PENDAHULUAN Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat lslam. Ia mengandung ajaran keagamaan, baik yang berkaitan dengan teologi, hukum, maupun akhlak. AlQur’an diturunkan Allah dalam bahasa Arab yang amat tinggi tingkatan mutu sastranva. Al-Qur’an sukar dibantah dalil-dalilnya, mencakup berbagai masalah dan mengandung berbagai rahasia. Semuanya tidak rnungkin dapat ditangkap secara sama oleh semua orang, baik dalarn hal pemahaman maknanya, kesan-kesan dan pengambaran-penggambaran yang diutarakannya. Sifatnya yang universal telah membawa kepada perkembangan dalam hal penafsirannya.[1] Quraish Shihab menyatakan bahwa, redaksi ayat-ayat Al-qur’an, sebagaimana redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menirnbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Qur’an, para shahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, rnengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah sruktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang mereka berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang rnaksud-maksud firman Allah itu. Oleh karena itu Abd Hayy al-Fannawi, ketika menerangkan salah satu kegunaan tafsir adalah mengetahui, sesuai dengan kemampuan, maksud Allah yang terdapat di dalam syari’at-Nya yang berupa perintah dan larangan, yang dengannya keadaan manusia menjadi lurus dan baik.[2] Tafsir sebagai usaha memahami dan menerangkan Al-Qur’an telah mengalami perkembangan yang bervariasi, perkembangan ini tumbuh dan sejalan dengan realitas dan era yang dilalui oleh kaum muslimin, sehingga lahirlah tafsir-tafsir balaghi, salafi dan falsafi.[3] Para pengamat tafsir berusaha mengklasifikasikan corak dan aliran yang beragam berdasarkan sudut pandang tertentu. Misalnya al-Farmawi, membagi tafsir dari sudut kecenderungan para mufassir kepada tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi, tafsir al-Shufi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-Falsafi, tafsir al-Ilmi, dan tafsir al-Adab al-Ijtima’i.[4] Adanya bermacam-macarn kecenderungan itu disebabkan karena alQur’an tidak menerangkan bagaimana ayat-ayatnya harus ditafsirkan dan tidak ada satu pu hadits shahih yang menjelaskan cara-cara tertentu untuk rnenafsirkan al-Qur’an. Demikian pula para shahabat, sekalipun mereka rnenafsirkan asbab al-Nuzul, namun hal itu hanya dipandang sebagai hadits mauquf, bukan sebagai tafsir dan tidak pula dipandang sebagai uraian dan penjelasan, karena rnereka berbeda pendapat mengenai makna berbagai ayat al-Qur’an dan masing-masing mengemukakan apa yang menjadi pendapatnya sendiri. Kenyataan itu menunjukan bahwa mereka tidak mencapai kesamaan pendapat rnengenai cara tertentu untuk menafsirkan al-Qur’an.[5] KAJIAN TAFSIR TAHLILY, IJMALY, MUQARRAN DAN MAUDLU’I A. TAFSIR TAHLILY 1. Pengertian Tafsir Tahlily Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud rnenjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya, atau mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab al-Nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau shahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para mufassir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya; dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an tersebut.[6] Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode tahlily ini dapat dibedakan kepada :
Tafsir bi al-Ma’tsur Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadits Nabi yang menjelaskan arti atau makna sebagian ayat yang sulit dipahami oleh shahabat atau penafsiran ayat dengan ijtihad para shahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Semakin jauh jarak masa dari masa Nabi dan para shahabat, rnaka pemahaman umat mengenai makna-makna ayat al-Qur’an semakin beragam dan berkembang.[8] Di antara kitab tafsir hi al-Ma’tsur adalah kitab Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibnu Jarir al-Thabary. Tafsir bi al-Ra’yi Penafsiran ayat al-Qur’an berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama menegaskan bahwa tafsir bi al-Ra’yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-Ra’yi dapat dilihat dari kualitas penafsirannya. Apabila ia memenuhi sejumlah persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka diterimalah penafsirannya. Di antara kitab tafsir bi al-Ra’yi adalah kitab Madarik cl-Tanzil wa al-Haqaiq al-Ta’wil, karangan Ustadz Mahmud al-Nasafy. Tafsir Shufi Penafsiran yang dilakukan oleh para shufi yang pada umumnya dikuasi oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang shufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir shufi adalah kitab T’afsir al-Qur’an al-Adzim, karangan Imam al-Tustury. Tafsir al-Fiqhi Penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh (tokoh) suatu mazhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqh banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh karangan Imam-imam dari berbagai madzhab yang berbeda, sebagaimana kita temukan sebagian ulama mengarang kita tafsir fiqh adalah kitab al-Ahkam al-Qur’an, karangan al-Jasshash. Tafsir Falsafi Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab Mafatih al-Ghaib yang dikarang oleh Fakhr al-Razi. Dalam kita tersebut ia menempuh cara ahli filsafaf dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam dan semantik. Tafsir al-Ilmi Penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengkaitkanya dengan ilmu-ilmu pengeahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Di antara kitab tafsir ‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karangan al-‘Alamah Wahid al-Din Khan. Tafsir Adab al-Ijtima’i Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir Adabi merupakan corak baru yang rnenarik pernbaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’ an. Di antara kitab tafsir Adabi adalah kitab tafsir al-Manar, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. 2. Keistimewaan Tafsir Tahlili Tafsir dengan metode Tahlily disajikan dengan cara yang mudah difahami, dan rnenggunakan ungkapan-ungkapan balaghah yang menarik berdasarkan sya’ir-sya’ir ahli balaghah terdahulu, ungkapan-ungkapan ahli hikmah yang arif, teori-teori ilmiah yang benar, kajian-kajian bahasa, dan hal-hal lain yang dapat membantu dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ an. Metode Tahlily adalah metode yang dipergunakan oleh mayoritas ulama pada masa-masa dahulu. Akan tetapi di antara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), seperti al-Alusy, alFakhr al-Razy, alQurthuby, can Ibn Jarir al-‘lhaba-ry. Ada di antara mereka yang mengemukakannya dengan singkat (ijad), seperti Jalal al-Din al-Suyuthi, Jalal al-Din al-Mahaly dan al-Sayid Muhammad Farid wajdy. Ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah; tidak ithnab dan tidak pula ijaz, seperti Imam al-Baidhawy, Syaikh Muhammari Abduh, al-Naisabury, dan lain-lain. Semua ulama di atas sekalipun mereka sama-sama menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlily, akan tetapi corak tahlily masing-masing berbeda.[10] 3. Prosedur Tafsir Tahlili Tafsir tahlily adalah tafsir yang mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, oleh karena itu tafsir ini mempunyai kriteria tersendiri yaitu:
4. Contoh Kajian Tafsir Tahlily Kajian Tafsir Tahlily oleh Ibn Katsir Mengenai Penciptaan Perempuan dalam al-Qur”an Surat an-Nisa: 1. Artinya : ” Hai sekalian manusia, bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; daripada keduanya Allah rnemperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. sesunguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Q.S. An-Nisa : 1) Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dalam tafsirnya, sebagai berikut: ‘”Allah berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya supaya bertaqwa kepada-Nya, hanya menyembah-Nya tanpa menyekutukan sesuatu kepada-Nya yang telah menciptakan mereka semua dari seorang diri, ialah Adam a.s. dan menciptakan isterinya, ialah Hawa, dari tulang rusuk kirinya di kala Adam tidur dan sewaktu ia terjaga dari tidurnya dilihatnyalah Hawa sudah berada di sisinya lalu bercumbu-cumbuanlah satu dengan yang lain. Dan dari kedua makhluk itu Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan yang banyak yang tersebar di seluruh pelosok dunia, menjadi bangsa-bangsa yang berbeda-beda warna kulitnya, sifat-sifatnya dan bahasa-bahasanya, selanjutnya Allah berfirman, bertaqwalah kamu kepada Allah yang kamu mempergunakan nama-Nya dalam percakapan, bertanya dan meminta satu kepada yang lain. Dan peiliharalah hubungan silaturalimi. Dau sesungguhnya Allah mengawasi segala perbuatan dan tindak-tandukmu.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Qatadah bahwa Ibn Abbas r.a. berkata: “Perempuan itu diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk laki-laki, maka keserakahannya tertuju kepada laki-laki, sedangkan laki-laki diciptakan oleh Allah dari tanah, maka keserakahannya tertuju kepada tanah. Karenanya sim panlah perempuan-perempuanmu”. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk. Jika engkau hendak meluruskan tulang yang bengkok akan patahlah ia, tetapi engkau dapat menikmatinya dalam keadaan bengkok”.[12] B. TAFSIR IJMALY 1. Pengertian Tafsir Ijmaly Tafsir Ijmaly yaitu tafsir al-Qur’an secara global. Dengan metode ijmaly ini muffasir berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah di fahami oleh semua orang, mulai orang yang berpengetahuan luas sampai orang yang berpengetahuan sekadarnya. Sebagaimana metode tahlily, metode ini pun dilakukan terhadap ayat per ayat dan surat per surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf sehingga tampak adanya keterkaitan antara makna satu ayat dengan ayat yang lain, antara satu surat dengan surat yang lain. Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata al-Qur’an dengan kosa kata yang berada di dalam al-Qur’an sendiri, sehingga para pembaca melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur’an , tidak keluar dari muatan makna yang dikandung oleh kosa kata- kosa kata yarg serupa di dalam al-Qur’an, dan adanya keserasian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan bagiannya yang lain. Metode ini lebih jelas dan lebih mudah difahami oleh para pembaca.[13] 2. Keistimewaan Tafsir Ijmaly Mufassir dengan metode ini berbicara kepada pembaca dengan cara yang termudah dalam menjelaskan arti ayat, sehingga mudah bagi mereka untuk mengetahui kandungan al-Qur’an, yaitu nur dan petunjuknya, dengan tidak berbelit-belit dan tidak jauh dari sasaran dan maksud al-Qur’an. Kadangkala mufassir dengan metode ini menafsirkan dengan lafadz al-Qur’an sendiri, sehingga pernbaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur’an dan cara penyajiannya yang mudah dan indah. Pada ayat-ayat tertentu mufassir menunjukan sebab turunnya ayat yang merupakan peristiwa yang menjelaskan arti ayat, dengan mengemukakan hadits Rasulullah Saw. atau pendapat para ulama salaf yang shalih, sehingga pembaca tidak merasa jauh dari metode lain yang telah dikenal, serta menghubungkannya dengan hadits Rasulullah saw. dan hikmah-hikmahnya. Dengan cara demikian, dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.[14] Diantara kitab-kitab tafsir dengan metode Ijmaly adalah Tafsir al-Jalalain, karya Jalal al- Mahaly dan Jalal al-Suyuthi, Shofwah al-Bayan lima’aniy al-Qur’an, karya syeikh Husnain Muhammad Mukhlut. Tafsir al-Qur’an al-Adzim, karya Muhammad Farid Majdy, dan lain-lain.[15] 3. Prosedur Tafsir Ijmaly
4. Contoh Kajian Ijmaly Kajian tafsir ijmaly teniang penafsiran Jalaluddin ibn Muhammad ibn Ahnrad al-Mahaiy dalam Tafsir Jalalain, mengenai penciptaan perempuan dalam al-Qur’an Surat an-Nisa. 1. Artinya : ” Hai sekalian manusia, bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; daripada keduanya Allah rnemperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. sesunguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Q.S. An-Nisa : 1) Secara global ayat ini ditafsirkan Jalaludin bahwa Tuhan menciptakan laki-laki yaitu Adam a.s. dari “nafs wahidah’ dan isterinya juga yaitu Hawa diciptakan dari unsur itu (tulang rusuk sebelah kiri ). Keistimewaan tafsir Jalalain ini selain dikaji secara relatif singkat mengenai makna ayat, juga dikaji masalah nahu atau tata bahasanya, yang berfungsi untuk memahami ayat yang di tafsirkannya tersebut.[19] C. TAFSIR MUQARRAN (KOMPARATIF) 1. Pengertian Tafsir Muqarran Tafsir muqarran yaitu metode penafsiran yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, baik ulama-ulama salaf atau ulama hadits yang metode dan kecenderungan mereka berbeda-beda, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rasuiullah Saw, para shahabat atau tabi’in (tafsir bi al-ma’tsur) atau berdasarkan rasio (Ijtihad, tafsir bi al-Ra’yi), dan mengungkapkan argumentasi mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan-kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Kemudian menjelaskan siapa di antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan madzhab, dan siapa di antara mereka yang penafsirannya ditunjukkan untuk melegitimasi suatu golongan tertentu atau mendukung aliran tertentu dalam Islam. Setelah semua hal tersebut dikemukakan, maka ia mengemukakan pendapatnya tentang mereka. Kemudian ia menjelaskan bahwa corak penafsiran mereka ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya.[20] Di antara tafsir yang menggunakan metode muqarran antara lain al-Zamakhsyari dalam karyanya al-Kassyaf, al-Khazin dalam karyanya Lubab al-Ta’wil, dan lain sebagainya.[21] 2. Keistimewaan Tafsir Muqarran Mufassir yang menggunakan metode muqarran ini dituntut mampu rnenganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia kemukakan untuk kemudian rnengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas. Selain hal tersebut di atas, tafsir muqaran mempunyai pengertian dan lapangan yang lebih luas, yaitu dengan membandingkan antara ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah (kasus), atau membandingkan antara ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Rasulutlah Saw yang tarnpaknya berbeda serta mengkompromikannya dan menghilangkan dugaan adanya pertentangan antara hadits-hadits Rasulullah itu. Kajian-kajian tafsir muqarran ini sangat berharga dan tampak jelas kelebihannya serta profesionalisme seorang mufassir yang disesuaikan dengan bidang dan kemampuannya dalam menggali makna-makna al-Qur’an yang belum diungkap oleh para mufassir sebelumnya. 3. Prosedur Tafsir Muqarran
4. Contoh Tafsir Muqarran Nashiruddin Baidan dalam Tafsir bi al-Ro’yinya, membandingkan para mufasir mengenai penafsiran penciptaan perempuan, sebagai berikut: Para ulama di abad klasik menafsirkan ayat 1 surat al-Nisa sesuai dengan maksud hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dan tulang rusuk Adam. Dalam hal ini terdapat sebuah opini bahwa Hawa, isteri Adam, betul-betul diciptakan Tuhan dari tulang rusuknya. Bahkan al-zamakhsyari yang dianggap sebagai mufasir Mu’tazilah yang rasional pun menganut paham ini. Kata “min nafs” dalam berbagai konjugasinya di dalam ayat-ayat lain yang terulang sebanyak 295 kali di dalam al-Qur’an, tidak ada yang berkonotasi Adam. Berdasarkan kenyataan itu, maka menafsirkan “nafs wahidah” dengan Adam terasa kurang didukung oleh ayat-ayat lain, karena pengertia lafal nafs di dalam al-Qur’an tidak menunjuk kepada diri Adam secara khusus, melainkan menunjukkan kepada berbagai pengertian sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti ‘jiwa’ sebagaimana terdapat di dalam surat 12:53, 89:27, 81:14, 82:7, dan lain-lain. Juga menunjuk kepada pengertian jenis atau bangsa seperti terdapat dalam surat berikut : Ÿ “Dan Alah telah menjadikan untukmu isteri-isteri dari bangsamu (jenismu) sendiri [bukan jenis lain seperti jin, hewan, dan sebagainva]; dan Dia jadikan pula untukmu dari isteri-isteri itu anak-anak dan cucu-cucu. ..'(QS. Al-Nahl :72) “Dan di antara bukti-bukti [ada] Allah ialah diciptakan-Nya untukmu isteri-isteri dari bangsamu sendiri [bukan jenis lain seperti jin, hewan, dan sebagainya]; agar jiwamu lega dan tentram kepadanya, dan Dia jadikan pula kasih sayang di antara kamu …” (QS. Ar-Rum : 21) “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari bangsamu sendiri… (Q.S. At-Taubah: 128). Ketiga ayat yang dikutip di atas memakai lafal ‘anfus’ yakni jamak dari ‘nafs’, dalam konotasi bangsa atau jenis, bukan arti yang lain. Para ahli tafsir umumnya menafsirkan semua ayat tersebut di atas dengan bangsa atau jenis. Baik mufasir bi al-Ma’tsur seperti Ibn Katsir dan lain-lain maupun mufasir bi al-Ra’yi seperti al-Zamakhsyari, al-Alusi dan lain-lain, mereka sepakat bahwa kata ‘anfus’ di dalam ayat-ayat tersebut berkonotasi bangsa atau jenis, bukan jiwa dan sebagainya. Pengertian di atas terasa lebih tepat bila dipakaikan kepada kata ‘nafs’ yang ada pada ayat pertama surat an-Nisa. Dengan demikian, ayat tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu jenis (bangsa); [bangsa manusia bukan jin, hewan dan sebagainya), dan telah menciptakan pula dari jenis tersebut istri (pasangan) nya, daripada keduanya Allah memperkembangbiakan (perkawinan) laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Q.S. An-Nisa : 1) Dari uraian di atas, jelaslah bahwa wanita, menurut al-Qur’an bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam melainkan dari unsur yang sama dengan unsur Adam, yaitu tanah. Jika demikian, maka hadits Nabi yang menginformasikan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana telah dikutip di muka, perlu diberi penjelasan yang memadai agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami kedua nash itu.[24] D. TAFSIR MAUDLU’I 1. Pengertian Tafsir Maudlu’i Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atu sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat. Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum. Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan alqur’an. Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di dalam komteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sistetis, atas dasar ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan yang tersusun. Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut terma itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif). Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu terma tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu. 2. Prosedur Tafsir Maudlu’i Dalam mengugunakan metode tafsir Maudhu’i ini menggunakan kejelian dan kehati-hatian di antaranya harus mengetahui langkah-langkah kerja sesuai dengan aturan mainnya. Abd. Hayy Farmawi menawarkan langkah-langkah sebagai berikut Ada beberapa langkah yang harus ditempuh bagi seorang mufassir dalam menggunakan metode tafsir Maudhu’i ini, yaitu:
Adapun rumusan langkah-langkah yang ditempuh dalam metode tafsir Maudhu’i yang dikemukakan oleh Ali Hasan al-Aridh antara lain :
Kedua prosedur atau langkah-langkah di atas, walaupun dikemukakan dengan cara sedikit berbeda namun secara esensial keduanya tentu saling berkaiatan dan saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga nampaklah bahwa langkah-langkah tersebut menempatkan penyusunan pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna. Zahir bin Awadh, lebih luas menambahkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i antara lain :
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa dari ketiga pendapat tersebut di atas tetap menempatkan unsur tema atau topik sebagi unsur yang pertama dan sangat diutamakan. Inilah yang menjadi karakteristik metode Tafsir Maudhu’i yang membedakan dengan Tafsir lainnya.
3. Kelebihan Tafsir Maudhu’i Bila dicermati, dalam metode tafsir maudhu’i akan diperoleh pengertian bahwa metode ini merupakan usaha yang berat tetapi teruji. Dikatakan berat, karena mufassir harus mengumpulkan ayat dalam satu tema dan hal-hal yang berhubungan dengan tema tersebut. Dikatakan teruji, karena memudahkan orang dalam menghayati dan memahami ajaran Alquran, serta untuk memenuhi menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di zaman ini. Begitu pentingnya metode ini, Abdul Djalal menyebutkan faedah metode ini yaitu, (1) akan mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul bahasan, sehingga bisa menjelaskan arti dan maksud-maksud ayat-ayat A1-qur’an dan petunjuknya, ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya. (2) akan memberikan pandangan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh nash-nash Alquran mengenai topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai topik tersebut secara lengkap. (3) menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang, yang mempunyai tujuan jahat terhadapAlquran, seperti dikatakan bahwa ajara Alquran bertentangan dengan ilmu pengetahuan, (4) lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan tuntutan-tuntutan Alquran yang umum bagi semua pranata kehidupan sosial dalam bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah difahami, dimanfaatkan dan diamalkan, (5) mempermudah bagi para muballigh dan penceramah serta pengajar untuk mengetahui secara sempurna berbagai macam topik dalam Alquran, (6) akan bisa cepat sampai ke tujuan untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu topik bahasan aI-qur’an tanpa susah payah, (7) akan menarik orang untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan isi Alqur’an, sehingga Insya Allah tidak ada lagi semacam kesenjangan antara ajaran-ajaran Alquran dengan pranata kehidupan mereka. (8) silabi pelajaran tafsir di madrasah-madrasah dan silabi mata kuliah tafsir di fakultas-fakultas, bisa dijabarkan dalam buku-buku pelajaran sehingga menunjang pendidikan yang merupakan program nasional. Menurut al-Zahabi bahwa telah terjadi kesalahan pada tafsir bi al-ro’yu antara lain (1) kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang dikandung dalam lafaz-lafaz alqur’an tersebut, dan (2) kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafaz dan maknanya yang bisa difahami oleh penutur bahasa Arab tanpa memperhatiakn apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan Alqur’an tersebut, yang dibicarakan olehNya dan konteks kalimatnya. Oleh karenanya oleh Mursi Ibrahi mmengemukakan bahwa perlunya mufassir mengumpulkan nash-nash Alquran yang berhubungan dengan judul yang dibahas. Dari sini kita melihat bahwa tafsir maudhu’i itu penting artinya. Disamping banyak faedah tafsir maudhu’i, juga terdapat kekeliruan menafsirkan Alquran yaitu karena dalam menafsirkannya hanya mengambil parsial ayat, juga tafsir dengan metode ini semakin penting melihat banyaknya penyusupan konsep-konsep asing dalam kosa kata, yang menimbulkan kerancuan dalam pengetahuan tentang Ialam serta pandangan di kalangan umat Islam, dan pada masa sekarang tidak banyak umat Ialam yang hafal Alqur’an, maka besar kemumgkinan terjadinya pemahaman ayat tidak sejalan dengan ayat-ayat lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Farmawi bahwa tafsir ini dapat menghindarkan terjadinya pendapat-pendapat yang saling bertentangan dan subhat-subhat yang diciptakan oleh oarang-orang yang mempunyai tujuan tertentu. Telah muncul beberapa kitab atau makalah yang dalam penafsirannya dengan memakai tafsir maudhu’i atau sedikit-dikitnya mendekati penerapan tafsur ini, antara lain:
BAB III RINGKASAN Tafsir al-Qur’an jika ditinjau dari segi metodologi, terbagi kepada :
DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon, Samudra al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) al-‘Aridl, Ali Hasan al-‘Aridl, Tarikh al-‘Ilm al-Tafsir wa al-Manhaji al-Mufassirin, terj. Ahmad Akrom, (Jakarta: RajawaliPress, 1992) Baidan, Nashiruddin, Tafsir bi al-Ra’yi; Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) al-Baghdady, Abdurrahman, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran al-Qur’an, (Bandung: Al-Ma’arif, 1998) Al-Farmawi, Abd al-Hayy, Dirasah Manhajiah Maudhu’iyah, terj. Suryan A. Jamiah, (Jakarta : Rajawaii Press, 1994) Ibn Katsir al-Quraisy al-Dimasyqy, Abu Fida’ Isma’il, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Qalam, tt) al-Mahali, Jalaluddin al-Mahali dan as-suyuthi, Jalaluddin, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut : Darr al-Fikr, tt) al-Munawar, Said Agil Husen, al-Qur’an Memhangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Umat Islam Indonesia Membutuhkan Tafsir Indonesia, (Jakarta: Budaya Djaya, 1978) Syamsudin, Sahiron, Sejarah Pewahyuan al-Qur’an; Sebuah Pengantar, Hand Out Mata Kuliah Tafsir pada Jurusan Studi Qur’an dan Hadits IAIN Yogyakarta, (Ttp :tp, 1995) al-Zahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Kairo . Dar al-Kutub, 1962)
[1] Sahiron Syamsudin, Sejarah Pewahyuan al-Qur’an: Sebuah pengantar, Hand Out Mata Kuliah Tafsir pada Jurusan Studi Qur’an dan Hadits IAIN yogyakarta, (Ttp : tp, 1995), hal 1
[2] Abd al-Hayy al-Farmawi, Dirasah Manhajiah Maudhu’iyah, penerjemah Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawaili Press, 1994), hal. 6
[3] TM. Hasbi ash-shiddieqy, Umat Islam Indone sia Membutuhkan Tafsir Indonesia, (Jakarta : Budaya Djaya, 1978). hlm 60.
[4] Abd al-Hayy al-Farmawi, Dirasah …, hlm 12.
[5] Abdurrahman al-Baghdady, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran al-Qur’an, (Bandung : al-Ma’arif, 1980), hlm 11.
[6] Abd al-Hayy al-Farmawi, Dirasah…hal 12
[8] Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Kairo : Dar al-Kutub, 1962), hlm 152
[9] Said Agil Husen al-Munawar, al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki, (Jakarta, Ciputat Press, 2002), hlm. 70-71
[11] Ali Hasan al-‘Aridl, Tarikh al-‘Ilm al-Tafsir wa al-Manhaj al-Mufasirin, terjemah Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Press: 1992), hlm 41
[12] Abu Ridla’ Ismail Ibn Katsir al-Quraisy al-Dimasyiqi, Tafsir al-Quran al-Adzim (Beirut: Dar al-Qalam II), Hal 385
[13] Rosihan Anwar, Samudra al-Quran (Bandung: Pustaka Setia 2001) hal 155
[14] Ali Hasan al-Aridl, Tarikh al-Ilm, hal 73-74
[15] Said Husen al-Munawar, al-Quran Membangun, hal 72
[16] Dalam sistematika uraiannya menafsir berarti membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakan di dalam rangkaian ayat atau menurut pola yang diakui oleh Jumhur ulama. Dengan demikian penafsir mengikuti cara dan susunan al-Quran yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan yang lainnya. Lihat Abd al-Hayy al-Farmawy, Dirasah…hal 29
[17] Dengan metode ini pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri; tidak jauh dari lafadz-lafadznya sehingga di satu sisi karya ini dinilai betul-betul sebagai karya tafsir dan di sisi lain betul-betul mempunyai hubungan yang erat dengan susunan bahasa al-Quran.
[19] Lihat Jalaludin al-Mahali dan al-Suyuthi, Tafsir al-Quran al-Adzim (Beirut: Dar al-Fikr) Hal 63
[21] Ali Hasan al-Aridl, Tarikh al-Ilm, hal 76
[22] Mufassir membandingkan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadits Nabi, termasuk hadits-hadits yang makna tekstualnya nampak kontradiktif dengan al-Quran atau membandingkan dengan kajian-kajian lainnya.
[23] Rosihan Anwar, Samudera al-Quran…. Hal 156
[24] Nasirudin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal 7-10 |