Sebutkan pandangan Gereja tentang kekerasan dan budaya Kasih

      Penyebab dari “ banyak konflik dan kekerasan adalah perbedaaan kepentingan dan disfungsi dari sejumlah institusi sosial, terutama disfungsi dari lembaga pilitik yang disebabkan lembaga politik tidak menunjang integritas Negara kita.

      Kiranya bagi masyarakat sudah cukup jelas bahwa konflik dan kekerasan sering terjadi Karena perbedaan kepentingan. Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba dengan usaha-usaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan, jika sudah terjadi konflik dan kekerasan.

1.      Usaha-Usaha Membangun Budaya Kasih Sebelum Terjadi Konflik dan

Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan kelompok. Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan (kepicikan) dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan :

a.       Dialog dan komunikasi supaya dapat lebih saling memahami kelompok lain. Kita sering memiliki asumsi-asumsi dan pandangan yang keliru tentang kelompok lain. Kalau diadakan komunikasi yang jujur dan tulus, segala prasangka buruk dapat diatasi.

b.      Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum yang sebenarnya menjadi opsi bersama. Rasa senasib dan seperjuangkan dapat lebih akrab kita satu sama lain.

2.      Usaha-Usaha Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan Kekerasan

Usaha membangun budaya kasih sesudah sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan atau management konflik dan kekerasan”.

Management konflik dan kekerasan umumnya harus mengikuti tahap-tahap berikut ini :

a.       Langkah Pertama : KOnflik atau kekerasan perlu diceritakan kembali oleh yang menderita. Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau impersonal melainkan personal, pribadi, maka perlu dikisahkan kembali. Upaya kita sering kali gagal karena kita memiliki titik tolak yang salah, yaitu anjuran agar orang melupakan semua masa lampau. Sikap ini melecehkan dan tidak menghormati para korban dan hal itu berarti mengingkari nilai manusia itu sendiri. Satu unsur penting dalam tahap ini adalah bahwa rekonsiliasi menuntut pengakuan kembali kebenaran, karena “kebenaran memerdekakan” (Yoh 8:32). Hal ini tidak mudah karena pengungkapan jujur sering dapat dihadapi dengan sungguh akan kembali menghantui kehidupan masa datang. Menceritakan kebenaran akan sangat membantu proses selanjutnya, yaitu mengakui kesalahan dan pengampunan.

b.      Langkah kedua: Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau kelompok yang melakukan kesalahan atau penyebab konflik kekerasan. Pengakuan ini harus dilakukan secara public dan terbuka, sebuah pengakuan yang jujur tanpa mekanisme bela diri. Pengakuan yang jujur harus menghindarkan sikap memanfaatkan diri atau hanya sekedar ungkapan rasa bersalah melulu, melainkan sebuah sikap ikhlas menerima diri sendiri dengan segala keterbatasannya. Termasuk dalam pengakuan salah dan minta maaf ini adalah kesalahan seperti curiga, pandangan salah, atau prasangka-prasangka terhadap kelompok lain sebagai akar masalah yang memicu konflik berdarah. Semua beban sejarah yang membelenggu seseorang atau harus dapat diungkapkan secara transparan. Dengan cara itu, kita dapat dibebaskan dan antara kita terjailah sebuah kiasah baru.

Tindakan meminta maaf adalah tindakan dua pihak dalam gerka menuju rekonsiliasi. Dalam pengakuan kesalahan, orang mengalami keterbatasannya. Pengalaman keterbatasan membuka kemungkinan bagi manusia untuk berharap dan menantikan petunjuk dan jalan keluar yang diberikan oleh pihak ketiga, pihak luar.

c.       Langkah ketiga: Pengampunan oleh korban kepada yang melakukan kekerasan. Kata pengampuanan dan rekonsiliasi akhir-akhir ini sering disalahtafsirkan. Mengampuni berarti melupakan atau jangan lagi mengungkit kesalahan masa lampau. Padahal justru sebaliknya: “ingatlah dan ampunilah”. Dalam rekonsiliasi itu, kita harus tahu apa yang harus kita ampuni dan siapa yang harus mendapat pengampunan.

Pengampunan adalah akibat logis dari tahap pertama dan kedua, yaitu sesudah kebenaran disingkapkan. Dan yang berhak memberi pengampunan adalah para korban kekerasan. Pengampunan berarti meninggalkan balas dendam terhadap pelaku kekerasan, membiarkan pergi dari segala beban dendam lawan pelaku. Pengampunan berkuasa menyembuhkan hubungan antarmanusia.

Pengampunan adalah mukjizat. Jika itu terjadi, maka hadirlah rekonsiliasi. Daya ampun berasal dari Allah dan pengampunan memberi ampun bertumbuh dari iman. Dalam pengampunan kita menolak dosa, tetapi tidak menolak pendosa. Mengampuni berarti berpartisipasi dalam sifat Allah sendiri (2 KOr 5:17-19).

d.      Langkah keempat: Rekonsiliasi. Gereja juga menyadari bahwa tidak ada jalan pintas menuju rekonsiliasi. Martabat para korban kekerasan, misalnya, tidak dapat dipulihkan hanya dengan sebuah permohonan maaf saja. Perdamaian murahan tidak akan tahan lama. Gereja juga sadar bahwa rekonsiliasi itu mahal. Para pelaku kejahatan butuh waktu unuk menerima diri sendiri dan para korban juga butuh waktu untuk menerima diri sendiri dan para korban juga butuh waktu untuk merangkul pelaku kejahatan dengan rasa kemanusiaan. Keadilan transformative perlu diberi waktu dan kesempatan .

Rekonsiliasi adalah pembaharuan.

Masa ini adalah saat berjuang agar para korban tidak menjadi pelaku kekerasan karena balas dendam. Menolak pengampunan berarti membelenggu diri di dalam masa lampau dan kita kehilangan diri sendiri. Martabat para korban ingin dipulihkan, namun tidak boleh tenggelam pada peristiwa masa lampau. Ada banyak warta, cerita Kitab Suci, menganai damai dan rekonsiliasi. Allah melakukan rekonsiliasi dengan manusia lewat sengsara dan kematian putraNya, Yesus Kristus. Maka cerita Yesus menyembuhkan dan cerita kita bermakna.



Hidup manusia adalah dasar segala nilai sekaligus sumber dan persyaratan yang perlu bagi semua kegiatan manusia dan untuk hidup bersama masyarakat. Hidup manusia sebagai sesuatu yang sakral. Bentuk penghargaan terhadap hidup menjadi salah satu wujud dari nilai-nilai penegakan HAM.

            Sebagai orang Kristiani, kita percaya bahwa manusia mempunyai nilai tak terhingga karena diciptakan Allah. Anugerah kasih Allah bagi setiap orang merupakan kasih yang paling besar dibandingkan dengan apapun juga. Setiap orang harus menjalani hidupnya menurut rencana Allah. Hidup ini dipercayakan Allah kepada manusia sebagai suatu anugerah untuk dikelola dan dikembangkan agar menghasilkan buah. Hidup setiap orang harus dipelihara dengan kasih, dan tidak boleh dimusnahkan dengan kekerasan, tidak boleh dibahayakan, dan tidak boleh diancam, sebab setiap orang adalah anak Allah. Namun demikian muncul gejala-gejala dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa hidup/nyawa manusia tidak dihargai. Nyawa manusia sering dipertaruhkan, demi uang, materi dan kedudukan. Gejala-gejala tidak menghormati hidup manusia dapat muncul dalam berbagai bentuk, antara lain; budaya kekerasan, aborsi, bunuh diri dan hukuman mati, euthanasia, tindakan yang membahayakan kehidupan manusia, tindakan yang menekan hidup manusia. Banyak alasan mengapa terjad tindakan-tindakan kekerasan dan tidak menghormati hidup.

A.      Budaya Kekerasan dan Budaya Kasih

Salah satu bentuk kurangnya penghargaan terhadap hidup adalah budaya kekerasan.

1.        Rupa-rupa dimensi Kekerasan

       Rupa-rupa dimensi kekerasan yang sering kali terjadi dalam hidup manusia adalah kekerasan psikologis, kekerasan lewat imbalan, kekerasan tak langsung, kekerasan tersamar, kekerasan tidak disengaja, dan kekerasan tersebunyi.

2.        Bentuk-bentuk Kekerasan

Enam dimensi kekerasan di atas dapat kita lihat dalam bentuk-bentuk kekerasan yang sering kali muncul dalam frekuensi yang makin meningkat di Indonesia. Bentuk-bentuk kekerasan tidak hanya ditemukan di wilayah yang masuk dalam kategori “high conflict area”, melainkan juga ditemukan di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai “non conflict area”. Konflik dan kekarasan yang muncul di Indonesia adalah sebagai berikut; Kekerasan sosial, kekerasan kultural, kekerasan etnis, kekerasan agama, kekerasan gender, kekerasan politik, kekerasan militer, kekerasan terhadap anak-anak, kekerasan ekonomis, kekerasan lingkungan hidup.

3.        Akar dari Konflik dan Kekerasan

Kekerasan yang muncul disebabkan karena munculnya akar masalah yang menjadi dasar dan alasan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi. Perbedaan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat, sehingga kelompok yang satu ingin menguasai kelompok yang lainnya. Pendapat lain mengatakan, bahwa hampir semua konflik yang muncul di Indonesia di sebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial, terutama lembaga polotik. Sehingga dapat dikatakan bahwa negara gagal menerapkan sebuah politik yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.

4.        Mengembangkan Budaya Non-Violence dan Budaya Kasih.

Kiranya bagi masyarakat menjadi jelas bahwa konflik dan kekerasan yang sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba usaha-ucaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan, jika konflik dan kekerasan sudah terjadi.

a.       Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih sebelum Terjadi Konflik dan Kekerasan

Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan tertentu. Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan beberapa hal.

       1).  Dialog dan komunikasi.

       2). Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum.

b.       Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan Kekerasan

Usaha untuk membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan atau managemen konflik dan kekerasan”. Ada tahapan-tahapan yang dapat dilakukan

1).  Langkah Pertama; konflik atau kekerasan itu perlu diceritakan kembali oleh yang menderita. Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau interpersolal melainkan personal, pribadi, maka perlu dikisahkan kembali.

2).  Langkah Kedua; Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pohak atau kelomppok yang melakukan kekerasan atau menjadi penyebab konflik dan kekerasan. Pengakuan ini harus dilakukan secara publik dan terbuka, sebuah pengakuan jujur tanpa mekanisme bela diri.

3). Langkah Ketiga; Pengampunan dari korban kepada yang kelakukan kekerasan.

4).  Langkah Keempat; Rekonsiliasi.

B.       Aborsi

Mengapa aborsi itu dosa. Gereja Katolik ‘pro- life‘ karena Tuhan mengajarkan kepada kita untuk menghargai kehidupan, yang diperoleh manusia sejak masa konsepsi (pembuahan) antara sel sperma dan sel telur. Kehidupan manusia terbentuk pada saat konsepsi, karena bahkan dalam ilmu pengetahuan-pun diketahui, “Sebuah zygote adalah sebuah keseluruhan manusia yang unik.” Pada saat konsepsi inilah sebuah kesatuan sel manusia yang baru terbentuk, yang lain jika dibandingkan dengan sel telur ibunya, ataupun sel sperma ayahnya. Pada saat konsepsi ini, terbentuk sel baru yang terdiri dari 46 kromosom (seperti halnya sel manusia dewasa) dengan kemampuan untuk mengganti bagi dirinya sendiri sel-sel yang mati. Analisa science menyimpulkan bahwa fertilisasi bukan suatu “proses” tetapi sebuah kejadian yang mengambil waktu kurang dari satu detik. Selanjutnya, dalam 24 jam pertama, persatuan sel telur dan sperma bertindak sebagai sebuah organisme manusia, dan bukan sebagai sel manusia semata-mata.

Mengapa aborsi itu dosa

Masalahnya, orang-orang yang “pro-choice” tidak menganggap bahwa yang ada di dalam kandungan itu adalah manusia, atau setidaknya mereka menghindari kenyataan tersebut dengan berbagai alasan. Padahal science sangat jelas mengatakan terbentuknya sosok manusia adalah pada saat konsepsi (pembuahan sel telur oleh sel sperma). Pada saat itulah Tuhan ‘menghembuskan’ jiwa kepada manusia baru ciptaan-Nya, yang kelak bertumbuh dalam rahim ibunya, dapat lahir dan berkembang sebagai manusia dewasa. Adalah suatu ironi untuk membayangkan bahwa kita manusia berasal dari ‘fetus’ yang bukan manusia. Logika sendiri sesungguhnya mengatakan, bahwa apa yang akan bertumbuh menjadi manusia layak disebut sebagai manusia.

1.      Berbagai Macam Abortus

Ada berbagai macam abotsi yang kita kenal selama ini, sebagaian diantaranya adalah sebagai berikut :

a.       Abortus provocatus (direct abortion)

Adalah upaya pencegahan kelahiran melalui tindakan yang secara langsung bertujuan untuk membunuh bayi yang masih ada dalam kandungan

b.       Aborsi tak langsung (inderict abortion)

Adalah upaya penyelamatan seorang ibu dalam keadaan hamil, yang mengidap tumur ganas dalam rahimnya. Upaya tersebut dilakukan melalui opreasi yang mengandung resiko bahwa bayi yang ada dalam kandungan akan ikut terangkat. Kematian bayi bukanlah merupakan tujuan, melainkan akibat dari tindakan medis.

c.       Abortus spontaneus (tidak sengaja)

Adalah peristiwa kematian bayi dalam kandungan, namun tidak disengaja/tidak disadari oleh ibu yang bersangkutan.

2.      Cara Melakukan Aborsi

Istilah aborsi yang dimaksud selama ini lebih diartikan sebagai abortus provocatus, tindakan yang menghilangkan bayi dari kandungan atau mencegah kelahiran bayi yang dilakukan dengan sengaja.

Macam-macam cara melakukan aborsi di antaranya dilatasi/kuret, penyedotan, peracunan, ceasar, dan pengguguran kimia.

1). Dilatasi/Kuret.

      Lubang rahim diperbesar, agar rahim dapat dimasuki kuret, yaitu sepotong alat yang tajam.

2)  Kuret dengan cara penyedotan

      Kuret dengan cara penyedotan dilakukan dengan memperlebar lobang rahim, kemudian sebuah kantung dimasukan ke dalam rahim dan dihubungkan dengan alat penyedot yang kuat.

3)  Peracunan dengan Garam

      Pengguguran dengan peracunan garam ini dilakukan pada janin berusia 16 minggu (4bulan).

4)  Histerotomi/Caesar

      Terutama dilakukan bulan terakhir dari kehamilan.

5)   Pengguguran Kimia Prostaglandin

      Menggunakan bahan-bahan kimia yang dikembangkan.

3.      Alasan Orang Melakukan Pengguguran (Aborsi)

Ada banyak alasan orang melalukan aborsi. Diantara alasan-alasan itu ada ayng sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Walaupun begitu tetap tidak dapat menjadi bahan pembenaran dalam Gereja.

a.       Alasan Sosial Ekonomi (Malu, Belum Siap)

Alasan ini dikarenakan kehamilan yang tidak dikehendaki, sebagai akibat hubungan diluar nikah, hubungan gelap. Karena merasa malu atau belum siap baik secara mental maupun ekonomi, lalu yang bersangkutan melakukan aborsi.

b.       Alasan Eugenis (Anak Cacat Kandungan)

Setelah diketahui bahwa anak yang masih di dalam kandungan ternyata cacat, lalu orang tua merasa kasihan, kemudian memutuskan untuk menggugurkan anak ini, alasanya adalah dari pada anak lahir dan hidupnya menderita karena cacat, lebih baik digugurkan saja.

c.       Alasan Psiko-Sosial (Perkosaan, Incest)

Kasus kehamilan akibat pemerkosaan atau hubungan dengan saudara sendiri tak jarang menimbulkan dilema atau ketegangan. Keluarga yang terkena kasus semacam ini tentu akan malu dan secara publik kehormatan dan status sosialnya seakan-akan menjadi hancur.

            Namun demikian ada alasan yang mungkin dapat diterima secara moral, dalam kasus medis yang dimungkinkan seorang dokter harus memilih nyawa ibu atau bayi, contoh ibu yang sedang hamil dilakukan tindakan medis karena ditemukan kangker dalam rahimnya, maka perlu dilakukan tindakan medis yang memungkinkan resiko kematian bayi.

Jadi, pada dasarnya menghilangkan anak yang ada dalam kandungan dengan alasan apa pun. Tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah baru yang lebih rumut. Karena berurusan dengan kehidupan. Hidup adalah anugerah Allah, dan hidup harus dijaga, dirawat, dan dikembangkan terus.

4.      Pandangan Negara, Kitab Suci dan Ajaran Gereja tentang Aborsi.

Hukum Negara melarang tindakan aborsi, lebih-lebih Kitab Suci dan Ajaran Gereja sangat menentang aborsi. Aborsi yang disengaja jelas merupakan tindakan dosa.

a.         Hukum Negara.

Upaya perlindungan terhadap bayi dalam kandungan terwujud dalam ketentuan hukum, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan diatur hukumannya sesuai dengan pasal dapam KUHP, Pasal 342, pasal 246, pasal 247, pasat 348, pasal 249

b.         Ajaran Kitab Suci

Kitab suci juga mengajarkan bahwa manusia sudah terbentuk sebagai manusia sejak dalam kandungan ibu:

Yes 44:2: “Beginilah firman TUHAN yang menjadikan engkau, yang membentuk engkau sejak dari kandungan dan yang menolong engkau…”

Allah sendiri mengatakan telah membentuk kita sejak dari kandungan, artinya, sejak dalam kandungan kita sudah menjadi manusia yang telah dipilih-Nya.

Ayb 31: 15: “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?”

Ayub menyadari bahwa ia dan juga orang-orang lain telah diciptakan/ dibentuk oleh Allah sejak dalam kandungan.

Yes 49, 1,5: “….TUHAN telah memanggil aku sejak dari kandungan telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku…. Maka sekarang firman TUHAN, yang membentuk aku sejak dari kandungan untuk menjadi hamba-Nya, untuk mengembalikan Yakub kepada-Nya…”

Nabi Yesaya mengajarkan bahwa Allah telah memanggilnya sejak ia masih di dalam kandungan (sesuatu yang tidak mungkin jika ketika di dalam kandungan ia bukan manusia)

Kitab Suci mengajarkan bahwa setiap kehidupan di dalam rahim ibu adalah ciptaan yang unik, yang sudah dikenal oleh Tuhan:

Yer 1:5: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”

Mazmur 139: 13, 15-16: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku…. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.”

Gal 1:15-16: “Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia”

Luk 1:41-42: “Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus lalu berseru, “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.”

c.         Ajaran Gereja

Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 27, “Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran (aborsi), eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, …. apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan…. itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta.”

Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Evangelium Vitae menekankan bahwa Injil Kehidupan (the Gospel of Life) yang diterima Gereja dari Tuhan Yesus sebenarnya telah menggema di hati semua orang. Setiap orang yang terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan akan mengenali hukum kodrat yang tertulis di dalam hatinya (lih. 2:14-15) tentang kesakralan kehidupan manusia dari sejak awal mula sampai akhirnya; dan dengan demikian dapat mengakui adanya hak dari setiap orang untuk dapat hidup. Sesungguhnya atas dasar pengakuan akan hak untuk hidup inilah setiap komunitas manusia dan komunitas politik didirikan. Gereja menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukum gereja, yakni hukuman ekskomunikasi.”Barangsiapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena ekskomunikasi “ (KHK Kanon 1398).

Untuk Para Remaja:

Usahakan supaya tidak melakukan hubungan intim sebelum resmi menikah. Dalam berpacaran dan bertunangan sikap tahu menahan diri merupakan tanda pengungkapan cinta yang tertempa dan tidak egoistis.

Untuk Para Keluarga :

Perencanaan kehamilan harus masak dipertimbangkan dan dipertahankan dengan sikap ugahari dan bijaksana. Kehadiran buah kandunagan yang tidak direncanakan harus dielakkan secara tepat dan etis.

C.    Bunuh Diri dan Euthanasia

Tindakan tidak menghargai hidup yang lain adalah bunuh diri dan euthanasia, dalam bagaian ini kita akan membaas segala sesuatu yang berkaitan dengan bunuh diri dan euthanasia, termasuk didalamnya bagaimanakan pandangan Gereja dalam hubungannya dengan ini.

1.      Bunuh Diri

Bunuh diri adalah perbuatah menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh diri sendiri atau atas permintaannya. Banyak sebab yang yang menjadi pemicu tidakan bunuh diri.

a.      Orang mengalami depresi atau tekanan batin.

Perasan tertekan, frustasi, dan bingung dapat menjadikan seseorang melakukan tindakan bunuh diri; putus cinta, beban ekonomi keluarga yang berat, berasa hidupnya tidak lagi bermakna, terbelit hutang.

b.      Orang Mau Melakukan Protes, sehingga menjadikan dirinya sendiri tewas, mogok makan, membakar diri, menembak diri.

2.      Euthanasia

Euthanasia berasal dari bahaya Yunani yang berarti “kematian yang baik (mudah)”. Kematian dilakukan untuk membesaskan seseorang dari penderitaan yang amat berat, dengan menyebabkan seseorang penderita mati secara pelan-pelan dan tidak terasa. Tindakan ini juga merupakan tindakan tidak menghormati hidup. Seperti kesenangan, penderitaan termasuk dalam hidup manusia yang mempunyai nilai dan maknanya tersendiri. Manusia tidak dapat dilenyapkan karena penderitaan.

Ada berbagai macam euthanasia :

1)      Dilihat dari Segi Pelakunya

a.      Compulsary Euthanasia, yaitu bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang akan berakhir.

b.      Voluntary Euthanasia, berarti orang itu sendiri yang meminta untuk mati.

2)       Dilihat dari Segi Caranya

a.      Euthanasia aktif; mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri.

b.      Euthanasia non-agresif atau kadang-kadaing disebut autoeuthanasia, suatu praktek euthanasia pasif atas permintaan. (pasian menolak dilakukan perawatan atau pengobatan secara medis)

c.       Euthanasia pasif; pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya.

3)      Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin

a.      Euthanasia di luar kemauan pasien, yaitu suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup.

b.      Euthanasia secara tidak sukarela, tindakan yang dilakukan diluar sepengetahuan wali atau keluarga yang mempunyai hak untuk membuat keputusan.

Eutha