Para dai harus memiliki banyak cara untuk mendakwahkan islam

Oleh: Gunoto Saparie

APAKAH dakwah? Dakwah berasal dari bentuk da’a-yad’u, di mana berarti panggilan, seruan, atau ajakan. Ini berarti, dakwah merupakan setiap kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan akidah, syariat, dan akhlak Islam.

Akan tetapi, dakwah ada ilmunya. Ilmu dakwah adalah suatu ilmu yang berisi cara-cara dan tuntunan-tuntunan bagaimana seharusnya menarik perhatian orang lain untuk menganut, menyetujui, dan atau melaksanakan suatu ideologi atau agama. Orang yang menyampaikan dakwah disebut da’i (juru dakwah), sedangkan orang yang menjadi objek dakwah disebut mad’u.

Benarkah dakwah itu merupakan kewajiban orang Islam? Para ulama ternyata berbeda pendapat dalam menetapkan hukum menyampaikan dakwah. itu. Sebagian ulama menetapkan dakwah sebagai fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Sebagian ulama lain menetapkannya sebagai fardlu a’in.

Mereka sama-sama mengacu pada surat Ali Imran ayat 104. Sebagaimana firman Allah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

Kata minkum dalam ayat tersebut dianggap mengandung pengertian tab’id (bagian), sehingga hukum dakwah menjadi fardlu kifayah. Akan tetapi, sebagian ulama lain justru menganggapnya sebagai zaaidah (tambahan), sehingga hukumnya menjadi fardlu ‘ain. Secara lahiriah, kedua makna ini saling bertentangan, namun pada hakikatnya keduanya justru saling melengkapi, di mana makna al-bayan tidak menolak adanya spesialisasi sebagian para kaum muslimin untuk berdakwah.

Nabi Muhammad pernah bersabda: “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat ….” (H.R. Tirmidzi). Hadis tersebut menjadi landasan kewajiban setiap orang Islam, laki-laki maupun perempuan, untuk berdakwah. Tidak ada alasan untuk tidak menunaikan kewajiban dakwah. Hal ini tampak dari perintah untuk menyampaikan (dakwah) meskipun satu ayat. Berdakwah bukan kewajiban yang diperintahkan oleh para ulama, kiai, atau oleh siapa pun. Akan tetapi merupakan perintah dari Allah dan utusan-Nya, Muhammad, secara langsung kepada setiap individu muslim.

Di surat lain Allah pun berfirman: “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Q.S. Luqman [31]: 17).

Orang-orang yang istiqamah menunaikan kewajiban dakwah disebut sebagai khairu umah (umat terbaik), sebagaimana firman Allah: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110).

Dakwah bertujuan mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah. Artinya, dakwah harus menyampaikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridai Allahsesuai dengan bidangnya masing-masing. Layak Menjadi Contoh

Bagaimana cara Nabi Muhammad berdakwah tentulah layak menjadi contoh atau teladan kita. Setelah Muhammad diangkat sebagai rasul Allah, beliau melakukan dakwah Islam, baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan. Muhammad memulai dakwahnya kepada istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya. Mula-mula dakwah ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena situasi dan kondisi pada waktu itu masih belum memungkinkan penyampaian dakwah secara terang-terangan. Baru setelah pengikut Muhammad bertambah, termasuk beberapa pemuka Quraisy, dakwah Islam disampaikan secara terang-terangan.

Alquran adalah kitab dakwah yang berisi penetapan syariat, sebab Kitab Suci yang diturunkan Allah kepada manusia melalui dakwah yang dilakukan Muhammad pada hakikatnya adalah ajakan untuk menaati dan mengikuti ajaran Islam, di mana tujuannya untuk menjadi pedoman dalam hidup manusia. QS. An-Nahl (16): 125.

Allah berfirman: “Serulah manusia kepada jalam Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]: 125).

Mengacu pada ayat ini, maka kita berkewajiban untuk menyeru kepada sesama ke jalan Allah dengan cara bijaksana dan senantiasa memberikan pelajaran yang baik. Pelajaran itu dapat melalui penyampaian lisan atau dengan sikap dan amal perbuatan. Dalam melakukan diskusi dengan mereka pun dengan cara yang baik, agar ketertarikan untuk mendengar ajaran dan norma agama ada. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, kemampuan dan potensi dari da’i harus dimaksimalkan pula.

Kewajiban berdakwah itu sifatnya sangatlah fleksibel. Hal itu karena tuntunan pelaksanaan dakwah tidak ditujukan kepada satu komunitas saja, namun bersifat umum dengan tidak meninggalkan sifat kekhususannya sendiri. Artinya, selain sebagai fardlu ‘ain, juga hukumnya fardlu kifayah. Berdakwah hukum wajibnya ditujukan kepada setiap orang yang mengaku muslim dengan memberikan petunjuk dan berita gembira. Akan tetapi, untuk penyelenggaraannya hendaknya ada tenaga ahli yang khusus dari kalangan umat Islam yang memang mendalami bidang tersebut secara profesional.

Untuk menciptakan suasana kondusif dari kedua hukum tersebut, maka maka antara dakwah yang dilakukan secara kolektif dan individu harus saling melengkapi. Dakwah yang dilakukan secara individu hendaknya memberikan dukungan kepada pihak yang memang benar-benar terjun ke dalam bidang ini secara profesional. Jangan sampai karena adanya dua bentuk hukum berdakwah ini menjadikan umat Islam terpecah, apalagi sampai tidak peduli dan merasa tidak berkewajiban untuk menyampaikan dan melestarikan ajaran Islam.

Kegiatan dakwah harus benar-benar fungsional dan mempunyai peranan transformatif. Dalam kaitan ini, dalam rangka mewujudkan konsep tersebut, maka seorang da’i harus mempunyai bekal atau persiapan diri dalam menjalankan misinya. Kita patut mencontoh keberhasilan Muhammad dalam perjalanan dakwah Islam yang dilakukan melalui tiga tahap transformasi.

Tahap pertama transformasi sosial, di mana dakwah Muhammad dimulai dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islam. Tahap kedua transformasi sosial kuantitatif, yaitu dengan mengadakan ekspansi hingga keluar jazirah Arab. Sedangkan tahap ketiga adalah transformasi peradaban dengan menyerap nilai-nilai peradaban Yunani, Romawi, Persia, Cina, dan sebagainya yang menjadikan Islam sebagai pusat peradaban dunia. Keberhasilan tersebut dapat dicapai, karena dalam jiwa Muhammad telah tertanam konsep berjiwa besar, teguh, ulet, bersih, dan tulus lahir batin, serta memberi tanpa pamrih.

Pengembangan Daya Nalar
Aktivitas dakwah dikembangkan tidak hanya pengembangan daya sadar atas kehadiran Allah, namun harus pula diarahkan pada pengembangan daya nalar. Ini berarti, dakwah dituntut tidak hanya bermisi pada pengembangan kesadaran menanamkan konsep agama pada jiwa semata, namun ia harus mampu mengembangkan daya nalar objek dakwah, agar tidak terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat.

Di samping itu, para aktivis dakwah harus berusaha untuk mengolah materi dakwah semenarik mungkit, sehingga memikat minat pendengar dan mampu memotivasi. Menyampaikan dakwah kepada manusia harus menyadari jika manusia adalah makhluk yang terdiri dari unsur jasmani dan akal serta jiwa, sehingga mereka harus dipandang, dihadapi dengan keseluruhan unsur-unsurnya.

Materi dakwah tidak harus dengan mempergunakan bahasa yang tinggi, canggih, ndakik-ndakik, sehingga memenuhi syarat, namun yang sangat penting adalah berupaya untuk membahasakan ajaran-ajaran agama sesuai dengan tingkat kecerdasan objek dakwah. Oleh karena itu, dakwah sedapat mungkin menggunakan bahasa sederhana dan komunikatif, artinya mudah untuk diketahui dan dipahami oleh objek dakwah. Materi dakwah tidak ditentukan oleh seorang da’I, tetapi ditentukan oleh objek dakwah. Dibutuhkan kecerdasan, kecakapan, kepekaan, dan kejelian da’i dalam membaca kondisi objek dakwahnya.

Kita tahu, hari-hari ini media sosial (medsos) telah menjadi fenomena yang semakin mengglobal dan mengakar. Keberadaannya nyaris tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai bentuk aplikasi dalam komunikasi secara virtual, media sosial merupakan hasil dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Media sosial merupakan sebuah media daring, di mana para penggunanya melalui aplikasi berbasis internet dapat berbagi, berpatisipasi, dan menciptakan konten berupa blog, wiki, forum, jejaring sosial, dan ruang dunia virtual yang disokong oleh teknologi multimedia yang makin canggih.

Harus diakui, pada satu sisi, kemunculan media sosial telah menguntungkan banyak orang. Orang di belahan dunia mana pun bisa dengan mudah berinteraksi dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan melalui telepon. Selain itu, dengan adanya media sosial penyebaran informasi juga semakin cepat.

Dalam kaitan ini, media sosial dapat dipakai sebagai sarana berdakwah. Begitu masifnya manusia dalam memanfaatkan internet dan jejaring sosial, sehingga tentu saja akan sangat efektif jika media sosial digunakan sebagai sarana untuk menebar kebaikan atau berdakwah. Tentu saja dalam pemanfaatan media sosial sebagai sarana berdakwah haruslah disertai dengan sikap arif dan bijaksana.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris ICMI Wilayah Jateng dan mantan Penyuluh Agama Madya Kanwil Kemenag Jateng. Jatengdaily.com–st

Para dai harus memiliki banyak cara untuk mendakwahkan islam