Pada sistem pajak penghasilan progresif penghasilan seseorang yang semakin tinggi dikenakan

Pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.

Di Indonesia, pajak progresif diterapkan pada pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi, yakni: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

  • Untuk lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp 50 juta, tarif pajaknya 5%
  • Untuk lapisan PKP di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta, tarif pajaknya 15%
  • Untuk lapisan PKP di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta, tarif pajaknya 25%
  • Untuk lapisan PKP di atas Rp 500 juta, tarif pajaknya 30%.

 

Artikel bertopik ekonomi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pajak_progresif&oldid=18488477"

Secara umum, tarif pajak dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:

  1. Tarif pajak proporsional, Tarif pemungutan pajak dengan menggunakan persentase yang tetap berapapun jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. Misal tarif pajak PPN adalah 10% berapapun jumlah barang yang dibeli.
  2. Tarif pajak degresif, Tarif pajak dengan menggunakan persentase yang menurun dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak.
  3. Tarif pajak tetap, Tarif pungutan pajak dengan jumlah yang sama untuk setiap objek pajak. Contoh : bea materai untuk setiap akta notaris Rp.10.000
  4. Tari pajak progresif, Tarif pajak progrsif adalah tarif pajak dengan persentase yang semakin naik dengan semakin besarnya jumlah yang dikenakan pajak. Contoh tarif PPh.

Jadi, jawaban yang sesuai adalah D.  

Indonesia - Dalam membayarkan kewajiban perpajakannya, wajib pajak pastinya dibebankan sejumlah biaya tertentu. Sejumlah biaya tertentu yang harus dibayarkan oleh wajib pajak biasanya dapat dikenal dengan istilah tarif pajak.

Secara sederhana, tarif pajak merupakan besaran nominal atas pungutan negara yang digunakan sebagai dasar ketentuan pembayaran bagi wajib pajak. Tarif pajak ini juga dapat berupa persentase yang dapat memberitahukan nominal dari pungutan yang harus dilunasi oleh wajib pajak orang pribadi atau badan yang bersangkutan.

Tarif pajak pada umumnya terdapat tarif pajak proporsional, pajak progresif, pajak degresif, pajak Ad Valorem, dan juga pajak tetap. Namun, dalam artikel kali ini, kita akan lebih membahas mengenai tarif pajak proposional dan juga tarif pajak progresif.

Tarif Pajak Proporsional

Pada dasarnya, tarif pajak proporsional memiliki besaran jumlah nominal atas tarif pajak yang sama bagi setiap wajib pajak. Baik itu wajib pajak yang memiliki penghasilan rendah, menengah, maupun tinggi dibebankan dengan tarif pajak yang sama tanpa memandang dari jumlah penghasilan ataupun aset kekayaan yang dimiliki.

Tarif pajak proporsional juga memilliki nilai besaran yang tetap dan tidak terpengaruh dengan adanya perubahan pada nilai dasar pengenaan pajak. Jadi, semakin besar jumlah objek pajak yang akan dibayarkan, maka persentase dari tarif atas pengenaan pajaknya akan tetap sama.

Tarif pajak ini bertujuan untuk dapat menciptakan kesetaraan antara tarif pajak rata-rata yang dibayarkan.

Contoh dari tarif pajak proporsional ini, yaitu: pajak penerimaan bruto, pajak per kapita, dan juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan tarif proporsional atas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebesar 11% (sepuluh persen) di tahun 2022 berdasarkan dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan namun untuk tarif pajak ekspor barang kena pajak terdapat ketentuan khusus yang ditetapkan, yaitu dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0% (nol persen).

Berikut ini merupakan beberapa jenis objek pajak yang dikenakan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) yang berlaku UU No. 42 tahun 2009, yaitu:

  1. Kegiatan impor barang kena pajak
  2. Kegiatan penyerahan barang kena pajak di kawasan pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  3. Kegiatan penyerahan jasa kena pajak di kawasan pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  4. Kegiatan pemakaian atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud yang berasal dari luar kawasan pabean di dalam area pabean
  5. Kegiatan ekspor barang kena pajak berwujud yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  6. Kegiatan ekspor barang kena pajak tidak terwujud yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  7. Kegiatan ekspor jasa kena pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Tarif Pajak Progresif

Tarif pajak progresif merupakan tarif pemungutan pajak dengan persentase yang akan bertambah bersamaan dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.

Dalam tarif pajak progresif ini, tarif pajak akan sebanding dengan kewajiban pajak. Apabila Wajib Pajak memiliki kekayaan yang semakin besar, maka tarif pajak yang dikenakan juga akan meningkat.

Tujuan dari tarif pajak progresif ini adalah untuk mempengaruhi orang-orang atau Wajib Pajak yang memiliki penghasilan tinggi atau menengah, agar menyadari bahwa mereka disanggupkan untuk membayar pungutan kepada negara dengan jumlah yang lebih besar.

Contoh dari tarif pajak progresif ini, yaitu salah satunya adalah Pajak Penghasilan (PPh). Berikut ini merupakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi:

  1. Tarif 5% dikenakan bagi Wajib Pajak berpenghasilan hingga Rp 60 juta
  2. Tarif 15% dikenakan bagi Wajib Pajak berpenghasilan Rp 60 juta – Rp 250 juta
  3. Tarif 25% dikenakan bagi Wajib Pajak berpenghasilan Rp 250 juta – Rp 500 juta
  4. Tarif 30% dikenakan bagi Wajib Pajak berpenghasilan di Rp 500 juta - Rp 5 miliar 
  5. Tarif 35% dikenakan bagi Wajib Pajak berpenghasilan di atas Rp 5 miliar. 

Pajak progresif adalah sistem pemungutan pajak di mana nilai pajak yang perlu dibayarkan akan meningkat seiring kenaikan nilai dasar pengenaan pajaknya. Pemungutan pajak ini dianggap sebagai sistem ideal demi menciptakan kesetaraan dan menambah sumbangan pajak di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Di Indonesia sendiri, sistem pajak progresif diterapkan untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh). Sistem pajak ini mengasumsikan bahwa mereka yang berpenghasilan lebih tinggi dapat dikenakan persentase pajak yang lebih signifikan dibanding mereka yang berpendapatan rendah.

Sistem ini juga mengasumsikan bahwa terjadi “subsidi silang” yang diberikan oleh orang berpenghasilan tinggi ke orang yang berpenghasilan rendah melalui mekanisme belanja APBN setiap tahunnya. Sistem serupa pun diterapkan di negara lain seperti Amerika Serikat dan Meksiko.

Baca juga: Jadi Warga Negara Baik, Ketahui Jenis Pajak yang Berlaku di Indonesia Ini

Pada sistem pajak penghasilan progresif penghasilan seseorang yang semakin tinggi dikenakan

Pajak Progresif Adalah Sistem Pajak Berjenjang & Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Sebagai ilustrasi, pajak progresif dapat diandaikan seperti tarif pesawat. Semakin baik kursi yang diperoleh di pesawat, maka seseorang harus membayar mahal untuk mendapatkan hal tersebut. Begitu pun sebaliknya.

Di Amerika Serikat, contohnya, tarif PPh memiliki rentang antara 10% hingga 37%. Orang-orang yang berpendapatan US$9.875 per tahun, atau di bawahnya, hanya berkewajiban membayar pahak 10% atas penghasilan mereka. Sementara itu, mereka yang berpenghasilan lebih dari US$518.400 akan membayar pajak sebesar 37%.

Berikut ini rincian penghasilan progresif di Amerika Serikat berdasarkan penghasilan satu orang:

  1. 10% untuk pendapatan US$0 hingga US$9.875 per tahun
  2. 12% untuk pendapatan US$ 9.876 hingga US$40.125 per tahun
  3. 22% untuk pendapatan US$40.126 hingga US$85.525 per tahun
  4. 24% untuk pendapatan US$85.260 hingga US$163.300 per tahun
  5. 32% untuk pendapatan US$163.301 hingga US$207.350 per tahun
  6. 35% untuk pendapatan US$207.351 hingga US$518.400 per tahun
  7. 37% untuk pendapatan US$518.401 atau lebih.

Sistem tarif PPh serupa juga diterapkan di Indonesia. Namun bedanya, Indonesia memberlakukan tingkat batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Yakni, sistem di mana seseorang tidak perlu membayar pajak penghasilan jika pendapatannya per tahun di bawah PTKP tersebut. Hal tersebut dijamin di dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Untuk saat ini, jumlah PTKP yang diterapkan adalah Rp54 juta setahun, atau Rp4,5 juta per bulan. Sehingga, mereka yang memiliki penghasilan di bawah itu akan dibebaskan dari kewajiban membayar PPh. Hanya, saja nilai PTKP ini berbeda-beda tergantung dengan jumlah tanggungan seseorang.

Untuk PTKP bagi mereka yang sudah menikah, misalnya, dasarnya adalah Rp58,5 juta. Jika penghasilan istri digabungkan dengan suami, maka PTKP mereka akan sebesar Rp108 juta secara gabungan.

Jumlah anak juga menentukan besaran PTKP seseorang. Jika sang Wajib Pajak (WP) memiliki satu anak, baik ia tidak atau sudah menikah, maka PTKP-nya akan bertambah Rp4,5 juta. Jika mereka memiliki dua anak, maka PTKP mereka akan ditambah lagi Rp4,5 juta, dan seterusnya.

Sebagai contoh: Tuan A sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Maka PTKP tuan A adalah Rp58,5 juta (karena sudah menikah) + Rp4,5 juta (tanggungan anak pertama) + Rp4,5 juta (tanggungan anak kedua) + Rp4,5 juta (tanggungan anak ketiga) = Rp72 juta. Sehingga, jika Tuan A memiliki penghasilan tahunan di bawah Rp67,5 juta per tahun, ia akan dibebaskan dari kewajiban bayar PPh.

Jika memang masyarakat memiliki penghasilan di atas PTKP, maka mereka diwajibkan untuk membayar pajak secara berjenjang sesuai dengan bracket penghasilannya per tahun. Berikut adalah bracket PPh yang berlaku di Indonesia.

  1. Penghasilan tahunan sampai dengan Rp50 juta per tahun dikenakan tarif PPh 5%
  2. Penghasilan tahunan antara Rp50 juta hingga Rp250 juta dikenakan tarif PPh 15%
  3. Penghasilan tahunan antara Rp250 juta hingga Rp500 juta dikenakan tarif PPh 25%
  4. Penghasilan tahunan di atas Rp500 juta dikenakan tarif PPh 30%

Hanya saja, cara menghitung pajak penghasilan tidak semudah mengalikan penghasilan seseorang kemudian mengalikannya dengan persentase tarif. Adapun dalam menghitung PPh yang dibayarkan, seseorang harus mengurangi penghasilannya dulu dengan PTKP untuk menghasilkan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Setelahnya, ia bisa menghitung pajak PPh berdasarkan bracket di atas.

Sebagai contoh, Tuan A sudah menikah dan memiliki dua orang anak, di mana sang istri sedang tak bekerja. Ia juga memiliki gaji Rp200 juta setahun. Maka berapa pajak yang perlu dibayar Tuan A?

Langkah pertama cara menghitung pajak penghasilan adalah mengurangkan penghasilannya dengan PTKP. Maka Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tuan A adalah Rp200 juta – Rp67,5 juta = Rp132,5 juta.

Kemudian, PKP tersebut dikalikan dengan masing-masing bracket sebagai berikut:

5% x Rp50 juta = Rp2,5 juta

15% x Rp82,5 juta = Rp12,375 juta

Totalkan dua hasil persamaan tersebut, sehingga PPh Tuan A yang perlu dibayar adalah Rp14,875 juta.

Baca juga: Kendaraan Lebih dari Satu? Intip Dulu Simulasi Pajak Progresif Mobil

Apa Keunggulan dan Kekurangan Penerapan Pajak Progresif?

Para pendukung sistem pajak progresif adalah mereka yang sepakat bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin mampu mereka berkontribusi terhadap pajak pendapatan. Seseorang dengan penghasilan tinggi cenderung memiliki lebih banyak ruang gerak dalam anggaran mereka daripada mereka di garis kemiskinan.

PPh progresif tidak hanya memungkinkan mereka dengan penghasilan rendah untuk menyimpan lebih banyak dari pendapatan mereka. Tetapi, pajak progresif ini juga dapat digunakan untuk peningkatan program dan infrastruktur masyarakat.

Banyak program yang disediakan dari pemotongan pajak penghasilan progresif ini terbilang berguna bagi masyarakat yang lebih membutuhkan. Program ini di antaranya menyediakan asuransi kesehatan bagi individu yang hidup dalam kemiskinan.

Namun demikian, ada pula banyak kritik terhadap penerapan pajak progresif ini. Para penentangnya memandang pajak progresif adalah pajak yang mendiskriminasi orang yang berpenghasilan tinggi. Dan ini memaksa mereka untuk membayar lebih dari bagian yang wajar.

Di AS, individu berpenghasilan tinggi tidak mendapatkan keuntungan dari banyak program kesejahteraan sosial yang dibayar oleh uang pajak mereka.

Bagaimanapun, sulit untuk mengatakan dengan pasti sistem pajak mana yang terbaik di antara pajak progresif, regresif, dan pajak tetap. Ketiga model ini memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Pada akhirnya, perlu dipahami bahwa pemerintah mengandalkan uang pajak dari masyarakat agar memastikan negara berfungsi dengan baik.

Nikmati Keuntungan dengan Investasi Aman di Pluang!

Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!

Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!

Sumber: Robinhood, Ortax