Sebutkan daerah yang masih mempertahankan tradisi pembuatan kapal pinisi berdasarkan infografis

Merdeka.com - Kapal Pinisi seringkali dijumpai menjelajah Taman Nasional (TN) Komodo dan Raja Ampat. Desain tradisional dengan lantai kayu yang apik, interiornya terlihat modern elegan dan berkelas. Kapal Pinisi seolah menjadi kapal dambaan hampir setiap orang untuk menjajal pengalaman mengarungi laut yang tak terlupakan.

Lebih dari sekedar belayar di 2 tempat wisata itu, Kapal Pinisi sudah melegenda. Sejak abad 15 lalu, kapal yang berasal dari suku Bugis dan suku Makassar sudah digunakan oleh masyarakat Indonesia. Ketangguhan kapal ini tak perlu dipertanyakan lagi.

Kapal layar Pinisi diketahui pernah menaklukkan lima benua. Keganasan Samudera Pasifik, Vancouver di Kanada, Australia, Madagaskar hingga Jepang telah ditaklukkan oleh Kapal Pinisi. Kapal Pinisi lahir di daerah Bulukumba, Sulawesi Selatan. Salah satu tempat pembuatan kapal fenomenal ini ada di Tanjung Bira.

©2021 Merdeka.com/Gebyar Adisukmo

Sejak dahulu hingga kini, orang Bulukumba terkenal memiliki kemampuan membuat Kapal Pinisi. Dengan tangan ajaibnya, mereka membuat Kapal Pinisi secara manual. Tak seperti pembuatan kapal pada umumnya, kabarnya mereka membuat kapal ini tanpa menggunakan gambar rancang bangunan.

Proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan. Mereka mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut. Dari proses memilih kayu sampai berlayar. Saat memilih kayu, mereka harus mengikuti hari baik yang ditetapkan yaitu pada hari ke-5 atau hari ke-7 di bulan tersebut.

Penentuan hari ke-5 dan ke-7 mempunyai arti tersendiri. Angka lima melambangkan rezeki yang telah diraih, sedangkan angka tujuh melambangkan hoki atau akan mendapatkan rezeki.

©2021 Merdeka.com/Gebyar Adisukmo

Kapal bersejarah ini menggunakan bahan baku kayu jenis Bitti yang dipadukan dengan kayu Ulin. Kapal dengan tinggi 2,5 meter dan panjang 15 meter ini mempunyai dua tiang layar utama dengan tujuh buah layar. Tiga layar dipasang di ujung depan, dua layar di bagian depan, dan dua layar lagi dipasang di bagian belakang perahu.

Tujuh layar di Kapal Pinisi ini memiliki makna yang mendalam yaitu bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera di dunia. Kekuatan pelaut Indonesia disimbolkan oleh kapal ini.

©2021 Merdeka.com/Gebyar Adisukmo

Pembuatan sebuah perahu Pinisi memakan waktu tiga hingga enam bulan. Namun terkadang lebih lama, tergantung dari kesiapan bahan dan musim dan ukuran kapal. Biasanya untuk satu kapal Pinisi dikerjakan sekitar 5-10 orang. Masyarakat sekitar percaya jika perahu satu ini dikerjakan secara beramai-ramai atau banyak orang, akan mempengaruhi atau mengurangi nilai seni dari perahu itu.

Setiap detailnya dikerjakan secara teliti untuk menghasilkan kapal yang tahan lama digunakan berlayar. Tak heran, Perahu Pinisi berukuran besar dengan tenaga mesin diesel dijual dengan harga yang fantastis, bisa mencapai Rp2 miliar. Nantinya, pembeli bisa menentukan model perahu beserta interior di dalamnya.

©2021 Merdeka.com/Gebyar Adisukmo

Proses adat tak hanya sampai saat pemilihan kayu. Sebelum perahu Pinisi diluncurkan ke laut, mereka melaksanakan upacara Maccera Lopi dengan tujuan mensucikan perahu. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan binatang.

Uniknya pembuatan Kapal Pinisi di Bulukumba ini juga telah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia sejak Desember 2017 lalu.Pembuatan kapal Pinisi tak hanya di Tanjung Bira saja, namun juga dilakukan di tempat lain seperti di pantai Lemo-lemo dan di Tana Beru.

Kapal Pinisi tak hanya sekedar kapal pariwisata saja, namun kapal ini menjadi saksi sejarah, simbol kekuatan pelaut Indonesia dan juga sumber mencari nafkah warga Bulukumba.

Halo Sobat SMP! Apakah kamu pernah mendengar lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”? Lagu tersebut sebenarnya menceritakan kondisi para leluhur bangsa di masa lampau. Kita telah mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang dipisahkan oleh lautan. Beberapa masyarakat di zaman dahulu menggunakan perahu untuk berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya.

Salah satu suku yang terkenal dan akrab dengan lautan adalah suku Bugis. Bugis sendiri merupakan suku yang terletak di wilayah selatan Pulau Sulawesi, lebih tepatnya di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Suku Bugis dikenal sebagai suku yang andal dan juga piawai dalam mengarungi lautan hingga samudra di Nusantara maupun dunia.

Para masyarakat Bugis menaklukan lautan dengan bermodalkan sebuah perahu legendaris, yakni perahu pinisi. Perahu pinisi adalah perahu layar tradisional khas masyarakat Bugis. Ciri khas dari perahu pinisi ialah memiliki dua tiang utama serta tujuh buah layar. Tiga layar berada di bagian depan, dua di bagian tengah, dan dua di bagian belakang.

Perahu ini sendiri memiliki sejarah panjang. Tertuang dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, perahu pinisi sudah ada sejak abad ke-14 M. Pada naskah tersebut, diceritakan perahu ini pertama kali dibuat oleh putra mahkota Kerajaan Luwu yang bernama Sawerigading. Sawerigading membuat perahu pinisi dari pohon welengreng (pohon dewata) yang dikenal cukup kuat dan juga kokoh.

Perahu ini dibuat oleh Sawerigading untuk melakukan perjalanan menuju Tiongkok. Ia berminat mempersunting seorang putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Setelah sekian lama ia menikahi We Cudai dan menetap di Tiongkok, Sawerigading ingin pulang ke kampung halamannya. 

Singkat cerita ia pun menaiki perahu buatannya untuk kembali ke Luwu. Namun, ketika berada di dekat Pantai Luwu perahu Sawerigading menghantam ombak hingga terpecah. Pecahan-pecahan perahu Sawerigading terdampar ke tiga tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Pecahan-pecahan perahu ini kemudian disatukan kembali oleh masyarakat menjadi sebuah perahu megah yang dinamakan dengan Perahu Pinisi.

Ada tiga tahap dalam proses pembuatan perahu pinisi dengan cara tradisional yang dimiliki oleh suku Bugis. Pertama adalah penentuan hari baik dalam pencarian kayu fondasi. Kayu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan perahu bisa berasal dari empat jenis kayu, yaitu kayu besi, kayu bitti, kayu kandole/punaga, dan kayu jati.

Selanjutnya, kayu yang hendak digunakan akan dipotong dan dikeringkan terlebih dahulu sebelum akhirnya dirakit. Perakitannya dengan memasang lunas, papan, mendempulnya, dan memasang tiang layar. Dalam proses perakitan juga terdapat hal yang unik, yaitu saat pemotongan lunas harus menghadap timur laut. Proses pemotongan kayu harus dilakukan dengan gergaji tanpa henti. Maka dari itu, pemotongan kayu memerlukan tenaga seseorang yang cukup kuat. 

Setelah proses perakitan yang berlangsung hingga berbulan-bulan, tahapan terakhir dari pembuatan perahu pinisi adalah peluncuran perahu ke lautan. Pada tahapan ini, terdapat sebuah upacara atau ritual khusus yang dinamakan dengan upacara maccera lopi (menyucikan perahu). Upacara ini dilakukan dengan prosesi pemotongan hewan. Apabila bobot perahu kurang dari 100 ton maka hewan yang dikorbankan adalah seekor kambing, sedangkan jika lebih dari 100 ton hewan yang dikorbankan adalah seekor sapi.

Sampai saat ini, Kabupaten Bulukumba, tepatnya di daerah Tana Beru, masih menjadi daerah yang memproduksi perahu pinisi ini. Uniknya lagi, para pengrajin tetap mempertahankan cara pembuatan perahu pinisi. Tidak ada gambar ataupun kepustakaan lainnya dalam cara pembuatannya, para pengrajin hanya mengandalkan ilmu yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun. 

Sobat SMP bisa melihat kepiawaian para pengrajin perahu pinisi di Pusat Kerajinan Perahu Pinisi di daerah Tana Beru. Di sana kalian akan dibuat kagum oleh keahlian para pengrajin yang bisa merakit perahu pinisi dengan kokoh dan megah. Kabupaten Bulukumba dapat menjadi salah satu opsi destinasi wisata kebudayaan yang menghibur sekaligus mengedukasi. Semoga informasi ini bermanfaat ya, Sobat SMP!

Baca Juga  Optimalisasi Manajerial Satuan Pendidikan di Era Merdeka Belajar

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Referensi:

//petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id/Repositorys/phinisi/

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA