Sahabat yang mengikuti hijrah Nabi disebut dengan sahabat Hijrah Muhajirin mukminin muslimin

Nabi menyatukan dua suku bertikai di Madinah menjadi kaum Anshar.

Republika.co.id

Latar Belakang Masyarakat Madinah. Kota Madinah tempo dulu.

Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yunahar Ilyas

Baca Juga

Penduduk asli Madinah terdiri dari dua suku Arab, yaitu Aus dan Khazraj. Kedua suku ini sudah lama terlibat dalam konflik dan permusuhan.

Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, mereka sebenarnya sudah mulai lelah menghadapi konflik dan permusuhan terus-menerus tersebut. Mereka sedang merintis usaha-usaha untuk menghentikan permusuhan itu.

Itu sebabnya tatkala enam orang pemuda Yastrib bertemu Nabi di Aqabah Mina mereka langsung tertarik. Dalam pikiran mereka muncul harapan Nabi Muhammad SAW dapat mempersatukan mereka.

Akhirnya proses baiat Aqabah pertama diikuti 12 orang dan baiat Aqabah kedua diikuti 70 orang. Terbentuklah di Madinah komunitas baru suku Aus dan Khazraj, yaitu komunitas Muslim.

Semakin lama komunitas ini semakin banyak, apalagi setelah kedatangan Nabi Muhammad ke Madinah. Mereka tampil sebagai pendukung dan pembela Nabi serta sahabat-sahabat yang Hijrah ke Madinah–baik yang datang sebelum Nabi maupun setelah Nabi.

Masyarakat Islam suku Aus dan Khazraj ini kemudian disebut dengan kaum Anshar, para penolong, karena peran mereka menolong kaum Muslimin Makkah yang hijrah ke Madinah. Sahabat-sahabat Nabi yang hijrah dari Makkah ke Madinah disebut dengan kaum Muhajirin.

Mereka tentu datang dengan segala keterbatasan, membawa perlengkapan seadanya menempuh perjalanan jauh 450 kilometer. Kebun, ternak, rumah, dan sebagian besar kekayaan mereka terpaksa ditinggal di Makkah.

Abdurrrahman bin Auf yang dikenal kaya meninggalkan kekayaannya di Makkah. Bahkan bagi sebagian jangankan membawa harta kekayaan, bisa lolos hijrah ke Madinah saja sudah syukur karena tokoh dan pemuka Quraish dengan segala daya dan upaya menghalangi mereka hijrah.

Kaum Ansharlah yang kemudian mengulurkan tangan menampung mereka, sebagian yang tidak tertampung menginap di Masjid yang baru dibangun Nabi. Nabi Muhammad SAW melakukan sebuah upaya yang sangat cemerlang yang belum pernah dilakukan oleh pemimpin manapun sebelumnya yaitu mempersaudarakan antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin.

Langkah ini sangat berpengaruh besar di dalam sejarah, Ibnul Qayyim menceritakan (sebagaimana dikutip oleh Mubarak Furi dalam Ar-Rahiq Al-Mahhtum halaman 226) Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshar dan kaum Muhajirin di rumah Anas bin Malik, saat itu jumlah mereka sembilan puluh orang lelaki sebagian dari Muhajirin dan lainnya Anshar.

Nabi mempersaudarakan mereka agar saling membantu dan mewarisi setelah meninggal, di luar bagian warisan karena kekerabatan. Kebijakan ini berlaku sampai perang Badar tatkala Allah SWT menurunkan ayat 75 Surat Al-Anfal:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنۢ بَعۡدُ وَهَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ مَعَكُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ مِنكُمۡۚ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Anfal 8:75)

Setelah dipersaudarakan oleh Nabi dengan kaum Muhajirin, kaum Anshar rela berbagi apa saja, bahkan mereka mengatakan kepada Nabi: “Bagilah kebun kurma kami ini dengan saudara kami kaum Muhajirin.” Nabi menolaknya, “Tidak perlu, cukuplah kalian memberi makanan pokok saja, lalu biarkan kami mengurus buahnya.”

Bahkan tidak hanya kebun, ada yang mau berbagi istri seperti Sa’ad bin Rabi’ yang dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman: “Sesungguhnya aku adalah kaum Anshar yang paling berpunya,maka bagilah hartaku menjadi dua. Aku juga punya dua istri, pilihlah diantara mereka yang kau sukai, lalu beritahukan kepadaku, aku akan menceraikannya. Jika masa iddahnya habis, engkau bisa menikahinya.”

Abdurrahman menolak, dia hanya meminta untuk dipinjami modal dan ditunjukkan dimana pasar. Dengan demikian Abdurrahman bisa berbisnis kembali di Madinah.

Inilah komunitas pertama masyarakat Madinah, yaitu masyarakat Muslim yang terdiri dari kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Disamping itu, sudah lama juga menetap di Madinah orang-orang Yahudi imigran dari Hebron Palestina.

Mereka lari ke tanah Hijaz setelah Palestina Al-Quds dikuasai oleh Romawi. Mereka berakulturasi dengan adat istiadat bangsa Arab, mulai dari pakaian, bahasa, peradaban, nama dan kabilah merekapun berbau Arab, bahkan  terjadi juga hubungan pernikahan dan semenda antara mereka dan bangsa Arab.

Namun mereka tetap menjaga fanatisme golongan, sehingga tidak sepenuhnya melebur dengan bangsa Arab. Melainkan tetap membanggakan keisraelan mereka.

Orang-orang Yahudi itu  menguasai perdagangan. Mereka mengimpor pakaian, biji-bijian, dan khamar serta mengekspor kurma. Orang-orang Yahudi itu juga melipatgandakan harta mereka dengan riba.

Mereka meminjamkan uang kepada pemimpin-pemimpin suku Arab dengan sistem riba. Pemimpin-pemimpin suku itu meminjam uang untuk membayar penyair menggubah syair-syair yang memuji-muji mereka.

Syair-syair pujian itu diperlukan untuk menjaga popularitas mereka. Orang-orang Yahudi itu meminjamkan uang kepada pemimpin bangsa Arab dengan jaminan tanah, kebun dan ladang mereka. Lama-lama tanah, kebun dan ladang penduduk asli Madinah berpindah menjadi milik Yahudi.

Untuk dapat tetap eksis orang-orang Yahudi memanfaatkan konflik antara suku Aus dan Khazraj. Mereka selalu punya cara mengadu domba antara suku Aus dan Khazraj agar perang selalu berkobar antara sesama bangsa Arab. Jika api perang itu hampir padam mereka akan nyalakan kembali.

Tiga suku besar Yahudi yang tinggal di Madinah adalah, 1. Bani Qainuqa’ tinggal di dalam kota. 2. Dua Bani Nadir tinggal di pinggiran kota. Kedua suku itu menjalin persekutuan dengan Khazraj. 3. Bani Quraidzah tinggal di pinggiran kota bersekutu dengan Aus. Tiga suku Yahudi ini lah yang selalu mengobarkan perang antara kaum Aus dan Khazraj.

Pada mulanya orang-orang Yahudi menunggu kedatangan Nabi yang terakhir, karena mereka yakin Nabi yang terakhir itu dari bani Israil. Tetapi setelah mereka tahu Nabi yang terakhir dari Makkah bangsa Arab,yang selama ini mereka lecehkan sebagai penyembah berhala maka rasa dengki mereka langsung meningkat, mereka sudah memusuhi Nabi sejak hari pertama Nabi sampai di Madinah.

Tatkala Nabi berada di Quba sebelum masuk kota, tokoh Yahudi Huyay bin Akhtab dan saudaranya Abu Yasir bin Akhtab berangkat ke Quba untuk memastikan kedatangan Nabi. Setelah kembali dari Quba, Abu Yasir bertanya kepada Huyay: “Betulkah dia orangnya?”, Huyay menjawab: “Benar”, Abu Yasir bertanya lagi, “Apakah engkau mengenalinya dan yakin akan hal itu”, Huyyay menjawab.”ya”, Abu Yasir bertanya lagi,”bagaimana pendapatmu tentang dirinya (maksudnya Nabi Muhammad), Huyay menjawab, “Demi Allah aku akan memusuhinya sepanjang hayatku.” Inilah komunitas kedua penduduk Madinah yaiu orang-orang Yahudi yang selalu memusuhi Nabi.

Komunitas ketiga adalah kaum Musyrikin dari suku Aus dan Khazraj yang tidak mau beriman dengan Nabi tapi tidak berani pula menolaknya secara terang-terangan. Mereka menyembunyikan kekufuran dan pura-pura masuk Islam.

Jumlah mereka lebih sedikit daripada yang beriman. Dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul yang sakit hati dengan Nabi, karena kedatangan Nabi menggagalkan dia menjadi raja.

Sebelum kedatangan Nabi suku Aus dan Khazraj sudah sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay sebagai raja yang mempersatukan mereka. Bahkan mahkota sudah dipersiapkan, tinggal selangkah lagi menajdi raja.

Tapi ketika Nabi datang, Abdullah bin Ubay ditinggalkan, dia kemudian sakit hati. Termasuk juga yang sakit hati orang-orang yang selama ini berharap mendapatkan bagian kekuasaan dari Abdullah bin Ubay.

Mereka inilah yang disebut dengan kaum Munafikun. Mereka dengan segala cara mencoba intrik-intrik menggagalkan usaha Nabi memimpin Madinah.

Dari Makkah, Nabi juga mendapatkan ancaman dari kaum kafir Quraisy. Sebagai suku yang memimpin politik dan keagamaan di jazirah Arabia, maka tokoh-tokoh kafir Quraish menyerukan kepada kabilah-kabilah Arab di Jazirah Arabia untuk memboikot Madinah. Terutama dari segi perdagangan.

Pasokan makananan dan  kebutuhan lainnya. Hal ini merupakan ancaman sendiri yang harus dihadapi oleh Nabi. Nabi Muhammad SAW dengan bimbingan wahyu dapat menghadapi semua tantangan yang ada. Baik dalam membangun masyarakat Muslim Madinah, menghadapi kaum Yahudi dan Munafikin maupun menghadapi ancaman dari luar Madinah. 

-----

Sumber : Majalah SM Edisi 15 Tahun 2019

https://suaramuhammadiyah.id/2021/06/02/70534/

Sahabat yang mengikuti hijrah Nabi disebut dengan sahabat Hijrah Muhajirin mukminin muslimin

sumber : Suara Muhammadiyah

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

ADALAH Khalifah Umar bin Khattab yang pertama menetapkan perhitungan tahun Hijriah atau penanggalan Tahun Hijrah. Penanggalan tersebut tidak dibuat berdasarkan hari lahir Nabi Muhammad SAW, bukan pula hari wafat beliau, melainkan peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah (waktu itu bernama: Yasrib) yang terjadi pada 2 Juli 622 M atau tanggal 12 Rabiul Awal.

Ada apa dengan hijrah? Dan mengapa peristiwa itu dianggap sangat penting dalam sejarah Islam? Hijrah ke Madinah bukanlah pertama bagi umat Islam, sebelumnya sekelompok Muslim melakukan hijrah ke Habasyah (Ethiopia) dan diterima dengan ramah oleh rajanya yang beragama Nasrani. Hijrah ke Madinah merupakan momentum perubahan dan pembebasan umat Islam dari semua belenggu diskriminasi dan kezaliman. Orang-orang Muslim yang berhijrah dari Mekah disebut Muhajirin, sedangkan penduduk Muslim Madinah yang menolong mereka dinamakan Anshar (kaum penolong).

Hijrah Rasul ke Madinah bersama sahabatnya (laki dan perempuan) membawa perubahan signifikan dalam sejarah Islam. Ketika di Mekah umat Islam teraniaya, tertindas, diboikot, berada di bawah kuasa politik kaum musyrik Quraisy. Sebaliknya, di Madinah umat Islam menjadi pemegang kendali politik kekuasaan. Nabi diangkat menjadi kepala negara dengan masyarakat yang heterogen: umat Islam yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar, kelompok Yahudi dan penganut paganisme.

Kota Yatsrib diganti menjadi Madinah ar-Rasul (Kota Rasul), lalu disingkat dengan Madinah. Kata Madinah mengandung dalam dirinya makna peradaban. Perubahan nama tersebut mencerminkan suatu komitmen kuat dari umat Islam untuk mengubah diri menjadi umat yang beradab dengan mengedepankan nilai-nilai keadaban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai keadaban tidak lain adalah nilai-nilai universal kemanusiaan. Seperti nilai keadilan, kesetaraan, kedamaian, kejujuran, dan kebersihan.

Istilah hijrah umumnya dipakai untuk pengertian meninggalkan suatu negeri yang tidak aman menuju negeri lain yang lebih aman, demi keselamatan dan kenyamanan dalam menjalankan agama. Meskipun secara fisik peristiwa hijrah dikaitkan dengan Nabi dan sahabat, bagi umat Islam tetap terbuka kesempatan melakukan hijrah.

Raghib al-Isfahani (w 502 H/1108 M, pakar leksikografi Alquran) berpendapat, istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri yang penduduknya sangat tidak bersahabat, bahkan cenderung memusuhi menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS al-Ankabut, 29:26).

Ketiga, meninggalkan semua bentuk narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an-nafs (menundukkan hawa nafsu). Sungguh tepat hadis Nabi: "Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan segala yang dibenci Allah" (Hadis Bukhari). Intinya, hijrah adalah meninggalkan semua kebiasaan buruk yang mencederai kenyamanan sesama manusia dan kelestarian lingkungan sekitar.

Terkait dengan hijrah, sejumlah ayat Alquran secara tegas memotivasi orang-orang beriman agar berjuang dan berusaha memperbaiki nasib. Kalau perlu berpindah lokasi mencari tempat kehidupan yang lebih baik, lebih kondusif, jangan terpaku hanya pada satu tempat saja.

Dari perspektif ini Islam terkesan sangat mengapresiasi perkembangan global yang ditandai tingginya dinamika dan mobilitas penduduk. Islam menghendaki umat yang dinamis dan progres. Bukan umat yang terbelakang dan terkungkung, apalagi statis, apatis, pasif, dan pasrah menerima nasib.

Pesan hijrah adalah umat Islam harus mau dan mampu mengubah nasib ke arah yang lebih baik. Harus mampu melakukan transformasi diri ke arah yang lebih positif dan konstruktif sehingga menjadi umat yang rahmatan lil alamin. Umat yang membawa manfaat dan rahmat bagi semua manusia, semua makhluk dan juga alam semesta, bukan membawa bencana dan berbagai kondisi destruktif.

Umat Islam harus menjadi pionir dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme, dan semua praktik oligarki politik yang menjijikkan, serta terdepan dalam upaya eliminasi semua bentuk perilaku diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan berbasis apa pun.

Tahun baru hijrah kali ini hendaknya menjadi refleksi diri bagi kita umat Islam Indonesia untuk berkomitmen melakukan upaya-upaya konkret mentransformasikan diri dan masyarakat. Antara lain berwujud perbaikan dan peningkatan mutu pengelola birokrasi pemerintahan agar dapat melakukan tugasnya melayani kepentingan seluruh masyarakat, terutama kelompok rentan dan marjinal. Perbaikan atau revisi sejumlah kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang masih mengandung unsur diskriminatif terhadap kelompok minoritas gender, agama, dan etnis.

Dan juga, perbaikan kualitas pengelolaan pendidikan di semua tingkatan sehingga mewujudkan masyarakat terdidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, serta perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di akar rumput, khususnya kaum buruh, petani dan nelayan. Terutama berkaitan dengan fasilitas pelayanan publik, seperti rumah sakit, sekolah, tempat rekreasi, dan aksesibilitas publik bagi para lansia dan penyandang cacat.

Akhirnya, selamat Tahun Baru 1440 Hijriah semoga semua manusia damai sepanjang tahun.