Pimpinan formal G30S pki di jakarta yang memimpin penculikan terhadap para jenderal adalah

Padahal, pada saat terjadi G30S/PKI, Soeharto menjabat Pangkostrad.

Republika/Erik Purnama Putra

Poster Proklamator RI Sukarno (kanan) bersama Presiden ke-2 RI Soeharto dipamerkan di ajang Milan Expo 2015 di Kota Milan, Italia (ilustrasi).

Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Idealisa Masyrafina

Sejarah mencatat, enam jenderal serta satu perwira pertama TNI AD menjadi korban peristiwa G30S/PKI pada 1965. Namun, lembaran sejarah kelam bangsa Indonesia hingga kini masih menyisakan misteri mengapa Panglima Kostrad saat itu, Soeharto tidak diculik dan dibunuh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso mengaku, masalah ini juga jadi pertanyaan para ahli sejarah dan butuh banyak bukti dan riset mendalam untuk memberikan kesimpulan.

"Saya kira itu pertanyaan dari para ahli sejarah yang meneliti kenapa Pak Soeharto tidak ditangkap dan diculik kalau memang tujuannya untuk kudeta," kata Bondan saat dihubungi Republika, Kamis (30/9).

Bondan menambahkan, kalau niat PKI adalah kudeta, maka logikanya yang harusnya diculik adalah perwira yang memegang pasukan. Namun, dia melanjutkan, faktanya yang diculik dan dibunuh oleh anggota partai itu tidak mengendalikan pasukan, kecuali Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal AH Nasution.

Sementara, yang lainnya kebanyakan perwira staf di markas besar Angkatan Darat, tidak membawahi pasukan secara langsung. Adapun, perwira yang membawahi pasukan, seperti Panglima Kostrad Soeharto dan Pangdam Jaya Umar Wirahadikusumah justru tidak menjadi korban PKI.

"Tetapi yang paling mencolok adalah Soeharto karena dia Pangkostrad saat itu yang ada di Jakarta yang sedang menunggu anaknya yang sakit di rumah sakit tanpa pelindung. Artinya dia siap kok malah tidak diculik," ujarnya.

Baca juga : Reinkarnasi PKI dan Raibnya Patung 3 Jenderal di Kostrad?

Padahal, dia melanjutkan, Soeharto adalah Panglima Kostrad saat itu dan memiliki tentara yang dibawahi. Sedangkan tujuh orang jenderal dan perwira yang diculik pada 30 September 1965 perannya kurang strategis, kurang berbahaya karena tidak memiliki pasukan.

"Ini maknanya apa? Apakah terjadi kudeta? Karena seharusnya semua yang punya pasukan diculik. Kecuali terjadi sebuah konflik di tubuh internal Angkatan Darat yang menyebabkan jenderal disingkirkan," ujarnya.

Belum jelasnya bukti hingga saat ini membuat misteri itu menjadi pertanyaan di kalangan sejarawan. Bondan pun ikut mempertanyakan persoalan itu sampai hari ini.

Menurutnya, perlu riset yang mendalam dan harus ada sumber bukti yang bisa ditemukan. Karena, untuk menyimpulkan berdasarkan data yang ada saat ini belum terlalu kuat sehingga belum ada kesimpulan akhir. Kedepannya, ia tidak menutup kemungkinan misteri ini bisa terjawab kalau ada bukti.

"Tetapi bisa juga tidak terpecahkan," katanya.

Tak hanya peristiwa sejarah G 30S/PKI, ia menyebutkan kejadian Supersemar, peristiwa Tanjung Priuk, lepasnya Timor-Timur belum juga belum tuntas terjawab. Bondan menambahkan, jika dicari penjelasan dan siapa yang bertanggung jawab maka itu sulit dijawab peristiwa-peristiwa sejarah itu sampai hari ini.

 In Picture: Upacara Hari Kesaktian Pancasila Secara Virtual di Madiun

Pimpinan formal G30S pki di jakarta yang memimpin penculikan terhadap para jenderal adalah

Peserta mengikuti Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila secara virtual di Monumen Keganasan PKI di Kresek, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Jumat (1/10/2021). Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila tersebut digelar dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan penularan COVID-19 dipimpin Presiden Joko Widodo di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta Timur. - (Antara/Siswowidodo)

Selain pertanyaan mengapa Soeharto tidak ikut diculik oleh PKI, mari kita ulas tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya menjadi korban PKI. Korban dari militer tersebut di antaranya enam jenderal TNI, dua pengawal serta putri seorang jenderal, dan seorang anggota kepolisian.

Baca Juga

Berikut profil singkat tujuh pahlawan revolusi dan tiga korban PKI yang mendapat anugerah anumerta, serta anak jenderal yang menjadi korban, dikutip dari berbagai sumber:

1. Jenderal Ahmad Yani

Jenderal kelahiran Purworejo pada 19 Juni 1922 ini mengenyam pendidikan formal di HIS (sekolah setingkat SD), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat Sekolah Menengah Pertama) dan AMS (Algemne Middelberge School/setingkat Sekolah Menengah Atas).Karier militer Jenderal Yani dimulai saat ia mengikuti wajib militer yang dicanangkan Pemerintah Hindia Belanda di Malang. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Ahmad Yani bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA).Ahmad Yani mengantongi sederet prestasi di bidang militer. Ia pernah menahan Agresi Militer pertama dan kedua Belanda. Prestasinya semakin melejit usai memimpin pasukan melumpuhkan pemberontak DI/TII, Operasi Trikora di Papua Barat serta Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Keberhasilan Ahmad Yani memiliki dalam berbagai operasi militer mengantarkannya menjadi Panglima Angkatan Darat.

Jenderal A. Yani menjadi sasaran G30S/PKI karena ia menolak usul PKI yang menginginkan pembentukan Angkatan Kelima yaitu dipersenjatainya buruh dan tani. Saat penculikan, pasukan Cakrabirawa yang dikomandoi Letkol Untung itu menembaki tubuh Jenderal Ahmad Yani hingga berlubang. Dengan tubuh yang penuh luka tembak, jenazahnya dibawa dan dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya.

Pimpinan formal G30S pki di jakarta yang memimpin penculikan terhadap para jenderal adalah

Tempat tertembaknya Jenderal Ahmad Yani di rumahnya yang kini menjadi Museum Sasmitaloka - (Ronggo Astungkoro/Republika)

2. Letjen Suprapto

Letjen Suprapto lahir di Purwokerto pada 2 Juni 1920 dan merupakan lulusan MULO dan AMS Yogyakarta. Ia pernah menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang, Staff Angkatan Darat di Jakarta, dan kembali ke Kementerian Pertahanan.Pascapemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) padam, Suprapto dipindah ke Medan menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera.Suprapto adalah salah satu Perwira Tinggi yang berseberangan dengan pemikiran pentolan PKI, DN Aidit yang ngotot ingin mempersenjatai buruh dan tani dengan membentuk Angkatan Kelima.

3. Letjen MT Haryono

Jenderal bintang tiga ini lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Ia menimba ilmu di ELS (setingkat sekolah dasar), dan HBS (setingkat sekolah menengah umum) serta Ika Dai Gakko (sekolah kedokteran di masa pendudukan Jepang) di Jakarta. Namun, tidak menyelesaikan pendidikan kedokteran itu.MT Haryono dikenal sebagai orang yang sangat cerdas karena fasih berbicara sejumlah bahasa asing, seperti Belanda, Inggris, dan Jerman. Berkat kemahirannya dalam berbahasa, MT Haryono sering ditunjuk untuk berada di garis depan meja perundingan. Seperti ketika Konferensi Meja Bunda (KMB), Haryono ditunjuk sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.Sebelum bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Haryono sudah aktif berjuang dengan para pemuda mempertahankan kemerdekaan. Ia juga vokal menentang PKI dan kroninya.

4. Letjen Siswondo Parman

Jenderal kelahiran Wonosobo, 4 Agustus 1918 ini merupakan perwira tinggi lainnya yang menjadi korban PKI lantaran mengetahui semua rencana dan gerak-gerik PKI. Sebagai tentara intelijen, S Parman dekat dengan PKI dan banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Namun, ia menolak bergabung dengan PKI karena menolak paham komunis.Mirisnya, yang memasukkan nama S Parman dalam daftar sasaran pembunuhan PKI adalah kakaknya sendiri, Ir Sakirman. Sakirman yang saat itu merupakan salah satu petinggi PKI sering berselisih paham dengan adiknya. Pertengkaran kakak beradik itu pun berujung dengan direnggutnya nyawa S Parman dalam G30S/PKI.

5. Mayjen D I Pandjaitan

Pria kelahiran Balige, Sumatra Utara pada 19 Juni 1925 ini adalah salah satu otak lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bersama pemuda lain, ia membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).Kariernya meroket semenjak aktif di TKR. Dimulai dari komandan batalyon, kariernya merangkak dengan menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra dan menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Terakhir, ia menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.Pada tengah malam tanggal 1 Oktober, sekelompok anggota G30S/PKI menyergap rumah D.I Pandjaitan. Satu persatu pelayan dan ajudannya dihabisi. Tubuh Mayjen D.I Pandjaitan yang tegap pun diberondong peluru dan jenazahnya diseret ke Lubang Buaya.

6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Pada Jumat dini hari, 1 Oktober 1965, sejumlah pasukan Cakrabirawa memaksa masuk ke dalam rumah Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Mereka mengatakan kepada Sutoyo bahwa mayjen tersebut dipanggil oleh Presiden Soekarno. Kelompok tersebut kemudian menyeretnya ke markas PKI di Lubang Buaya. Di sana, Sutoyo dibunuh dan jenazahnya dibuang ke dalam sumur bersama lima jenderal lainnya.Mayjen Sutoyo lahir di Kebumen pada 28 Agustus 1922. Pada 1945, Sutoyo bergabung dengan militer sebagai Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal Polisi Militer.Karier di dunia militernya dimulai dengan menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, Komandan Polisi Militer. Kemudian ia dipercaya menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama. Sayangnya, Sutoyo dituding ikut membentuk Dewan Jenderal sehingga namanya masuk dalam daftar perwira tinggi yang harus dihabisi.

7. Kapten Pierre Tendean

Perwira yang baru berusia 26 tahun itu tewas diberondong peluru pasukan Cakrabirawa. Ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution itu menjadi martir ketika atasannya menjadi incaran PKI untuk dibunuh.Kapten kelahiran 21 Februari 1939 memulai karier sebagai intelijen. Ia pernah ditugaskan menjadi mata-mata ke Malaysia selama konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Pada peristiwa G30S, Pierre yang berusaha melindungi keluarga Jenderal Nasution, ditangkap dan dibawa pasukan PKI ke Lubang Buaya. Di Lubang Buaya ia dibunuh dan dimasukan ke sumur tak terpakai bersama 6 Perwira Tinggi Angkatan Darat lainnya.

Pimpinan formal G30S pki di jakarta yang memimpin penculikan terhadap para jenderal adalah

Pengunjung melihat diorama Jenderal AH Nasution di Museum Jenderal Besar AH Nasution, Jakarta, Senin (30/9/2019). Museum yang awalnya merupakan rumah Jenderal AH Nasution itu merupakan saksi bisu peristiwa G 30 S/PKI yang menewaskan putri Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu Pierre Tendean. - (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

8. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo.

Korban kekejaman PKI di luar Jakarta adalah Brigjen Katamso. Jenderal kelahiran Sragen, 5 Februari 1923 itu diculik saat bertugas di Yogyakarta.Brigjen Katamso termasuk perwira TNI yang sangat tidak menyetujui keberadaan PKI, sehingga ia menjadi korban operasi pembantaian tersebut.Ia tewas setelah tubuhnya dipukuli dengan kunci mortir motor. Tubuhnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang telah disiapkan di sekitar Kentungan, Sleman, Yogyakarta. Jenazahnya baru ditemukan beberapa hari kemudian tepatnya 21 Oktober 1965.

9. Kolonel Infanteri R Sugiyono Mangunwiyoto

Kolonel Sugiyono juga mengalami nasib yang mengenaskan bersama dengan Brigjen Katamso. Perwira yang pernah menjadi ajudan Letnan Kolonel Soeharto di zaman revolusi itu gugur bersama Brigjen Katamso usai kepalanya dihantam kunci mortir motor dan batu.Sugiyono yang turut beraksi dalam Serangan Umum 1 Maret, lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta, 12 Agustus 1926. Bersama Brigjen Katamso, jenazahnya dimasukkan ke lubang yang sama dan baru ditemukan setelah 20 hari kemudian.

10. Ajun Inspektur Polisi Dua Karel Satsuit Tubun (KS Tubun)

KS Tubun adalah satu-satunya satu-satunya perwira di luar TNI yang tewas pada malam G30S PKI. Pembunuhannya tidak direncanakan oleh pasukan Cakrabirawa. Pria kelahiran Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928 tersebut dibunuh saat memergoki pasukan Cakrabirawa mengepung rumah Jendera AH Nasution.KS Tubun saat itu bertugas menjadi ajudan Johanes Leimena, menteri di kabinet Presiden Sukarno. Rumah Leimena bertetangga dengan rumah Jenderal Nasution.Saat pengepungan rumah Jenderal Nasution, ia mendengar suara tembakan dan berusaha menyerang pasukan Cakrabirawa. Namun, karena hanya sendirian, pasukan Cakrabirawa berhasil mengalahkannya. KS Tubun tewas diberondong peluru. Jasadnya tidak dibawa ke Lubang Buaya.

11. Ade Irma Suryani Nasution

Putri bungsu Jenderal Abdul Haris Nasution ini tewas ketika keluarganya mengalami kepanikan saat rumah ayahnya diserang oleh pasukan Cakrabirawa. Usai Jenderal AH Nasution berhasil melarikan diri, ajudan yang tersisa berusaha melindungi keluarganya. Namun nahas, Ade Irma terkena tembakan tentara Cakrabirawa dari jarak dekat.

Ade Irma lahir pada 19 Februari 1960 dan meninggal dunia pada usia 5 tahun. Saat tertembak, ia tidak bisa segera mendapat perawatan karena pasukan PKI menginterogasi istri Jenderal Nasution. Usai meyakinkan para penyerang tersebut bahwa Jenderal Nasution berada di luar kota, istri Jenderal Nasution baru bisa melarikan Ade Irma ke rumah sakit. Namun, nyawanya tidak tertolong setelah enam hari dirawat. Ia dimakamkan di kawasan kantor Wali Kota Jakarta Selatan.

In Picture: Suasana Monumen Pancasila Sakti di Hari Kesaktian Pancasila

Pimpinan formal G30S pki di jakarta yang memimpin penculikan terhadap para jenderal adalah

Pengunjung berfoto di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Jumat (1/10). Pada Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober sejumlah warga mengunjungi Monumen Pancasila Sakti untuk berwisata dan mengenang tujuh pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa G30S/PKI. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

  • g30spki
  • g30s/pki
  • gerakan 30 september
  • partai komunis indonesia
  • soeharto