Perbedaan uu no. 23 tahun 2002 dengan uu no. 35 tahun 2014

Bogor. Hukum LIPI. Untuk mempersiapkan calon pemimpin masa depan (future leadres) di lingkungan internal, LIPI tengah menyusun panduan sistem manajemen talenta untuk mencari, mengelola, mengembangkan, dan mempertahankan pegawai terbaik di lingkungan LIPI. Hal ini disampaikan oleh Nur Tri Aries, Sekretaris Utama LIPI saat membuka acara yang bertajuk Konsultasi Publik Rancangan Peraturan LIPI tentang Manajemen Talenta, di Bogor pada Kamis (17/10) lalu.

Undang-undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi telah disetujui oleh Pemerintah 13 Agustus 2019 lalu. Namun, untuk mendukung pelaksanaannya, Undang-undang yang bernomor 11 tahun 2019 (UU Sisnas IPTEK) ini mengamanatkan dua puluh dua Rancangan Peraturan Pemerintah dan tiga Rancangan Peraturan Presiden untuk diselesaikan dalam jangka waktu dua tahun.

Cibinong. Hukum LIPI. Untuk menegakkan kode etik dan perilaku serta untuk menjamin pelaksanaan pengawasan dan evaluasi kegiatan penelitian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyiapkan Rancangan Peraturan tentang Komisi Etik dan Perilaku Peneliti (KEPP) di lingkungan LIPI.

Jakarta, Hukum LIPI. Secara nasional data karya ilmiah, hasil penelitian dan/atau pengembangan belum dikelola dengan baik. Sehingga perlu diterbitkan regulasi yang mengatur repositori dan pengelolaannya. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Mego Pinandito, Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI pada Focus Group Discussion dengan tema Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Repositori Iptek Nasional, pada tanggal 22 Oktober 2018 di Jakarta.

Jakarta, Hukum LIPI. Sebagai lembaga penyimpan mikroorganisme, Indonesian Culture Collection LIPI atau disingkat InaCC siap menjadi International Depository Authority. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Atit Kanti, Kepala Bidang Mikrobiologi LIPI, dalam Focus Group Discussion (FGD) Sumber Daya Genetik dan Budapest Treaty, tanggal 18-19 Oktober 2018 di Jakarta.

Unduh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

uu nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan uu pa

Perbedaan uu no. 23 tahun 2002 dengan uu no. 35 tahun 2014

Undang-undang (UU) No. 35 Tahun 2014

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam perjalanannya mengalami perubahan. Perubahan tentang UU Perlindungan Anak di tetapkan dengan Undang-Undang. Undang-Undang tersebut adalah UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perubahan UU Perlindungan Anak disebabkan karena alasannya untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014 oleh Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan pada hari itu juga oleh Menkumham Amir Syamsudin.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297. Penjelasan Atas UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606. Agar semua orang Indonesia mengetahuinya.

UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Status, Mengubah

Berlaku, dan Mengubah. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Latar Belakang

Pertimbangan UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:

  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;
  2. bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;
  4. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Dasar Hukum

Dasar hukum UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:

Penjelasan Perubahan UU Perlindungan Anak

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan Anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi Anak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Perlindungan terhadap Anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi Anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap Hak Anak oleh Pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas Hak Anak.

Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut, Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara substantif telah mengatur beberapa hal antara lain persoalan Anak yang sedang berhadapan dengan hukum, Anak dari kelompok minoritas, Anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, Anak yang diperdagangkan, Anak korban kerusuhan, Anak yang menjadi pengungsi dan Anak dalam situasi konflik bersenjata, Perlindungan Anak yang dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam pelaksanaanya Undang-Undang tersebut telah sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu Anak sebagai manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.

Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antarperaturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi Anak. Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap Anak di Masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat serta semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Isi UU 35 tahun 2014

Berikut adalah isi UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (bukan format asli):

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) diubah sebagai berikut:

  1. Ketentuan angka 7, angka 8, angka 12, angka 15, dan angka 17 diubah, di antara angka 15 dan angka 16 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 15a, dan ditambah 1 (satu) angka yakni angka 18, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1

    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

    1.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
    2.Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
    3.Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
    4.Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
    5.Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak.
    6.Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
    7.Anak Penyandang Disabilitas adalah Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
    8.Anak yang Memiliki Keunggulan adalah Anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa tidak terbatas pada kemampuan intelektual, tetapi juga pada bidang lain.
    9.Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
    10.Anak Asuh adalah Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena Orang Tuanya atau salah satu Orang Tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang Anak secara wajar.
    11.Kuasa Asuh adalah kekuasaan Orang Tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.
    12.Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
    13.Masyarakat adalah perseorangan, Keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
    14.Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
    15.Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
    15a.Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
    16.Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
    17.Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    18.Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan walikota serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
  1. Ketentuan Pasal 6 diubah dan penjelasan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 6

    Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan Orang Tua atau Wali.

  2. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
    1.Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
    1a.Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
    3.Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.
  3. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 12

    Setiap Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

  1. Ketentuan Pasal 14 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) dan penjelasan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 14

    1. Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
    2. Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
      1. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
      2. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
      3. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
      4. memperoleh Hak Anak lainnya.
  2. Ketentuan Pasal 15 ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf f, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 15

    Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:

    1. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
    2. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
    3. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
    4. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan;
    5. pelibatan dalam peperangan; dan
    6. kejahatan seksual.
  3. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 20

    Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak

  1. Ketentuan mengenai judul Bagian Kedua pada BAB IV diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Bagian KeduaKewajiban dan Tanggung JawabNegara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah

  2. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 21

    1. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental.
    2. Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak.
    3. Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak.
    4. Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.
    5. Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak Anak.
    6. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan kabupaten/kota layak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Presiden.
  3. Ketentuan Pasal 22 diubah dan penjelasan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 22

    Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.

  4. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 23

    1. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak.
    2. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah mengawasi penyelenggaraan Perlindungan Anak.

  1. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 24

    Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan Anak.

  1. Ketentuan Pasal 25 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2), sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 25

    1. Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat terhadap Perlindungan Anak dilaksanakan melalui kegiatan peran Masyarakat dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.
    2. Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati Anak.
  1. Ketentuan mengenai judul Bagian Keempat pada BAB IV diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Bagian KeempatKewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Keluarga

  1. Ketentuan ayat (1) Pasal 26 ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf d dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 26

    1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
      1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
      2. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
      3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
      4. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
    2. Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan ayat (4) Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 27

    1. Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya.
    2. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
    3. Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
    4. Dalam hal Anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan Orang Tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk Anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi berita acara pemeriksaan kepolisian.
  1. Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 28

    1. Pembuatan akta kelahiran dilakukan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang administrasi kependudukan.
    2. Pencatatan kelahiran diselenggarakan paling rendah pada tingkat kelurahan/desa.
    3. Akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    4. Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya.
    5. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 33 diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 33

    1. Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari Anak yang bersangkutan.
    2. Untuk menjadi Wali dari Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
    3. Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki kesamaan dengan agama yang dianut Anak.
    4. Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab terhadap diri Anak dan wajib mengelola harta milik Anak yang bersangkutan untuk kepentingan terbaik bagi Anak.
    5. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penunjukan Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 38A

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengasuhan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), dan di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a), sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 39

    (1)Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang- undangan.
    (2)Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan Orang Tua kandungnya.
    (2a)Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal Anak.
    (3)Calon Orang Tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon Anak Angkat.
    (4)Pengangkatan Anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
    (4a)Dalam hal Anak tidak diketahui asal usulnya, orang yang akan mengangkat Anak tersebut harus menyertakan identitas Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4).
    (5)Dalam hal asal usul Anak tidak diketahui, agama Anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
  1. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 41

    Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan Anak.

  1. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 41A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaaan pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Ketentuan ayat (1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 43

    1. Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, Orang Tua, Wali, dan lembaga sosial menjamin Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya.
    2. Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi Anak.
  1. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 44

    1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi Anak agar setiap Anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
    2. Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh peran serta Masyarakat.
    3. Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.
    4. Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi Keluarga yang tidak mampu.
    5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 45 diubah, sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 45

    1. Orang Tua dan Keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan Anak dan merawat Anak sejak dalam kandungan.
    2. Dalam hal Orang Tua dan Keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.
    3. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 45A

    Setiap Orang dilarang melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 45B

    1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang Anak.
    2. Dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua harus melakukan aktivitas yang melindungi Anak.
  1. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 46

    Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib mengusahakan agar Anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

  1. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 47

    1. Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
    2. Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan:
      1. pengambilan organ tubuh Anak dan/atau jaringan tubuh Anak tanpa memperhatikan kesehatan Anak;
      2. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh Anak; dan
      3. penelitian kesehatan yang menggunakan Anak sebagai objek penelitian tanpa seizin Orang Tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi Anak.
  1. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 48

    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua Anak.

  1. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 49

    Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Anak untuk memperoleh pendidikan.

  1. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 51

    Anak Penyandang Disabilitas diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan inklusif dan/atau pendidikan khusus.

  1. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 53

    1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi Anak dari Keluarga kurang mampu, Anak Terlantar, dan Anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
    2. Pertanggungjawaban Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula mendorong Masyarakat untuk berperan aktif.
  1. Ketentuan Pasal 54 diubah dan ditambah penjelasan ayat (1) sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 54

    1. Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
    2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
  1. Ketentuan Pasal 55 diubah, sehingga Pasal 55 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 55

    1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pemeliharaan, perawatan, dan rehabilitasi sosial Anak terlantar, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga.
    2. Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.
    3. Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan Anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.
    4. Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
  1. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 56

    1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu Anak, agar Anak dapat:
      1. berpartisipasi;
      2. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
      3. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan Anak;
      4. bebas berserikat dan berkumpul;
      5. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan
      6. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
    2. Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia Anak, tingkat kemampuan Anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan Anak.
  1. Ketentuan ayat (2) Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 58

    1. Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan Anak Terlantar yang bersangkutan.
    2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  1. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 59

    1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
    2. Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
      1. Anak dalam situasi darurat;
      2. Anak yang berhadapan dengan hukum;
      3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
      4. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
      5. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
      6. Anak yang menjadi korban pornografi;
      7. Anak dengan HIV/AIDS;
      8. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
      9. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
      10. Anak korban kejahatan seksual;
      11. Anak korban jaringan terorisme;
      12. Anak Penyandang Disabilitas;
      13. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
      14. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
      15. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.
  1. Di antara Pasal 59 dan Pasal 60 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 59A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 59A

    Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:

    1. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
    2. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
    3. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan
    4. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
  1. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 60

    Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a terdiri atas:

    1. Anak yang menjadi pengungsi;
    2. Anak korban kerusuhan;
    3. Anak korban bencana alam; dan
    4. Anak dalam situasi konflik bersenjata.
  1. Ketentuan Pasal 63 dihapus.

  1. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 64

    Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:

    1. perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
    2. pemisahan dari orang dewasa;
    3. pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
    4. pemberlakuan kegiatan rekreasional;
    5. pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;
    6. penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;
    7. penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
    8. pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
    9. penghindaran dari publikasi atas identitasnya.
    10. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
    11. pemberian advokasi sosial;
    12. pemberian kehidupan pribadi;
    13. pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas;
    14. pemberian pendidikan;
    15. pemberian pelayanan kesehatan; dan
    16. pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 65

    Perlindungan Khusus bagi Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf c dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.

  1. Ketentuan Pasal 66 diubah dan ditambah penjelasan sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 66

    Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui:

    1. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
    2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
    3. pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan Masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi dan/atau seksual.
  1. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 67

    Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e dan Anak yang terlibat dalam produksi dan distribusinya dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.

  1. Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 67A, Pasal 67B, dan Pasal 67C sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 67A

    Setiap Orang wajib melindungi Anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses Anak terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi.

    Pasal 67B

    1. Perlindungan Khusus bagi Anak yang menjadi korban pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf f dilaksanakan melalui upaya pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental.
    2. Pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 67C

    Perlindungan Khusus bagi Anak dengan HIV/AIDS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf g dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi.

  1. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 68

    Perlindungan Khusus bagi Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf h dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.

  1. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 69

    Perlindungan Khusus bagi Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf i dilakukan melalui upaya:

    1. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi Anak korban tindak Kekerasan; dan
    2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
  1. Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 69A dan Pasal 69B sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 69A

    Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:

    1. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;
    2. rehabilitasi sosial;
    3. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan
    4. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.

    Pasal 69B

    Perlindungan Khusus bagi Anak korban jaringan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf k dilakukan melalui upaya:

    1. edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme;
    2. konseling tentang bahaya terorisme;
    3. rehabilitasi sosial; dan
    4. pendampingan sosial.
  1. Ketentuan Pasal 70 diubah dan huruf b ditambah penjelasan sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 70

    Perlindungan Khusus bagi Anak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf l dilakukan melalui upaya:

    1. perlakuan Anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan Hak Anak;
    2. pemenuhan kebutuhan khusus;
    3. perlakuan yang sama dengan Anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu; dan
    4. pendampingan sosial.
  1. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 71

    Perlindungan Khusus bagi Anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf m dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.

  1. Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 71A, Pasal 71B, Pasal 71C, dan Pasal 71D sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 71A

    Perlindungan Khusus bagi Anak dengan perilaku sosial menyimpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf n dilakukan melalui bimbingan nilai agama dan nilai sosial, konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.

    Pasal 71B

    Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf o dilakukan melalui konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.

    Pasal 71C

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 71B diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 71D

    1. Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:

    BAB IXAPENDANAAN

  1. Di antara Pasal 71D dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 71E sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 71E

    1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dana penyelenggaraan Perlindungan Anak.
    2. Pendanaan penyelenggaraan Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
      1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
      2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
      3. sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
    3. Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 72

    1. Masyarakat berperan serta dalam Perlindungan Anak, baik secara perseorangan maupun kelompok.
    2. Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
    3. Peran Masyarakat dalam penyelenggaran Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
      1. memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai Hak Anak dan peraturan perundang-undangan tentang Anak;
      2. memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait Perlindungan Anak;
      3. melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak;
      4. berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Anak;
      5. melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak;
      6. menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang Anak;
      7. berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59; dan
      8. memberikan ruang kepada Anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat.
    4. Peran organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara mengambil langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk membantu penyelenggaraan Perlindungan Anak.
    5. Peran media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak.
    6. Peran dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
      1. kebijakan perusahaan yang berperspektif Anak;
      2. produk yang ditujukan untuk Anak harus aman bagi Anak;
      3. berkontribusi dalam pemenuhan Hak Anak melalui tanggung jawab sosial perusahaan.
  1. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 73

    Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Di antara BAB X dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XA, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    BAB XAKOORDINASI, PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PELAPORAN

  1. Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 73A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 73A

    1. Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan Perlindungan Anak, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perlindungan Anak harus melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait.
    2. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan Perlindungan Anak.
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 74

    1. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan Hak Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.
    2. Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.
  1. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 75

    1. Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 7 (tujuh) orang anggota.
    2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap Perlindungan Anak.
    3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan diatur dengan Peraturan Presiden.
  1. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 76

    Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:

    1. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak;
    2. memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak.
    3. mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak;
    4. menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak;
    5. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;
    6. melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak; dan
    7. memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.
  1. Di antara BAB XI dan BAB XII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XIA, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    BAB XIALARANGAN

  1. Di antara Pasal 76 dan Pasal 77 disisipkan 10 (sepuluh) pasal, yakni Pasal 76A, Pasal 76B, Pasal 76C, Pasal 76D, Pasal 76E, Pasal 76F, Pasal 76G, Pasal 76H, Pasal 76I, dan Pasal 76J sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 76A

    Setiap orang dilarang:

    1. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
    2. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif.

    Pasal 76B

    Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.

    Pasal 76C

    Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

    Pasal 76D

    Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

    Pasal 76E

    Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

    Pasal 76F

    Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak.

    Pasal 76G

    Setiap Orang dilarang menghalang-halangi Anak untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya dan/atau menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan Masyarakat dan budaya.

    Pasal 76H

    Setiap Orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa.

    Pasal 76I

    Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.

    Pasal 76J

    1. Setiap Orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi narkotika dan/atau psikotropika.
    2. Setiap Orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.
  1. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 77

    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  1. Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 77A dan Pasal 77B sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 77A

    1. Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
    2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.

    Pasal 77B

    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  1. Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 80

    1. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
    2. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
    3. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
    4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
  1. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 81

    1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
    3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  1. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 82

    1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  1. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 83

    Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

  1. Di antara Pasal 86 dan Pasal 87 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 86A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 86A

    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76G dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  1. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 87

    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76H dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  1. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 88

    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  1. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 89

    1. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat (1), dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
    2. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  1. Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 91A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 91A

    Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tetap menjalankan tugas berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,ttd

AMIR SYAMSUDIN

 

Begitulah bunyi UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semoga menginformasi.

[ Logo KPAI oleh Gunawan714 - Karya sendiri, CC BY-SA 4.0, Pranala ]

Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 35 tahun 2014tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002tentangPerlindungan Anak