Salam Namo Buddhaya dalam agama apa?

Sebagai Buddhis, tentu kita tak asing dengan kalimat Namo Buddhāya. Kalimat ini menjadi lebih popular di Indonesia karena dianggap sebagai salam Buddhis. Biasanya sesama umat Buddha maupun umat beragama lain yang bertemu akan bertukar sapa dengan mengucapkan Namo Buddhāya. Dalam lingkungan Buddhis, sebelum mengawali kegiatan, seperti sebelum puja bakti, ceramah, diskusi Dhamma, rapat, maupun kegiatan-kegiatan yang lain, biasanya diawali dengan mengucapkan Namo Buddhāya. Penggunaan kalimat Namo Buddhāya menjadi melenceng karena dianggap sebagai salam untuk menyapa orang lain. Padahal, Namo Buddhāya bukanlah kalimat sapaan untuk menyapa orang lain.

Harus ditekankan kembali bahwa Namo Buddhāya bukanlah kalimat yang mengandung unsur sapaan. Kalimat Namo Buddhāya adalah kalimat pujian atau penghormatan kepada Buddha. Namo berarti terpujilah, dan Buddhāya berarti kepada Buddha. Jadi, Namo Buddhāya berarti Terpujilah Buddha. Kalimat Namo Buddhāya ini sendiri tidak ditemukan dalam Tipitaka maupun kitab komentarnya. Tapi bisa ditemukan di literatur Pali belakangan, seperti di Saddanītippakaraṇa, yang merupakan salah satu kitab tata bahasa Pali. Di Saddanītippakaraṇa, ditemukan syair seperti berikut:

''Namo buddhāya buddhassa (Terpujilah Sang Buddha)
Namo dhammāya dhammino (Terpujilah Dhamma)
Namo saṅghāya saṅghassa (Terpujilah Saṅgha)
Namokārena sotthi meti ca (Dengan pujian ini, keselamatan atau kesejahteraan datang padaku). ''

Dari sini kita tahu bahwa, selain Buddhāya, kita bisa menggantinya dengan kata Buddhassa. Jadi Namo Buddhāya dan Namo Buddhassa artinya sama, yaitu Terpujilah Buddha. Buddhāya atau Buddhassa adalah dalam kasus datif (catutthī) dalam bentuk tunggal (ekavacana). Oleh karena itu Namo Buddhāya adalah pujian yang ditujukan kepada satu Buddha. Kalau banyak Buddha menjadi Namo Buddhānaṃ. Demikian juga Namo dhammāya dan Namo saṅghāya. Di sini, Dhammāya bisa diganti dengan Dhammino atau ''Dhammassa'' menjadi Namo Dhammino atau ''Namo Dhammassa'' yang berarti terpujilah Dhamma. Saṅghāya bisa diganti dengan Saṅghassa, sehingga menjadi Namo Saṅghassa yang berati terpujilah Sangha, atau komunitas para bhikkhu.

Salam Namo Buddhaya dalam agama apa?


Kalau kita mau menganalisis lebih dalam dalam lagi, kata Namo adalah sebuah kata benda yang berarti Penghormatan, pujian, atau sujud. Jadi, selain Namo bisa juga menjadi Namatthu. Seperti Vipassissa ca namatthu, yang berarti sujudku kepada Buddha Vipassi. Kata Namatthu adalah kombinasi dua kata namo + atthu (semoga menjadi, ada). Kalimat Namatthu buddhānaṃ berarti Sujudku kepada para Buddha atau terpujilah para Buddha.

Kalimat Namo Buddhāya memang tak ditemukan dalam Tipitaka. Namun, di Tipitaka dan kitab-kitab komentarnya, kita menemukan kalimat Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa. Kalimat ini cukup terkenal dan selalu digunakan sebagai kalimat penghormatan di setiap pembukaan buku atau kitab. Sesungguhnya, Namo Buddhāya dan Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa mengandung arti yang sama, yaitu penghormatan kepada Buddha. Hanya saja yang kedua muncul cukup panjang karena mendeskripsikan kualitas-kualitas lain dari Sang Buddha. Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa berarti Terpujilah Sang Bhagavā, yang suci, yang mencapai pencerahan sempurna dengan usahanya sendiri.

Singkatnya, kita bisa mengucapkan pujian kepada Buddha, dengan syair:
Namo Buddhāya
Namatthu Buddhassa
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Sang Buddha berkata bahwa ada tiga jenis penghormatan, yaitu penghormatan secara fisik, verbal, dan batin (Tisso imā bhikkhave vandanā, katamā tisso. Kāyena vandati, vācāya vandati, manasā vandatīti). Melakukan namaskara atau bersujud adalah cara penghormatan secara fisik. Mengucapkan kalimat pujian adalah penghormatan secara verbal atau lisan. Mengingat atau merenungkan dalam batin sifat-sifat baik Buddha, Dhamma dan Sangha adalah cara penghormatan secara batin.

Mengucapkan Namo Buddhāya adalah penghormatan kepada Buddha secara verbal atau lisan. Pujian atau penghormatan tersebut ditujukan kepada Buddha. Mengucapkan Namo Buddhāya sebelum mengawali kegiatan-kegiatan Buddhis, tidaklah salah. Tapi harus diingat, ini bukanlah salam untuk menyapa hadirin, melainkan pujian kepada Buddha. Penggunaan Namo Buddhāya menjadi melenceng apabila digunakan sebagai salam atau sapaan untuk menyapa orang lain, karena di dalam kalimat Namo Buddhāya tidak ada unsur sapaan. Itulah mengapa, sebetulnya sangat keliru kalau kita atau umat Buddha menggunakan Namo Buddhāya untuk menyapa orang lain. Kekeliruan ini menjadi sangat tidak tepat dan terlihat lucu. Misalnya kalau bertemu orang lain, teman, sahabat, atau para bhikkhu, kita mengucapkan Namo Buddhāya atau Terpujilah Sang Buddha menjadi tidak nyambung dengan situasi dan keadaan. Bertemunya dengan teman kok malah memuji Sang Buddha. Contoh gampangnya begini. Kita ganti Terpujilah Sang Buddha menjadi Hormatku pada Pak Presiden. Kalau kita bertemu dengan teman kita, kemudian kita menyapanya dengan Hormatku kepada Pak Presiden, apakah ini logis? Jawabannya sama sekali tidak nyambung. Atau misalnya, kita ganti Terpujilah Sang Buddha menjadi Terpujilah Tuhan. Akan menjadi aneh, kalau kita mengucapkan kalimat itu saat kita bertemu dengan orang lain.

Jadi, menurut hemat saya, kita jangan lagi menggunakan Namo Buddhāya sebagai salam saat bertemu dengan orang lain. Lebih baik mengucapkan salam dalam bahasa Indonesia saja. Kalau memang sulit karena sudah terbiasa, ya terserah. Atau kalau mau tetap menyapa dengan bahasa Pali biar kelihatan ada unsur Buddhisnya seperti di agama-agama yang lain, kita bisa mengucapkan Sotthi hotu yang berarti Semoga anda sejahtera. Ini lebih cocok dan sesuai dengan penggunaan di Indonesia Salam sejahtera bagi kita semua. Seperti di Bali, mereka saling menyapa dengan Om Suvasti astu. Kata Suvasti astu yang digunakan orang Bali tersebut sebenarnya diambil dari bahasa Sansekerta Suvasti (su + asti). Dalam bahasa Pali, Suvasti disebut Suvatthi atau Sotthi. Sementara Astu (sansekerta) atau Hotu (Pali) berarti semoga menjadi atau ada. Jadi Sotthi hotu berarti Semoga (anda) sejahtera, atau semoga kesejahteraan ada pada (anda).

Salam Namo Buddhaya dalam agama apa?


Masyarakat Sri Lanka menggunakan salam Ayubowan (bahasa Sinhala), yang berarti Semoga ada berumur panjang. Jadi setiap kali mengucapkan salam Ayubowan, mereka saling mendoakan semoga panjang umur. Dengan cara yang sama, kalau kita saling mengucapkan salam Sotthi hotu, berarti kita saling mendoakan semoga sejahtera. Makanya Sotthi hotu lebih tepat dan cocok bila digunakan sebagai salam Buddhis, daripada Namo Buddhāya. Penggunaan Sotthi hotu lebih mencakup luas, tanpa perlu embel-embelan Buddhis, yang bisa diucapkan bahkan oleh non Buddhis, karena maknanya ''Semoga anda sejahtera.'' Jadi bagi non Buddhis juga akan lebih nyaman mengucapkannya.