Untuk itu, apabila terdapat wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pajaknya, DJP akan melakukan tindakan tegas salah satunya melalui tindakan penagihan pajak dengan surat paksa. Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan penagihan pajak dengan surat paksa? Definisi MERUJUK Pasal 1 ayat 9 UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajaknya beserta biaya penagihan pajak. Penagihan pajak dapat dilakukan dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, dan memberitahukan surat paksa. Selain itu, dalam pelaksanaan penagihan pajak, penanggung pajak juga dapat dicegah agar tidak keluar negeri, disandera (gijzeling), hingga dilakukan penyitaan. Mengingat istilah yang digunakan adalah penanggung pajak, maka konteks pihak yang disasar dalam penagihan lebih luas dari wajib pajak. Simak Kamus ‘Apa itu Gijzeling’ Pasal 1 angka 3 UU PPSP mendefinisikan penanggung pajak sebagai orang atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Adapun dasar penagihan pajak adalah surat tagihan pajak (STP), surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB), SKPKB tambahan (SKPKBT), surat keputusan pembetulan/keberatan, putusan banding/peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah utang pajak bertambah. Simak “Apa Itu STP” Penerbitan Surat paksa Secara umum, tanggal jatuh tempo diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP yaitu selama 1 bulan sejak tanggal surat diterbitkan. Namun, bagi wajib pajak usaha kecil dan wajib pajak pada daerah tertentu, jangka waktu pelunasan tersebut dapat diperpanjang paling lama 2 bulan. Secara lebih terperinci, Pasal 8 ayat (1) UU PPSP menjabarkan terdapat tiga kondisi yang membuat surat paksa diterbitkan. Pertama, penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis. Kedua, terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus. Ketiga, penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Ketentuan lebih lanjut mengenai penagihan pajak dengan surat paksa tertuang dalam PMK 24/ 2008 s.t.d.t.d PMK 85/2010. Berdasarkan beleid tersebut penagihan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan surat teguran. Surat teguran tersebut disampaikan setelah 7 hari sejak tanggal jatuh tempo. Kemudian, apabila wajib pajak belum melunasi utang pajaknya hingga melewati 21 hari sejak tanggal disampaikannya surat teguran maka surat paksa diterbitkan. Surat paksa diterbitkan pejabat dan disampaikan langsung oleh juru sita kepada penanggung pajak. Apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya hingga melewati 2 x 24 jam sejak surat paksa diberitahukan maka pejabat akan menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. Simpulan BERDASARKAN penjabaran yang diberikan dapat disimpulkan pengertian dari penagihan pajak dengan surat paksa adalah tindakan yang dilakukan agar penanggung pajak melunasi utang pajaknya beserta dengan biaya penagihan. Surat paksa dapat diterbitkan setelah surat teguran disampaikan. Apabila 21 hari setelah surat teguran disampaikan penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya, maka surat paksa diterbitkan. Surat paksa tersebut harus dilunasi oleh penanggung pajak dalam waktu 2 x 24 jam. (Bsi)
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa sebagai pelaksana ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dipandang perlu untuk mengatur tata cara penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa dengan Peraturan Pemerintah; Mengingat :
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA. BAB I Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
BAB II Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6 Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Pasal 7
Pasal 8 Penyitaan tambahan terhadap barang milik Penanggung Pajak dapat dilaksanakan apabila hasil penjualan barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang baru. Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11 Penanggung Pajak wajib :
Pasal 12
Pasal 13 Penanggung Pajak dapat melunasi utang pajak dan biaya yang timbul dalam rangka penagihan pajak selama barang yang telah disita belum dijual, digunakan atau dipindahbukukan. Pasal 14 Besarnya biaya penagihan pajak adalah Rp 25.000,00 (dua puluh ribu rupiah) untuk setiap pemberitahuan Surat Paksa dan Rp 75.000,00 (tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk setiap Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang dilaksanakan. Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan mengenai tata cara pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan. BAB III Pasal 16 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua ketentuan tentang tata cara penyitaan di bidang penagihan pajak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini atau belum diganti dengan ketentuan tentang tata cara penyitaan yang baru. Pasal 17 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 Januari 1998 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd. S O E H A R T O Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 Januari 1998 MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIAttd. M O E R D I O N OLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 5 PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA UMUM Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dengan Peraturan Pemerintah ini diatur tentang tata cara penyitaan barang milik Penanggung Pajak. Dalam kenyataannya masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak sebagaimana mestinya. Dalam rangka pencairan tunggakan pajak maka terhadap Penanggung Pajak yang belum melunasi utang pajaknya dilakukan penagihan pajak dengan Surat Paksa dalam bentuk tindakan penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak untuk dijadikan jaminan pelunasan utang pajak dan biaya penagihan pajak. Untuk melaksanakan penyitaan barang milik Penanggung Pajak tersebut diperlukan suatu prosedur yang mengatur secara rinci, jelas dan tegas yang meliputi status, nilai, serta tempat penyimpanan atau penitipan barang sitaan milik Penanggung Pajak dengan tetap memberikan perlindungan kepentingan pihak ketiga maupun masyarakat Wajib Pajak. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian istilah yang bersifat teknis dan baku yang dipergunakan dalam Peraturan Pemerintah ini. Rumusan pengertian istilah ini diperlakukan untuk mencegah adanya salah penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga dapat memberi kemudahan dan kelancaran, baik bagi Wajib Pajak ataupun Penanggung Pajak maupun aparat dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kapal dengan isi kotor tertentu adalah kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik. Ayat (2) Ayat (3) Pasal 4 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Ayat (4) Ayat (5) Ayat (6) Ayat (7) Ayat (8) Pasal 5 Ayat (1) Ayat (2) s/d Ayat (7) Pasal 6 Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, harus memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar sehingga Jurusita Pajak tidak dapat melakukan penyitaan secara berlebihan. Dalam hal tertentu Jurusita pajak di mungkinkan untuk meminta bantuan jasa penilai. Pasal 7 Ayat (1) Dasar pertimbangan Jurusita Pajak untuk menentukan apakah barang Penanggung Pajak yang telah disita perlu dititipkan di kantor Pejabat atau tempat lain antara lain :
Ayat (2) Pasal 8 Apabila hasil lelang barang yang tidak disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, Jurusita Pajak dapat melaksanakan penyitaan tambahan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang belum disita. Dengan demikian penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak. Pasal 9 Ayat (1) Ayat (2) dan Ayat (3) Pasal 10 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Ayat (4) Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Ayat (2) dan Ayat (3) Ayat (4) Pasal 13 s/d Pasal 17 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3725 |