Pelaksanaan salat zuhur dan asar pada saat sedang wukuf di Arafah dilakukan dengan Cara

Liputan6.com, Jakarta - Dalam menjalankan ibadah haji, wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menjadi salah satu rukun. Jemaah haji melakukan wukuf di Arafah, hari ini Jumat (8/7/2022) atau 9 Dzulhijjah 1443 Hijriah.

Dalam wukuf, jamaah haji hanya berdiam di area wukuf (mauqif). Mereka bergerak ke Arafah sejak Kamis 7 Juli 2022 atau 8 Zulhijah 1443 H, mulai pukul 07-17 Waktu Arab Saudi.

Di Arafah, para jemaah menempati tenda masing-masing dan bermalam di sana. Wukuf dimulai dengan khutbah wukuf, lalu dilanjutkan salat zuhur dan ashar dijamak dan diqosor.

Konsultan Pembimbing Ibadah Daker Makkah Aswadi Suhada mengatakan, ketika jemaah bermalam di Arafah, jemaah sebaiknya memperbanyak zikir, membaca Alquran, istighosah, manaqiban atau silaturahmi.

Kemudian ketika ketika masuk tanggal 9 Zulhijah sekitar pukul jam 11 waktu setempat, jemaah bersiap-siap mengambil wudu karena ada prosesi wukuf di Arafah. Wukuf dimulai azan kemudian dilanjutkan khutbah wukuf, lalu salat jamak takdim zuhur ashar di jamak qashar dengan masing masing 2 rakaat. Jemaah pun disarankan berdoa, bisa dilakukan berjemaah dan yang lainnya mengamini.

"Ini disarankan zikir karena di Arafah ini adalah waktu mustajabah apalagi nanti wukuf di Arafah ini bertepatan dengan hari Jumat," kata Aswadi.

Melansir Nu Online, Jumat (8/7/2022), Imam An-Nawawi menganjurkan membaca doa sebagai bacaan bagi jemaah haji yang hendak menuju wukuf di Arafah. Tidak ada riwayat atas doa ini. Tetapi redaksi doa ini baik untuk dibaca jamaah haji yang bergerak menuju Arafah untuk wukuf pada 9 Dzulhijjah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Karla Farhana31 Agu 2017, 17:39 WIB

Fimela.com, Jakarta Umat Muslim, yang kini sedang menjalani ibadah Haji di Makah, pada Rabu (30/8) kemarin, sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Buat kamu yang belum tahu, wukuf merupakan salah satu rangkaian haji yang sangat penting.

Pelaksanaan wukuf dimulai dengan pembacaan talbiyah yang dilakukan secara serentak. Wukuf akan dipimpin oleh orang yang disebut Amirul Haj. Usai bertalbiyah, para jamaah akan mengikuti khutbah wukuf, yang disambung dengan salat Zuhur dan Asar jama takdim qashar.

Selama melaksanakan wukuf, jamaah tetap boleh melakukan aktivitas rutin lainnya, girls. Misalnya ke kamar mandi, makan, dan juga mium. Nah, wukuf di Arafah diakhiri dengan salat Magrib dan Isya yang dilakukan dengan jama takdim dan qashar, sebelum berangkat menuju Muzdalifah untuk melaksanakan mabit dan mengumpulkan kerikil untuk melempar jumrah. Buat kamu yang masih bingung, tonton saja video di bawah ini. 

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 8 Dzulhijjah malam, jamaah haji bermalam di Mina, walaupun hal itu hanya merupakan istirahat biasa, tidak berkaitan dengan suatu ibadah tertentu.

Pada fajar pagi harinya, yakni hari kesembilan Dzulhijjah atau disebut juga Hari Arafah, jamaah haji hendaklah menunggu sebentar setelah shalat Subuh hingga matahari terbit, lalu berangkat menuju Arafah seraya mengucapkan;

"Allahumma ij’alha khaira ghadwatin ghadautuha qat, wa aqrabaha min ridhwanika, wa ab’adaha min sakhathik. Allahumma ilaika ghadautu, wa iyyaka rajautu, wa ‘alaika i'tamadtu, wa wajhaka aradtu. Faj‘alni mimman tubahi bihil yauma man hua khairun minni wa afdhal."

Artinya, "Ya Allah, jadikanlah pagi ini sebagai pagi hari yang paling baik bagiku, paling dekat dengan keridhaan-Mu dan paling jauh dari kemurkaan-Mu. Ya Allah, kepada-Mu aku menuju, dari-Mu aku berharap, kepada-Mu aku bersandar, keridhaan-Mu-lah yang kuinginkan. Maka masukkanlah aku ke dalam kelompok orang- orang yang hari ini Engkau banggakan di hadapan para hamba-Mu yang lebih baik dan lebih utama dariku."

Kemudian, apabila telah sampai di Padang Arafah, disunahkan untuk menuju Masjid Namirah. Biasanya para petugas dan pemandu haji sudah menyediakan tenda dan kemah-kemah di sekitar Namirah. Di dekat Masjid Namirah itulah, Rasulullah SAW mendirikan kemah beliau waktu haji.

Disunahkan juga untuk mandi dan membersihkan badan setelah sampai di Namirah. Hal tersebut sangat dianjurkan dengan tujuan agar tubuh fit dan bersih saat melakukan wukuf nantinya. Kondisi Padang Arafah yang panas dan terik matahari yang menyengat juga bisa diantisipasi dengan mandi sebelum melakukan wukuf.

Apabila telah masuk waktu shalat Dzuhur, imam masjid Namirah akan membacakan khutbah singkat lalu duduk. Pada saat itu, muazin mulai mengumandangkan azan, bersamaan dengan pembacaan khutbah kedua oleh imam.

Selesai azan, dilanjutkan dengan ikamat, dan shalat Dzuhur yang di jamak dengan shalat Ashar. Pelaksanaannya juga diqashar, sehingga menjadi dua rakaat untuk shalat Dzuhur dan dua rakaat untuk shalat Ashar. Pelaksanaannya dilakukan dengan dua kali azan dan dua kali ikamat. Selesai shalat, para hujjaj tersebut langsung berangkat menuju tempat wukuf.

Pelaksanaan salat zuhur dan asar pada saat sedang wukuf di Arafah dilakukan dengan Cara

sumber : Rahasia Haji dan Umrah oleh Abu Hamid Al-Ghazali

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Sahabat ihram, shalat Qashar berdasar pengertian dari kata qashar adalah bentuk masdar yang berarti memperpendek atau meringkas. Dalam istilah fiqh, mengqashar shalat bisa berarti mengurangi jumlah rakaa��at dari empat menjadi dua, yaitu di waktu bepergian dalam keadaan aman atau meringankan rukun-rukun dari dua rakaa��at, yaitu di waktu dalam perjalanan dengan keadaan kauf (takut), atau meringankan rukun-rukun yang empat rakaat dalam keadaan kauf di waktu hadhar (di rumah).

Sementara pengertian shalat jamaa��, berasal dari kata kerja bentuk lampau yang berarti mengumpulkan dua shalat yang dilakukan pada waktu salah satunya. Adapaun shalat yang boleh dijamaa�� adalah shalat Dzuhur, Ashar, Magrib, dan Isya pada waktu salah satu dari keduanya. Jamaa�� taqdim adalah penggabungan dua shalat fadhu yang dilakukan di waktu shalat yang pertama, misalnya Dzuhur dengan Ashar dilakukan pada waktu Ashar. Sementara jamaa�� taa��khir adalah shalat jamaa�� yang dilakukan pada waktu shalat fardhu yang kedua (kebalikan dari jamaa�� taqdim).

Hikmah disyariatkannya shalat jamaa�� adalah untuk menghindari kesulitan yang dialami orang, yang sedang bepergian atau lainnya. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk meninggalkan kewajiban shalat fardhu.

Pelaksanaan salat zuhur dan asar pada saat sedang wukuf di Arafah dilakukan dengan Cara

Madzab Maliki membolehkan shalat jamaa�� bagi orang yang bepergian, baik bepergian yang jauh atau dekat, dengan perjalanan darat. Disyaratkan perjalanan itu perjalanan karena Allah SWT, bukan bepergian main-main atau maksiat.

Sedangkan mazhab Syafia��I dan Hambali membolehkan menjamaa�� shalat, baik jamaa�� taqdim atau jamaa�� taa��khir, jika perjalanan yang ditempuh telah mencapai jarak diperbolehkan mengqashar shalat (jarak perjalanan 48 mil atau perjalanan dua hari (80, 640 km)).

Ketika berada di Arafah dan Muzdalifah pada musim Haji dijelaskan dalam mazhab Hanafi disunnahkan menjamaa�� shalatnya. Mazhab lainnya (Maliki, Syafia��i, dan Hambali) juga berpendapat sama, yakni disunnahkan bagi mereka yang sedang melaksanakan ibadah Haji (baik bagi penduduk Arafah atau penduduk dari tempat-tempat ibadah Haji lainnya, seperti Mina, Mudzalifah, atau penduduk dari segala penjuru, agar menjamaa�� shalat Dhuzur dan shalat Ashar ketika di Arafah dengan jamaa�� taqdim, dan shalat Magrib dan shalat Isya ketika di Muzdalifah dengan jamaa�� taa��khir. Madzab Maliki menambahkan, seorang dari selain penduduk Arafah disunnahkan mengqashar shalatnya, walaupun belum sampai pada jarak bolehnya mengqashar shalat.

مِنۡ أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٰلِكَ فِي ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ .

Oleh karena itu, Kami menetapkan atas Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh satu jiwa, bukan karena (orang itu membunuh) jiwa orang lain, atau (bukan) karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memeliharanya (kehidupan seorang manusia), maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan demi (keagungan dan kekuasaan Kami)! Sungguh, telah datang kepada mereka para rasul Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas, kemudian sesungguhnya banyak dari mereka sesudah itu benar-benar melampaui batas dimuka bumi.

HR. Abu Daud dari Abd. Al-Rahman bin Yu’mar al-Dailiy, bahwa sanya Nabi saw. bersabda;

الحجُّ عرفةُ , فمن اَدْرَكَ لَيْلَةَ عرفةَ قبلَ طُلُوْعِ الفَجْرِ من ليلةِ جُمَعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّـهُ.

Haji itu adalah Wukuf Di ‘Arafah, maka barangsiapa yang mengetahui (wukuf di ‘Arafah) pada malam ‘Arafah, hingga menjelang terbitnya Fajar dari malam berkumpulnya para jama’ah, maka sungguh hajinya telah sempurna.

HR. Muslim dari Abu Qatadah al-Harist bin Rabiiy, bahwa sanya Nabi saw. di tanya;

وَ سُئِـلَ عن صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ, فقال: يُكَـفِّرُ السنـةَ الماضيـةَ و الباقيـةَ.

Dan (Rasulullah saw.) ditanya tentang puasa pada Hari ‘Arafah, lalu beliau bersabda: “Menghapuskan (dosa kecil) yang dilakukan tahun yang lalu dan tahun yang berjalan”.

Hakekat Wukuf di Padang ‘Arafah.

Haji merupakan rukun Islam yang kelima dan pokok ibadah yang keempat, yang diperintahkan setelah disyari’atkan ketiga pokok ibadah sebelumnya, yakni shalat, puasa Ramadhan, dan menunaikan zakat. Ibadah haji mengandung nilai-nilai sejarah. Dari sejak mengenakan pakaian ihram yang melambangkan kezuhudan manusia sebagai latihan untuk kembali kepada fitrahnya yang asli, yaitu sehat dan suci-bersih.  Dengan pakaian seragam putih, mereka berkumpul melakukan Wukuf di Padang ‘Arafah. Wukuf di Padang ‘Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah itu merupakan puncak ritual ibadah haji di tanah suci dan menjadi salah satu rukun haji, yang menurut Rasulullah saw. bahwa “Haji itu adalah Wukuf di Padang Arafah”, tanpa dengannya, haji tidak sah, sebagaimana sabdanya dalam hadis seperti tersebut di atas. Kata wukuf berasal dari kata Arab “wuquf” dengan akar kata waqafa berarti berhenti, yang dengan pesan moralnya mengajarkan manusia untuk sejenak meninggalkan aktivitas dunianya selama beberapa jam, yakni berhenti dari kegiatan apapun agar bisa melakukan perenungan jati diri; sedang kata ‘arafah berarti naik-mengenali. Dari makna bahasa ini dapat diperoleh suatu hikmah, bahwa Wukuf di Padang ‘Arafah, pada hakekatnya, adalah suatu usaha di mana secara fisik, tubuh jemaah haji berhenti di Padang ‘Arafah, lalu jiwa-spiritual mereka naik menemui Allah swt. Itulah hakekat wukuf di Padang ‘Arafah. Wukuf di Padang ‘Arafah ini memberikan rasa keharuan dan menyadarkan mereka akan yaumul mahsyar, yang ketika itu, manusia diminta untuk mempertanggung jawabkan atas segala yang telah dikerjakannya selama di dunia. Di Padang ‘Arafah itu, manusia insaf dengan sesungguhnya akan betapa kecilnya dia dan betapa agungnya Allah, serta dirasakannya bahwa semua manusia sama dan sederajat di sisi Allah, sama-sama berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Deklarasi ‘Arafah.

Sebagai salah satu monumen Ilahi (masyairillah), ‘Arafah merupakan tempat yang amat penting dan bersejarah. Wukuf di ‘Arafah menjadi inti (Core) dari seluruh rangkaian pelaksanaan ibadah Haji. Nabi saw. sendiri pernah menegaskan, “al-Hajj ‘Arafah” (Haji adalah ‘Arafah) yang lengkapnya,  seperti hadis tersebut di atas. Pernyataan Nabi Muhammad saw. ini, agaknya tidak hanya dimaksudkan untuk untuk menunjukkan pentingnya wukuf di Padang ‘Arafah semata, seperti umumnya dipahami oleh para ahli hukum Islam. Namun, kelihatannya terdapat maksud lain yang ingin beliau sampaikan lewat pernyataannya tersebut. Maksud itu adalah harapan agar kaum muslimin menyimak dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh “Deklarasi ‘Arafah”, yaitu khutbah Nabi Muhammad saw. yang disampaikan kepada para hujjaj di Padang ‘Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah Tahun ke-10 Hijrah.

Dalam khutbah tersebut, Nabi Muhammad saw. mengajak manusia ke jalan Allah swt., dan menyeru mereka agar menghormati hak-hak suci sesama manusia baik laki-laki maupun perempuan. Dalam khutbah tersebut, Nabi Muhammad saw., antara lain, menegaskan “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari (haji)mu ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan di negerimu (tanah suci) ini” (Lihat Kitab Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, 8?182).

Khutbah ‘Arafah seperti terlihat di atas, sangat menekankan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijaga dan dihormati. Pesan ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang menegaskan bahwa setiap pribadi (individu) manusia harus dihormati hak-haknya, karena setiap pribadi itu mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sejagat (universal), sebagaimana tersurat dalam QS al-Ma’idah/05:32, seperti tersebut di atas. Pesan-pesan yang disampaikan Nabi Muhammad saw. dalam khutbah ‘Arafah tersebut, sebagian di antaranya, kini dikenal sebagai Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Untuk itu, khutbah ‘Arafah dapat disebut dengan nama “Deklarasi ‘Arafah”, karena termasuk salah satu deklarasi menganai HAM itu sendiri. Sebagai deklarasi, khutbah ‘Arafah, tentu mendahului semua deklarasi tentang HAM yang pernah dikenal di dunia Barat.

Islam, seperti pernah diutarakan oleh filosof Muslim Prancis, Roger Graudy, memang memiliki pandangan dan visi yang mengagumkan mengenai HAM. Akan tetapi sayang, lanjut Graudy, pandangan ini pernah dirusak oleh berbagai deviasi dan penyimpangan yang terjadi dalam sejarah Islam, baik dalam bentuk despotisme politik maupun dalam bentuk pemahaman yang rigid dan dangkal terhadap sumber-sumber Islam, terutama al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah saw. (Human Rights and Islam, h.46-60).

Agak ironis memang bila umat Islam yang memiliki ajaran yang begitu memuliakan HAM, seperti terlihat dalam deklarasi ‘Arafah, pada kenyataannya jutru diidentifikasi sebagai umat yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM. Kita tampaknya perlu terus meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari realisasi dan pengalaman ajaran agama Islam. Barangkali inilah makna dari imbauan Nabi Muhammad saw., yang diutarakan secara berulang-ulang pada sela-sela khutbahnya di Padang ‘Arafah itu. Sabdanya, “Ala Falyuballigh al-Syahid Minkum al-Ghaib” (Ingat! Hendaklah orang yang hadir di antara kamu menyampaikan “Deklarasi ‘Arafah” ini kepada yang tidak hadir).

Puasa ‘Arafah.

Puasa, ada yang wajib seperti di bulan Ramadhan, ada yang sunnah seperti Senin dan Kamis, ada yang haram seperti pada hari raya Ied al-Fithr dan Ied al-Adha, dan bahkan ada juga yang makruh. Puasa pada hari ‘Arafah merupakan anjuran Nabi Muhammad saw., sebagaimana sabdanya seperti hadis tersebut di atas. Anjuran ini ditujukan kepada mereka yang tidak sedang berada di Padang ‘Arafah (melaksanakan haji). Adapun yang sedang melaksanakan haji, maka ada dua pendapat yang ditemukan. “Sahabat Nabi saw., Ibnu ‘Umar berkata bahwa Nabi Muhammad saw. tidak berpuasa ketika itu, demikian juga Abu Bakar al-Shiddiq, ‘Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, dan saya pun, kata Ibnu ‘Umar-demikian”.

Ada riwayat yang mengatakan bahwa isteri Nabi Muhammad saw., Aisyah ra. berpuasa ketika beliau sedang Wukuf di Padang ‘Arafah. Atha’ salah seorang ulama terkemuka berkata, “Kalau musim dingin di ‘Arafah, saya berpuasa, akan tetapi kalau musim panas, saya tidak berpuasa”. Imam Malik menganjurkan bagi yang melaksanakan ibadah haji untuk tidak berpuasa, sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa beliau lebih senang bagi yang melaksanakan ibadah haji untuk tidak berpuasa. Anjuran ini agar sang haji dapat berkonsentrasi dalam berdoa, dan tentu ini membutuhkan kekuatan dan ketekunan, padahal puasa dapat mengurangi hal tersebut.

Akhirnya, Wukuf di Padang ‘Arafah, pada hakekatnya, mengajarkan manusia untuk sejenak meninggalkan aktivitas duniawinya selama beberapa jam, yakni berhenti dari kegiatan apapun agar bisa melakukan perenungan jati diri; di mana secara fisik, tubuh jemaah haji berhenti di Padang ‘Arafah, lalu jiwa-spiritual mereka naik menemui Allah swt. Wukuf di Padang ‘Arafah ini memberikan rasa keharuan dan menyadarkan para jemaah haji akan yaumul mahsyar, yang ketika itu, manusia diminta untuk mempertanggung jawabkan atas segala yang telah dikerjakannya selama di dunia. Di Padang ‘Arafah itu, manusia insaf dengan sesungguhnya akan betapa kecilnya dia dan betapa agungnya Allah, serta dirasakannya bahwa semua manusia sama dan sederajat di sisi Allah, sama-sama berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam. Pada sisi lain, Rasulullah saw. mengharapkan agar kaum muslimin menyimak dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh “Deklarasi ‘Arafah”, yaitu khutbah Nabi Muhammad saw. yang disampaikan kepada para hujjaj di Padang ‘Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah Tahun ke-10 Hijrah. Yakni, menekankan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijaga dan dihormati. Pesan ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang menegaskan bahwa setiap pribadi (individu) manusia harus dihormati hak-haknya, karena setiap pribadi itu mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sejagat (universal). Pesan spiritual terakhir dari wukuf di padang ‘Arafah adalah bahwa Nabi Muhammad saw. menganjurkan kepada umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji agar berpuasa pada Hari ‘Arafah. Dan para ulama menilai makruh hukumnya berpuasa pada hari itu bagi mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji. Islam mengajak umatnya untuk senantiasa bertaqarrub kepada Tuhan mereka lewat, antara lain, memanfaatkan momentum Hari Wukuf di ‘Arafah untuk melalukan puasa ‘Arafah secara khusyu’ dan ikhlas karena Allah swt., yang insyaallah jatuh besok, Kamis 30 Juli 2020 M. Bertepatan dengan tanggal 09 Dzulhijjah 1441 H. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!