Penafsiran al qur an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir disebut

PENDAHULUAN

Al-Qur’an  adalah kitab  suci  bagi umat  lslam.  Ia  mengandung ajaran keagamaan,  baik yang  berkaitan  dengan  teologi,  hukum,  maupun akhlak. AlQur’an diturunkan  Allah dalam bahasa  Arab yang  amat tinggi  tingkatan  mutu sastranva.  Al-Qur’an  sukar  dibantah  dalil-dalilnya,  mencakup berbagai  masalah dan  mengandung berbagai  rahasia.  Semuanya  tidak rnungkin  dapat ditangkap secara sama oleh semua orang,  baik  dalarn  hal pemahaman maknanya, kesan-kesan  dan pengambaran-penggambaran  yang diutarakannya.  Sifatnya  yang  universal  telah  membawa kepada  perkembangan  dalam hal penafsirannya.[1]

Quraish  Shihab menyatakan bahwa,  redaksi  ayat-ayat  Al-qur’an, sebagaimana  redaksi  yang  diucapkan  atau  ditulis,  tidak  dapat  dijangkau maksudnya secara  pasti,  kecuali  oleh  pemilik  redaksi  tersebut.  Hal ini  kemudian menirnbulkan  keanekaragaman  penafsiran. Dalam hal  Al-Qur’an,  para shahabat Nabi  sekalipun  yang  secara  umum  menyaksikan turunnya  wahyu,  rnengetahui konteksnya,  serta  memahami  secara  alamiah  sruktur bahasa  dan  arti kosa  katanya, tidak  jarang mereka berbeda  pendapat,  atau  bahkan  keliru  dalam pemahaman  mereka tentang  rnaksud-maksud  firman Allah  itu.  Oleh karena itu  Abd Hayy al-Fannawi, ketika  menerangkan  salah satu kegunaan tafsir  adalah mengetahui,  sesuai  dengan kemampuan,  maksud  Allah yang  terdapat di  dalam  syari’at-Nya  yang  berupa perintah  dan larangan, yang dengannya  keadaan  manusia  menjadi lurus  dan  baik.[2]

Tafsir  sebagai  usaha  memahami  dan menerangkan  Al-Qur’an  telah mengalami  perkembangan  yang  bervariasi, perkembangan  ini  tumbuh  dan  sejalan dengan  realitas  dan  era  yang dilalui  oleh kaum muslimin, sehingga  lahirlah  tafsir-tafsir  balaghi,  salafi  dan falsafi.[3] Para pengamat  tafsir berusaha mengklasifikasikan  corak  dan aliran  yang  beragam  berdasarkan  sudut pandang tertentu.  Misalnya  al-Farmawi, membagi  tafsir  dari  sudut kecenderungan  para mufassir kepada tafsir  bi al-ma’tsur,  tafsir  bi al-Ra’yi,  tafsir  al-Shufi,  tafsir  al-fiqhi,  tafsir  al-Falsafi,  tafsir  al-Ilmi, dan  tafsir  al-Adab  al-Ijtima’i.[4]

Adanya bermacam-macarn  kecenderungan  itu  disebabkan  karena  alQur’an  tidak  menerangkan  bagaimana ayat-ayatnya  harus  ditafsirkan dan  tidak ada  satu pu hadits  shahih  yang  menjelaskan  cara-cara tertentu  untuk  rnenafsirkan al-Qur’an.  Demikian  pula para shahabat,  sekalipun  mereka  rnenafsirkan  asbab  al-Nuzul,  namun hal  itu  hanya  dipandang  sebagai  hadits  mauquf,  bukan  sebagai  tafsir dan  tidak  pula  dipandang  sebagai  uraian  dan  penjelasan,  karena  rnereka  berbeda pendapat mengenai  makna berbagai  ayat  al-Qur’an dan masing-masing mengemukakan  apa  yang menjadi  pendapatnya  sendiri. Kenyataan itu menunjukan  bahwa  mereka  tidak  mencapai  kesamaan  pendapat  rnengenai  cara tertentu  untuk  menafsirkan  al-Qur’an.[5]

KAJIAN TAFSIR  TAHLILY,  IJMALY,  MUQARRAN DAN MAUDLU’I

A.      TAFSIR TAHLILY

1. Pengertian  Tafsir  Tahlily

Tafsir  Tahlily  adalah  suatu  metode tafsir  yang  bermaksud  rnenjelaskan kandungan  ayat-ayat  al-Qur’an  dari  seluruh  aspeknya, atau  mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari  segala  segi  dan  maknanya. Di dalam  tafsirnya,  penafsir  mengikuti runtutan  ayat  sebagaimana yang telah  tersusun  di dalam  mushaf.  Penafsir memulai uraiannya  dengan mengemukakan  arti kosa  kata  diikuti dengan penjelasan  mengenai  arti  global  ayat. Ia  juga mengemukakan  munasabah (korelasi)  ayat-ayat  serta  menjelaskan  hubungan  maksud  ayat-ayat  tersebut  satu sama  lain.  Begitu  pula, penafsir  membahas  mengenai  sabab al-Nuzul  (latar  belakang turunnya  ayat)  dan  dalil-dalil  yang berasal  dari  Rasul, atau  shahabat,  atau  para  tabi’in,  yang  kadang-kadang  bercampur  baur  dengan pendapat  para  mufassir itu  sendiri  dan  diwarnai oleh latar  belakang pendidikannya;  dan  sering  pula bercampur  baur dengan  pembahasan  kebahasaan dan  lainnya  yang dipandang  dapat  membantu  memahami nash al-Qur’an  tersebut.[6]

Ditinjau  dari segi  kecenderungan  para penafsir, metode  tahlily  ini  dapat dibedakan kepada :

  1. Tafsir  bi al-Ma’tsur
  2. Tafsir  bi  al-Ra’yi
  3. Tafsir  al-Shufi
  4. Tafsir al-Fiqhi
  5. Tafsir al-Falsafi
  6. Tafsir  al-Ilmi
  7. Tasir  al-Adah  al-Ijtima’i[7]

Tafsir bi al-Ma’tsur

Tafsir bi al-Ma’tsur  yaitu penafsiran  ayat  dengan ayat,  penafsiran  ayat dengan  hadits Nabi yang menjelaskan  arti atau makna sebagian  ayat yang  sulit dipahami  oleh shahabat  atau penafsiran  ayat  dengan  ijtihad  para shahabat,  atau penafsiran  ayat dengan hasil ijtihad  para tabi’in.  Semakin  jauh jarak masa  dari masa Nabi dan para  shahabat, rnaka  pemahaman  umat  mengenai makna-makna ayat  al-Qur’an  semakin beragam  dan  berkembang.[8]

Di antara kitab  tafsir  hi al-Ma’tsur  adalah  kitab Jami’  al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,  karangan  Imam  Ibnu  Jarir  al-Thabary.

Tafsir  bi al-Ra’yi

Penafsiran ayat al-Qur’an  berdasarkan  pendapat atau  akal. Para  ulama menegaskan  bahwa  tafsir  bi  al-Ra’yi  ada  yang  diterima  dan  ada yang  ditolak. Suatu penafsiran  bi al-Ra’yi  dapat  dilihat dari kualitas  penafsirannya. Apabila ia memenuhi sejumlah  persyaratan yang  dikemukakan para ulama  tafsir, maka diterimalah penafsirannya.

Di antara  kitab  tafsir  bi al-Ra’yi adalah  kitab Madarik  cl-Tanzil  wa al-Haqaiq  al-Ta’wil,  karangan  Ustadz Mahmud al-Nasafy.

 Tafsir Shufi

Penafsiran  yang  dilakukan  oleh  para shufi yang pada umumnya dikuasi oleh ungkapan  mistik.  Ungkapan-ungkapan tersebut  tidak  dapat  dipahami kecuali oleh  orang-orang  shufi dan  yang melatih diri untuk  menghayati  ajaran tasawuf.

Di antara  kitab tafsir  shufi  adalah kitab  T’afsir al-Qur’an  al-Adzim, karangan  Imam al-Tustury.

Tafsir al-Fiqhi

Penafsiran  ayat al-Qur’an  yang  dilakukan  oleh  (tokoh)  suatu  mazhab untuk  dijadikan  sebagai  dalil atas  kebenaran  madzhabnya.  Tafsir  fiqh  banyak ditemukan  dalam kitab-kitab  fiqh  karangan  Imam-imam  dari  berbagai  madzhab yang  berbeda,  sebagaimana  kita  temukan  sebagian  ulama mengarang  kita tafsir fiqh  adalah  kitab  al-Ahkam  al-Qur’an,  karangan  al-Jasshash.

Tafsir  Falsafi

Penafsiran  ayat-ayat  al-Qur’an  dengan  menggunakan  teori-teori  filsafat. Contoh  kitab tafsir  falsafi  adalah  kitab  Mafatih  al-Ghaib yang  dikarang  oleh Fakhr  al-Razi.  Dalam kita tersebut  ia menempuh  cara  ahli  filsafaf  dalam mengemukakan  dalil-dalil  yang  didasarkan  pada  ilmu  kalam  dan  semantik.

Tafsir al-Ilmi

Penafsiran  ayat-ayat  kauniyah  yang terdapat  dalam  al-Qur’an  dengan mengkaitkanya  dengan ilmu-ilmu  pengeahuan  modern  yang timbul  pada  masa sekarang.

Di antara  kitab  tafsir  ‘ilmi  adalah  kitab  al-Islam  Yata’adda,  karangan  al-‘Alamah Wahid al-Din  Khan.

Tafsir Adab  al-Ijtima’i

Penafsiran  ayat-ayat  al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan  makna-makna  dan  sasaran-sasaran  yang dituju  oleh  al-Qur’an,  mengungkapkan  hukum-hukum  alam,  dan  tatanan-tatanan kemasyarakatan  yang dikandungnya. Tafsir Adabi  merupakan corak baru yang rnenarik  pernbaca  dan menumbuhkan  kecintaan  kepada al-Qur’an serta memotivasi  untuk  menggali  makna-makna  dan  rahasia-rahasia  al-Qur’  an.

Di antara kitab tafsir  Adabi adalah kitab  tafsir  al-Manar,  karya  Muhammad Abduh dan Rasyid  Ridla.

2. Keistimewaan  Tafsir  Tahlili

Tafsir  dengan  metode  Tahlily  disajikan  dengan cara yang mudah  difahami, dan rnenggunakan  ungkapan-ungkapan  balaghah  yang  menarik berdasarkan sya’ir-sya’ir  ahli balaghah  terdahulu,  ungkapan-ungkapan  ahli  hikmah  yang  arif, teori-teori  ilmiah  yang benar, kajian-kajian bahasa, dan  hal-hal  lain  yang dapat membantu  dalam  memahami  ayat-ayat  al-Qur’  an.

Metode Tahlily  adalah  metode yang  dipergunakan oleh  mayoritas  ulama pada masa-masa  dahulu. Akan tetapi  di antara  mereka  ada  yang mengemukakan kesemua  hal tersebut  di atas  dengan  panjang  lebar  (ithnab),  seperti  al-Alusy,  alFakhr  al-Razy,  alQurthuby,  can  Ibn  Jarir  al-‘lhaba-ry.  Ada  di antara  mereka yang mengemukakannya  dengan  singkat (ijad),  seperti  Jalal  al-Din  al-Suyuthi,  Jalal al-Din  al-Mahaly  dan al-Sayid Muhammad Farid  wajdy.  Ada  pula yang mengambil langkah  pertengahan  (musawah;  tidak  ithnab  dan  tidak  pula  ijaz,  seperti  Imam al-Baidhawy,  Syaikh  Muhammari  Abduh,  al-Naisabury,  dan lain-lain.  Semua ulama  di atas  sekalipun  mereka sama-sama  menafsirkan  al-Qur’an  dengan menggunakan  metode tahlily, akan  tetapi  corak  tahlily  masing-masing  berbeda.[10]

3.  Prosedur  Tafsir  Tahlili

Tafsir  tahlily  adalah  tafsir  yang  mengkaji  ayat-ayat  al-Qur’an  dari segala segi  dan  maknanya,  oleh  karena itu  tafsir  ini  mempunyai  kriteria tersendiri  yaitu:

  1. Para  pengkaji tafsir  dengan  menggunakan metode talilily  ini,  terlebih  dulu menafsirkan  ayat-ayat  al-Qur’an,  ayat demi ayat  dan  surat  demi surat, sesuai  dengan  urutan  mushaf  utsmani.
  2. Dalam  tafsir  ini  diuraikan  kosa  kata dan lafadz,  dan dijelaskan  arti  yang dikehendaki,  sasaran  yang  dituju  dan  kandungan  ayat, yaitu unsur  I’jaz, balaghah  dan  keindahan  susunan kalimatnya.
  3. Terdapat istinbath hukum  dari ayat,  yaitu  hukum fiqh, dalil  syar’i.
  4. Maknanya dikaji  secara  bahasa,  norma-norrna  akhlak,  aqidah  atau tauhid, perintah,  larangan, janji, ancaman,  haqiqat,  majaz, kinayah dan  isti’arah
  5. Dikemukakan kaitan  antara  ayat dengan ayat dan  relevansinya  dengan surat  sebelum dan  sesudahnya.[11]       

4. Contoh  Kajian  Tafsir  Tahlily

Kajian  Tafsir Tahlily oleh Ibn Katsir Mengenai  Penciptaan Perempuan  dalam  al-Qur”an  Surat an-Nisa:  1.

Penafsiran al qur an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir disebut

Artinya  :  ” Hai sekalian manusia, bertaqwalah  kamu  kepada  Tuhanmu  yang  telah menciptakan  kamu  dari  seorang  diri, dan  daripadanya  Allah menciptakan isterinya;  daripada  keduanya Allah  rnemperkembangbiakan  laki-laki dan perempuan yang  banyak,  dan  bertaqwalah  kepada  Allah  yang

dengan  mempergunakan  nama-Nya kamu  saling meminta  satu sama lain,  dan  (peliharalah)  hubungan  silaturahmi.  sesunguhnya  Allah selalu  menjaga  dan  mengawasi  kamu”  (Q.S.  An-Nisa  :  1)

Ibnu  Katsir  menafsirkan  ayat ini  dalam  tafsirnya,  sebagai  berikut:

‘”Allah  berfirman  memerintahkan  kepada  hamba-hamba-Nya supaya  bertaqwa  kepada-Nya,  hanya menyembah-Nya  tanpa menyekutukan  sesuatu kepada-Nya  yang  telah  menciptakan  mereka  semua

dari  seorang  diri,  ialah  Adam  a.s. dan  menciptakan  isterinya,  ialah  Hawa, dari  tulang  rusuk  kirinya  di kala  Adam tidur  dan  sewaktu  ia  terjaga dari tidurnya  dilihatnyalah  Hawa  sudah berada  di sisinya  lalu  bercumbu-cumbuanlah  satu  dengan  yang lain.  Dan dari kedua  makhluk  itu  Allah menciptakan  manusia  laki-laki  dan  perempuan  yang  banyak  yang tersebar di seluruh  pelosok  dunia,  menjadi bangsa-bangsa  yang  berbeda-beda warna  kulitnya,  sifat-sifatnya dan  bahasa-bahasanya, selanjutnya  Allah berfirman,  bertaqwalah  kamu  kepada  Allah  yang  kamu  mempergunakan nama-Nya  dalam  percakapan,  bertanya  dan  meminta satu kepada  yang lain.  Dan peiliharalah hubungan  silaturalimi.  Dau sesungguhnya  Allah mengawasi  segala  perbuatan  dan  tindak-tandukmu.”

Diriwayatkan  oleh Ibnu  Abi  Hatim  dari Qatadah bahwa  Ibn Abbas r.a.  berkata:  “Perempuan  itu  diciptakan  oleh Allah  dari tulang  rusuk  laki-laki,  maka  keserakahannya  tertuju  kepada laki-laki,  sedangkan  laki-laki diciptakan oleh Allah  dari  tanah,  maka keserakahannya  tertuju kepada tanah.  Karenanya  sim panlah perempuan-perempuanmu”.

Dalam  sebuah hadits shahih disebutkan:

“sesungguhnya  perempuan  itu  diciptakan  dari  tulang rusuk.  Jika  engkau hendak  meluruskan tulang  yang  bengkok  akan patahlah  ia,  tetapi  engkau dapat  menikmatinya  dalam  keadaan  bengkok”.[12]

B.      TAFSIR IJMALY

1.      Pengertian Tafsir Ijmaly

Tafsir Ijmaly yaitu  tafsir al-Qur’an secara  global. Dengan  metode ijmaly  ini  muffasir  berupaya  menjelaskan  makna-makna  al-Qur’an  dengan  uraian singkat dan  bahasa  yang mudah  di fahami  oleh  semua orang, mulai orang yang berpengetahuan  luas  sampai  orang  yang  berpengetahuan  sekadarnya. Sebagaimana  metode  tahlily,  metode  ini  pun  dilakukan terhadap  ayat per ayat  dan surat  per surat sesuai  dengan urutannya  dalam  mushaf sehingga  tampak  adanya keterkaitan antara makna satu ayat  dengan ayat  yang  lain,  antara  satu surat dengan  surat  yang  lain.

Dengan  metode  ini,  mufassir  berupaya pula  menafsirkan  kosa  kata  al-Qur’an dengan  kosa  kata yang  berada  di dalam al-Qur’an sendiri,  sehingga  para pembaca  melihat  uraian  tafsirnya  tidak  jauh dari konteks  al-Qur’an , tidak  keluar dari  muatan  makna  yang dikandung oleh  kosa  kata- kosa  kata yarg serupa  di dalam  al-Qur’an,  dan  adanya  keserasian  antara bagian al-Qur’an  yang  satu dengan bagiannya  yang lain.  Metode ini  lebih jelas  dan  lebih  mudah difahami  oleh  para pembaca.[13]

2.       Keistimewaan Tafsir Ijmaly

Mufassir  dengan  metode  ini  berbicara kepada  pembaca  dengan  cara  yang termudah  dalam  menjelaskan  arti ayat,  sehingga  mudah  bagi  mereka  untuk mengetahui  kandungan  al-Qur’an,  yaitu  nur  dan petunjuknya,  dengan tidak berbelit-belit  dan  tidak  jauh dari  sasaran  dan  maksud al-Qur’an.

Kadangkala  mufassir  dengan metode  ini  menafsirkan  dengan  lafadz  al-Qur’an sendiri,  sehingga pernbaca  merasa  bahwa uraian  tafsirnya  tidak jauh dari konteks  al-Qur’an dan cara  penyajiannya  yang  mudah  dan  indah. Pada ayat-ayat tertentu  mufassir  menunjukan  sebab  turunnya ayat  yang merupakan  peristiwa yang menjelaskan  arti ayat,  dengan  mengemukakan  hadits  Rasulullah  Saw. atau pendapat  para ulama  salaf  yang  shalih,  sehingga pembaca  tidak  merasa jauh dari metode lain  yang telah  dikenal,  serta  menghubungkannya dengan hadits Rasulullah saw.  dan hikmah-hikmahnya.  Dengan  cara  demikian,  dapatlah diperoleh  pengetahuan  yang  diharapkan  dengan  sempurna  dan sampailah  kepada tujuannya  dengan  cara  yang mudah  serta uraian  yang singkat  dan  bagus.[14]

Diantara  kitab-kitab  tafsir  dengan metode  Ijmaly  adalah  Tafsir  al-Jalalain,  karya  Jalal  al-  Mahaly dan  Jalal al-Suyuthi, Shofwah  al-Bayan  lima’aniy al-Qur’an, karya  syeikh  Husnain Muhammad  Mukhlut.  Tafsir  al-Qur’an  al-Adzim,  karya Muhammad  Farid  Majdy, dan  lain-lain.[15]

3.       Prosedur Tafsir Ijmaly

  1. Mufassir  menafsirkan ayat-ayatal-eur’an  dengan  makna  giobal.[16]
  2. Mufassir menggunakan lat’adz  bahasa  yang mirip bahkan  sama dengan lafadz al-Qur’an.[17]
  3. Pada  ayat-ay,at  tertentu  dikemukakan  Asbab al-Nuzul  atau  peristiwa  yang melatar belakangi  turunnya  ayat.[18]

4.       Contoh Kajian Ijmaly

Kajian  tafsir  ijmaly  teniang  penafsiran  Jalaluddin  ibn  Muhammad ibn Ahnrad  al-Mahaiy  dalam Tafsir Jalalain,  mengenai penciptaan  perempuan dalam al-Qur’an  Surat an-Nisa.  1.

Penafsiran al qur an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir disebut

Artinya  :  ” Hai sekalian manusia, bertaqwalah  kamu  kepada  Tuhanmu  yang  telah menciptakan  kamu  dari  seorang  diri, dan  daripadanya  Allah menciptakan isterinya;  daripada  keduanya Allah  rnemperkembangbiakan  laki-laki dan perempuan yang  banyak,  dan  bertaqwalah  kepada  Allah  yang

dengan  mempergunakan  nama-Nya kamu  saling meminta  satu sama lain,  dan  (peliharalah)  hubungan  silaturahmi.  sesunguhnya  Allah selalu  menjaga  dan  mengawasi  kamu”  (Q.S.  An-Nisa  :  1)

Secara  global  ayat  ini  ditafsirkan  Jalaludin  bahwa  Tuhan menciptakan laki-laki  yaitu  Adam  a.s. dari  “nafs wahidah’  dan  isterinya  juga yaitu Hawa diciptakan  dari  unsur  itu  (tulang  rusuk  sebelah  kiri ). Keistimewaan  tafsir  Jalalain  ini  selain  dikaji  secara  relatif  singkat mengenai  makna ayat,  juga  dikaji masalah  nahu  atau  tata  bahasanya,  yang berfungsi untuk memahami  ayat yang  di tafsirkannya  tersebut.[19]

C.      TAFSIR MUQARRAN (KOMPARATIF)

1.       Pengertian Tafsir Muqarran

Tafsir  muqarran yaitu metode penafsiran  yang  ditempuh  oleh  seorang mufassir dengan  cara mengambil  sejumlah  ayat al-Qur’an kemudian mengemukakan  penafsiran  para ulama tafsir  terhadap  ayat-ayat itu,  baik ulama-ulama  salaf  atau  ulama hadits  yang  metode  dan  kecenderungan  mereka berbeda-beda, baik  penafsiran  mereka berdasarkan  riwayat  yang  bersumber  dari  Rasuiullah Saw,  para  shahabat  atau tabi’in  (tafsir bi al-ma’tsur)  atau  berdasarkan  rasio (Ijtihad,  tafsir  bi al-Ra’yi),  dan  mengungkapkan  argumentasi  mereka  serta membandingkan segi-segi  dan  kecenderungan-kecenderungan  masing-masing yang  berbeda dalam  menafsirkan  al-Qur’an.  Kemudian  menjelaskan  siapa  di antara  mereka  yang  penafsirannya  dipengaruhi  oleh perbedaan madzhab, dan siapa  di antara  mereka yang  penafsirannya  ditunjukkan  untuk  melegitimasi  suatu golongan  tertentu  atau  mendukung  aliran tertentu  dalam Islam.

Setelah  semua  hal tersebut  dikemukakan,  maka  ia  mengemukakan pendapatnya tentang  mereka.  Kemudian  ia  menjelaskan  bahwa corak  penafsiran mereka  ditentukan  oleh  disiplin  ilmu  yang  dikuasainya.[20]

Di antara tafsir  yang  menggunakan  metode  muqarran antara  lain  al-Zamakhsyari  dalam  karyanya  al-Kassyaf,  al-Khazin  dalam  karyanya  Lubab al-Ta’wil,  dan lain sebagainya.[21]

2.       Keistimewaan Tafsir Muqarran

Mufassir yang  menggunakan  metode muqarran  ini  dituntut  mampu rnenganalisis  pendapat-pendapat  para ulama  tafsir  yang  ia  kemukakan  untuk kemudian  rnengambil  sikap menerima  penafsiran  yang dinilai benar dan  menolak penafsiran yang  tidak dapat  diterima  oleh  rasionya  serta  menjelaskan  kepada pembaca  alasan  dari  sikap  yang diambilnya,  sehingga  pembaca  merasa puas.

Selain  hal tersebut  di atas,  tafsir  muqaran  mempunyai pengertian  dan lapangan  yang lebih  luas,  yaitu  dengan  membandingkan  antara ayat-ayat  al-Qur’an  yang  berbicara  tentang  satu  masalah (kasus),  atau  membandingkan antara ayat-ayat  al-Qur’an  dengan hadits-hadits  Rasulutlah  Saw yang  tarnpaknya berbeda  serta  mengkompromikannya  dan menghilangkan dugaan adanya  pertentangan  antara hadits-hadits  Rasulullah  itu.

Kajian-kajian  tafsir  muqarran  ini  sangat berharga  dan tampak  jelas kelebihannya  serta  profesionalisme  seorang  mufassir  yang  disesuaikan dengan bidang  dan  kemampuannya  dalam menggali  makna-makna  al-Qur’an yang  belum diungkap  oleh  para  mufassir sebelumnya.

3.       Prosedur Tafsir Muqarran

  1. Dalam  tafsir  muqaran dikemukakan  penjelasan  para  mufassir,  baik di kalangan  ulama  Salaf ataupun ulama  Khalaf, baik  tafsirnya  yang bercorak bi al-Ma’ tsur maupun  bi  al-Ra’yi.
  2. Tafsir  muqaran  mempunyai  pengertian  atau penafsiran  yang  lebih  luas karena adanya perbandingan  antara satu  mufassir  dengan  yang lainnya.[22]
  3. Terdapat kritik atas tafsiran-tafsiran yang dipengaruhi oleh madzhab  tertentu atau  penafsiran  yang ditujukan untuk melegitimasi golongan atau  madzhab  tertentu.   Di dalam jenis tafsir ini juga terdapat pembahasan tentang mufassir  yang  penafsirannva diwamai oleh latar  belakang  disiplin  ilmu  yang  dimilikinya,  seperti  bahasa, fiqh, aliran  kalam, tasawuf,  filsafat  atau teori-teori  ilmiah.[23]

4.       Contoh Tafsir Muqarran

 Nashiruddin  Baidan  dalam  Tafsir bi al-Ro’yinya,  membandingkan para mufasir  mengenai penafsiran  penciptaan  perempuan,  sebagai  berikut:

Para ulama di abad klasik menafsirkan  ayat 1 surat al-Nisa  sesuai  dengan  maksud hadits yang  menyatakan  bahwa perempuan  diciptakan  dan  tulang  rusuk  Adam. Dalam hal ini terdapat sebuah  opini bahwa  Hawa,  isteri  Adam,  betul-betul  diciptakan Tuhan  dari tulang  rusuknya.  Bahkan  al-zamakhsyari  yang  dianggap  sebagai mufasir  Mu’tazilah  yang rasional  pun menganut paham  ini.

Kata “min nafs”  dalam  berbagai  konjugasinya  di dalam ayat-ayat  lain yang  terulang  sebanyak  295  kali  di dalam al-Qur’an,  tidak  ada  yang  berkonotasi Adam.  Berdasarkan  kenyataan  itu,  maka menafsirkan  “nafs wahidah”  dengan Adam  terasa kurang didukung  oleh ayat-ayat  lain,  karena  pengertia lafal  nafs  di dalam  al-Qur’an  tidak  menunjuk  kepada  diri  Adam  secara  khusus,  melainkan

menunjukkan  kepada  berbagai  pengertian  sesuai  dengan  konteks pembicaraan, seperti  ‘jiwa’ sebagaimana  terdapat  di  dalam  surat 12:53, 89:27, 81:14, 82:7, dan  lain-lain.  Juga menunjuk  kepada  pengertian jenis atau bangsa  seperti  terdapat dalam surat  berikut  :

Ÿ 

Penafsiran al qur an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir disebut

“Dan  Alah  telah  menjadikan  untukmu isteri-isteri  dari  bangsamu  (jenismu) sendiri [bukan jenis  lain  seperti jin,  hewan,  dan  sebagainva]; dan  Dia jadikan  pula  untukmu dari  isteri-isteri  itu  anak-anak dan  cucu-cucu.  ..'(QS.  Al-Nahl :72)

Penafsiran al qur an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir disebut

“Dan  di antara  bukti-bukti [ada] Allah  ialah diciptakan-Nya  untukmu  isteri-isteri dari bangsamu sendiri [bukan jenis lain  seperti  jin, hewan,  dan sebagainya];  agar jiwamu lega  dan  tentram  kepadanya,  dan  Dia  jadikan pula kasih  sayang  di  antara  kamu  …”  (QS.  Ar-Rum : 21)

Penafsiran al qur an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir disebut

“Sesungguhnya telah  datang kepadamu seorang  rasul  dari bangsamu sendiri… (Q.S. At-Taubah: 128).

Ketiga  ayat  yang  dikutip di atas memakai  lafal  ‘anfus’ yakni  jamak dari ‘nafs’, dalam  konotasi  bangsa atau  jenis,  bukan  arti  yang lain. Para ahli tafsir  umumnya  menafsirkan  semua  ayat  tersebut  di atas  dengan bangsa  atau jenis.  Baik  mufasir  bi al-Ma’tsur seperti  Ibn Katsir  dan  lain-lain maupun  mufasir  bi al-Ra’yi  seperti  al-Zamakhsyari,  al-Alusi dan  lain-lain,  mereka sepakat  bahwa kata  ‘anfus’  di  dalam  ayat-ayat  tersebut  berkonotasi  bangsa atau jenis, bukan  jiwa dan  sebagainya.

Pengertian di atas terasa  lebih  tepat  bila dipakaikan kepada  kata  ‘nafs’ yang ada pada ayat pertama surat  an-Nisa. Dengan  demikian,  ayat  tersebut  dapat diterjemahkan  sebagai  berikut:

“Hai  sekalian  manusia,  bertaqwalah kamu  kepada  Tuhanmu  yang  telah menciptakan  kamu  dari  satu jenis (bangsa); [bangsa manusia  bukan  jin, hewan  dan  sebagainya),  dan  telah  menciptakan  pula  dari jenis tersebut  istri (pasangan) nya, daripada  keduanya  Allah memperkembangbiakan (perkawinan)  laki-laki  dan  perempuan  yang banyak,  dan  bertaqwalah kepada  Allah  yang  dengan  mempergunakan  nama-Nya  kamu  saling meminta  satu sama  lain,  dan (peliharalah)  hubungan silaturahmi. Sesungguhnya  Allah  selalu  menjaga dan  mengawasi kamu”  (Q.S.  An-Nisa : 1)

Dari uraian  di atas,  jelaslah  bahwa  wanita,  menurut  al-Qur’an  bukan diciptakan  dari  tulang  rusuk  Adam  melainkan  dari unsur  yang  sama  dengan  unsur Adam,  yaitu tanah. Jika  demikian,  maka  hadits  Nabi yang menginformasikan  bahwa wanita diciptakan  dari  tulang  rusuk  Adam  sebagaimana telah  dikutip  di muka,  perlu diberi penjelasan  yang  memadai  agar  tidak  terjadi  kesalahpahaman  dalam memahami  kedua  nash  itu.[24]

D.      TAFSIR MAUDLU’I

1.       Pengertian Tafsir Maudlu’i

Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atu sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.

Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.

Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan al­qur’an.  Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di dalam komteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sistetis, atas dasar ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan yang tersusun.

Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut terma itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif).

Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu terma tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.

2.       Prosedur Tafsir Maudlu’i

Dalam mengugunakan metode tafsir Maudhu’i ini menggunakan kejelian dan kehati-hatian  di antaranya harus mengetahui langkah-langkah kerja sesuai dengan aturan mainnya. Abd. Hayy Farmawi menawarkan langkah-langkah sebagai berikut

Ada beberapa langkah yang harus ditempuh bagi seorang mufassir dalam menggunakan metode tafsir Maudhu’i ini, yaitu:

  1. Tentukan terlebih dahulu masalah/topik (tema) yang akan dikaji, untuk menetapkan masalah ini dianjurkan melihat “Kitab Tafsir Alquran Al-Karim .karya sekelompok orientalis yang diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Al-Baqi.
  2. Inventarisir (himpun) ayat-ayat yang berkenaan dengan tema/topik yang telah ditentukan, (selain dibantu kitab di atas, dapat pula  di baca Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fil Quran “karangan M. Fuad Al-Baqi”.
  3. Rangkai urutan ayat sesuai dengan masa turunnya baik itu Makiyah maupun Madaniyahnya, hal ini dapat juga dilihat pada “al-Itqon” karya Al-Suyuti dan “Al-Burhan” karya Al-Zarkasyi.
  4. pahami korelasinya (munasabahnya) ayat-ayat dalam masing-masing suratnya.
  5. Susun bahasan di dalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna dan utuh.
  6. Lengkapi bahasan dengan Hadis. Sehingga uraiannya menjadi jelas dan semakin sempurna.
  7. Pelajari ayat-ayat tersebut secara sistematis dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa, menyesuaikan antara pengertian yang umum dan yang khusus, antara Mu’allaq dan Muqayyad, atau ayat-ayat yang kelihatannya kontradiksi, sehingga semua bertemu dalam satu muara sehingga tidak ada pemaksaan dalam penafsiran.

Adapun rumusan langkah-langkah yang ditempuh dalam metode tafsir Maudhu’i yang dikemukakan oleh Ali Hasan al-Aridh antara lain :

  1. Himpun seluruh ayat-ayat Alquran yang terdapat pada seluruh surat yang berkaitan dengan tema yang hendak dikaji.
  2. Tentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya   dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan.
  3. Jelaskan munasabah antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratya dan kaitkan antara ayat-ayat tersebut dengan ayat-ayat yang ada sesudahnya.
  4. Buat sistematika kajian dalam kerangka yang sistimatis dan lengkap dengan outlinenya yang mencakup semua segi dari tema kajian tersebut.
  5. Kemukakan Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta menerangkan derajat hadis-hadis tersebut untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang memperlajari tema itu.
  6. Rujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan Bangsa Arab dan syair-syair mereka) dalam menjelaskan lafas-lafas yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dalam menjelaskan maknanya.
  7. Kajian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dilakukan secara Maudhu’i  terhadap segala segi dan kandungannya, bail lafaz ‘Am, Khas, muqayyad, mu’allaq, syarat, jawab, Hukum-hukum fiqih, nasakh dan Mansukh (bila ada), unsur balaghoh dan I’jaz, berusaha memadukan ayat-ayat lain yang diduga kontradiktif dengannya atau dengan Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang tidak sejalan dengannya, menolak kesamaran yang sengaja ditaburkan oleh pihak-pihak lawan Islam, juga menyebut berbagai macam qira’ah, menerapkan makna ayat-ayat terhadap kehidupan masyarakat dan tidak menyimpang dari sasaran yang dituju dalam tema kajian.

Kedua prosedur atau langkah-langkah di atas, walaupun dikemukakan dengan cara sedikit berbeda namun secara esensial keduanya tentu saling berkaiatan dan saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga nampaklah bahwa langkah-langkah tersebut menempatkan penyusunan pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.

Zahir bin Awadh, lebih luas menambahkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i antara lain :

  1. Menafsirkan ayat-ayat tersebut yang dapat dipahami dari padanya hikmah didatangkannya ayat-ayat yang tersebut dantujuan dari syari’at yang dibawanya.
  2. Melahirkan tema tersebut dalam satu bentuk uraian yang sempurna dan lengkap yang berpedoman pada syarat-syarat penelitian ilmiah.

Dengan demikian semakin jelaslah bahwa dari ketiga pendapat tersebut di atas tetap menempatkan unsur tema atau topik sebagi unsur yang pertama dan sangat diutamakan. Inilah yang menjadi karakteristik metode Tafsir Maudhu’i yang membedakan dengan Tafsir lainnya.
Dari berbagai langkah yang dikemukakan di atas, maka kita dapat melihat beberapa persamaan dan sedikit perbedaan yang harus ditempuh bagi seorang mufassir dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i ini. Persamaannya adalah :

  1. Bagi seorang mufassir harus terlebih dahulu menentukan topik yang akan dikaji, kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan tema yang telah ditentukan dan menentukan pula urutan ayat sesuai dengan masa turunnya.
  2. Menentukan munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya dengan menentukan pula bahasan dalam suatu kerangka yang tepat dan sistematis yang mencakup semua segi dari tema kajian.
  3. Mengemukakan Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang juga menerangkan tema yang telah ditentukan.
    Sedangkan perbedaannya, tampak bagi kita bahwa Ali Hasan al-Aridh, ia menambahkan lebih jauuh untuk menjelaskan makna-makna ayat membicarakan tentang tema kajian yang telah ditentukan, sorang mufassir harus merujuk kepada lughot atau syair-syair Arab.

3.       Kelebihan Tafsir Maudhu’i 

Bila dicermati, dalam metode tafsir maudhu’i akan diperoleh pengertian bahwa metode ini merupakan usaha yang berat tetapi teruji. Dikatakan berat, karena mufassir harus mengumpulkan ayat dalam satu tema dan hal-­hal yang berhubungan dengan tema tersebut. Dikatakan teruji, karena memudahkan orang dalam menghayati dan memahami ajaran Alquran, serta untuk memenuhi menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di zaman ini.

Begitu pentingnya metode ini, Abdul Djalal menyebutkan faedah metode ini yaitu, (1) akan mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul bahasan, sehingga bisa menjelaskan arti dan maksud-maksud ayat-ayat A1-qur’an dan petunjuknya, ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya. (2) akan memberikan pandangan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh nash-nash Alquran mengenai topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai topik tersebut secara lengkap. (3) menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang, yang mempunyai tujuan jahat terhadapAlquran, seperti dikatakan bahwa ajara Alquran bertentangan dengan ilmu pengetahuan, (4) lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan tuntutan-tuntutan Alquran yang umum bagi semua pranata kehidupan sosial dalam bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah difahami, dimanfaatkan dan diamalkan, (5) mempermudah bagi para muballigh dan penceramah serta pengajar untuk mengetahui secara sempurna berbagai macam topik dalam Alquran, (6) akan bisa cepat sampai ke tujuan untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu topik bahasan aI-qur’an tanpa susah payah, (7) akan menarik orang untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan isi Al­qur’an, sehingga Insya Allah tidak ada lagi semacam kesenjangan antara ajaran-ajaran Alquran dengan pranata kehidupan mereka. (8) silabi pelajaran tafsir di madrasah-madrasah dan silabi mata kuliah tafsir di fakultas-fakultas, bisa dijabarkan dalam buku-buku pelajaran sehingga menunjang pendidikan yang merupakan program nasional.

Menurut al-Zahabi bahwa telah terjadi kesalahan pada tafsir bi al-ro’yu antara lain (1) kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang dikandung dalam lafaz-lafaz al­qur’an tersebut, dan (2) kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafaz dan maknanya yang bisa difahami oleh penutur bahasa Arab tanpa memperhatiakn apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan Alqur’an tersebut, yang dibicarakan olehNya dan konteks kalimatnya.

Oleh karenanya oleh Mursi Ibrahi mmengemukakan bahwa perlunya mufassir mengumpulkan nash-nash Alquran yang berhubungan dengan judul yang dibahas. Dari sini kita melihat bahwa tafsir maudhu’i itu penting artinya. Disamping banyak faedah tafsir maudhu’i, juga terdapat kekeliruan menafsirkan Alquran yaitu karena dalam menafsirkannya hanya mengambil parsial ayat, juga tafsir dengan metode ini semakin penting melihat banyaknya penyusupan konsep-konsep asing dalam kosa kata, yang menimbulkan kerancuan dalam pengetahuan tentang Ialam serta pandangan di kalangan umat Islam, dan pada masa sekarang tidak banyak umat Ialam yang hafal Alqur’an, maka besar kemumgkinan terjadinya pemahaman ayat tidak sejalan dengan ayat-ayat lainnya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Farmawi bahwa tafsir ini dapat menghindarkan terjadinya pendapat-­pendapat yang saling bertentangan dan subhat-subhat yang diciptakan oleh oarang-orang yang mempunyai tujuan tertentu.

Telah muncul beberapa kitab atau makalah yang dalam penafsirannya dengan memakai tafsir maudhu’i atau sedikit-dikitnya mendekati penerapan tafsur ini, antara lain:

  1. Abu A’la al-Maududi, al-Riba fi Alquran al-Karim.
  2. Abu Ibrahim Musa, al-Insan fi Alquran al-Karim.
  3. Abbas al-Aqqad, al-Mar’ah fi Alquran al-Karim.
  4. M. Quraiah Shihab, “Penafsiran Khalifah dengan Metode Tematik”,dalam Membumikan AI-Qur’ an.
  5. M. Quraiah Shihab, Tafsir al-Mishbah.
  6. Jalaluddin, Konsep Perbuatan Manusia menurut Alquran (Suatu Kajian Tafsir Tematik dan sudah menjadi buku).
  7. Maragustam Siregar, Ummat Menurut AI-Qur’an (Tinjauan Tafsir Maudhu’i), berupa makalah.
  8. Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A. Ide-ide sentral Syekh Nawawi al-Bantani tentang Pendidikan Islam (disertasi dan sudah menjadi buku).
  9. Abd. Mun’im Salim, Dr., Fiqh Siyasah Konsep Kekuasaan Politik Dalam AlQuran, Manajemen PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 (disertasi).

BAB III

RINGKASAN

Tafsir  al-Qur’an jika  ditinjau dari  segi  metodologi, terbagi kepada  :

  1. Tahlily,  yaitu  mengkaji  ayat-ayat al-Qur’an  berdasarkan susunan  surat  dan ayat  secara  mushafi  dengan  kajian  dari segi  maknanya.
  2. Ijmaly,  yaitu  menafsirkan  al-Qur’an  dengan  singkat  dan  global  tanpa  uraian yang panjang  lebar.  Dengan  metode  ini  mufassir menjelaskan  sebatas  arti tanpa  menyinggung  hal-hal lain  yang dikehendaki.
  3. Muqaran,  rnetode  yang  ditempuh  seorang  mufassir  dengan  cara megambil sejumlah  ayat  al-Qur’an  kemudian  mengemukakan  beberapa  penafsiran  para ulama tafsir  berkenaan  dengan  ayat if.r.
  4. Mawdlzu’i,  yaitu metode yang ditempuh  oleh  seorang  mufassir  dengan  cara menghiryrpun  seluruh  ayat-ayat”  al-Qur’an  yang  berbicara  tentang  satu tema atau masalah,  atau  mengarah  pada  satu  tujuan  sekalipun  ayat-ayatnya  turun pada waktu  yang  berbeda. Semua  metode  tafsir  diatas  mempunyai  kriteria  atau  ciri khas  masing-masing,  sekaligus  mempunyai  keistimewaan tersendiri,  yang  dapat  dinikmati hasilnya  oleh para  peinbaca.  Sehingga umat Islam  dari  yang  berpengetahuan sedikit  (awam)  maupun 1.ang luas  dapat  memilah dan  memilih  beberapa  kitab tafsir  yang  nempunyai metoCe  yang  berbeda-  Akhirnya tujuan diturunkannya al-Qo,’-1  sebagai petunjuk  bagi  umat  manusia  benar-benar  dapat diaktualisasikan dalam  kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

 Anwar,  Rosihon,  Samudra  al-Qur’an,  (Bandung: Pustaka  Setia,  2001)

al-‘Aridl,  Ali Hasan  al-‘Aridl, Tarikh  al-‘Ilm  al-Tafsir  wa  al-Manhaji  al-Mufassirin,  terj.  Ahmad Akrom,  (Jakarta:  RajawaliPress,  1992)

Baidan, Nashiruddin, Tafsir  bi al-Ra’yi; Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an, (Yogyakarta:  Pustaka  Pelajar, 1999)

al-Baghdady,  Abdurrahman, Beberapa Pandangan Mengenai  Penafsiran  al-Qur’an, (Bandung:  Al-Ma’arif, 1998)

Al-Farmawi,  Abd al-Hayy,  Dirasah  Manhajiah  Maudhu’iyah,  terj.  Suryan  A. Jamiah,  (Jakarta  : Rajawaii  Press,  1994)

Ibn Katsir al-Quraisy al-Dimasyqy, Abu Fida’ Isma’il,  Tafsir  al-Qur’an  al-Adzim, (Beirut:  Dar  al-Qalam,  tt)

al-Mahali,  Jalaluddin  al-Mahali  dan  as-suyuthi,  Jalaluddin,  Tafsir  al-Qur’an  al-Adzim, (Beirut  : Darr al-Fikr,  tt)

al-Munawar,  Said  Agil Husen,  al-Qur’an  Memhangun  Tradisi Kesalehan  Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press,  2002)

ash-Shiddieqy,  TM.  Hasbi,  Umat Islam  Indonesia  Membutuhkan  Tafsir  Indonesia, (Jakarta: Budaya  Djaya,  1978)

Syamsudin,  Sahiron,  Sejarah  Pewahyuan  al-Qur’an;  Sebuah  Pengantar,  Hand Out  Mata Kuliah  Tafsir pada Jurusan  Studi Qur’an dan Hadits  IAIN Yogyakarta,  (Ttp :tp,  1995)

al-Zahabi,  Muhammad Husein,  al-Tafsir wa al-Mufassirun,  Juz  I,  (Kairo .  Dar al-Kutub,  1962)

[1] Sahiron  Syamsudin, Sejarah Pewahyuan  al-Qur’an: Sebuah pengantar, Hand Out Mata Kuliah Tafsir pada Jurusan Studi Qur’an dan Hadits IAIN yogyakarta,

(Ttp :  tp,  1995),  hal 1

[2] Abd  al-Hayy al-Farmawi, Dirasah Manhajiah Maudhu’iyah,  penerjemah  Suryan A. Jamrah,  (Jakarta:  Rajawaili Press, 1994), hal. 6

[3] TM.  Hasbi  ash-shiddieqy, Umat  Islam  Indone sia Membutuhkan  Tafsir  Indonesia, (Jakarta :  Budaya  Djaya, 1978).  hlm 60.

[4] Abd  al-Hayy al-Farmawi,  Dirasah  …,  hlm 12.

[5] Abdurrahman  al-Baghdady,  Beberapa  Pandangan  Mengenai Penafsiran  al-Qur’an, (Bandung :  al-Ma’arif,  1980),  hlm  11.

[6] Abd al-Hayy al-Farmawi, Dirasah…hal 12

[8] Muhammad  Husein  al-Zahabi,  al-Tafsir  wa al-Mufassirun,  Juz I,  (Kairo :  Dar al-Kutub, 1962),  hlm  152

[9] Said  Agil  Husen al-Munawar, al-Qur’an  Membangun  Kesalehan Hakiki, (Jakarta, Ciputat Press, 2002),  hlm. 70-71

[11] Ali Hasan  al-‘Aridl, Tarikh al-‘Ilm al-Tafsir wa al-Manhaj al-Mufasirin, terjemah Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Press:  1992), hlm 41

[12] Abu Ridla’ Ismail Ibn Katsir al-Quraisy al-Dimasyiqi, Tafsir al-Quran al-Adzim (Beirut: Dar al-Qalam II), Hal 385

[13] Rosihan Anwar, Samudra al-Quran (Bandung: Pustaka Setia 2001) hal 155

[14] Ali Hasan al-Aridl, Tarikh al-Ilm, hal 73-74

[15] Said Husen al-Munawar, al-Quran Membangun, hal 72

[16] Dalam sistematika uraiannya menafsir berarti membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakan di dalam rangkaian ayat atau menurut pola yang diakui oleh Jumhur ulama. Dengan demikian penafsir mengikuti cara dan susunan al-Quran yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan yang lainnya. Lihat Abd al-Hayy al-Farmawy, Dirasah…hal 29

[17] Dengan metode ini pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri; tidak jauh dari lafadz-lafadznya sehingga di satu sisi karya ini dinilai betul-betul sebagai karya tafsir dan di sisi lain betul-betul mempunyai hubungan yang erat dengan susunan bahasa al-Quran.

[19] Lihat Jalaludin al-Mahali dan al-Suyuthi, Tafsir al-Quran al-Adzim (Beirut: Dar al-Fikr) Hal 63

[21] Ali Hasan al-Aridl, Tarikh al-Ilm, hal 76

[22] Mufassir membandingkan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadits Nabi, termasuk hadits-hadits yang makna tekstualnya nampak kontradiktif dengan al-Quran atau membandingkan dengan kajian-kajian lainnya.

[23] Rosihan Anwar, Samudera al-Quran…. Hal 156

[24] Nasirudin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal 7-10