Salah satu sejarah yang tidak bisa kita lupakan sebagai bangsa Indonesia adalah peristiwa pemberontakan APRA, singkatan dari Angkatan Perang Ratu Adil pada tanggal 23 Januari 1950. Pemberontakan ini berlangsung di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling, sekaligus mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL. Kelompok ini masuk kedalam kota Bandung dan menyerang orang-orang yang berseragam TNI. Seperti apa latar belakang APRA? Pada kesempatan kali ini, kita akan coba membahasnya. Jadi pastikan kamu membacanya sampai habis ya! Latar Belakang APRA November, 1949. Dinas rahasia militer Belanda mendapatkan laporan, Westerling telah mendirikan sebuah organisasi rahasia dengan jumlah pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan ini diterima oleh Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada tanggal 8 Desember 1949 yang menyebutkan bahwa nama organisasi tersebut adalah “Ratu Adil Persatuan Indonesia” (RAPI) dengan satuan bersenjatanya yang diberi nama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Kebanyakan pengikut dari organisasi ini adalah mantan anggota Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), dan juga beberapa bantuan dari temannya orang Tionghoa dan Chia Piet Kay. Westerling berencana melakukan kudeta terhadap presiden Soekarno dan kliknya setelah penyerahan kedaulatan diberikan kepada Indonesia. Bahkan pesan ini juga telah disampaikan kepada Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Jenderal van Vreeden, memiliki tanggung jawab atas kelancaran “penyerahan kedaulatan” pada tanggal 27 Desember 1949, dan memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tetapi van Vreeden tak segera memerintahkan penangkapan Westerling. Tujuan utama dari Westerling adalah untuk mempertahankan bentuk Negara Federal Pasundan di Indonesia serta menginginkan adanya tentara sendiri pada tiap negara bagian Republik Indonesia Serikat. 5 Januari tahun 1950, Westerling mengirim surat pada pemerintah RIS, yang berisi ultimatum menuntut Pemerintah RIS menghargai negara bagian Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Kegelisahan muncul di kalangan RIS dan pihak Belanda, terutama dr. H.M. Hirschfeld yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tak nyaman. Bahkan Belanda telah memerintahkan untuk menindak setiap pejabat Belanda yang berhubungan dengan Westerling. 10 Januari tahun 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, pihak Indonesia sudah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Di saat itu Westerling mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, dan meminta Hamid jadi pemimpin gerakan mereka. Namun pertemuan ini hanya sia-sia saja karena tidak terjadi kesepakatan apapun. Pada akhirnya Sultan Hamid II bergabung bersama APRA, dan memiliki rencana untuk melakukan pembunuhan terhadap Sultan Hamengkubuwono IX dan juga T.B. Simatupang. Westerling dan Sultan Hamid II beserta pasukannya yang merupakan bekas tentara KNIL, berencana melakukan penyerangan ke Jakarta. Pemerintah Indonesia tidak bisa hanya diam dan memerintahkan pasukan militernya untuk melakukan operasi militer untuk menumpas APRA ini. Penumpasannya ini terjadi di tahun 1950. Pemberontakan APRA ini tidak berlangsung lama. Sampai akhirnya Sultan Hamid II berhasil ditangkap dan diberikan hukuman mati. Sementara, Westerling kabur ke Belanda. Dampak Bagi Bangsa Indonesia Salah satu dampak langsung yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia adalah gugurnya banyak tentara Indonesia. Pemberontakan ini juga membuat kondisi keuangan negara menjadi sedikit berantakan. Dan juga terganggunya keamanan dari rakyat Indonesia. Namun ada juga dampak positif yang terjadi, yaitu peningkatan dari rasa saling memiliki, persatuan dan kesatuan dari seluruh masyarakat Indonesia kala itu. Nah itu dia sedikit pembahasan mengenai latar belakang APRA. Jika ada yang masih kamu bingungkan, silahkan tuliskan pertanyaan kamu di kolom komentar. Jangan lupa juga untuk di share ya!
Konflik dan pergolakan kepentingan (vested interest) & Sistem Pemerintahan Peristiwa konflik dan kepentingan (vested interest). yang berkait dengan Kepentingan (vested interest). Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan AndiA ziz. Vested Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri. Mereka juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering menghalangi suatuproses perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda, yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflikpun terjadi. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan. Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO(Bijeenkomst Federal Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta. Masalah yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketikaberdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati akan berbentuknegara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RIm menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah negaraPasundan, negara Madura atau Negara Indonesia Timur. BFO sendiri adalahbadan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk olehBelanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makinl lamabadan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda. Pro-kontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga menimbulkanpertentangan. Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan pemberontakanyang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesiaterhadap pemerintahan pusat. Baik kota ulas lebih lanjut ; Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan. a. Pemberontakan APRA Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling pada tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata yang anggotanya terutama berasal dari tentara Belanda: KNIL, yang tidak setuju dengan pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Jawa Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian Pasundan. Basis pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di Jawa Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling mengultimatum pemerintah RIS. Ultimatum ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan penangkapan terhadap Westerling. APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung secara mendadak dan melakukan tindakan teror. Puluhan anggota APRIS gugur. Diketahui pula kemudian kalau APRA bermaksud menyerang Jakarta dan ingin membunuh antara lain Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan Kepala APRIS Kolonel T.B. Simatupang. Namun semua itu akhirnya dapat digagalkan oleh pemerintah. Westerling kemudian melarikan diri ke Belanda. b. Peristiwa Andi Aziz Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa Andi Aziz berawal dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal dari KNIL (pasukan Belanda di Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS di Negara Indonesia Timur (NIT). Ketika akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan ke Sulawesi Selatan dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut ketidakpuasan di kalangan pasukan Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa mereka akan diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI. Pasukan KNIL di bawah pimpinan Andi Aziz ini kemudian bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting, bahkan menawan Panglima Teritorium (wilayah) Indonesia Timur, Pemerintahpun bertindak tegas dengan mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. April 1950, pemerintah memerintahkan Andi Aziz agar melapor ke Jakarta akibat peristiwa tersebut, dan menarik pasukannya dari tempat-tempat yang telah diduduki, menyerahkan senjata serta membebaskan tawanan yang telah mereka tangkap. Tenggat waktu melapor adalah 4 x 24 jam. Namun Andi Aziz ternyata terlambat melapor, sementara pasukannya telah berontak. Andi Aziz pun segera ditangkap di Jakarta setibanya ia ke sana dari Makasar. Ia juga kemudian mengakui bahwa aksi yang dilakukannya berawal dari rasa tidak puas terhadap APRIS. Pasukannya yang memberontak akhirnya berhasil ditumpas oleh tentara Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang. c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) Sesuai dengan namanya, pemberontakan RMS dilakukan dengan tujuan memisahkan diri dari Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara sendiri. Diproklamasikan oleh mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. Ch.R.S. Soumokil pada April 1950, RMS didukung oleh mantan pasukan KNIL. Upaya penyelesaian secara damai awalnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yang mengutus dr. Leimena untuk berunding. Namun upaya ini mengalami kegagalan. Pemerintahpun langsung mengambil tindakan tegas, dengan melakukan operasi militer di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang. Kelebihan pasukan KNIL RMS adalah mereka memiliki kualifikasi sebagai pasukan komando. Konsentrasi kekuatan mereka berada di pulau Ambon dengan medan perbentengan alam yang kokoh. Bekas benteng pertahanan Jepang juga dimanfaatkan oleh pasukan RMS. Oleh karena medan yang berat ini, selama peristiwa perebutan pulau Ambon oleh TNI, terjadi pertempuran frontal dan dahsyat dengan saling bertahan dan menyerang. Meski kota Ambon sebagai ibukota RMS berhasil direbut dan pemberontakan ini akhirnya ditumpas, namun TNI kehilangan komandan Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan Letnan Kolonel Soediarto yang gugur tertembak. Soumokil sendiri awalnya berhasil melarikan diri ke pulau Seram, namun ia akhirnya ditangkap tahun 1963 dan dijatuhi hukuman mati. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan. a. Pemberontakan PRRI dan Permesta Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957, seperti : a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein. b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan. c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian. d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual. Dewan-dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah di wilayahnya masing- masing. Beberapa tokoh sipil dari pusatpun mendukung mereka bahkan bergabung ke dalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal. Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat, menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara. Pemberontakan PRRI dan Permesta ternyata melibatkan AS di dalamnya. Kepentingan AS dalam pemberontakan ini berkait dengan kekhawatiran negara tersebut bila Indonesia akan jatuh ke tangan komunis yang saat itu kian menguat posisinya di pemerintahan pusat Jakarta. Salah satu bukti keterlibatan AS melalui operasi CIA-nya adalah ketika pesawat yang dikemudikan pilot Allen Lawrence Pope berhasil ditembak jatuh. Coba kalian cari informasi mengenai kisah Allen Pope ini dalam kaitannya dengan keterlibatan AS dalam pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh-tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias pula oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Juanda). Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan. b. Persoalan Negara Federal dan BFO Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan. Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi. Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian (TaufikAbdullah danAB Lapian, 2012.). Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini. Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara- negara bagian tersebut bergabung ke RI. KESIMPULAN 1. Potensi disintegrasi bangsa pada masa kini bisa saja benar-benar terjadi bila bangsa Indonesia tidak menyadari adanya potensi semacam itu. Karena itulah kita harus selalu waspada dan terus melakukan upaya untuk menguatkan persatuan bangsa Indonesia. 2. Sejarah Indonesia telah menunjukkan bahwa proses disintegrasi sangat merugikan. Antara tahun 1948-1965 saja, gejolak yang timbul karena persoalan ideologi, kepentingan atau berkait dengan sistem pemerintahan, telah berakibat pada banyaknya kerugian fisik, materi. mental dan tenaga bangsa. 3. Konflik dan pergolakan yang berlangsung diantara bangsa Indonesia bahkan bukan saja bersifat internal, melainkan juga berpotensi ikut campurnya bangsa asing pada kepentingan nasional bangsa Indonesia TUGAS |