-masa ini juga, istilah “pemuda” lebih terdengar memiliki kekuatan politis dibandingkan “mahasiswa” dan memang lebih familiar di masa-masa revolusi kemerdekaan.

Masa demokrasi parlementer dan Demokrasi Terpimpin, menurut Aspinall (2012) adalah masa “tenang” kampus-kampus, dengan karakter mahasiswa yang relatif hedonistis, elitis dan apolitis, walaupun mahasiswa juga menjadi target rekrutmen dari organisasi ekstra-kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Aksi dan demonstrasi mahasiswa tidak begitu terdengar di masa ini.

Upaya pemberantasan korupsi justru mengalami pergulatan di sisi pemerintahan, yang didorong oleh mereka yang dahulunya adalah mahasiswa di masa perjuangan kemerdekaan. Sejak awal 1950-an sebenarnya Wakil Presiden Mohammad Hatta sudah mewanti-wanti bahwa Indonesia tengah membangun sebuah budaya korupsi, dan Hatta dianggap sebagai tokoh yang masih berkesadaran moral di tengah kondisi politik negara yang faksionalis, meningkatnya otoritarianisme, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintahan (Smith, 1971; Znoj, 2007).

Budiman (2006) dan Juwono (2018) dengan menggunakan pendekatan Herbert Feith (dalam the Decline of Constitutional Democracy in Indonesia) menyebutkan adanya persaingan pada tahun 1950-an antara “kelompok administrator” (administrative body) yang diwakili Hatta versus “pembangkit solidaritas” (solidarity maker) dengan tokoh Soekarno. Kelompok administrator lebih menekankan pada pengelolaan pemerintahan yang modern, dan berupaya mencari solusi ekonomi dan administratif, sedangkan pembangkit solidaritas lebih menggelorakan semangat revolusi dan ideologi dibanding penyelesaian problem ekonomi dan administratif.

Di antara upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan dari kalangan teknokrat administrator antara lain pengusulan rancangan undang-undang antikorupsi dari Kabinet Burhanuddin Harahap di tahun 1955 yang akhirnya tidak terjadi; diberikannya kewenangan kepada tentara dalam pemberantasan korupsi melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor 6 tahun 1957 tentang Langkah Pemberantasan Korupsi; pembentukan Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1959 tentang Pembentukan Bapekan; pembentukan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) melalui Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 1960 tenang Pembentukan Paran; pembentukan Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar) melalui Keputusan Presiden Nomor 98 tahun 1964 tentang Pembentukan Kotrar (Juwono, 2018). Lembaga-lembaga tersebut silih berganti didirikan, dan digantikan satu dengan yang lainnya.

Aspinall (2012) serta Setiyono dan McLeod (2010) menyatakan bahwa gerakan (mahasiswa dan masyarakat sipil) yang lebih terkonsolidasi ditandai sejak pertengahan tahun 60-an. Sejak 1966 “mahasiswa” menjadi istilah yang lebih kuat secara politis dibandingkan “pemuda” dan melekat sebagai tolok ukur bagi generasi berikutnya dengan istilah “angkatan ’66.” Di akhir masa Orde Lama, mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) bersama dengan elemen Islamis, Katolik dan sekuler memprotes pemerintahan yang dianggap korup, ekstravaganza, dan paternalistik, walaupun isu utamanya adalah antikomunis. Namun demikian, gerakan itu dianggap masih elitis, tidak terlalu berfokus pada ketertindasan akar rumput, dan mengganggap diri mereka sebagai bagian dari elit modernisasi yang mendukung tatanan sosial politik yang rasional dan berorientasi pembangunan (Aspinall, 2012).

Sebenarnya korupsi juga sudah endemik dan menjadi sumber keluhan masyarakat di era Sukarno. Tetapi isu tersebut tidak secara eksplisit menjadi terkemuka disebabkan konflik kekuasaan antara partai-partai politik (Mackie, 1970).

Hok-gie (tanpa tahun) mencatat perjalanan demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada penghujung 1965 dan 1966. Protes mahasiswa dan masyarakat diawali dengan kebijakan redenominasi (penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai tukar) yang awalnya Rp.1.000,- disamakan menjadi Rp.1,- ditambah naiknya harga-harga. Tarif kendaraan naik 500 hingga 1000 persen, dan harga bensin naik dari Rp.4,- menjadi Rp.1000,-. Hingga akhirnya pada tanggal 10 Januri 1966, ribuan mahasiswa mulai berdemonstrasi di Sekretariat Negara untuk menentang kebijakan yang meresahkan tersebut. Aksi dilanjutkan pada 12 Januari menuju Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan pada 13 Januari mahasiswa bersepeda ke Jaksa Agung, dilanjutkan esoknya menemui Menteri Minyak dan Gas Mayor Jenderal Ibnu Sutowo. Setelah terpotong masa Lebaran, pada 23 Februari, mahasiswa kembali berdemonstrasi terhadap susunan Kabinet Dwikora yang diumumkan Presiden, dan keesokan harinya mereka mencoba memboikot pelantikan kabinet hingga akhirnya memakan korban jiwa, salah satu yang menjadi ikon adalah Arif Rachman Hakim, seorang mahasiswa Universitas Indonesia.

Dukungan terhadap aksi-aksi ini digambarkan oleh Hok-gie (tanpa tahun, h.458):

Selama aksi-aksi ini mahasiswa telah mendapatkan bantuan dari ratusan mahasiswa Bandung. Bersama-sama dengan rekan-rekan dari Jakarta, mereka telah mengadakan aksi-aksi bersama berupa penempelan poster-poster, dan demonstrasi keliling kota. Sebagai akibat tindakan-tindakan mahasiswa, maka pada tanggal 25 Februari, KAMI telah dibubarkan secara sepihak oleh Presiden. Tetapi mahasiswa-mahasiswa tetap tidak mau bubar dan berjuang terus bersama-sama dengan rekan-rekannya dari pelajar.”