Kapanlagi.com - Desclaimer: Wawancara ini mencakup beberapa narasumber dari profesi yang berbeda, seperti sosiolog, psikolog, seksolog hingga para pelaku LGBTQ. Reporter: Adi Abbas Nugroho, Dadan Eka Permana, Nuzulur Rakhmah, Sahal Fadhli, Fikri Alfi Rosyadi. Lesbian, Gay, Bisekssual, dan Transgender atau yang lebih umum disebut LGBTQ memang tengah menjadi isu yang ramai diperbincangkan. Di Indonesia, LGBTQ juga selalu jadi obrolan panas dengan pro dan kontra yang ada. Apalagi, di Indonesia yang norma sosialnya begitu kental dengan adat ketimuran, tentunya kelompok LGBTQ di Indonesia ini tak jarang menerima penolakan, bahkan persekusi. Mengutip dari CNN, ada beberapa kasus penolakan dan persekusi para LGBTQ di Indonesia. Pada November 2018 silam, Satpol PP di Padang, Sumatera Barat menangkap 10 perempuan yang dituduh memiliki hubungan sesama jenis. Masih di tahun yang sama pula, di Lampung, Satpoll PP sempat menggerebek sebuah pantai dan menangkap tiga orang yang diduga waria. Satu bulan sebelumnya, Kepolisian Jawa Barat menangkap dua pria pengelola sebuah grup media sosial bernama Facebook Gay Bandung Indonesia. Tak hanya itu saja, tahun 2020 lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok sempat menurunkan kebijakan akan merazia para pelaku LGBT di Depok. Kebijakan ini pun mendapat penolakan dari Amnesty Internasional dan juga Komnas HAM, karena dirasa sangat deskriminasi, kejam, dan tak manusiawi. Sedikit informasi, mengutip dari situs resmi GAYa Nusantara, yakni gayanusantara.or.id, gerakan LGBT di Indonesia ini diyakini bermula dengan berdirinya organisasi transgender pertama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) pada tahun 1969. Wadam yang merupakan singkatan dari “wanita Adam” ini pun menuai banyak protes lantaran membawa-bawa nama Nabi Adam. Istilah wadam itu pun kemudian berganti dengan nama yang sampai sekarang kita kenal sebagai waria atau “wanita pria”. Kelompok LGBT di Indonesia semakin bertambah dengan berdirinya sebuah organisasi bernama Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) pada 1982, serta Persaudaraan Gay Indonesia (PGY) yang kemudian berganti nama menjadi Indonesian Gay Society (IGS) di tahun 1988. Sejak saat itu, beberapa organisasi yang menaungi para kelompok LGBT ini mulai muncul satu persatu dari daerah-daerah lain di Indonesia. Dan di era sekarang, banyak bermunculan para Influencer yang mulai terbuka, bahkan menyatakan diri mereka sebagai seorang LGBT, entah itu gay, lesbian, ataupun transgender. Meskipun harus menuai banyak kontroversi dan penolakan, tapi mereka tetap bertahan sampai sekarang. Sebut saja, Ragil Mahardika. Salah satu pria Indonesia yang dengan terang-terangan mengakui bahwa ia penyuka sesama jenis ini bahkan sudah menikah dengan pria gay lainnya dari negara Jerman yang bernama Fred. Keduanya pun kini hidup dan tinggal bersama di Jerman. Ragil dikenal oleh publik lewat akun Tik Tok milknya yang @ragilmahardika. Sampai saat ini, jumlah pengikuti di akun Tik Tok-nya ini sudah menyentuh angka 3,8 juta. Di instagram, Ragil juga followers lebih dari 180 ribu, pun begitu dengan kanal youtube-nya yang bernama KaroJerman RagilFred yang kini sudah punya pelanggan lebih dari 141 ribu. Sejak memutuskan untuk terbuka mengenai orientasi seksualnya, tak jarang Ragil menerima penolakan, pun banyak pula yang memberinya hujatan mengenai hubungannya dengan Fred. Namun, tak sedikit pula yang mengapresiasi keberaniannya untuk membuka diri bahwa ia adalah seorang gay di depan publik, mengingat di Indonesia sendiri, kelompok LGBT dianggap tabu oleh banyak masyarakat. Adapun pasangan lesbian yang juga ramai menjadi sorotan, yakni pasangan Chika Kinsky dan Yumi Kwandy. Jalani hubungan kurang lebih selama 2 tahun, Chika dan Yumi kabarnya akan menikah di luar negeri dalam beberapa waktu ke depan. Chika dan Yumi sangat menyadari bahwa pernikahan sesama jenis tidaklah mungkin bisa dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, menikah di luar negeri adalah pilihan satu-satu. Bahkan, keduanya juga sudah membeli rumah yang nantinya akan mereka tinggali bersama, dan rumah tersebut sudah atas nama mereka berdua. Ada beberapa selebritis Tanah Air yang terbuka soal orientasi seksual mereka. Dorce Gamalama misalnya, ia secara terbuka mengaku bahwa dirinya seorang transgender. Selain itu ada juga Millen Cyrus, Dinda Syarief, Gabby Vesta, Dena Rachman, dan juga Oscar Lawalata yang kini bahkan sudah punya seorang kekasih juga dikabarkan akan segera menikah.
©KapanLagi.com Adanya kelompok LGBTQ di tengah masyarakat ini juga menjadi sorotan tersendiri bagi para pakar. Zoya Amirin, seorang Seksolog Klnis atau Psikologi Klinis menjelaskan bahwa saat ini pengakuan terbesar bahwa mereka seorang LGBTQ ini lebih banyak didominasi oleh anak-anak muda Gen Z. Dibandingkan generasi millenial, Zoya menyebutkan bahwa para Gen Z ini lebih berani mengungkapkan jati diri mereka, terutama soal orientasi seksual. "Beberapa millenial masih setengah-setengah, artinya tergantung ibu bapaknya. Millenial cukup oke kalau temennya begitu, tapi kalau dia sendiri, tapi kalau saudaranya, orang terdekatnya, mereka cenderung mengecam. Saya gak bikin penelitian ini, ini pandangan dari orang-orang sekeliling saya aja. Jadi, catet ya, ini bukan penelitian dan cuma pandangan dari medsos dari pengamatan, wawancara. Kalau gen Z setiap saya sakis seks edukasi, saya tanya dulu ini usia berapa, millenial banyak nanyanya, dia terbuka kalau (dengan) temennya, tapi kalau saudaranya, orang terdekatnya sendiri nggak," kata Zoya Amirin saat ditemui KapanLagi beberapa waktu lalu. Beberapa pengalaman pelik pun pernah ia rasakan kala memberikan konsultasi kepada pasiennya. Ketika berkonsultasi, beberapa pasiennya membawa serta keluarga demi bisa mendapatkan pengakuan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya. "Yang jadi pelik apalagi yang konsultasi dia bawa keluarganya ke sini untuk kasih lihat ke keluarganya, minta diberi pengertian ke orangtuanya, sampai orangtuanya minta agar anaknya tetep begini. Kan dia udah pacaran misalnya lesbian, dia sudah pacaran dengan ratusan cowok udah ciuman tapi gak bisa, terus ditanya mungkin karena kerjaannya terlalu banyak laki-laki atau perempuan akhirnya dia jadi gitu, oh gak ngaruh kayak gitu," ujarnya. Bahkan, ada kasus lain, beberapa orang yang mengaku gay meminta bantuannya agar bisa kembali menjadi pria normal yang menyukai lawan jenis. Zoya mengungkapkan, masih banyak orang yang saat ini berorientasi sebagai gay atau lesbian, tapi juga ingin bisa kembali menjadi normal. "Siap apa nggak, yang susah adalah contoh kayak balikin saya jadi hetero kalau dia bukan dia kayak menentang dirinya, susah lho. Ada juga yang ngaku gay saya kasih panduan konseling khusus namanya afirmatif therapy. Yang susah kalau dia gay tapi pengen normal, susah itu. Belajar terimanya berproses, tapi biasanya bagi mereka yang gay dan lesbian pesan saya adalah begitu kalian coming out pada keluarga cobalah pelan-pelan ngomongnya, kalau orangtua gak terima telen aja dulu, biar orangtua nangis dulu, proses dulu perasaannya baru mereka yang bisa nerima, itu juga bagi mereka yang coming out sebagai gay dan lesbian khususnya ke keluarga, biarkan keluarga berproses dulu,” sambungnya.
©KapanLagi.com Cinta memang tak memandang gender seseorang. Hal inilah yang dirasakan oleh pasangan Chika Kinsky dan Yumi Kwandy. Ya, pasangan lesbian yang sudah terbuka mengenai hubungan mereka di depan publik ini bahkan berencana untuk menikah dan tinggal bersama. Selain itu, pasangan ini juga membuat konten di youtube, sebuah podcast yang mengangkat tema LGBTQ. Konten yang mereka bawakan berdua ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat Indonesia yang masih memandang sebelah mata kepada para LGBTQ. Dari konten yang mereka produksi berdua ini, dukungan dan support pun banyak mengalir kepada mereka. Yang paling menarik dari cerita mereka berdua adalah, ada beberapa orang yang rela bertemu untuk sekadar saling memberikan dukungan. "Karena menurut kita, kita kan ambil yang positif-positif aja ya enggak pernah yang jorok-jorok apa gimana gitu lho. dari awal pun kita yang Yumsky's Diary ini kagetnya, awalnya kita iseng-iseng aja buat, dan responnya itu orang orang 85 persen itu positif," ujar Chika Kinsky kepada KapanLagi.com "Rata-rata yang nyamperin itu bukan straight banget, malah ada yang berkeluarga, sampai sama anak-anaknya. Ada yang sama mama dan anak-anaknya. Jadi kayak cucu, anak sama nenek gitu. Suaminya juga suportif, kita juga bingung jarang banget yang nyamperin LGBT banget gitu," sambung Yumi menimpali. Di Indonesia yang cukup kental dengan budaya dan adat Ketimuran, memungkinkan bahwa LGBT mendapat banyak penolakan. Namun, menurut Chika dan Yumi, ini tak lebih dari kurangnya pendidikan yang mengajarkan tentang adanya LGBTQ. "Menurut gua bukan budaya ketimuran atau enggak. Cuma kita dari kecil itu kita enggak punya education buat itu. Sama kayak dulu jamannya, dulu itu kan enggak ada sex education di sekolah-sekolah, sekarang sex education bisa masuk ke sekolah-sekolah. Jadi orang-orang secara enggak langsung 'oh sex education itu ada, ada ajaran lah, apa gunanya kondom, ini itu' bahkan ketika orang belum tahu," ujar Yumi. Yumi melanjutkan, ia juga menegaskan bahwa Lesbian, Biseksual, Gay, Transgeder, dan Querr bukanlah sebuah penyakit menular, tapi sebuah kondisi psikologi. Bahkan, tak jarang ia mendapatkan ungkapan ‘cepat sembuh' dari netizen yang sampai saat ini menganggap bahwa LGBTQ adalah sebuah penyakit. "Tapi soal LBGTQ menurut gua sampe sekarang sampe sekolah-sekolah pun itu belum diajarin. kayak ada lho, ini bukan penyakit, ini tuh emang psikologis dan ini tuh bukan sesuatu yang bisa menular. Karena kita sering banget menerima get well soon dan jujur kalo orang ngomong get well soon itu udah lumayan ngajak gitu. Sebenernya kayak banyak kok, kalo di-searching dan emang dibacain itu bukan sebuah penyakit," sambung model 25 tahun ini.
©KapanLagi.com/Budy Santoso Di tengah ramainya penolakan kepada kelompok LGBTQ di kalangan masyarakat, Chika dan Yumi mengaku bahwa ia mendapat dukungan dari keluarga-keluarga terdekatnya, yang tak lain dari keluarga. Yumi misalnya, kedua orangtuanya pun cukup mendukung hubungannnya dengan Chika. Beruntungnya, saat ini kedua orangtuanya tak bermain media sosial, jadi mereka tak tahu ketika putrinya ini mendapatkan hujatan dari sana-sini. Sementara ini, Yumi juga dibuat kaget dengan beberapa sepupunya yang secara diam-diam memberikannya dukungan. Ia yang menganggap bahwa keluarganya cukup berpikiran sempit, ternyata justru memberikan banyak dukungan. "Ketemu sepupu kayak gue yang dajal gitu kan, kayak apa aja gua omongin, nah dia one day ngeliat, ini menurut gua lumayan kaget, dia ngeliat gua dihujat siapa dan gua bales netizen itu kan, terus kata dia ngapain Lo ngurusin kayak gitu gitu. Dia langsung marah-marah meskipun dia engga perah ngomong 'gue support' tapi ketika mereka kata-katain 'lo belok, belok, gini, gini' dia pun speak up. kakak gua juga fine fine aja," tuturnya. Ramainya hujatan rupanya tak membuat Chika dan Yumi goyah. Pasangan yang sudah menjalin hubungan sejak beberapa tahun terakhir ini justru malah lebih cuek dengan komentar-komentar jahat tentang hubungan mereka. Chika misalnya, menanggapi komentar tak menyenangkan itu dengan memilih untuk masa bodo. "Kita sebenernya lebih cuek sih," ujar Chika. Berbeda dengan Chika, Yumi yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan media sosial merasa sempat takut ketika harus berselancar di internet. Meskipun sempat merasa ketakutan karena mendapat banyak hujatan dan cibiran dari publik, seiring dengan berjalannya waktu, kedunya pun kini lebih santai dalam menanggapi komentar jahat dari netizen. "Personally, gua kan mendadak punya netizen kan, padahal enggak. Gua jadi takut aja sama sosmed sih, jujur. kayaknya sosmed ini pekerjaan gue deh bukan hidup gue, beda lagi. Jadi, kayak buat bacain komen kayak gitu ya udah," sambung Yumi menimpali.
©KapanLagi.com Sejak beberapa waktu belakangan, nama Ragil Mahardika terus menjadi perbincangan panas publik Tanah Air. Apalagi, sejak ia diundang menjadi salah satu bintang tamu di podcast Deddy Corbuzier, nama Ragil pun selalu masuk dalam daftar pencarian hampir di setiap platform media sosial. Ragil sendiri merupakan seorang gay asal Indonesia yang sudah secara terbuka kepada publik tentan orientasi seksualitasnya, bahwa ia penyuka sesama jenis atau gay. Bahkan, saat ini Ragil juga sudah menikah dengan seorang pria asal Jerman bernama Fred. Keduanya pun tinggal di sana. Menjadi seorang gay tentu tak mudah bagi seorang Ragil, apalagi ketika berurusan dengan keluarga. Sebuah keputusan besar terjadi kepadanya ketika ia mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya kepada keluarga besar. Ragil sendiri sudah memberitahu keluarganya, bahwa ia adalah seorang gay sejak tahun 2014 silam. "Nah, pada saat aku sudah menetap di Jerman, mau tiga tahun di Jerman aku bilang ke keluarga. aku mau tinggal di Jerman lebih lama lagi karena memang di sini tempatku, segala macam, dan akhirnya aku bilang ke mereka, jujur bahwa ada satu hal yang memang harus aku bilang, yaitu tentang orientasi seksualku. Jadi itu tahun 2014 sih aku coming out ke keluarga besar sebelum aku posting di media sosialku terlebih dahulu," ujar Ragil Mahardika saat dihubungi lewat telepon.
© instagram.com/ragilmahardika Ragil punya alasan kuat kenapa ia memberitahu keluarganya terlebih dahulu soal orientasi seksualnya ini. Ia tak ingin merasa takut dan terkekang lagi menyampaikan jati dirinya di depan publik, atau lewat sosial media. Dengan memberitahu keluarga secara langsung, setidaknya ia akan merasa lebih tenang ketika mengekspresikan dirinya di media sosial. Karena, andaikan keluarganya mengetahui lewat sosial media, pastinya keluarga akan merasa tersakiti, dan itu juga akan lebih berat bagi dirinya dan juga keluarganya. "Jadi awal-awal kalau nge-date aku nggak pernah posting foto cowoknya, cuma posting foto mejanya kayak teman-teman kita yang sekarang lah yang belum berani terbuka. Tapi aku merasa, ih aku jadi terkekang ya, kenapa aku nggak bisa posting, sedangkan aku udah tinggal di Jerman. Aku ada di lingkungan support system yang sangat toleransi kuat terhadap orientasi seksual. Aku punya media sosial tapi aku nggak bisa ekpresikan diriku di media sosialku. Ya, karena itu tadi, aku takut kalau keluargaku tahu dari media sosialku akan jauh lebih berat. Apalagi kalau ada teman-temanku yang tahu dan temanku kasih tahu ke keluargaku, jauh lebuh berat kenapa anaknya nggak bilang," ungkap pria 31 tahun ini. Memberitahu keluarga besar mengenai jati dirinya tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan, banyak hari dan tangisan harus ia lalui demi bisa mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari keluarganya, hingga akhirnya ia bisa menang dengan pilihannya itu. "Dari situlah aku merasa ini waktu yang pas untuk kasih tahu ke keluarga besar bahwa aku punya orientasi yang berbeda. Akhirnya aku kasih tahu terus proses itu juga panjang, penerimaan dari mereka juga nggak yang hari ini langsung menerima kan ya. Tapi berbulan-bulan sampai ada tangisan sana-sini, tapi dari situ aku memenangkan keinginanku bahwa aku bisa mengekspresikan diriku di media sosial karena keluarga besarku sudah tahu," paparnya. Apalagi, sang bunda juga sempat merasa terpukul dengan kejujurannya itu. Ragil mengatakan, sebelum menerima seperti sekarang, ibundanya merasa sangat menderita, hingga akhirnya bisa legawa menerima jati diri putranya yang sekarang. Dan beberapa waktu lalu, ibu dan adiknya belum lama ini ke Jerman untuk menemuinya dan bertemu dengan keluarga Fred. "Orang-orang berpikir itu proses yang cukup sangat gampang maksudnya dalam arti kata mamaku bisa menghargai anaknya tapi kan sebelumnya orang nggak pernah tahu bagaimana menderitanya dia untuk bisa ke posisi itu. Tapi ya itu tadi orang kan selalu melihat depannya aja melihat hasilnya kan. Tapi kalau teman-taman yang kenal aku, teman-teman followers dari lama yang ngikutin aku dari YouTube atau dari instagramnya mereka tahu kok proses itu," ujarnya.
© instagram.com/ragilmahardika Diterima di keluarga, tak lantas diterima oleh khalayak umum, terutama di Indonesia. Setelah berani mengekspresikan diri lewat media sosial, Ragil pun terus mendapatkan hujatan dan komentar jahat dari netizen. Meskipun begitu, Ragil pun sangat memaklumi dan tak menyalahkan. "Itu tadi orang lihat kan kalau fyp (Tik Tok) pasti cuma lihat pada saat posisi di mana fyp itu sekarang kan, ih si Ragil sama suaminya sama mamanya berjilbab misalnya seperti itu langsung kasih komentar negatif yang menjelek-jelekkan kita semua satu keluarga. Itu memang tipikal orang Indonesia ya, nggak bisa kita salahkan juga mungkin itu budaya kita juga termasuk aku kayak gitu juga kok," paparnya. Ragil beranggapan, andaikan orang lebih dewasa dalam bersikap, tentunya mereka akan lebih bisa mencari tahu dulu tentang dirinya, bukan langsung memberikannya hujatan tak berdasar. Namun sekali lagi, bagi Ragil, orang Indonesia masih belum siap dalam menerima hal ini. "Tapi itulah orang Indonesia, mikirnya iyalah karena dikasih uang diajak ke Jerman makanya menerima, ya aku anaknya wajar aku ngasih uang ke orangtuaku. Anak durhaka banget aku kalau aku nggak ngasih uang ke orangtuaku, sedangkan aku hidupnya sangat bercukupan di Jerman. Tapi kan bukan masalah uang atau materinya, tapi masalah kenapa anaknya seperti ini. Nah, mencari tahu juga apa kesalahan mereka, kenapa anaknya berbeda segala macam. Aku selalu bilang kita harus lihat proses yang di belakang itu semua dan seperti apa," imbuhnya. Membuka diri tentang orientasi seksual yang berbeda kepada banyak orang membutuhkan kemantapan dan kematangan dalam berpikir. Oleh karena itu, Ragil mengatakan bahwa mereka yang secara terbuka mengumumkan diri sebagai seorang LGBT, pasti sudah melewati proses yang panjang, melelahkan, dan juga menyakitkan. "Teman-teman yang LGBTQ+ sekarang yang berani terbuka pun pasti ada di posisi yang cukup matang makanya mereka mau posting-posting kehidupan mereka. Karena kalau nggak keluarga mereka bakal hancur lebur kalau dia tidak menguatkan posisi keluarganya. Jadi bukan hanya semerta-merta mencari popularitas aku menayangkan hal-hal yang tabu LGBTQ+ tapi memang kenyataannya kehidupanku adalah seperti itu. Aku harapkan teman-teman yang mau speak up atau yang berani ngomong ya serealita mungkin aja. Karena itu bakalan memenangkan hati pemirsa kalau kita lebih realita aja ngomongnya kalau kita dari LGBTQ+ atau segala macam tanpa harus dibuat-buat tanpa direkayasa," sambungnya.
© instagram.com/ragilmahardika Setiap pasangan, pasti punya tujuan untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi, yakni menikah. Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Ragil dan sang kekasih, Frederik Vollert. Selama empat tahun berpacaran, Ragil dan Fred pun akhirnya memutuskan untuk menikah di tahun 2018, setelah keduanya mendapatkan restu dari kedua orangtua. "Sebenarnya sama lah hubungan hetero juga kan tujuan dari pacaran itu masuk ke jenjang pernikahan biar lebih resmi, biar sah dalam hukum. Akhirnya kita ada di posisi itu, kita pacaran lama empat tahunan terus di proses pacaran itu kita merasa nyaman dan kita merasa bahwa cocok, ya kita memilih untuk menikah. Proses sama-sama ya memang kita ikuti kita jalani," kata Ragil. "Akhirnya menikah pada tahun 2018 terus punya kesempatan beli rumah berdua terus sekarang akhirnya seperti yang kita lihat di Tik Tok. Jadi sebenarnya sama aja sih pasangan hetero ketemu sama orang jadian, pacaran terus nggak suka ya putus, suka pacaran lanjut akhirnya ke jenjang pernikahan. Terus membangun rumah tangga lah seperti itu," ujar kekasih Frederik Vollert ini. Tak berbeda jauh dari pasangan hetero atau normal, Ragil dan Fred ternyata juga punya keinginan untuk punya momongan. Dan dengan hadirnya anak di dalam keluarga, membuat rumah tangganya jadi lebih utuh. "Sekarang lagi berpikir mau adopsi anak. Sebenarnya nggak ada bedanya yang bedanya adalah urusan ranjangnya yang berbeda istilahnya gitu ya. Tapi kalau dari proses hidup dan pemilihan kenapa nikah kenapa mau punya anak sebenarnya sama aja karena sama-sama mau membangun rumah tangga yang utuh," pungkasnya.
© instagram.com/ragilmahardika Di antara banyaknya kontra dan penolakan terhadap orientasi seksualitasnya, Ragil yang kini sudah lebih terbuka juga mendapat banyak dukungan dan juga penggemar. Ia beranggapan, bahwa orang yang mendukungnya ini punya pandangan berbeda kepada LGBT. Dukungan ini pun membuatnya merasa bahwa ia sudah memenangkan hati banyak orang. "Banyak orang yang melihat sisi LGBT dari perspektif lain, dari kaca mata lain. Teman-teman yang religi atau nggak religi melihat bahwa ini konteksnya bahwa ini kehidupannya. Dan aku merasa aku memenangkan hati mereka di situ karena aku selalu tampil apa adanya, tampil nggak dibuat-buat, kasih tahu informasi yang mungkin juga sebenarnya tabu tapi memang juga layak diperbincangkan. Tapi tetap aja dengan hal-hal kekocakanku, kelucuan dan edukasi juga buat mereka, masak bahannya apa, berkebun seperti apa," tandasnya. Banyaknya orang menganggap bahwa LGBTQ itu merupakan sebuah tindakan kriminal, cukup menggelitik hati Ragil Mahardika. Bagi Ragil, terjadinya kriminal bukan soal orientasi seksual, tapi memang dari si pelaku saja. Entah itu normal atau orientasi seksualnya berbeda, mereka tetap bisa melakukan tindakan kriminal. "Karena media kita selalu mencekoki masyarakatnya tentang hal-hal yang negatif dari LGBT. Padahal sebenarnya sama aja kok banyak orang yang melakukan tindakan kriminal. Jadi yang kriminal bukan orientasinya tapi memang orangnya sendiri. Terlepas dari apapun orientasinya kalau dia adalah orang kriminal dia akan jadi orang yang kriminal. Jadi bukan serta merta kalau orientasinya gay dia akan jadi pemerkosa, pembunuh, pencuri. Jadi yang salah orangnya bukan orientasinya. Itu yang aku selalu pengin kasih tahu ke orang-orang lihat orang dari orangnya bukan dari orientasinya," tegasnya. Sebagai orang yang memiliki orientasi seksual berbeda, Ragil pun memberikan pesan kepada rekan-rekannya yang lain, yang kini juga sudah mulai terbuka soal jati dirinya. Agar tetap bisa hidup nyaman dan diterima di tengah masyarakat, alangkah baiknya tak terlalu egois. "Aku cuma mau bilang kita harus memikirkan istilahnya kita nggak boleh egois. Jadi kita juga harus memikirkan kebahagiaan orang lain sekitar kita. Selama mereka bahagia ya kita juga nggak disusahkan sama mereka ya nggak apa-apa kan dengan hidupnya masing-masing. Menghargai deh udah deh ‘Emang Gue Pikirin' aja sebenarnya. Yaudahlah, sama-sama emang gue pikirin aja, hidup-hidup lo kok. Kalau di posisi itu mereka aman sentosa lah Indonesia. Bukan dari orientasi tapi dari sisi agama, dari sisi ras budaya, nggak akan ada lagi diskriminasi," paparnya.
©KapanLagi.com Terakhir, Ragil mengungkapkan agar setiap orang saling menghargai, terhadap segala sesuatu, termasuk pilihan hidup mereka. Tak saling mengurusi hidup orang lain dijamin akan membuat keadaan jadi lebih tentram dan nyaman. "Coba kalau kita sama-sama nggak usah peduli sama urusan pribadinya si a, urusan pribadinya si b, paling nggak hidup kita sama-sama bahagia ya," ujar Ragil. "Ayo dong sama-sama nggak usah mikirin kehidupan orang lain, kita pikirin aja hidup kita, kita pikirin aja kompor kita masih hidup atau nggak nih, mau makan apa besok, kerja. Tapi kita cukup menghargai aja kalau orang lain ada di posisi yang berbeda sama kita. Tapi bukan berarti kita harus ikut-ikutan atau menerima kalau nggak suka dengan hal itu. Tapi kita tidak perlu menjauhi orang-orang yang berbeda sama kita kan," kata Ragil mengakhiri. Sebagai penutup, Una Dembler salah satu transpuan yang dulunya bernama Arjuna ini mengungkapkan bahwa LGBTQ bukanlah penyakit. Sama halnya dengan Ragil Mahardika, Chika Kinsky dan Yumi Kwandy, menjadi menjadi seorang dengan orientasi seksual berbeda, bukanlah hal mudah, terlebih mereka ingin diterima tanpa harus membohongi jati diri yang sebenarnya. Tak hanya itu saja, gak jarang pula Una dan baik teman-temannya yang LGBTQ merasa sering sakit hati, ketika orientasi seksualitas mereka yang berbeda dianggap sebagai sebuah penyakit. "Aku cuma saran kalau emang anggap LGBT penyakit aku merasa ini bukan penyakit kok. Kita cuma ingin menjadi diri sendiri. Kalau dibilang sulit menjadi kita, amat sangat sulit. Dianggap penyakit ya rasa hati sakit. Tapi gimana aku hanya ingin jujur. Kalau aku bohong, yang resah kan diri aku. Tapi aku lebih dengerin omongan orangtua aku, daripada orang lain," tutup Una Dembler.
©KapanLagi.com Ramainya pengakuan para influencer tentang orientasi seksualitas mereka sebagai seorang LGBTQ ini juga menjadi sorotan bagi Tata Liem. Ya, salah satu manager artis yang namanya cukup di kenal karena sosoknya yang feminin ini pun membagikan pengalamannya sebagai pria feminin, yang mana dulunya juga mendapat banyak kecaman, baik dari publik maupun orang terdekatnya. Sepertinya diketahui, sejak beberapa tahun belakangan ini, Tata Liem memutuskan untuk mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Setidaknya, sudah hampir lima tahun Tata mulai mengubah dirinya, meskipun sedikit susah, tapi ia terus berusaha untuk melakukannya. "Aku masih berada dalam satu fase pembelajaran untuk menjadi orang yang lebih baik. Kalau aku bertobat, aku gak berani bilang bertaubat, karena aku masih senang dengan dunia cental-centilku, dunia entertain, masih duniaku kenceng. Misalnya lihat cowok lucu aku ngerem. Perjuanganku ini kan dari 2017, memasuki tahun ke-5. Kalau berpikir aku ada khilaf ada hal yang tidak berkenan atau kambuh lagi tolong temen-temen mau, sahabat, netizen ingatin aku, karena apa, manusia gak luput dari yang namanya khilaf, tapi sebisa mungkin jangan lagi, nikmati hidup ini lebih baik," ujar Tata Liem saat ditemui di Kopi Brug, Jakarta Selatan, Selasa (29/4) lalu. Salah satu alasan Tata Liem ingin berubah karena ketakutannya dengan kematian. Ia melihat rekan, teman, kolega-koleganya yang masih muda begitu cepat menemui ajal, hingga akhirnya membuatnya berpikir kalau nanti ia sudah tutup usia, badan yang ia miliki saat itu akan membuat malu dirinya sendiri. "Aku mati nanti dimandiin dengan rambut pirangku yang panjang kan malu. Kalau dibilang mirip perempuan cantik juga nggak, bagus badannya juga nggak, apalagi yang dilihat gue bagusnya gak ada. Sementara saat itu lagi berpikir panjang, lebih baik gue harus mulai belajar menghindar dari namanya berbuat zina dosa yang gak diampuni Tuhan, karena memang perbuatan sejenis itu tidak dimaafkan. Mohon maaf ya buat semua, tapi saya harus bicarakan ini, kan kita sudah melihat banyak yang terjadi sebelumnya yang di mana ada satu aktor yang meninggal karna AIDS, atau apa ada kan model ganteng, ada juga entertain kita yang mengubah itu, tapi endingnya kembali pada kodratnya. Kita harus belajar dari situ," katanya Pria 46 tahun ini mengatakan, faktor lingkungan bukan jadi penyebab utama perubahan seseorang. Bahkan, ia mengaku sangat bersyukur tinggal di Indonesia dengan undang-undang yang cukup ketat dalam perannya mengatur tatanan soal norma sosial. Ia pun membandingkan, andai ia tinggal di Thailand atau Filipina yang aturannya tidak terlalu ketat, mungkin ia tak akan tahu bakal jadi seperti apa. "Saya berada di lingkungan LGBT semua saya dukung mereka karna mereka memang ada menyimpang ke perempuan atau ke laki-laki, itu memang ada di Indonesia ini, di luar juga banyak tapi kita bersyukur tinggal di negara Indonesia, karena negara kita banyak peraturan yang membuat kita takut adanya aturan itu buat kita ngerem. Coba misalkan saya tinggal di Thailand atau di Filipina atau Amerika, mungkin saya sudah lebih sinting, tapi balik lagi ke manusianya, mau lingkungan apa pun bukan berarti kita harus ikutin lingkungan, kita harus sadar diri dan tahu diri kita," paparnya.
©KapanLagi.com/Bambang E Ros Meskipun sudah mulai belajar untuk hidup menjadi orang yang lebih baik lagi, Tata Liem tak serta merta meninggalkan teman-temannya yang LGBTQ. Baginya, berada di lingkungan tersebut tak ada masalah bagi dirinya, selama ia masih bisa mempertahankan diri, menurutnya tak apa-apa. Menariknya, berada di lingkungan seperti itu, justru membuatnya semakin bisa belajar menahan diri dan menyadari apa yang ia lakukan salah. "Iya mau lesbi dan lainnya semua masih ada di lingkungan saya semua dan saya gak masalah, gak takut juga bicara seperti ini, inilah edukasi sebenarnya. Edukasi itu bukan membenarkan perbuatan kita yang dilarang agama itu salah, tapi edukasi saya harus sadar diri, inget umur ada masanya kalau bisa semua itu kembali ke kodratnya. Setidaknya lebih baik 100 persen dikurangi 80 persen atau 70, 30 atau dihilangin," tuturnya. "Artinya itu sejalan dengan hidup kita, saya juga gak semudah membalikan telapak tangan untuk saya tidak seperti keperempuan-keperempuanan, karena saya sejak kecil sudah seperti itu. Tapi, saran saya, saat ini kalau kita punya rasa malu, kita bisa ngerem itu. Saya lihat anak-anak sekarang ini malah bangga dan mereka makin, seakan-akan itu sah bagi dirinya, tapi untuk hidup di agama kita disalahkan gak dibenarkan, jadi kita gak usah komplain dengan hal itu," lanjutnya. Banyaknya influencer yang mengungkapkan jati diri mereka sebagai gay ataupun lesbian di publik juga menjadi sorotan bagi Tata Liem. Menurutnya, ini adalah pengaruh dari berkembangnya teknologi yang semakin canggih. Jadi penyebaran informasi yang lebih cepat dari berbagai negara bisa diterima di Indonesia. Tata Liem sendiri tak mempermasalahkan tentang pengakuan yang dilakukan oleh para influencer tentang orientasi seksualitas mereka di depan publik, Namun, meskipun begitu, Tata pun mengingatkan dan meminta kepada mereka rekan-rekannya yang LGBT untuk lebih menahan diri dalam keterbukaan agar tak melewati batas yang sudah ditentukan. "Karena pengaruh ini yang saya bilang zaman makin canggih, maju, film-film dari luar negeri banyak berani, kayak di Thailand membuat series tentang kisah gay, lesbi itu sah. Di indonesia kan gak boleh, kalau saya sih, ya silahkan saja, cuma kita harus bersyukur tinggal di negara kita yang punya aturan masih menjaga adat ketimurannya dan melarang hal-hal seperti itu, jadi rem-rem dikitlah, jangan kebablasan," ujar Tata Liem.
©KapanLagi.com Berbicara soal dunia hiburan, Tata Liem dulu memang dikenal dengan personanya sebagai seorang perempuan, rambut pirang, make up cantik, busana feminin, dan juga gayanya yang centil selalu melekat pada sosok satu ini. Menjadi seorang pria feminin yang berkecimpung di dunia hiburan ternyata bukanlah hal mudah bagi Tata, mengingat persona pria kewanitaan masih belum banyak bisa diterima oleh masyarakat luas. "Justru Lebih berat langkahnya di Indonesia buat saya, karena di sini belum menerima hal-hal seperti itu, apalagi ada peraturan di TV tidak boleh seperti itu, bergaya ngondek, tapi saya bersyukur masih bisa diterima di TV, karena memang penampilan saya laki-laki saya tetap dengan edukasi saya," paparnya. Tata Liem sendiri menjelaskan bahwa apa yang ia lakukan dengan berdandan ala perempuan itu lebih sebagai sebuah seni dalam berfoto. Oleh karena itu, ia juga merasa heran dengan para transgender pria menjadi wanita yang seolah-olah sudah menghilangkan nilai seni itu. Terutama yang menyebut diri mereka sebagai transgender yang lebih cantik dari perempuan. "Walaupun ini ada ini gak dibenarkan, jaman dulu kalau saya berdandan seperti perempuan itu kan tematik dalam berfoto. Saya jadi kayak perempuan saya salurkan hobi saya. Tapi sekarang, saya lihat kayak transgender sekarang beda. Seninya hilang, mereka malah mengeksploitasi kalau mereka lebih dari perempuan, cantik beda sama kami dulu. Almarhum Dorce saya salut karena dia entertainer, dia jadi seperti itu untuk angkat anaknya. Kalau sekarang kan, saya lihat transgender sekarang mereka mengeksploitasi, maaf ya kalau mereka lebih cantik dari perempuan, tampil seksi," ungkap pria kelahiran Medan ini. Dikenal karena sosoknya yang centil dan feminin, nyatanya Tata Liem yang sekarang punya keinginan untuk menikah. Namun, untuk saat ini ia ingin fokus membenahi diri, agar ketika nanti waktunya tiba menikah, ia tidak merasa membohongi pasangannya. Ia ingin nanti saat menikah sudah benar-benar menjadi pria normal. "Saya gak mau membohongi pasangan saya, ngapain saya menikah tapi hanya untuk kamuflase doang, tapi di belakang itu saya masih seperti ini, mendingan gak usah. Lebih baik kalau jodoh saya ada nanti, dia harus tahu saya itu siapa, dulunya gimana, tapi sebisa mungkin komitmen ke depan ketika menikah saya sudah benar-normal normal," paparnya. "Lebih baik gak usah kalau untuk menikah kamuflase, buat apa memperberat langkah kita untuk melangkah ke neraka ending-nya, kalau bisa, semakin umur semakin baik, jangan sampai kita meninggal suul khatimah, kalau bisa husnul khatimah," tandasnya. Pro Kontra tentunya masih akan terus meliputi eksistensi LGBTQ di Indonesia. Meskipun begitu, semua kembali kepada individu masing-masing, apakah menolak ataupun mendukung, suka atau membenci mereka. Dan bagaimana pun juga, dengan banyaknya para LGBTQ yang mulai terbuka di depan publik, tak bisa dipungkiri bahwa mereka kini sudah hadir di tengah masyarakat. Jadi, marilah memahami dengan lebih menyeluruh dan bijak dalam menyikapi fenomena ini. Alangkah baiknya berpikirlah dan mencari tahu sebelum menilai mereka. Baca juga yang ini! |