Peran yang menyatakan bahwa setan sangat menakutkan terdapat pada kalimat

Radikal. Apa salahnya radikal? Apapun, radikal saat ini pasti buruk. Siapa saja yang radikal harus dimusuhi. Lalu digelarlah deklarasi anti radikalisme di mana-mana, termasuk di kampus-kampus yang notabene tempat para cerdik pandai berkumpul.

Benarkah radikal itu pasti buruk? Belum tentu. Secara bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal diartikan  sebagai “maju dalam berpikir atau bertindak”. Kalau dipasangkan pada kalimat “perubahan radikal” maka diartikan sebagai perubahan “secara mendasar (sampai pada hal yang prinsip)”. Radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik, atau paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Dari definisi ini, terlihat tak semua radikal itu buruk. Bahkan pada saat-saat tertentu radikal justru amat diperlukan. Misalnya ketika suatu bangsa tengah berjuang merebut kemerdekaan. Bung Karno dalam tulisannya, “Mentjapai Indonesia Merdeka” (Maret 1933) menyatakan bahwa untuk menuju Indonesia merdeka maka harus dipimpin oleh sebuah partai pelopor. Partai pelopor seperti apa? “Di antara obor-obornja pelbagai partai jang masing-masing mengaku mau menjuluhi perdjalanan rakjat, massa lantas melihat hanja satu obor jang terbesar njalanja dan terterang sinarnja, satu obor jang terkemuka djalanja, ja’ni obornja kita punja partai, obornja kita punya radikalisme!”

Jadi, radikalismelah yang mendorong semangat kemerdekaan. Bung Karno selanjutnya menyatakan, “Konstruktivisme kita bukanlah konstruktivisme kaum reformis yang warung-warungan dan kedai-kedaian, tetapi konstruktivismenya radikalisme, yang bersifat radical dynamisch membongkar tiap batu-alas gedung stelsel imperialisme-kapitalisme.”

++++

Saat ini telah terjadi hegemoni wacana atau penguasaan atas suatu makna dari sebuah kata. Radikal dan radikalisme, misalnya, yang menurut bahasa aslinya bersifat umum—bahkan bisa berkembang menjadi baik ketika kata itu hadir dalam konteks yang tepat—kini telah menjadi kata yang berkonotasi buruk. Hal ini tercipta oleh karena pemaknaan kata ini—melalui berbagai instrumen kekuasaan seperti media massa dan struktur birokrasi—telah dihegemoni oleh penguasa.

Ketika makna dari sebuah kata telah terkooptasi, yang dilakukan selanjutnya oleh penguasa adalah menggunakan kata itu untuk politik labelling dan monsterizing. Labeling atau penjulukan adalah sebuah definisi yang ketika dilekatkan pada seseorang atau kelompok akan menjadi identitas diri orang atau kelompok tersebut. Dengan memberikan label, orang akan cenderung melihat yang bersangkutan secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu-persatu.

Teori labelling dikembangkan oleh ahli sosiologi, Howard Becker, pada 1963. Berdasarkan hasil penelitian,  disimpulkan, “Seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian (menyimpang) dan diperlakukan seperti orang yang devian, akan menjadi devian.”

Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut, “Anak yang diberi label bandel dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel.”

Atau penerapan lain, “Anak yang diberi label pintar dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar, dan karena itu pantas diperlakukan sebagai anak pintar.”

Terkait teori labelling, menarik apa yang dinyatakan oleh Noam Choamsky, profesor linguistik dari MIT, AS, bahwa saat ini ada rekayasa sistematis untuk menempatkan sesuatu agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan sehingga harus dimusuhi, dijauhi dan bahkan dibasmi. Dalam teori komunikasi, usaha ini disebut demonologi, yang masuk dalam teori labelling tadi. Sedihnya, korban-korban misinterpretasi ini pasti tidak akan dapat menahan pengaruh dari proses penjulukan yang dilakukan dengan sedemikian hebat oleh penguasa melalui saluran-saluran resmi tadi.

++++

Semua orang tahu, saat ini Islam (politik) sedang dalam proses kebangkitan. Fenomena Aksi 411, 212 dan lainnya adalah tanda nyata kebangkitan itu. Kebangkitan ini akan terus melaju. Tak bisa dibendung. Akan tetapi,  para pembenci Islam berusaha menghambat dan memperlambat, kalau tidak bisa menghentikan sama sekali. Caranya,  salah satunya dengan mendiskreditkan Islam melalui aneka julukan atau label, seperti radikal, fundamentalis dan lainnya.

Jadi, sekarang tengah berjalan politik labelling (pelabelan), kemudian monsterizing (monsterisasi) dengan menggambarkan seolah semua orang atau kelompok yang dilabeli macam-macam itu sebagai membahayakan, mengancam dan merusak negara. Harapannya, dengan semua sebutan dan monsterisasi itu, umat Islam, juga  umat selain Islam, menjadi takut dan menjauh dari Islam. Islam yang dimaksud di sini tentu bukan Islam dalam arti umum, tetapi Islam yang menolak sekularisme, liberalisme, kapitalisme, termasuk komunisme serta dominasi asing dan aseng; yang menginginkan tegaknya kehidupan Islam yang di dalamnya diterapkan syariah secara kâffah.

Khilafah sebagai ajaran Islam tampak menjadi sasaran utama penggambaran atau pencitraan sebagai monster atau demon (setan, iblis atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Ada rekayasa sistematis untuk menempatkan ide ini agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan. Tentu dengan maksud agar publik menjauhi ide khilafah. Dengan begitu upaya sekularisasi kaum Muslim dapat terus terwujud dan kebangkitan Islam politik tak terjadi.

Pencitraan negatif tentang Khilafah dan para pengembannya terjadi selain melalui julukan ‘paham radikal’, juga melalui label ‘anti kebhinnekaan’,   ‘meresahkan masyarakat’, ‘memecah belah bangsa’, bahkan ‘menghancurkan negara’ yang terus dibombardirkan oleh kuasa makna kata dan politik kepada publik. Akibatnya,  citra Khilafah sebagai ajaran Islam yang bakal memberikan solusi atas problematika yang ada dan akan mewujudkan kebaikan bagi bangsa dan negara ini (rahmatan lil-‘alamin), tenggelam berganti menjadi ketakutan dan permusuhan terhadapnya serta menumbuhkan khilafahfobia dan semangat membabat gerakan perjuangannya.

Apakah benar Khilafah itu mengancam masyarakat dan negara? Tentu tidak.  Bagaimana mungkin ajaran Islam yang diturunkan Allah SWT, sebagai rahmat bagi sekalian alam, dianggap mengancam dan bakal menghancurkan negara yang notabene dulu merdeka diakui sebagai atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa? Apalagi penegakan Lhilafah demi pelaksanaan syariah secara kâffah, menurut para ulama, merupakan min a’zham al-wâjibât (bagian dari kewajiban yang agung).

Alhasil, menuduh syariah dan Khilafah sebagai ancaman, mengkriminalisasi ormas Islam serta menghambat dakwahnya tak ubahnya bagai orang yang sedang dirundung berbagai macam penyakit, tetapi obat yang diberikan malah dibuang dan dokter yang hendak menyembuhkan ditendang. Pasti sakitnya makin parah.

Jadi? Labelling dan monsterizing ini jelas tak boleh dibiarkan. Berbahaya sekali. Harus dilawan! []

    Sebagai sebuah karya sastra, drama dibentuk oleh unsur intrinsik, seperti tema, alur, latar, penokohan, amanat, gaya bahasa, dan konflik, sedangkan unsur ekstrinsik, seperti latar sosial budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.     Dalam sebuah lakon, sutradara menghadirkan tokoh-tokoh dengan peran yang berpasangan untuk membangun persoalan dan menciptakan konflik. Tokoh protagonis yang berperan memihak kepada kebaikan akan berpasangan dengan tokoh antagonis yang menentang kebaikan sehingga terjadilah konflik. Tokoh protagonis memiliki peran yang selalu memperjuangkan nilai kejujuran, kebaikan, dan keadilan. la seorang pahlawan yang berjuang untuk tegaknnya kebenaran di masyarakat. Dalam drama tradisional, dikenal tokoh-tokoh protagonis yang melegenda, seperti, Jaka Tingkir, Jaka Tarub, dan Jaka Sembung. Sebaliknya, tokoh antagonis memiliki peran yang berseberangan dengan protagonis. la digambarkan sebagai tokoh yang berwatak jahat, menentang kebaikan, dan selalu membuat masalah.

    Peran tokoh protagonis dan antagonis sangat mudah diidentifikasi melalui perilaku dan dialognya. Selain itu, karena keduanya merupakan tokoh utama dan memiliki karakter yang kuat, frekuensi munculnya di atas pentas akan lebih sering dibanding dengan tokoh pembantu atau tokoh tambahan.

Peran yang menyatakan bahwa setan sangat menakutkan terdapat pada kalimat: (Terkejut) Setan! Jadi kau ini setan?

Dengan demikian jawaban yang tepat adalah pilihan D.