Perjanjian yang dilanggar oleh Bani Quraizhah saat kaum Muslimin melawan pasukan Ahzab adalah

Oleh: Rudi Hendrik, Wartawan MINA

Pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraizhah terhadap perjanjian damai dengan kaum Muslimin begitu menyakitkan. Bagaimana tidak? Ketika Perang Khandaq terjadi, Bani Quraizhah yang memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslimin seharusnya turut menjaga kota Madinah yang dikepung. Namun, Bani Quraizhah justru berkhianat dan bergabung dengan pasukan koalisi pimpinan Quraisy.

Pengkhianatan itu benar-benar terjadi di saat Muslimin berada dalam kondisi kritis.

Pengkhianatan itu sendiri diprovokatori oleh Huyay bin Akhthab An-Nadhariy, pemimpin Yahudi Bani Nadhir yang telah diusir oleh Rasulullah dari lingkungan Madinah setelah ia berkhianat atas perjanjian dengan Muslimin.

Pada akhir Dzulqaidah dan awal Dzulhijjah pada tahun 5H, pasukan Muslimin telah ditolong oleh Allah terhindar dari bahaya pasukan koalisi besar. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat pulang ke rumah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pulang ke rumah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ketika Rasulullah sedang mandi, Malaikat Jibril ‘Alaihissallam datang dan mengatakan, “Kalian sudah meletakkan senjata kalian? Demi Allah, kami belum meletakkannya, keluarlah menuju mereka!”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya, “Ke mana?”

“Ke arah sini,” jawab Jibril seraya menunjukkan arah perkampungan Bani Quraizhah. (Berdasarkan hadits riwayat Bukhari)

Menerima perintah ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bergegas melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para sahabatnya untuk segera bergerak ke arah Bani Quraizhah.

Bahkan supaya cepat sampai ke tujuan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Janganlah ada satu pun yang shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari).

Adapun menurut riwayat Imam Muslim, no. 1770, bunyi perintah itu “Janganlah ada satu pun yang shalat Zuhur kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, sebagian ulama mencoba mengkompromikan (memadukan) dua riwayat hadits tersebut dengan sejumlah dugaan. Mengapa bisa ada dua versi shalat, yaitu Ashar dan Zuhur?

Perselisihan sahabat tentang shalat di Bani Quraizhah

Pasukan Muslimin pun segera berangkat ke perkampungan Yahudi Bani Quraizhah lebih dulu.

Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut di tengah jalan, sebagian dari mereka mengatakan, “Kita tidak shalat sampai kita tiba di perkampungan Bani Quraizhah.”

Sementara yang lain bersikukuh tetap melakukan shalat Ashar pada waktunya, karena mereka memandang bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak bermaksud menyuruh para sahabat menunda shalat Ashar sampai lewat waktunya.

Dua sikap yang berbeda dalam menyikapi sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah. Namun, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membenarkan keduanya dan tidak mencela salah salah satunya.

Ibnu Hajar mengatakan, ada dua kesimpulan dari kisah ini.

Pertama, sebagian sahabat ada yang memahami larangan ini sebagaimana zahirnya. Mereka tidak peduli dengan habisnya waktu, karena mereka lebih menguatkan larangan yang kedua daripada larangan pertama, yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka berdalil dengan bolehnya menunda waktu shalat bagi orang tersibukkan dengan urusan peperangan, sebagaimana yang terjadi dalam perang Khandaq.

Telah disebutkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa mereka (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat) menunaikan shalat Ashar setelah matahari tenggelam, karena tersibukkan dengan urusan perang. Mereka menganggap itu boleh pada semua kesibukan yang terkait urusan perang, terlebih masa itu juga adalah masa penurunan (pembentukan) syariat.

Kedua, sebagian sahabat yang lain memahaminya tidak sebagaimana zahirnya. Mereka menganggap itu adalah kinayah (sindiran), agar mereka termotivasi untuk bergegas dan berjalan dengan cepat menuju Bani Quraizhah.

Hukuman tegas Sa’ad bin Mu’adz kepada Bani Quraizhah

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berangkat menuju perkampungan Bani Quraizhah bersama 3.000 orang pasukan.

Setibanya di perkampungan Bani Quraizhah, pasukan kaum Muslimin melakukan pengepungan dan melakukan blokade terhadap kelompok Yahudi itu. Menurut pendapat yang kuat, pengepungan berlangsung selama dua 25 hari.

Pengepungan selama itu sangat berdampak bagi Yahudi Bani Quraizhah. Akhirnya mereka menyerah dan siap menerima sanksi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Menyikapi ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melimpahkan penentuan jenis sanksi yang akan dijatuhkan bagi Bani Quraizhah kepada Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu.

Sa’ad adalah salah seorang tokoh dari Bani Aus. Bani Aus dahulunya sekutu Bani Quraizhah. Sa’ad bin Mu’adz saat itu tidak ikut serta dalam pengepungan karena luka-luka yang dideritanya dalam perang Khandaq.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian mengirim utusan kepada Sa’ad radhiyallahu ‘anhu agar datang. Ketika Sa’ad sudah mendekati pasukan kaum Muslimin, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada kaum Anshar, “Berdirilah (sambutlah) sayyid (pemimpin) kalian.”

Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan duduk.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang ini (Bani Quraizhah) tunduk kepada hukummu.”

Kemudian Sa’ad mengatakan, “Hukum yang saya tetapkan yaitu pasukan mereka dibunuh, kaum wanita dan anak ditawan.”

Mendengar sanksi ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Engkau telah menjatuhkan sanksi kepada mereka sesuai dengan sanksi Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu memerintahkan kepada para sahabatnya untuk melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan oleh Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu.

Berdasarkan pendapat terkuat, jumlah mereka yang terkena sanksi itu sebanyak 400 orang. Semua terkena sanksi, kecuali sebagian kecil karena mereka menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menyatakan keislamannya, atau karena mendapatkan jaminan keamanan dari sebagian sahabat, atau karena ada keterangan yang membuktikan bahwa dia tetap setia dengan perjanjian ketika terjadi pengepungan terhadap kaum Muslimin. Namun, jumlah mereka tidak lebih dari jumlah anggota satu keluarga.

Demikianlah, akhir dari Yahudi Bani Quraizhah membuat Madinah bersih dari kaum Yahudi, setelah sebelumnya Bani Qainuqa dan Bani Nadhir diusir oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari sekitar Madinah. (A/RI-1/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

=====
Ingin mendapatkan update berita pilihan dan info khusus terkait dengan Palestina dan Dunia Islam setiap hari dari Minanews.net. Yuks bergabung di Grup Telegram "Official Broadcast MINA", caranya klik link //t.me/kbminaofficial, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

SUATU hari di tahun kelima Hijriyah. Sekelompok orang Yahudi bergegas ke Mekkah. Mereka memprovokasi kaum Quraisy agar menyerang kaum Muslimin yang berpusat di Madinah.

Kedatangan tokoh-tokoh Yahudi itu mendapat sambutan hangat. Demi merontokkan pasukan Muslimin, mereka segera meminta bantuan kabilah-kabilah yang telah lama menentang dakwah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Termasuk mereka yang sebenarnya terikat perjanjian militer dengan Rasulullah di dekati.

BACA JUGA: Enam Fakta Perang Badar

Abu Sufyan, sang duta penghubung antarkabilah, berhasil menghimpun kekuatan sebesar 10 ribu tentara. Pasukan gabungan sebanyak ini terhitung sangat besar untuk ukuran kala itu. Sebab, itu sebanding dengan jumlah seluruh penduduk Madinah yang terdiri atas pasukan Islam, anak-anak, wanita, serta orang lanjut usia.

Merasa memiliki pasukan yang tak tertandingi itu, rencana penyerangan ke jantung pasukan Islam di Madinah pun ditentukan. Namun, rencana tersebut terendus Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melalui kabar dari shahabat-shahabatnya.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam segera mengumpulkan para sahabatnya untuk meminta pendapat mereka soal serangan kaum non Muslim yang diberi sandi perang Ahzab itu. Salman Al-Farisi, sahabat Nabi asal Persia, mengusulkan–yang kemudian diterima–pembuatan parit-parit sebagaimana dilakukan bangsa Persia menghadapi perang besar.

Seluruh anggota pasukan Islam bahu-membahu dan bekerja keras menggali parit. Selama 6 hari mereka akhirnya dapat membentengi diri dengan parit-parit di selaga penjuru kota Madinah.

Di saat kesiapan dan kesiagaan pasukan Islam menggema, kelompok Yahudi Bani Quraidhah yang tinggal di Madinah bersikap arogan. Mereka dengan congkak merobek isi perjanjian damai yang pernah diteken dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Mereka bahkan bersiap-siap memebantu pasukan Ahzab untuk menghabisi Rasulullah beserta pengikutnya. Terang saja pasukan Islam bertambah bebannya, dengan musuh yang tinggal di dalam (Madinah).

Pasukan kafir terperangah begitu menyaksikan bentangan parit yang menghalangi gerak laju mereka. Sebab, baru kali itu mereka mendapati perang dengan strategi yang di luar kebiasaan bangsa Arab. Berkali-kali mereka berusaha menerobos parit, tetapi gagal. Dengan pertolongan Allah–melalui “pasukan” badah dahsyat–pasukan Ahzab kocar-kacir dan kembali ke daerah kabilah mereka masing-masing.

BACA JUGA: Gugurnya Tiga Panglima Pasukan Muslim di Perang Mu’tah

Tiga kelompok Yahudi yang bersekutu dengan pasukan Ahzab termasuk yang menderita kekalahan. Meski menanggung rasa bersalah mereka pada akhirnya kembali ke Madinah karena memiliki sanak famili dan tanah pertanian di sana.

Ketiga kelompok turunan Yahudi adalah Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraidhah. Dengan mereka inilah Nabi shalallahu alaihi wasallam mengikat perjanjian untuk tidak saling mengganggu. Perjanjian ini diteken demi menciptakan suasana rukun dan damai antarkelompok untuk bisa hidup berdampingan di Madinah.

Bergabungnya ketiga kabilah Yahudi tersebut membuat renggang hubungan dengan kaum Muslimin. Kabilah Yahudi telah melakukan pengkhianatan dan pelanggaran terhadap kesepakatan. Atas tindakan mereka berkhianat ini, pasukan Islam “mengganjarnya” pengusiran kabilah Bani Qainuqa dan Bani Nadhir dari Madinah.

Sedangkan Bani Quraidhah yang dengan lancang merobek-robek naskah perjanjian damai, mendapatkan hukuman yang berat. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melalui petunjuk Allah Azza Wa Jalla memerintahkan untuk mengepung dan menyerang perkampungan Bani Quraidhah.

Persiapan penyerangan itu pun dengan sigap dipenuhi. Pasukan Islam yang dipimpin Saad bin Mu’adz–pemimpin Bani Aus yang dulu menjadi sekutu dekat Bani Quraidhah–siap-siap berangkat. Dalam pesan pemberangkatan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Tak seorang pun boleh melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidhah.”

Siang itu pun pasukan Islam dengan penuh semangat jihad berangkat ke perkampungan Bani Quraidhah. Derap kuda menerbangkan debu-debu pasir hingga kiloan meter.

Lokasi yang dituju memang cukup jauh sehingga sebagian shahabat ada yang menduga hingga matahari tenggelam bisa jadi pasukan belum tiba di tempat tujuan.

Waktu shalat Ashar tiba. Pasukan Islam baru sampai separuh perjalanan. Pesan Rasulullah masih terngiang di benak tiap-tiap jundi (tentara). Dengan mempercepat laju kuda mereka berharap segera tiba di tujuan. Karena jaraknya terasa masih jauh, sebagian anggota pasukan tiba-tiba berinisiatif melakukan shalat Ashar. Setelah bertayamum mereka pun melaksanakannya. Sebagian anggota pasukan lainnya tetap melanjutkan perjalanan.

Sinar matahari dengan lembayung senjanya sudah nampak mendekati ujung barat bumi. Pasukan yang belum menunaikan shalat Ashar itu sudah harap-harap cemas. Tapi, “bau” kampung Bani Quraidhah sudah tercium.

BACA JUGA: Ternyata Bukan Hanya Manusia yang Membantu Nabi Isa Berperang di Akhir Zaman Kelak

Hingga mereka tiba sebelum Maghrib. Tanpa perlawanan yang berarti karena posisi yang terjepit dan mental yang telah melemah, pasukan bani Quraidhah mendapat hukuman setimpal akibat pengkhianatan itu.

Kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan besar, pasukan Islam mengadukan perihal implementasi perintah Rasul yang berbeda. Setelah terdiam sejenak, Rasulullah SAW bersabda, “Anda benar; Anda juga benar.”

Mendengar sabda mulia nan bijak itu, seluruh shahabat merasa tenteram. Lebih-lebih Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sendiri bahagia karena meski berbeda pendapat, para shahabat tetap taat dan tidak berpecah belah. []

Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA